Home / Rumah Tangga / Runtuhnya Sebuah Kesetiaan / Pembalasan Yang Sempurna

Share

Pembalasan Yang Sempurna

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-06-01 19:42:40

Langit sudah mulai berwarna jingga ketika Esti melirik jam tangan. Ais masih berceloteh dengan Erlin, sementara Mei duduk tenang di sisi sofa, lebih banyak diam tapi tak lagi terlihat enggan.

"Kita pulang ya," ujar Esti pelan, cukup untuk didengar anak-anak. Ais langsung memekik kecewa.

"Yah, padahal Ais masih mau main!"

Esti tersenyum sambil mengelus rambut putrinya. "Lain kali kita ke sini lagi."

Haris bangkit berdiri. "Aku antar sampai mobil," katanya ragu-ragu, menatap Esti sejenak, lalu beralih pada anak-anak.

Mei berdiri duluan. Tak ada pelukan, tapi ia tidak menjauh saat Haris berdiri di dekatnya. Sebuah kemajuan kecil yang dirasakan semua orang di ruangan, meski tak ada yang mengucapkannya.

Ais langsung memeluk Haris. "Ayah, lain kali ikut ke mall, ya!"

"Insya Allah," jawab Haris, suaranya parau. Ia mengelus kepala Ais dengan lembut, seolah menanamkan semua rasa rindunya ke dalam gerakan itu.

Di depan rumah, angin sore berembus ringan. Langit perlahan berubah gelap. Haris memb
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Diana Susanti
ya pasti,,, perasaan sakit hati yg kau rasa kan pd Harris pasti ada,,, dan untuk apa memikirkan dia,,,, aku ogah esti biar kapok situ,,,,, pelakor dimana mana seperti itu memalukan astaghfirullah
goodnovel comment avatar
Emi Susanti
kemarin aku jijik sama.indah tapi sama.kamu aku kok LBH jijik lagi ya...kalo indah mah maklum,janda gatal mmng nargetin laki mapa molo bedain dong kamu dgn indah..
goodnovel comment avatar
Emi Susanti
Hesti:" Lucu ya harus nya aku benci, hrsnya aku marah tapi knp lihat Haris di bohongin indah aku kasihan ikut sakit hati?"...sadar wooii perempuan macam apa di Indah ini, berulang kali di hianati bahkan haris.sdh.berulanf kali zinah dgn mcm2 wanita msh ngemis aj ih...culamitan bgt sih kamu Hesti..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Takut Kecewa Lagi

    Pagi itu langit cerah, embun masih menempel di dedaunan. Esti berdiri di dapur sambil merapikan roti isi dan potongan buah ke dalam tiga kotak bekal. Sesekali ia menoleh ke arah jam dinding, memastikan semuanya tidak terlambat."Ais, jangan lupa tempat minummu!" teriaknya ke ruang tengah."Iya, Bu!" sahut Ais riang.Mei yang sudah berpakaian rapi duduk di kursi, mengenakan headset, tampak cuek namun sesekali melirik bekalnya dengan cepat. Ia tidak berkata apa-apa, tapi diam-diam memperhatikan sang Ibu yang tak pernah lalai menyiapkan semuanya.Tiba-tiba, suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Deru mesinnya dikenali Ais seketika. Ia langsung melesat ke pintu depan, membuka lebar-lebar dan berteriak penuh semangat."Ayah?! Mau mengantar Ais ke sekolah ya?"Di depan pagar, Haris berdiri sambil tersenyum, mengenakan pakaian kerja dan sepatu yang masih bersih. Di tangannya tergenggam kunci mobil."Iya, mau antar Ais dan Mbak Mei juga."Mei yang mendengar dari ruang tengah langsung

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Pembalasan Yang Sempurna

    Langit sudah mulai berwarna jingga ketika Esti melirik jam tangan. Ais masih berceloteh dengan Erlin, sementara Mei duduk tenang di sisi sofa, lebih banyak diam tapi tak lagi terlihat enggan."Kita pulang ya," ujar Esti pelan, cukup untuk didengar anak-anak. Ais langsung memekik kecewa."Yah, padahal Ais masih mau main!"Esti tersenyum sambil mengelus rambut putrinya. "Lain kali kita ke sini lagi."Haris bangkit berdiri. "Aku antar sampai mobil," katanya ragu-ragu, menatap Esti sejenak, lalu beralih pada anak-anak.Mei berdiri duluan. Tak ada pelukan, tapi ia tidak menjauh saat Haris berdiri di dekatnya. Sebuah kemajuan kecil yang dirasakan semua orang di ruangan, meski tak ada yang mengucapkannya.Ais langsung memeluk Haris. "Ayah, lain kali ikut ke mall, ya!""Insya Allah," jawab Haris, suaranya parau. Ia mengelus kepala Ais dengan lembut, seolah menanamkan semua rasa rindunya ke dalam gerakan itu.Di depan rumah, angin sore berembus ringan. Langit perlahan berubah gelap. Haris memb

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menyambung Kembali

    Di ruang tengah yang sedikit lengang, Haris duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, mencoba menyamakan tinggi mata dengan Mei yang duduk di karpet sambil tetap menatap ponselnya. Ais sudah berlari ke dapur mencari ibunya, menyisakan keheningan canggung antara ayah dan anak sulungnya.Haris menghela napas pelan. "Mei… kabarmu baik?" suaranya pelan, seperti takut mengejutkan.Mei tidak langsung menjawab. Hanya ada desisan halus dari gesekan jari di layar ponsel."Kamu… udah kelas berapa sekarang?" tanya Haris lagi, mencoba yang lebih ringan. Mei mengangkat bahu tanpa menoleh. "Delapan."Sebenarnya ia tahu kalau Mei kelas delapan, ia hanya ingin mendengar suara Mei. Satu kata, tapi cukup untuk membuat dada Haris menghangat. Ia tersenyum kecil, seolah baru diberi hadiah langka. Selama ini, Mei bahkan tak mau menatapnya."Kelas delapan, ya. Bentar lagi kelas sembilan, terus SMA."Mei tak menjawab. Tapi kali ini, ia menghentikan sejenak gerakan jarinya di layar. Sebuah isyar

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Arah

    Di dapur yang hangat dan tenang, aroma teh masih menggantung di udara. Erlin sedang membereskan cangkir-cangkir kosong di rak, sementara Esti bersandar di meja, memandangi lantai sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan."Aku masih sering bingung, Erlin. Kadang aku merasa ini semua terlalu rumit untuk diselesaikan."Erlin menoleh, lalu duduk di kursi dekat Esti. "Mbak sudah melakukan banyak hal. Kadang, merelakan ruang itu jauh lebih penting daripada berusaha menyelesaikan semuanya sendiri.”Esti mengangguk pelan. "Ais, dia masih polos. Mudah luluh. Tapi Mei, hatinya keras, dan aku tahu itu karena terlalu lama menahan kecewa.""Mei butuh waktu. Tapi bukan berarti dia tidak ingin didekati. Hanya saja, caranya tidak sama seperti Ais," kata Erlin, menatap wajah Esti yang tampak lelah namun tetap lembut.Esti menarik napas panjang. "Tadi aku lihat Mas Haris senyum-senyum mendengarkan Ais. Tapi matanya kosong. Dia menyesal, Erlin. Tapi entah cukup atau tidak untuk memperbaiki se

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ada Penyesalan

    “Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Bu Siti pelan, nada suaranya seperti ragu untuk menusuk luka yang belum kering.Haris menunduk. Suaranya berat ketika menjawab, “Aku belum tahu, Bu. Aku bingung.”Dewi, yang sejak tadi bersandar dengan tangan terlipat, langsung menyambar, “Berkas perceraianmu dengan Esti, sudah sampai mana?”“Masih di atasan,” Haris menarik napas panjang. “Prosesnya rumit. Ribet sekali.”Dewi mendengus, lalu bangkit dari duduknya. “Kenapa nggak kamu batalkan saja perceraian itu? Kamu pikir kamu bisa terus hidup kayak begini? Apa kamu rela menghidupi anaknya Indah? Anak yang bahkan bukan dari darahmu sendiri?”Haris terdiam. Kepalanya semakin tertunduk.“Ingat, Haris,” suara Dewi meninggi, penuh emosi. “Indah sudah membohongi kamu. Di saat kamu cinta mati sama dia, dia tidur dengan laki-laki lain. Apa kamu nggak sadar? Dia bukan perempuan baik. Dia perempuan murahan!”Kalimat itu menggantung di udara, berat dan pahit. Bu Siti memejamkan mata sejenak, sementa

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Nasib Apes

    Bu Ratna berdiri dengan tangan terkepal di dada, wajahnya masih merah karena emosi yang belum mereda. Ia memandang ke jalan tempat mobil Haris baru saja menghilang. “Kita sudah memberi dia kesempatan. Tapi dia malah pergi begitu saja, seolah semua ini bukan urusannya.” Bu Ratna berkata dengan penuh kekecewaan. Kemudian ia duduk duduk di bangku kayu dekat pintu, wajahnya sayu dan mata berkaca-kaca. Ia mengusap pelan pipinya yang basah oleh air mata. “Dia juga manusia, penuh kebimbangan. Dia sudah berjuang dengan caranya sendiri.” Pak Burhan berkata dengan tenang, walaupun ia kecewa karena Haris pergi. Bu Ratna menegakkan badan, suaranya naik sedikit,“Berjuang? Apa yang sudah dia perjuangkan? Meninggalkan istrinya menikahi Indah, lalu akhirnya meninggalkan semua begitu saja saat masalah datang? Itu bukan perjuangan, itu lari!” Pak Burhan menghela napas panjang.“Kita ini orang tua. Kita harus bersabar dan menguatkan mereka, bukan malah memecah belah. Indah juga butuh dukungan, buka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status