Esti menatap cermin di kamarnya. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan, bukan pula karena anak-anak. Ini jenis lelah yang lain, yang datang dari dalam.Ia menyandarkan kedua telapak tangannya di meja rias. Matanya menatap refleksi diri yang terasa asing."Kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Bukankah ini yang aku inginkan? Mas Haris menjauh dariku dan aku bisa melanjutkan hidupku?"Ia menggeleng pelan, seperti menolak jawabannya sendiri.Beberapa minggu lalu, ia merasa kuat saat berkata bahwa Haris bebas mencari kebahagiaan lain. Ia merasa sudah dewasa, sudah bijak. Tapi kini, saat benar-benar merasakan sepinya, ia mulai goyah.Ia pikir ia akan lega, tapi yang datang justru kekosongan.Tak ada lagi suara Haris yang bertanya soal hari-harinya. Tak ada candaan garing yang dulu ia anggap menyebalkan, tapi kini justru dirindukan. Tak ada Haris yang diam-diam meninggalkan roti kesukaannya di meja dapur saat mengantar anak-ana
Awalnya, Esti merasa lega.Sejak ia meminta Haris untuk tak menunggunya, semuanya menjadi tenang. Tidak ada lagi pesan setiap pagi. Tidak ada panggilan video singkat untuk sekadar menanyakan kabar. Haris hanya datang ketika diperlukan, membawa kebutuhan anak-anak, atau mengantar mereka ke sekolah saat Esti lembur.Semua sesuai keinginannya. Namun, semakin hari, ketenangan itu terasa berbeda. Bukan damai, tapi sepi. Bukan lapang, tapi kosong.Pagi itu, Esti berdiri di dapur, membuat sarapan sambil sesekali melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan “selamat pagi” seperti biasanya. Ia berusaha mengabaikan, tapi tangannya justru membuka obrolan terakhir mereka. Masih ada di sana, namun tidak ada pesan baru sejak tiga hari lalu.Di kantor, ia tak sengaja mendengar rekan kerja bercerita tentang suaminya yang cerewet soal makan siang. Esti tersenyum kecut. Dulu, Haris juga begitu. Menyebalkan, tapi hangat.Sepulang kerja, Esti mendapati Ais tidur di sofa, dengan bantal bergamb
"Mungkin ucapanku ini terdengar basi, dan sudah terlalu sering kau dengar. Tapi aku akan terus mengucapkannya, Esti. Aku benar-benar minta maaf, dari hatiku yang paling dalam," ucap Haris lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara deru hujan yang membasahi jendela rumah mereka yang kini ditempati oleh Esti dan anak-anaknya. Esti menatap keluar, pandangannya kosong, seolah mencari jawaban pada langit kelabu di luar sana. Tak ada kilatan emosi di matanya. Ia seperti batu, dingin, diam, dan tak tergoyahkan.Di antara mereka terbentang jarak yang tak kasat mata. Mereka adalah suami istri, tapi hanya di atas kertas. Rumah tak lagi mereka bagi. Kehangatan pun telah lama menguap. Kesalahan Haris di masa lalu telah membuat Esti mati rasa. Apa pun itu, perselingkuhan, kebohongan, atau pengkhianatan, ia tak lagi ingin menyebutkan namanya.Esti hanya tetap berdiri disisinya karena dua alasan, Mei dan Ais. Kedua malaikat kecil yang masih membutuhkan sosok ayah, meski rapuh."Mas nggak bosan ya,
Sejak terdengarnya undangan resmi dari brand Lúmina, nama Indah mulai sering dibicarakan, tak hanya di dunia maya, tapi juga di gang-gang sempit perumahan tempat ia tinggal.Sayangnya, tidak semua kabar itu bernada baik.“Lho, sekarang si Indah udah kaya ya? Lihat tuh tiap hari kiriman paket terus.”“Ah, paling juga settingan. Biasanya orang yang pernah ‘main belakang’ gitu emang pinter cari simpati.”“Dulu manggung, sekarang jual skincare. Tapi kok bisa viral? Pasti ada yang dukung di belakang.”Indah mendengarnya dari anak-anak kecil yang menirukan gaya bicara ibunya. Dari tukang sayur yang celingukan saat menyebut namanya. Dari Bu Yuni tetangga sebelah, yang pura-pura menyapa lalu menyelipkan sindiran.“Wah, Mbak Indah sekarang udah seleb ya. Tapi hati-hati lho, dunia medsos itu nggak selalu bersih."Indah tersenyum menahan rasa.Malamnya, ia duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna.“Bu, aku capek dengar omongan orang. Kenapa ya, orang lebih senang lihat kita jatuh daripada bangkit?”
Bu Ratna, yang awalnya hanya mengamati diam-diam, kini mulai ikut membantu. Ia sering memegangi ponsel saat Indah butuh angle dari atas. Bahkan sesekali memberi ide caption, atau komentar seperti, "Tadi suara kamu agak serak, ulangi ya."Indah tahu, perjuangannya masih panjang. Tapi satu hal pasti, ia sudah bukan lagi perempuan yang bergantung pada panggung atau pada lelaki yang menjanjikan dunia.Ia kini seorang ibu, perempuan tangguh, dan affiliate marketer yang membangun masa depan dari suara dan niat baiknya sendiri.Sore itu, Indah baru saja selesai melakukan live singkat mempromosikan produk serum baru yang sedang diskon. Ia mematikan kamera, lalu menyimpan ponsel di atas meja. Tubuhnya lelah, tapi hatinya puas. Sudah lima produk laku hanya dari live singkat itu.Ia berjalan ke dapur, menuangkan teh untuk ibunya yang sedang menjahit. Fania tertawa-tawa di teras bersama Haikal yang bermain mobil-mobilan. Heningnya rumah itu berubah menjadi rumah yang hidup. Rumah yang perlahan te
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Indah duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Haikal dan Fania masih tertidur, Bu Ratna sibuk menyapu halaman, dan suasana rumah cukup tenang untuknya mencoba sesuatu yang sejak tadi malam terus ia pikirkan.Ia membuka aplikasi catatan yang semalam ditulisnya. Tangan kanannya berkeringat, dan jantungnya berdetak tak karuan."Mulai dari suara dulu. Jangan takut."Ia membaca ulang kalimat itu, seperti mantra yang menenangkan.Dengan perlahan, ia menyiapkan botol skincare yang tadi malam ia lihat banyak dijual orang-orang di media sosial.Kebetulan ia memakai produk itu. Lalu, ia letakkan botol itu di atas meja kayu yang ia bersihkan khusus pagi ini. Cahaya matahari yang masuk dari jendela membuat produk itu terlihat bersih dan segar.Ia mengatur ponselnya di atas tumpukan buku, mencoba mencari sudut terbaik. Lalu, menekan tombol rekam suara."Halo, Kak... Aku mau ngenalin produk yang bikin kulit glowing dan lembap seharian..."Suara it