INICIAR SESIÓN“Santi…” Winda tidak melanjutkan ucapannya.
“Santi kenapa?” selidik Esti. “Santi kecentilan menggoda Rendi,” kata Winda dengan pelan. Esti tersenyum ke arah Irfan, rupanya Irfan juga tersenyum mendengar ucapan Winda. “Oalah, masalah laki-laki ya?” Irfan tertawa kecil, membuat Winda memerah pipinya karena malu. “Aku nggak menggoda Rendi, Rendi yang datang mendekati mejaku. Ia menanyakan tugas kelompok,” kilah Santi. “Winda, kalau kamu kesal masalah itu, jangan dikaitkan dengan orang tua Santi. Itu sangat menyakiti hati Santi. Kamu mau kalau orang tuamu dihina oleh orang lain?” Esti mulai berbicara dengan lembut. Winda menggelengkan kepalanya. Esti pun berbicara panjang lebar untuk mendamaikan Santi dan Winda. Bagaimanapun juga mereka berdua adalah remaja yang sedang puber dan mencari jati diri, jadi sedikit permasalahan saja akan membuat mereka ribut. Apalagi kalau masalah asmara. “Jangan diulangi lagi ya, Winda? Jangan menghina orang tua teman-temanmu.” Esti mengingatkan Winda,” dan kamu Santi, tidak boleh bermain fisik ya? Itu sangat berbahaya.” “Iya, Bu. Maafkan saya,” sahut Santi. Santi dan Winda pun saling bermaafan dan berjanji tidak akan berkelahi lagi. “Silahkan Winda ke kelas dulu, Santi tetap disini ya?” Esti meminta Winda untuk keluar. “Santi, Ibu nggak tahu permasalahan yang terjadi di keluargamu. Tapi ibu ingin tahu, sebagai bagian dari konseling.” Santi tampak bimbang, ia pun menoleh ke arah Irfan. Irfan tahu maksud Santi, ia pun keluar dari ruangannya dan membiarkan Santi melakukan konseling dengan Esti. “Ceritakan tentang keluargamu,” kata Esti. “Ibu saya memang biduan, Bu. Tapi hanya sesekali saja, ketika diminta oleh pemilik orgen tunggal sedang tidak ada biduannya. Ibu juga banyak menolak tawaran menyanyi kalau memang tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Ibu.” “Memangnya syaratnya apa?” “Ibu nggak mau kalau harus berpakaian terbuka.” “Kalau nggak sedang bernyanyi, Ibu kerja apa?” “Membuat kue pesanan orang. Ibu sedang mengumpulkan uang untuk membuka usaha kue-kue. Setelah itu Ibu akan berhenti menjadi biduan.” “Maaf, apa benar orang tuamu berpisah?” Esti bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan Santi. Santi hanya mengangguk. “Ayah menikah lagi, akhirnya Ibu minta cerai.” “Kamu punya kakak atau adik?” “Adik laki-laki kelas tujuh SMP.” Santi pun bercerita tentang keluarganya, membuat Esti trenyuh. Ia tidak menyangka kalau kehidupan Santi cukup menderita karena kelakuan sang ayah. “Kamu sebagai anak pertama, menjadi garda terdepan bagi ibu dan adikmu. Kamu harus kuat, tetap semangat membantu Ibu, tapi juga harus tetap sekolah. Kalau ada yang perlu diceritakan, kamu bisa menemui Ibu. Ibu akan mendengarkan ceritamu. Oke? Semangat ya?” “Terima kasih, Bu. Ibu sudah membuat saya termotivasi untuk membantu Ibu saya. Supaya Ibu segera berhenti menjadi biduan.” Mata Santi tampak berkaca-kaca. Esti beranjak dari duduknya kemudian mendekati Santi dan memeluk Santi dengan erat. *** “Indah, maaf ya, kalau boleh aku mau memberi masukan,” kata Esti dengan perlahan. Esti meminta Indah untuk masuk ke ruang keluarga di ruang Esti. Kebetulan Indah datang untuk latihan. “Ada apa ya, Mbak?” tanya Indah. “Begini, Indah, kita kan sama-sama perempuan, tentu harus saling mengingatkan demi kebaikan.” “Iya, Mbak.” Indah mulai deg-degan, ia tidak tahu apa maksud pembicaraan ini. “Kamu masih muda dan cantik. Akan lebih cantik lagi kalau diimbangi dengan penampilanmu. Maksudku pakaianmu. Aku tahu kalau pakaianmu itu pasti mahal-mahal, tapi alangkah baiknya kalau sedikit tertutup. Bukan tertutup memakai gamis dan jilbab. Tapi setidaknya jangan memakai kaos yang belahannya rendah dan rok terlalu pendek seperti ini. Kalau kamu menunduk, belahan dadamu terlihat dan pakaian dalam terlihat dari belakang. Kasihan para kru, pasti akan tergoda dengan penampilanmu.” Esti menghentikan sejenak ucapannya, ia menatap Indah yang tampak menunduk. Esti melanjutkan pembicaraannya. “Maaf, aku tidak membencimu. Aku hanya mengingatkan saja. Semua ini demi kebaikanmu dan para kru. Takutnya nanti ada yang khilaf dan melakukan hal-hal yang tidak baik, pasti akan merugikan dirimu. Perempuan itu harus menjaga kehormatan dan harga dirinya, aku yakin kalau kamu sangat paham.” “Iya, Mbak.” Indah menjawab pelan, sebenarnya ia sangat kesal dengan semua yang diucapkan oleh Esti. “Ish, memangnya siapa kamu kok bisa-bisanya mengkritik aku seperti itu. Kamu itu bukan bosku, suamimu yang bosku. Mas Haris saja tidak pernah mempermasalahkan penampilanku. Kamu pasti iri dengan tubuhku,” kata Indah dalam hati. “Aku harap kamu nggak tersinggung dengan kata-kataku ini,” ucap Esti sambil tersenyum. “Nggak Mbak, aku malah berterima kasih sudah diingatkan.” Indah berusaha tersenyum, walaupun hatinya sangat kesal. “Oke kalau begitu, kamu bisa melanjutkan latihannya.” “Baik, Mbak. Aku ke studio dulu,” pamit Indah. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke studio. “Dari mana kamu?” tanya Toni, salah satu kru di orgen tunggal Cakrawala. “Dipanggil istrinya bos.” “Kenapa? Kok wajahnya ditekuk kayak gitu, ketahuan?” “Ssttt! Jangan sembarangan berbicara nanti ada yang mendengar. Dia mengomentari penampilanku yang katanya terlalu terbuka. Bilang saja kalau dia iri dengan tubuhku. Makanya pintar-pintar merawat diri, biar kayak aku.” Indah mengejek Esti di depan Toni. “Penampilanmu sangat seksi, wajar saja kalau Bu bos mengingatkanmu. Bukan iri, mungkin risih saja! Siapa sih laki-laki yang tidak tergoda dengan penampilanmu seperti ini? Andai aku punya uang banyak, pasti aku akan menggodamu,” canda Toni. “Makanya cari uang yang banyak, biar bisa menggaetku. Asetku kan tubuhku. Aku ini seorang biduan, masa aku harus pakai pakaian tertutup kayak dia yang sok alim. Nanti dikira ustadzah mau ngasih ceramah bukan nyanyi.” Indah dan Toni tertawa. “Nggak boleh gitu, Bu Esti itu kan memang alim. Apalagi dia seorang guru, ya harus menjaga penampilan dan perilakunya. Bagaimanapun juga dia itu bos kita, patuhi saja apa yang ia ucapkan, yang penting periuk kita aman.” Toni mengingatkan Indah supaya tidak melawan ucapan Esti yang notabene sebagai istri Haris, pemilik orgen tunggal Cakrawala. “Dia itu bukan bos kita, Mas Haris bos kita. Mas Haris saja tidak mempermasalahkan penampilanku kok malah dia yang repot!” Indah masih kesal dengan apa yang dikatakan oleh Esti tadi. “Tentu saja ia tidak mempermasalahkannya, karena penampilanmu ini sangat menggodanya,” celetuk Toni. “Sstt! Jangan keras-keras ngomongnya, nanti malah timbul masalah baru. Belum saatnya!” “Maaf keceplosan. Tuh, bos datang,” bisik Toni ketika melihat Haris baru pulang dari kantor. Wajah Indah yang tadi cemberut langsung sumringah melihat Haris datang. Toni dan Indah tidak menyadari kalau ada seseorang yang mendengarkan pembicaraan mereka tadi. “Pepet terus, biar uangnya mengalir deras,” bisik Toni. Indah langsung mendelik matanya, Toni hanya tertawa kecil. “Ada cerita apa, kok kayaknya lucu?” tanya Haris yang baru datang.Haris dan Esti menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan putih seperti kapas yang bergulung-gulung di bawah mereka. Suara mesin pesawat berdengung pelan, namun entah mengapa, hati Esti terasa ringan. Beberapa minggu terakhir penuh kepenatan, tumpukan pekerjaan, masalah keluarga, dan rasa lelah yang sulit dijelaskan. Semua itu seolah menempel di pundaknya.“Siap untuk liburan tanpa anak-anak?” tanya Haris sambil tersenyum nakal. Esti menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau mereka ada, pasti nggak akan sebebas ini,” jawabnya. Haris menggenggam tangannya erat. “Ini waktunya kita berdua. Waktu kita.”Setibanya di Bali, mata mereka disambut langit biru cerah dan aroma laut yang khas. Di bandara, mereka disambut dengan sopan seorang supir hotel yang membawa mereka ke vila kecil di tepi pantai. Saat memasuki vila, Esti terpesona melihat pemandangan laut yang terbentang luas dari balkon. “Wow… ini seperti mimpi,” bisiknya. Haris tersenyum sambil menyerahkan sebotol air dingin.“Dan ter
“Ibu, sama siapa ke sini?” tanya Esti tergopoh-gopoh sambil buru-buru mengelap tangannya di celemek. Senyumnya merekah begitu melihat Bu Siti, mertuanya, berdiri di depan pintu.“Sendirian saja. Dewi sejak pagi sudah ada urusan, jadi Ibu berangkat sendiri,” jawab Bu Siti sambil menepuk-nepuk ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Esti melirik ke arah suaminya, Haris, yang baru saja muncul dari ruang tengah. “Lho, Bu. Kan bisa telepon aku, biar aku jemput,” kata Haris dengan nada setengah menegur, tapi matanya berbinar senang melihat ibunya datang.Bu Siti terkekeh pelan, kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum. “Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan Ibu. Masih kuat kok naik angkot sendiri. Belum pikun juga.”Esti tersenyum, tapi hatinya sedikit hangat bercampur cemas. Ia tahu Bu Siti keras kepala soal kemandirian, meski usianya sudah senja. Ada rasa bangga sekaligus khawatir yang selalu muncul tiap kali mertuanya bersikeras melakukan sesuatu sendirian.“Mana anak-anak?” tanya Bu Siti
Dengan tiba-tiba, ia bersimpuh di kaki Haris, membuat semua orang terpaku.“Mas… nikahi aku. Aku berjanji akan sadar posisiku sebagai istri kedua. Aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya jangan tinggalkan aku…”Esti terperangah, tangannya menutupi mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Om Wisnu menatap anaknya dengan tatapan marah sekaligus putus asa.Haris menatap Widya yang menangis di kakinya, lalu menatap Esti, pilihan yang akan menentukan segalanya.“Widya…,” ucap Haris pelan, “aku mencintai Esti. Aku tidak bisa dan tidak akan menghancurkan rumah tanggaku. Berdirilah, pulanglah bersama ayahmu.”Widya masih berlutut di kaki Haris, tangisannya tersengal. Tapi tiba-tiba tubuhnya melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri.“Widya!” teriak Om Wisnu panik, langsung memeluk tubuh anaknya.Haris berjongkok membantu, sementara Esti hanya bisa berdiri terpaku, antara iba dan sakit hati.“Cepat! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” kata Haris tegas.Om Wisnu mengangguk, wajahnya pucat. “To
Widya tiba-tiba menangis, air matanya jatuh deras, membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.“Aku… aku nggak sanggup lagi, Mbak,” suaranya bergetar, nyaris tersedu. “Aku cuma ingin seseorang mendengarkan ceritaku, tapi sekarang aku malah disalahkan seolah aku perebut suami orang.”Esti menatapnya tajam. “Lalu pesanmu itu? Kata-katamu yang jelas mengatakan kamu masih mencintai Haris? Itu hanya keluhan biasa menurutmu?”Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku… aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi. Sejak bercerai, semua orang menghakimiku. Aku merasa sepi. Aku cuma ingin ada yang peduli.”Dewi mendengus sinis. “Jangan mainkan peran korban di sini, Widya. Kita semua bisa lihat apa niatmu.”Namun Bu Siti tampak mulai bimbang, melihat tangisan itu. Haris sendiri hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak bersuara.“Apa salahku mencoba mencari perhatian? Apa salahku ingin merasa dicintai lagi?” seru Widya di sela tangisnya, membuat suasana semakin emosional
Haris menarik napas panjang, lalu menatap Esti dengan sorot mata penuh ketegasan.“Sayang, dengar aku baik-baik. Aku tidak mencintai Widya. Aku mencintai kamu, hanya kamu. Dan sekarang aku akan buktikan.”Tanpa ragu, Haris mengambil ponselnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Widya, membacakan setiap kata dengan lantang agar Esti mendengar.[Widya, jangan hubungi aku lagi. Apa pun yang kamu rasakan, aku tidak bisa membalasnya. Aku sudah berkeluarga dan akan menjaga rumah tanggaku. Semoga kamu bisa memahami.]Setelah itu, Haris langsung memblokir nomor Widya. “Sudah. Tidak ada lagi pesan darinya yang bisa masuk,” ucapnya mantap, lalu meletakkan ponsel di meja, menjauhkan dari dirinya.Esti terdiam, masih dengan wajah tegang, namun perlahan ekspresinya mulai melembut. “Kamu yakin ini akan selesai begitu saja?”“Tidak tahu,” jawab Haris jujur. “Tapi aku akan hadapi. Yang penting kamu tahu bahwa aku memilihmu, bukan dia.”Esti menarik napas panjang. Meski masih ada rasa curiga, kejujuran H
Haris kembali ke kantornya dengan langkah berat. Senyum Widya, tatapan matanya, dan kata-katanya terus berputar di pikirannya.Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menatap layar komputer, tapi huruf-huruf di laporan tampak kabur."Kenapa aku merasa seperti ini? Aku sudah bahagia dengan Esti… kan?" gumamnya dalam hati.Bayangan masa lalu datang, saat Widya pernah menyatakan perasaannya dengan polos, dan Haris menolaknya demi menjaga hati Esti. Ia yakin keputusan itu benar, tapi mengapa sekarang perasaan itu kembali, justru ketika situasi semakin rumit?Telepon di mejanya berdering, membuatnya tersentak. Ternyata dari Esti. Haris menatap layar ponsel, bimbang beberapa detik sebelum mengangkat.“Mas, jadi pulang cepat, kan? Anak-anak mau kita ajak makan malam di luar,” suara Esti terdengar riang.Haris tersenyum samar, meski hatinya penuh gejolak. “Iya, Sayang. Mas segera selesaikan kerjaan dulu.”Setelah telepon ditutup, Haris bersandar di kursinya. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya se







