Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menerangi kamar dengan sinar hangat. Indah membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Haris sudah tidak ada di tempat tidur. Ia segera bangkit, matanya mencari-cari sosok suaminya. Namun, yang tersisa hanya kasur yang dingin dan sisa keheningan semalam. Dengan perasaan gelisah, Indah bangkit dan keluar dari kamar. Dari dapur, terdengar suara piring beradu pelan. Ia melangkah ke sana dan mendapati Bu Ratna sedang menyiapkan sarapan. “Bu… Mas Haris mana?” tanyanya langsung. Bu Ratna menoleh, lalu tersenyum tipis. “Dia sudah pergi dari tadi pagi.” Jantung Indah berdegup kencang. “Pergi? Pergi ke mana?” Bu Ratna mengangkat bahu. “Dia hanya pamit mau pergi. Mungkin ke rumah sakit.” Indah menggigit bibir, berlari kecil kembali ke kamar. Ia mengambil ponselnya dan membuka layar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Haris. Tangannya mengepal. Semalam Haris menolak dirinya, dan sekarang dia pergi begitu saja tanp
Hari ini, suasana di rumah sakit terasa lebih ringan. Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya Siti diperbolehkan pulang. Di dalam kamar rawatnya, Esti dan Dewi sibuk merapikan barang-barang. Sementara itu, Ais dan Mei duduk di tepi ranjang, memperhatikan nenek mereka dengan senyum lega. “Nenek sudah sehat, kan?” tanya Ais riang. Siti tersenyum lembut, mengusap kepala cucunya. “Alhamdulillah, sudah lebih baik.” Mei yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Nenek istirahat yang banyak di rumah, ya.” Suaranya tenang, tapi sorot matanya masih menyimpan banyak pikiran. Siti menatap cucunya yang lebih dewasa dari usianya itu dan mengangguk penuh kasih. “Iya, Sayang. Nenek akan jaga kesehatan.” Deni masuk ke ruangan, membawa hasil administrasi rumah sakit. “Semua sudah beres. Kita bisa pulang sekarang,” ujarnya. Esti menoleh ke arah pintu, berharap melihat seseorang masuk. Namun, Harapannya pupus. Haris belum juga muncul. Siti tampaknya menyadari itu. Ia menatap Esti sejenak, l
Pagi itu, Esti melangkah masuk ke ruang guru dengan tenang, meskipun di dalam hatinya ia tahu ada badai yang sedang berhembus di sekitarnya. Bisik-bisik halus langsung terdengar begitu ia melewati meja-meja rekan kerjanya. Beberapa guru buru-buru mengalihkan pandangan, seolah tak ingin ketahuan sedang membicarakannya. Tapi Esti bukan orang bodoh. Ia tahu gosip tentang rumah tangganya sudah menyebar. Esti pun berjalan menuju ruangannya. Saat ia duduk di mejanya dan membuka buku, seorang guru, Bu Rina, masuk ke ruangannya dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Bu Esti…” panggilnya dengan suara setengah berbisik. Esti menoleh, menampilkan senyum kecil. “Ya, Bu?” Bu Rina terlihat ragu, tapi akhirnya berkata, “Aku dengar… ada masalah di rumah tanggamu.” Esti tetap tersenyum. “Oh ya? Dari siapa?” Bu Rina tersentak, jelas tidak siap dengan jawaban setenang itu. “Eh… ya, aku cuma dengar dari beberapa teman. Katanya, suamimu sering terlihat dengan perempuan lain.” Esti menu
Indah langsung terdiam. Esti menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan.“Percuma menikah kalau cuma nikah siri.”Indah mengepalkan tangannya. “Apa urusannya sama kamu?” bentaknya, suaranya sedikit meninggi.Esti mengangkat bahu, tetap tenang. “Kalau memang resmi, kenapa kamu nggak berani jawab? Atau jangan-jangan kamu juga nggak yakin sama status kamu sendiri?”Wajah Indah memerah. “Haris mencintaiku! Itu yang terpenting!”Esti mendekat, lalu berbisik tepat di telinga Indah.“Kalau benar Haris mencintaimu, kenapa kamu masih takut aku akan menghancurkan kalian?”Indah terdiam. Ia tidak punya jawaban untuk itu. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Esti benar. Semua ini hanya tinggal menunggu waktu.Indah menegang. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini berubah drastis."Ingat, masa depan kalian ada di tanganku. Sekali klik video pernikahan yang kamu kirim itu, hancur masa depan Haris."Esti tersenyum puas, menikmati ekspresi panik yang mulai muncul di wajah Indah.Indah menelan
Malam semakin larut. Indah masih duduk termenung di sudut kamarnya, tidak bergerak, tidak bicara, tidak melakukan apa pun. Ponselnya tergeletak di sampingnya, kosong tanpa pesan, tanpa panggilan. Haris tidak mencarinya. Di luar kamar, Bu Ratna mondar-mandir dengan wajah penuh kekhawatiran. Sejak pulang tadi siang, Indah tidak mau makan, tidak mau bicara. Ibunya sudah mencoba membujuk, tapi anaknya hanya diam, tatapannya kosong seolah jiwanya telah pergi entah ke mana.Tadi ketika sampai di rumah, ia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tangannya gemetar saat membuka ponsel. Tidak ada pesan dari Haris ataupun panggilan. Air matanya kembali jatuh. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. Dulu, ia selalu merasa di atas merasa menjadi pusat perhatian, merasa diinginkan. Tapi kini, tidak ada yang tersisa.Indah menatap langit-langit, dadanya terasa begitu sesak. Selama ini, ia hanya tahu cara merebut, tapi tidak tahu cara mempertahankan. Dan kini, semuanya telah terlepas dari genggama
Haris menatap Indah dengan tatapan tajam, suasana di kamar terasa semakin tegang. "Seharusnya kamu nggak usah lagi memprovokasi Esti. Esti itu lebih cerdas dari yang kamu kira." Indah mendengus, matanya merah karena menahan emosi. “Oh, Mas membela Esti ya?” suaranya penuh sindiran. “Mas masih mau kembali dengannya?” Haris menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam dirinya. “Indah, aku dan Esti belum resmi bercerai. Ingat itu!” Wajah Indah langsung berubah. Matanya membelalak, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu. “Mas…” suara Indah melemah, ketakutan mulai menyelimuti hatinya. “Kenapa… kenapa Mas ngomong seperti itu? Jadi Mas masih menganggap Esti istri Mas?” Haris menatapnya dalam-dalam. Ia tidak menjawab dengan cepat. Karena ia sendiri tidak tahu jawabannya. Indah mencengkeram lengan Haris, matanya penuh rasa cemas. “Mas, bilang sama aku kalau Mas nggak akan kembali ke Esti.” Haris diam. Dan bagi Indah, diamnya Haris lebih menyakitkan daripada kata-kata apa p
"Gimana keadaan Indah?" tanya Bu Ratna begitu masuk ke ruang rawat, ditemani oleh Pak Burhan yang menyusul di belakang."Sudah membaik, Bu," jawab Haris pelan. Suaranya terdengar letih, seolah ia menyimpan beban yang tak habis-habis.Bu Ratna langsung menghampiri ranjang Indah. Perempuan paruh baya itu duduk di tepi ranjang, lalu mengelus pelan kepala Indah yang sedang tertidur.Tak lama, Indah membuka matanya. Samar-samar ia melihat sosok yang begitu ia kenal."Ibu...?" suaranya lirih, nyaris tercekat.Bu Ratna mengangguk, ekspresinya mencampur antara sayang dan khawatir. “Ibu sudah bilang kamu harus makan. Tapi kamu tetap ngeyel. Kamu nggak kasihan sama bayi dalam kandunganmu?”Indah menunduk, matanya berkaca-kaca, tak sanggup menjawab."Bu, sudahlah," potong Pak Burhan dengan nada tenang tapi tegas. "Indah sudah tahu mana yang benar, mana yang salah. Kalau dia masih memilih yang salah, ya dia juga yang akan merasakan akibatnya."Haris hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya ingi
“Apa Esti sudah mengurus perceraian?” tanya Dewi tiba-tiba, nadanya datar tapi menusuk.Haris menggeleng pelan. “Belum.”“Mungkin Esti malas mengurusnya,” lanjut Dewi, “atau... mungkin juga dia sengaja. Dia ingin menggantung pernikahanmu dengan Indah. Supaya nggak bisa dicatat negara. Biar kamu dan Indah tetap dalam bayang-bayang.”Haris terdiam. Kalimat itu seperti membangunkan kecemasan yang selama ini ia abaikan. Ia tahu Esti bukan tipe perempuan yang melakukan sesuatu secara gegabah. Tapi... menggantung pernikahan? Bisa jadi itu bentuk perlawanan paling sunyi dari istri sahnya.“Lalu bagaimana nasib anak yang dikandung Indah?” tanya Haris lirih, suaranya nyaris putus.Dewi hanya mengangkat bahu. “Itu risiko yang kamu pilih, Haris. Kamu yang bawa Indah ke jalan ini, kamu juga yang harus pikirkan bagaimana dia dan anaknya akan hidup. Jangan harap semuanya bisa beres hanya dengan niat baik.”“Tapi aku ingin mengurus semuanya. Bertanggung jawab.”“Dengan status nggak jelas? Kamu pikir
Hari ini Haris menemani Indah periksa kehamilan, disebuah rumah yang ada di daerah mereka. Haris dan Indah sedang menunggu di ruang tunggu poli kebidanan. Tanpa sengaja, Haris melihat ke arah poli anak. Ia melihat Ais yang tertidur dipangkuan Esti.Haris terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Ais tertidur di pangkuan Esti, putri kecilnya yang sudah berminggu-minggu tidak ia temui. Rambut Ais sedikit berantakan, pipinya merah karena demam, dan tubuh mungilnya terlihat lemas.Ia ingin berdiri, ingin mendekat, ingin menyentuh kepala anaknya, tapi tangan Indah menggenggam erat lengannya, seolah tahu apa yang ada di dalam pikirannya."Aisyah Farhana," suara perawat memanggil. Esti pelan-pelan membangunkan Ais, membisikkan sesuatu di telinganya sambil membelai pipinya. Lalu ia berdiri dengan tubuh letih dan langkah perlahan, ia memapah Ais masuk ke ruang periksa.Dan di momen itulah pandangan mereka bersinggungan.Esti melihat Haris. Matanya menangkap sosok yang dulu ia cinta
“Apa Esti sudah mengurus perceraian?” tanya Dewi tiba-tiba, nadanya datar tapi menusuk.Haris menggeleng pelan. “Belum.”“Mungkin Esti malas mengurusnya,” lanjut Dewi, “atau... mungkin juga dia sengaja. Dia ingin menggantung pernikahanmu dengan Indah. Supaya nggak bisa dicatat negara. Biar kamu dan Indah tetap dalam bayang-bayang.”Haris terdiam. Kalimat itu seperti membangunkan kecemasan yang selama ini ia abaikan. Ia tahu Esti bukan tipe perempuan yang melakukan sesuatu secara gegabah. Tapi... menggantung pernikahan? Bisa jadi itu bentuk perlawanan paling sunyi dari istri sahnya.“Lalu bagaimana nasib anak yang dikandung Indah?” tanya Haris lirih, suaranya nyaris putus.Dewi hanya mengangkat bahu. “Itu risiko yang kamu pilih, Haris. Kamu yang bawa Indah ke jalan ini, kamu juga yang harus pikirkan bagaimana dia dan anaknya akan hidup. Jangan harap semuanya bisa beres hanya dengan niat baik.”“Tapi aku ingin mengurus semuanya. Bertanggung jawab.”“Dengan status nggak jelas? Kamu pikir
"Gimana keadaan Indah?" tanya Bu Ratna begitu masuk ke ruang rawat, ditemani oleh Pak Burhan yang menyusul di belakang."Sudah membaik, Bu," jawab Haris pelan. Suaranya terdengar letih, seolah ia menyimpan beban yang tak habis-habis.Bu Ratna langsung menghampiri ranjang Indah. Perempuan paruh baya itu duduk di tepi ranjang, lalu mengelus pelan kepala Indah yang sedang tertidur.Tak lama, Indah membuka matanya. Samar-samar ia melihat sosok yang begitu ia kenal."Ibu...?" suaranya lirih, nyaris tercekat.Bu Ratna mengangguk, ekspresinya mencampur antara sayang dan khawatir. “Ibu sudah bilang kamu harus makan. Tapi kamu tetap ngeyel. Kamu nggak kasihan sama bayi dalam kandunganmu?”Indah menunduk, matanya berkaca-kaca, tak sanggup menjawab."Bu, sudahlah," potong Pak Burhan dengan nada tenang tapi tegas. "Indah sudah tahu mana yang benar, mana yang salah. Kalau dia masih memilih yang salah, ya dia juga yang akan merasakan akibatnya."Haris hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya ingi
Haris menatap Indah dengan tatapan tajam, suasana di kamar terasa semakin tegang. "Seharusnya kamu nggak usah lagi memprovokasi Esti. Esti itu lebih cerdas dari yang kamu kira." Indah mendengus, matanya merah karena menahan emosi. “Oh, Mas membela Esti ya?” suaranya penuh sindiran. “Mas masih mau kembali dengannya?” Haris menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam dirinya. “Indah, aku dan Esti belum resmi bercerai. Ingat itu!” Wajah Indah langsung berubah. Matanya membelalak, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu. “Mas…” suara Indah melemah, ketakutan mulai menyelimuti hatinya. “Kenapa… kenapa Mas ngomong seperti itu? Jadi Mas masih menganggap Esti istri Mas?” Haris menatapnya dalam-dalam. Ia tidak menjawab dengan cepat. Karena ia sendiri tidak tahu jawabannya. Indah mencengkeram lengan Haris, matanya penuh rasa cemas. “Mas, bilang sama aku kalau Mas nggak akan kembali ke Esti.” Haris diam. Dan bagi Indah, diamnya Haris lebih menyakitkan daripada kata-kata apa p
Malam semakin larut. Indah masih duduk termenung di sudut kamarnya, tidak bergerak, tidak bicara, tidak melakukan apa pun. Ponselnya tergeletak di sampingnya, kosong tanpa pesan, tanpa panggilan. Haris tidak mencarinya. Di luar kamar, Bu Ratna mondar-mandir dengan wajah penuh kekhawatiran. Sejak pulang tadi siang, Indah tidak mau makan, tidak mau bicara. Ibunya sudah mencoba membujuk, tapi anaknya hanya diam, tatapannya kosong seolah jiwanya telah pergi entah ke mana.Tadi ketika sampai di rumah, ia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tangannya gemetar saat membuka ponsel. Tidak ada pesan dari Haris ataupun panggilan. Air matanya kembali jatuh. Air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. Dulu, ia selalu merasa di atas merasa menjadi pusat perhatian, merasa diinginkan. Tapi kini, tidak ada yang tersisa.Indah menatap langit-langit, dadanya terasa begitu sesak. Selama ini, ia hanya tahu cara merebut, tapi tidak tahu cara mempertahankan. Dan kini, semuanya telah terlepas dari genggama
Indah langsung terdiam. Esti menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan.“Percuma menikah kalau cuma nikah siri.”Indah mengepalkan tangannya. “Apa urusannya sama kamu?” bentaknya, suaranya sedikit meninggi.Esti mengangkat bahu, tetap tenang. “Kalau memang resmi, kenapa kamu nggak berani jawab? Atau jangan-jangan kamu juga nggak yakin sama status kamu sendiri?”Wajah Indah memerah. “Haris mencintaiku! Itu yang terpenting!”Esti mendekat, lalu berbisik tepat di telinga Indah.“Kalau benar Haris mencintaimu, kenapa kamu masih takut aku akan menghancurkan kalian?”Indah terdiam. Ia tidak punya jawaban untuk itu. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Esti benar. Semua ini hanya tinggal menunggu waktu.Indah menegang. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini berubah drastis."Ingat, masa depan kalian ada di tanganku. Sekali klik video pernikahan yang kamu kirim itu, hancur masa depan Haris."Esti tersenyum puas, menikmati ekspresi panik yang mulai muncul di wajah Indah.Indah menelan
Pagi itu, Esti melangkah masuk ke ruang guru dengan tenang, meskipun di dalam hatinya ia tahu ada badai yang sedang berhembus di sekitarnya. Bisik-bisik halus langsung terdengar begitu ia melewati meja-meja rekan kerjanya. Beberapa guru buru-buru mengalihkan pandangan, seolah tak ingin ketahuan sedang membicarakannya. Tapi Esti bukan orang bodoh. Ia tahu gosip tentang rumah tangganya sudah menyebar. Esti pun berjalan menuju ruangannya. Saat ia duduk di mejanya dan membuka buku, seorang guru, Bu Rina, masuk ke ruangannya dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Bu Esti…” panggilnya dengan suara setengah berbisik. Esti menoleh, menampilkan senyum kecil. “Ya, Bu?” Bu Rina terlihat ragu, tapi akhirnya berkata, “Aku dengar… ada masalah di rumah tanggamu.” Esti tetap tersenyum. “Oh ya? Dari siapa?” Bu Rina tersentak, jelas tidak siap dengan jawaban setenang itu. “Eh… ya, aku cuma dengar dari beberapa teman. Katanya, suamimu sering terlihat dengan perempuan lain.” Esti menu
Hari ini, suasana di rumah sakit terasa lebih ringan. Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya Siti diperbolehkan pulang. Di dalam kamar rawatnya, Esti dan Dewi sibuk merapikan barang-barang. Sementara itu, Ais dan Mei duduk di tepi ranjang, memperhatikan nenek mereka dengan senyum lega. “Nenek sudah sehat, kan?” tanya Ais riang. Siti tersenyum lembut, mengusap kepala cucunya. “Alhamdulillah, sudah lebih baik.” Mei yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Nenek istirahat yang banyak di rumah, ya.” Suaranya tenang, tapi sorot matanya masih menyimpan banyak pikiran. Siti menatap cucunya yang lebih dewasa dari usianya itu dan mengangguk penuh kasih. “Iya, Sayang. Nenek akan jaga kesehatan.” Deni masuk ke ruangan, membawa hasil administrasi rumah sakit. “Semua sudah beres. Kita bisa pulang sekarang,” ujarnya. Esti menoleh ke arah pintu, berharap melihat seseorang masuk. Namun, Harapannya pupus. Haris belum juga muncul. Siti tampaknya menyadari itu. Ia menatap Esti sejenak, l
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menerangi kamar dengan sinar hangat. Indah membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Haris sudah tidak ada di tempat tidur. Ia segera bangkit, matanya mencari-cari sosok suaminya. Namun, yang tersisa hanya kasur yang dingin dan sisa keheningan semalam. Dengan perasaan gelisah, Indah bangkit dan keluar dari kamar. Dari dapur, terdengar suara piring beradu pelan. Ia melangkah ke sana dan mendapati Bu Ratna sedang menyiapkan sarapan. “Bu… Mas Haris mana?” tanyanya langsung. Bu Ratna menoleh, lalu tersenyum tipis. “Dia sudah pergi dari tadi pagi.” Jantung Indah berdegup kencang. “Pergi? Pergi ke mana?” Bu Ratna mengangkat bahu. “Dia hanya pamit mau pergi. Mungkin ke rumah sakit.” Indah menggigit bibir, berlari kecil kembali ke kamar. Ia mengambil ponselnya dan membuka layar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Haris. Tangannya mengepal. Semalam Haris menolak dirinya, dan sekarang dia pergi begitu saja tanp