Share

Menyambung Kembali

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-31 19:48:59

Di ruang tengah yang sedikit lengang, Haris duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, mencoba menyamakan tinggi mata dengan Mei yang duduk di karpet sambil tetap menatap ponselnya. Ais sudah berlari ke dapur mencari ibunya, menyisakan keheningan canggung antara ayah dan anak sulungnya.

Haris menghela napas pelan. "Mei… kabarmu baik?" suaranya pelan, seperti takut mengejutkan.

Mei tidak langsung menjawab. Hanya ada desisan halus dari gesekan jari di layar ponsel.

"Kamu… udah kelas berapa sekarang?" tanya Haris lagi, mencoba yang lebih ringan. Mei mengangkat bahu tanpa menoleh. "Delapan."

Sebenarnya ia tahu kalau Mei kelas delapan, ia hanya ingin mendengar suara Mei. Satu kata, tapi cukup untuk membuat dada Haris menghangat. Ia tersenyum kecil, seolah baru diberi hadiah langka. Selama ini, Mei bahkan tak mau menatapnya.

"Kelas delapan, ya. Bentar lagi kelas sembilan, terus SMA."

Mei tak menjawab. Tapi kali ini, ia menghentikan sejenak gerakan jarinya di layar. Sebuah isyar
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diana Susanti
betul,,, terkadang sakit hati pengkhianatan itu,,, yg jd korban anak seandainya nggak punya anak,,, sudah usai,,, hati anak tersakiti perpisahan apalagi gara gara perselingkuhan,,, moga esti membuka hati untuk haris karena anak anaknya masih butuh kasih sayang keluarga yg utuh,,, si indah biar ajah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Pembalasan Yang Sempurna

    Langit sudah mulai berwarna jingga ketika Esti melirik jam tangan. Ais masih berceloteh dengan Erlin, sementara Mei duduk tenang di sisi sofa, lebih banyak diam tapi tak lagi terlihat enggan."Kita pulang ya," ujar Esti pelan, cukup untuk didengar anak-anak. Ais langsung memekik kecewa."Yah, padahal Ais masih mau main!"Esti tersenyum sambil mengelus rambut putrinya. "Lain kali kita ke sini lagi."Haris bangkit berdiri. "Aku antar sampai mobil," katanya ragu-ragu, menatap Esti sejenak, lalu beralih pada anak-anak.Mei berdiri duluan. Tak ada pelukan, tapi ia tidak menjauh saat Haris berdiri di dekatnya. Sebuah kemajuan kecil yang dirasakan semua orang di ruangan, meski tak ada yang mengucapkannya.Ais langsung memeluk Haris. "Ayah, lain kali ikut ke mall, ya!""Insya Allah," jawab Haris, suaranya parau. Ia mengelus kepala Ais dengan lembut, seolah menanamkan semua rasa rindunya ke dalam gerakan itu.Di depan rumah, angin sore berembus ringan. Langit perlahan berubah gelap. Haris memb

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menyambung Kembali

    Di ruang tengah yang sedikit lengang, Haris duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, mencoba menyamakan tinggi mata dengan Mei yang duduk di karpet sambil tetap menatap ponselnya. Ais sudah berlari ke dapur mencari ibunya, menyisakan keheningan canggung antara ayah dan anak sulungnya.Haris menghela napas pelan. "Mei… kabarmu baik?" suaranya pelan, seperti takut mengejutkan.Mei tidak langsung menjawab. Hanya ada desisan halus dari gesekan jari di layar ponsel."Kamu… udah kelas berapa sekarang?" tanya Haris lagi, mencoba yang lebih ringan. Mei mengangkat bahu tanpa menoleh. "Delapan."Sebenarnya ia tahu kalau Mei kelas delapan, ia hanya ingin mendengar suara Mei. Satu kata, tapi cukup untuk membuat dada Haris menghangat. Ia tersenyum kecil, seolah baru diberi hadiah langka. Selama ini, Mei bahkan tak mau menatapnya."Kelas delapan, ya. Bentar lagi kelas sembilan, terus SMA."Mei tak menjawab. Tapi kali ini, ia menghentikan sejenak gerakan jarinya di layar. Sebuah isyar

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Arah

    Di dapur yang hangat dan tenang, aroma teh masih menggantung di udara. Erlin sedang membereskan cangkir-cangkir kosong di rak, sementara Esti bersandar di meja, memandangi lantai sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan."Aku masih sering bingung, Erlin. Kadang aku merasa ini semua terlalu rumit untuk diselesaikan."Erlin menoleh, lalu duduk di kursi dekat Esti. "Mbak sudah melakukan banyak hal. Kadang, merelakan ruang itu jauh lebih penting daripada berusaha menyelesaikan semuanya sendiri.”Esti mengangguk pelan. "Ais, dia masih polos. Mudah luluh. Tapi Mei, hatinya keras, dan aku tahu itu karena terlalu lama menahan kecewa.""Mei butuh waktu. Tapi bukan berarti dia tidak ingin didekati. Hanya saja, caranya tidak sama seperti Ais," kata Erlin, menatap wajah Esti yang tampak lelah namun tetap lembut.Esti menarik napas panjang. "Tadi aku lihat Mas Haris senyum-senyum mendengarkan Ais. Tapi matanya kosong. Dia menyesal, Erlin. Tapi entah cukup atau tidak untuk memperbaiki se

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ada Penyesalan

    “Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Bu Siti pelan, nada suaranya seperti ragu untuk menusuk luka yang belum kering.Haris menunduk. Suaranya berat ketika menjawab, “Aku belum tahu, Bu. Aku bingung.”Dewi, yang sejak tadi bersandar dengan tangan terlipat, langsung menyambar, “Berkas perceraianmu dengan Esti, sudah sampai mana?”“Masih di atasan,” Haris menarik napas panjang. “Prosesnya rumit. Ribet sekali.”Dewi mendengus, lalu bangkit dari duduknya. “Kenapa nggak kamu batalkan saja perceraian itu? Kamu pikir kamu bisa terus hidup kayak begini? Apa kamu rela menghidupi anaknya Indah? Anak yang bahkan bukan dari darahmu sendiri?”Haris terdiam. Kepalanya semakin tertunduk.“Ingat, Haris,” suara Dewi meninggi, penuh emosi. “Indah sudah membohongi kamu. Di saat kamu cinta mati sama dia, dia tidur dengan laki-laki lain. Apa kamu nggak sadar? Dia bukan perempuan baik. Dia perempuan murahan!”Kalimat itu menggantung di udara, berat dan pahit. Bu Siti memejamkan mata sejenak, sementa

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Nasib Apes

    Bu Ratna berdiri dengan tangan terkepal di dada, wajahnya masih merah karena emosi yang belum mereda. Ia memandang ke jalan tempat mobil Haris baru saja menghilang. “Kita sudah memberi dia kesempatan. Tapi dia malah pergi begitu saja, seolah semua ini bukan urusannya.” Bu Ratna berkata dengan penuh kekecewaan. Kemudian ia duduk duduk di bangku kayu dekat pintu, wajahnya sayu dan mata berkaca-kaca. Ia mengusap pelan pipinya yang basah oleh air mata. “Dia juga manusia, penuh kebimbangan. Dia sudah berjuang dengan caranya sendiri.” Pak Burhan berkata dengan tenang, walaupun ia kecewa karena Haris pergi. Bu Ratna menegakkan badan, suaranya naik sedikit,“Berjuang? Apa yang sudah dia perjuangkan? Meninggalkan istrinya menikahi Indah, lalu akhirnya meninggalkan semua begitu saja saat masalah datang? Itu bukan perjuangan, itu lari!” Pak Burhan menghela napas panjang.“Kita ini orang tua. Kita harus bersabar dan menguatkan mereka, bukan malah memecah belah. Indah juga butuh dukungan, buka

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Penyesalan

    Pintu rumah tertutup kembali dengan suara klik yang sunyi. Mesin mobil Haris menghilang di kejauhan. Di ruang tamu, Pak Burhan berdiri membelakangi Indah dan Bu Ratna, wajahnya menegang, kedua tangannya mengepal.Pak Burhan menahan amarah.“Jadi benar semua yang dikatakan Haris? Kamu hamil anak orang lain, dan diam saja? Bahkan setelah dinikahi?!”Indah menunduk dan menangis.“Aku yakin kalau itu anaknya Mas Haris. Aku takut, Ayah, aku takut kehilangan semuanya.”Pak Burhan membalik badan dengan tatapan tajam.“Kamu takut?! Kamu pikir Haris tidak takut? Dia ninggalin istrinya demi kamu! Dan kamu kamu balas dengan kebohongan?”Bu Ratna berusaha menenangkan, berdiri di samping Rina Indah.“Sudahlah, Yah… Jangan keras-keras. Indah pasti punya alasan. Dia itu juga korban.”Pak Burhan mengeras, suaranya naik.“Korban?! Korban dari siapa? Dari dirinya sendiri?! Dia yang memulai semuanya, bohong dari awal, dan sekarang... Haris pergi! Dia mungkin nggak akan pernah balik lagi!”“Aku nggak per

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status