Share

Tentang Pakaian

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-02-28 09:47:31

“Santi…” Winda tidak melanjutkan ucapannya.

“Santi kenapa?” selidik Esti.

“Santi kecentilan menggoda Rendi,” kata Winda dengan pelan.

Esti tersenyum ke arah Irfan, rupanya Irfan juga tersenyum mendengar ucapan Winda.

“Oalah, masalah laki-laki ya?” Irfan tertawa kecil, membuat Winda memerah pipinya karena malu.

“Aku nggak menggoda Rendi, Rendi yang datang mendekati mejaku. Ia menanyakan tugas kelompok,” kilah Santi.

“Winda, kalau kamu kesal masalah itu, jangan dikaitkan dengan orang tua Santi. Itu sangat menyakiti hati Santi. Kamu mau kalau orang tuamu dihina oleh orang lain?” Esti mulai berbicara dengan lembut.

Winda menggelengkan kepalanya.

Esti pun berbicara panjang lebar untuk mendamaikan Santi dan Winda. Bagaimanapun juga mereka berdua adalah remaja yang sedang puber dan mencari jati diri, jadi sedikit permasalahan saja akan membuat mereka ribut. Apalagi kalau masalah asmara.

“Jangan diulangi lagi ya, Winda? Jangan menghina orang tua teman-temanmu.” Esti mengingatkan Winda,” dan kamu Santi, tidak boleh bermain fisik ya? Itu sangat berbahaya.”

“Iya, Bu. Maafkan saya,” sahut Santi.

Santi dan Winda pun saling bermaafan dan berjanji tidak akan berkelahi lagi.

“Silahkan Winda ke kelas dulu, Santi tetap disini ya?” Esti meminta Winda untuk keluar.

“Santi, Ibu nggak tahu permasalahan yang terjadi di keluargamu. Tapi ibu ingin tahu, sebagai bagian dari konseling.”

Santi tampak bimbang, ia pun menoleh ke arah Irfan. Irfan tahu maksud Santi, ia pun keluar dari ruangannya dan membiarkan Santi melakukan konseling dengan Esti.

“Ceritakan tentang keluargamu,” kata Esti.

“Ibu saya memang biduan, Bu. Tapi hanya sesekali saja, ketika diminta oleh pemilik orgen tunggal sedang tidak ada biduannya. Ibu juga banyak menolak tawaran menyanyi kalau memang tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Ibu.”

“Memangnya syaratnya apa?”

“Ibu nggak mau kalau harus berpakaian terbuka.”

“Kalau nggak sedang bernyanyi, Ibu kerja apa?”

“Membuat kue pesanan orang. Ibu sedang mengumpulkan uang untuk membuka usaha kue-kue. Setelah itu Ibu akan berhenti menjadi biduan.”

“Maaf, apa benar orang tuamu berpisah?” Esti bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan Santi.

Santi hanya mengangguk.

“Ayah menikah lagi, akhirnya Ibu minta cerai.”

“Kamu punya kakak atau adik?”

“Adik laki-laki kelas tujuh SMP.”

Santi pun bercerita tentang keluarganya, membuat Esti trenyuh. Ia tidak menyangka kalau kehidupan Santi cukup menderita karena kelakuan sang ayah.

“Kamu sebagai anak pertama, menjadi garda terdepan bagi ibu dan adikmu. Kamu harus kuat, tetap semangat membantu Ibu, tapi juga harus tetap sekolah. Kalau ada yang perlu diceritakan, kamu bisa menemui Ibu. Ibu akan mendengarkan ceritamu. Oke? Semangat ya?”

“Terima kasih, Bu. Ibu sudah membuat saya termotivasi untuk membantu Ibu saya. Supaya Ibu segera berhenti menjadi biduan.” Mata Santi tampak berkaca-kaca.

Esti beranjak dari duduknya kemudian mendekati Santi dan memeluk Santi dengan erat.

***

“Indah, maaf ya, kalau boleh aku mau memberi masukan,” kata Esti dengan perlahan.

Esti meminta Indah untuk masuk ke ruang keluarga di ruang Esti. Kebetulan Indah datang untuk latihan.

“Ada apa ya, Mbak?” tanya Indah.

“Begini, Indah, kita kan sama-sama perempuan, tentu harus saling mengingatkan demi kebaikan.”

“Iya, Mbak.” Indah mulai deg-degan, ia tidak tahu apa maksud pembicaraan ini.

“Kamu masih muda dan cantik. Akan lebih cantik lagi kalau diimbangi dengan penampilanmu. Maksudku pakaianmu. Aku tahu kalau pakaianmu itu pasti mahal-mahal, tapi alangkah baiknya kalau sedikit tertutup. Bukan tertutup memakai gamis dan jilbab. Tapi setidaknya jangan memakai kaos yang belahannya rendah dan rok terlalu pendek seperti ini. Kalau kamu menunduk, belahan dadamu terlihat dan pakaian dalam terlihat dari belakang. Kasihan para kru, pasti akan tergoda dengan penampilanmu.” Esti menghentikan sejenak ucapannya, ia menatap Indah yang tampak menunduk. Esti melanjutkan pembicaraannya.

“Maaf, aku tidak membencimu. Aku hanya mengingatkan saja. Semua ini demi kebaikanmu dan para kru. Takutnya nanti ada yang khilaf dan melakukan hal-hal yang tidak baik, pasti akan merugikan dirimu. Perempuan itu harus menjaga kehormatan dan harga dirinya, aku yakin kalau kamu sangat paham.”

“Iya, Mbak.” Indah menjawab pelan, sebenarnya ia sangat kesal dengan semua yang diucapkan oleh Esti.

“Ish, memangnya siapa kamu kok bisa-bisanya mengkritik aku seperti itu. Kamu itu bukan bosku, suamimu yang bosku. Mas Haris saja tidak pernah mempermasalahkan penampilanku. Kamu pasti iri dengan tubuhku,” kata Indah dalam hati.

“Aku harap kamu nggak tersinggung dengan kata-kataku ini,” ucap Esti sambil tersenyum.

“Nggak Mbak, aku malah berterima kasih sudah diingatkan.” Indah berusaha tersenyum, walaupun hatinya sangat kesal.

“Oke kalau begitu, kamu bisa melanjutkan latihannya.”

“Baik, Mbak. Aku ke studio dulu,” pamit Indah. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke studio.

“Dari mana kamu?” tanya Toni, salah satu kru di orgen tunggal Cakrawala.

“Dipanggil istrinya bos.”

“Kenapa? Kok wajahnya ditekuk kayak gitu, ketahuan?”

“Ssttt! Jangan sembarangan berbicara nanti ada yang mendengar. Dia mengomentari penampilanku yang katanya terlalu terbuka. Bilang saja kalau dia iri dengan tubuhku. Makanya pintar-pintar merawat diri, biar kayak aku.” Indah mengejek Esti di depan Toni.

“Penampilanmu sangat seksi, wajar saja kalau Bu bos mengingatkanmu. Bukan iri, mungkin risih saja! Siapa sih laki-laki yang tidak tergoda dengan penampilanmu seperti ini? Andai aku punya uang banyak, pasti aku akan menggodamu,” canda Toni.

“Makanya cari uang yang banyak, biar bisa menggaetku. Asetku kan tubuhku. Aku ini seorang biduan, masa aku harus pakai pakaian tertutup kayak dia yang sok alim. Nanti dikira ustadzah mau ngasih ceramah bukan nyanyi.” Indah dan Toni tertawa.

“Nggak boleh gitu, Bu Esti itu kan memang alim. Apalagi dia seorang guru, ya harus menjaga penampilan dan perilakunya. Bagaimanapun juga dia itu bos kita, patuhi saja apa yang ia ucapkan, yang penting periuk kita aman.” Toni mengingatkan Indah supaya tidak melawan ucapan Esti yang notabene sebagai istri Haris, pemilik orgen tunggal Cakrawala.

“Dia itu bukan bos kita, Mas Haris bos kita. Mas Haris saja tidak mempermasalahkan penampilanku kok malah dia yang repot!” Indah masih kesal dengan apa yang dikatakan oleh Esti tadi.

“Tentu saja ia tidak mempermasalahkannya, karena penampilanmu ini sangat menggodanya,” celetuk Toni.

“Sstt! Jangan keras-keras ngomongnya, nanti malah timbul masalah baru. Belum saatnya!”

“Maaf keceplosan. Tuh, bos datang,” bisik Toni ketika melihat Haris baru pulang dari kantor.

Wajah Indah yang tadi cemberut langsung sumringah melihat Haris datang. Toni dan Indah tidak menyadari kalau ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka tadi.

“Pepet terus, biar uangnya mengalir deras,” bisik Toni. Indah langsung mendelik matanya, Toni hanya tertawa kecil.

“Ada cerita apa, kok kayaknya lucu?” tanya Haris yang baru datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ada Penyesalan

    “Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Bu Siti pelan, nada suaranya seperti ragu untuk menusuk luka yang belum kering.Haris menunduk. Suaranya berat ketika menjawab, “Aku belum tahu, Bu. Aku bingung.”Dewi, yang sejak tadi bersandar dengan tangan terlipat, langsung menyambar, “Berkas perceraianmu dengan Esti, sudah sampai mana?”“Masih di atasan,” Haris menarik napas panjang. “Prosesnya rumit. Ribet sekali.”Dewi mendengus, lalu bangkit dari duduknya. “Kenapa nggak kamu batalkan saja perceraian itu? Kamu pikir kamu bisa terus hidup kayak begini? Apa kamu rela menghidupi anaknya Indah? Anak yang bahkan bukan dari darahmu sendiri?”Haris terdiam. Kepalanya semakin tertunduk.“Ingat, Haris,” suara Dewi meninggi, penuh emosi. “Indah sudah membohongi kamu. Di saat kamu cinta mati sama dia, dia tidur dengan laki-laki lain. Apa kamu nggak sadar? Dia bukan perempuan baik. Dia perempuan murahan!”Kalimat itu menggantung di udara, berat dan pahit. Bu Siti memejamkan mata sejenak, sementa

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Nasib Apes

    Bu Ratna berdiri dengan tangan terkepal di dada, wajahnya masih merah karena emosi yang belum mereda. Ia memandang ke jalan tempat mobil Haris baru saja menghilang. “Kita sudah memberi dia kesempatan. Tapi dia malah pergi begitu saja, seolah semua ini bukan urusannya.” Bu Ratna berkata dengan penuh kekecewaan. Kemudian ia duduk duduk di bangku kayu dekat pintu, wajahnya sayu dan mata berkaca-kaca. Ia mengusap pelan pipinya yang basah oleh air mata. “Dia juga manusia, penuh kebimbangan. Dia sudah berjuang dengan caranya sendiri.” Pak Burhan berkata dengan tenang, walaupun ia kecewa karena Haris pergi. Bu Ratna menegakkan badan, suaranya naik sedikit,“Berjuang? Apa yang sudah dia perjuangkan? Meninggalkan istrinya menikahi Indah, lalu akhirnya meninggalkan semua begitu saja saat masalah datang? Itu bukan perjuangan, itu lari!” Pak Burhan menghela napas panjang.“Kita ini orang tua. Kita harus bersabar dan menguatkan mereka, bukan malah memecah belah. Indah juga butuh dukungan, buka

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Penyesalan

    Pintu rumah tertutup kembali dengan suara klik yang sunyi. Mesin mobil Haris menghilang di kejauhan. Di ruang tamu, Pak Burhan berdiri membelakangi Indah dan Bu Ratna, wajahnya menegang, kedua tangannya mengepal.Pak Burhan menahan amarah.“Jadi benar semua yang dikatakan Haris? Kamu hamil anak orang lain, dan diam saja? Bahkan setelah dinikahi?!”Indah menunduk dan menangis.“Aku yakin kalau itu anaknya Mas Haris. Aku takut, Ayah, aku takut kehilangan semuanya.”Pak Burhan membalik badan dengan tatapan tajam.“Kamu takut?! Kamu pikir Haris tidak takut? Dia ninggalin istrinya demi kamu! Dan kamu kamu balas dengan kebohongan?”Bu Ratna berusaha menenangkan, berdiri di samping Rina Indah.“Sudahlah, Yah… Jangan keras-keras. Indah pasti punya alasan. Dia itu juga korban.”Pak Burhan mengeras, suaranya naik.“Korban?! Korban dari siapa? Dari dirinya sendiri?! Dia yang memulai semuanya, bohong dari awal, dan sekarang... Haris pergi! Dia mungkin nggak akan pernah balik lagi!”“Aku nggak per

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Hasil Tes DNA

    Haris duduk berseberangan dengan Dokter Fajri, yang memegang amplop tertutup berlogo laboratorium besar. Di samping Haris ada Indah yang duduk dengan wajah tegang, tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Tidak ada yang bicara, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menekan.“Saya tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi hasil ini perlu Bapak dan Ibu ketahui.” Dokter Fajri memulai pembicaraan.Perlahan, ia membuka amplop, mengeluarkan selembar kertas putih dengan cap resmi dan hasil pengujian.Dokter Fajri membaca tenang.“Hasil tes DNA menunjukkan bahwa bayi ini adalah anak biologis Ibu Indah namun tidak memiliki kecocokan genetik dengan Bapak Haris.”Suasana hening, tidak ada yang bicara.Indah menunduk, air mata mulai mengalir. Haris tak bergerak sedikit pun. Matanya kosong, namun di dalam dadanya, badai bergemuruh.“Saya paham ini sangat berat. Tapi yang paling penting sekarang adalah memikirkan kondisi bayi. Dan keputusan kedepannya.”***Haris berdiri di jendela kamar, me

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Tes DNA

    Cahaya putih steril menyelimuti ruangan laboratorium kecil itu. Bau alkohol medis menyengat. Perawat Mia sedang menyiapkan alat-alat: tabung vakutainer, kapas alkohol, jarum suntik, dan formulir identitas.Di hadapannya, Haris dan Indah duduk berdampingan. Suasana kaku, tak ada kata yang keluar selama beberapa menit selain bunyi peralatan medis dan detak jarum jam.Perawat Mia dengan suara lembut membuka percakapan.“Baik, kita akan ambil sampel darah dari Bapak dan Ibu. Juga dari bayi. Hasilnya akan keluar dalam beberapa hari.”Haris hanya mengangguk, matanya tajam menatap ke depan, menahan kekacauan di pikirannya. Indah tampak gelisah, tangannya gemetar di pangkuannya.“Saya mulai dari Bapak, ya,” kata Mia sambil mengikat lengan Haris dengan torniket,“Silakan kepalkan tangan.”“Ini akan menentukan segalanya, ya?” Suara Haris terdengar datar, ia menatap lurus ke depan.“Yang pasti, ini akan memberi kejelasan.” Mia berusaha untuk tetap netral.Jarum menusuk kulit Haris. Setetes darah

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Golongan Darah

    “Ada apa, Mia? Kenapa wajahmu tampak cemas seperti itu?” tanya Dokter Fajri, sambil melepas stetoskopnya dari leher dan menatap langsung ke arah perawat muda itu. Mia menelan ludah, lalu menyerahkan selembar kertas dari laboratorium. “Ini… hasil cek golongan darah ayah si bayi,” katanya pelan, nyaris berbisik. Dokter Fajri mengambil kertas itu, membaca sekilas. “Jadi benar, Bapak itu bergolongan darah O, seperti katanya tadi,” gumamnya. Tapi saat ia mengangkat kepala dan kembali menatap Mia, ia menangkap sorot yang tak biasa di mata perawat itu. “Terus, kenapa wajahmu cemas seperti itu?” Mia menarik napas, seolah sedang menyiapkan diri untuk mengucapkan sesuatu yang berat. “Masalahnya… bayi itu, Dok… golongan darahnya AB.” Sejenak, ruangan itu terasa membeku. Dokter Fajri diam. Matanya menatap lurus ke arah jendela, tapi pikirannya jelas berkelana jauh. Tangannya mengepal di atas meja, sementara kertas hasil labor itu masih berada di genggamannya. “Mungkin ada kesalahan input?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status