Bik Rina memandang bergantian antara Esti dan Dina. Tatapan mereka berdua tidak lama, tapi cukup untuk membuatnya merasa ada sesuatu di baliknya. Kening Bik Rina berkerut. Ia mencoba mengaduk-ingat di kepalanya, mencari potongan cerita lama yang entah dari mana mulai menyeruak.Ah… iya. Esti dan Dina.Hatinya mulai merasa tidak tenang. Ia tahu, di masa lalu hubungan keduanya tidak pernah benar-benar baik. Esti pernah berpacaran dengan Rendi, lelaki yang kini menjadi suami Dina. Hubungan mereka waktu itu bukan hubungan biasa, mereka dekat, saling melengkapi, bahkan sudah mulai merencanakan masa depan bersama. Semua orang mengira mereka akan menikah.Tapi kemudian, angin berubah arah. Dina, yang diam-diam menyimpan rasa pada Rendi, mulai menebar cerita-cerita buruk tentang Esti. Kata-katanya licin, manis di telinga, tapi menyusup dengan racun halus. Ia membisikkan kepada Rendi hal-hal yang membuat Esti terlihat buruk, lalu menguatkan ceritanya kepada orang tua Rendi. Sedikit demi sediki
"Kamu jangan terpancing ucapan Veni. Apapun yang Veni katakan, dengarkan saja. Kamu tahu kan watak Veni seperti itu?" Bik Rina menasehati Esti.Pagi ini Esti dan Haris berkunjung ke rumah Bik Rina. Haris sedang berbincang dengan Pak Din di ruang tamu, sedangkan Esti ngobrol dengan Bik Rina di dapur."Iya, Bik. Aku hanya kecewa dengan Ibu."Bik Rina menuang teh hangat ke cangkir Esti, lalu duduk di kursi kayu dekat meja dapur yang sederhana.“Ibumu itu bukan nggak sayang. Tapi kadang, sayangnya cuma bisa ditunjukkan ke yang paling sering dekat. Veni sering di rumah, jadi dia merasa Veni lebih layak diperhatikan.”Esti mengangguk pelan, menatap uap dari cangkir tehnya.“Tapi apa harus sampai begitu, Bik? Seakan-akan aku nggak pernah cukup. Aku yang dituduh durhaka, aku yang disalahkan. Ibu selalu memihak Veni, bahkan saat Veni jelas-jelas menyakitiku.”Bik Rina menghela napas panjang, lalu menatap ke luar jendela sebentar.“Manusia itu rumit, Nak. Kadang mereka memaafkan orang luar lebi
Esti menatap lantai, menahan napas sejenak setelah mendengar jawaban ibunya. Hatinya perih, tapi tidak seperti dulu, kali ini ia tidak marah, tidak ingin membalas, hanya merasa letih dan sedih.“Iya, Bu. Mungkin itu kenyataan,” katanya pelan, “tapi kadang kenyataan juga bisa dipilih, mau disampaikan dengan luka atau dengan kasih.”Bu Lina diam. Tidak menjawab. Mencelupkan piring ke ember kecil di samping bak cuci.Esti melanjutkan, suaranya mulai bergetar tapi tetap lembut. “Dulu aku kerja sambilan waktu kuliah karena aku tahu Ibu nggak bisa bantu banyak. Aku nggak pernah nuntut apa-apa. Sekarang pun aku nggak keberatan Ibu lebih sayang Veni, kalau itu memang bikin Ibu bahagia. Tapi jangan bilang aku tidak berbakti hanya karena aku nggak bisa beliin cincin.”Tangan Bu Lina berhenti mencuci. Suara air menetes satu-satu ke dalam bak, hening menggantung di antara mereka.Esti melirik ibunya, lalu berkata lebih pelan, nyaris seperti bisikan, “Aku bantu Ayah bukan karena beliau sempurna, t
Baru saja Esti selesai menata bantal tambahan di ruang tengah, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Disusul suara salam yang lantang dan akrab.“Assalamu’alaikum! Pak Rusdi sudah pulang, ya?”Itu suara Bu Minah, tetangga sebelah rumah yang sejak Esti kecil selalu sibuk membagikan gosip ringan tapi penuh perhatian.“Wa’alaikumsalam. Iya, Bu. Monggo masuk,” jawab sang ibu dari dalam, tergesa menyambut.Tak lama, dua-tiga tetangga lainnya ikut berdatangan. Ada yang membawa buah tangan, ada pula yang datang hanya dengan senyum hangat dan cerita nostalgia.Di antara tamu-tamu itu, datang juga dua sosok yang cukup lama tak Esti temui, Bik Rina, adik kandung Pak Rusdi, dan suaminya, Pak Din. Esti langsung menyambut dengan senyum lebar, meski di dalam hati, ia masih canggung. Ia tidak tahu sejauh mana Bik Rina tahu tentang konflik keluarganya selama ini.“Esti… Ya Allah, kamu semakin cantik saja. Terakhir ketemu, waktu anak keduamu masih bayi?” ucap Bik Rina sambil memeluk Esti hang
“Ayah menilai Haris terlalu cepat. Hanya karena dia bukan anak orang kaya,” lanjut Esti. “Tapi Haris selalu ada buatku. Bahkan saat aku menangis di depan pintu rumah kita karena ditolak masuk, dia tetap menggenggam tanganku.”Pak Rusdi menatap Haris. Malam itu, ada pengakuan yang terpantul jelas di mata tua itu, bahwa ia keliru. Bahwa ia terlalu cepat menilai, dan terlalu lambat memahami.“Ayah tahu sekarang, kamu suami yang baik.” Suara Pak Rusdi serak, tapi tulus. “Dan kamu laki-laki yang punya keberanian untuk tetap berdiri di samping Esti, bahkan saat keluarga ini menolaknya.”Haris mengangguk pelan. “Saya tidak butuh pengakuan, Pak. Tapi Esti, dia pantas dihargai.”Pak Rusdi menatap putrinya lama. Air matanya mengalir perlahan, diam-diam.“Ayah minta maaf, Esti. Untuk semuanya. Untuk luka yang Ayah biarkan kamu tanggung sendiri.”Esti tidak langsung menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Rasanya seperti menahan gelombang di dada. Ia tidak bisa menghapus masa lalu, tapi malam ini, me
Veni melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Esti. Matanya tajam, dagunya terangkat sedikit, gaya yang selalu ia gunakan untuk menunjukkan bahwa dialah yang benar, bahwa dialah yang berhak.“Jangan pura-pura jadi korban, Esti. Kamu pergi dan ninggalin semuanya bertahun-tahun. Waktu Ayah kecelakaan, kamu di mana? Waktu Ibu sakit, kamu bahkan nggak kirim kabar. Tapi sekarang datang dan seolah kamu satu-satunya yang paling tersakiti?”Esti menatap adiknya. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap berdiri tegak. “Kamu pikir aku pergi karena senang? Karena egois? Aku pergi karena aku nggak tahan terus disalahkan. Apapun yang terjadi, selalu aku yang salah.”Veni mendengus. “Kamu selalu merasa dizalimi. Selalu cari alasan. Tapi kamu tahu nggak, saat kamu pergi, semua beban jatuh ke aku. Aku yang harus jadi anak baik, anak kuat, anak yang…”“Anak pengganti?” potong Esti, nadanya tajam.Ruangan jadi hening sejenak.“Ya,” Esti melanjutkan. “Kamu marah bukan karena aku datang, tapi karena kamu takut