Pagi itu, langit mendung menggantung rendah. Esti sedang menyiapkan bekal untuk Mei dan Ais. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang. Ia belum juga tidur dengan nyenyak sejak kemarin malam, sejak pertanyaan Mei mengendap dalam pikirannya."Ibu juga masih sayang?"Pertanyaan itu terus menggema, bahkan saat Esti mencoba mengabaikannya dengan kesibukan.Suara bel rumah membuatnya tersentak."Ais, tolong lihat siapa di luar!" teriak Esti dari dapur.Tak lama kemudian, Ais berlari ke dalam dengan wajah berseri, “Bu! Ayah datang!”Jantung Esti langsung berdetak tak karuan. Ia buru-buru merapikan rambutnya dengan tangan, membersihkan tangan dari minyak, lalu berjalan ke ruang depan.Dan di sana, Haris berdiri mengenakan jaket hitam, rambutnya sedikit berantakan karena angin pagi. Wajahnya terlihat lebih kurus, tapi senyum kecil masih bertahan di sudut bibirnya. Senyum yang tidak Esti tahu harus ia balas atau tidak.“Aku jemput anak-anak ya?” kata Haris singkat.Esti mengangguk pelan, “Iya.
Air mengalir deras dari shower, membasahi seluruh tubuh Esti. Tapi dinginnya air tak sebanding dengan dingin yang merayap di dalam dadanya.Tangannya menutup wajah, menyembunyikan tangis yang tak bisa lagi ia bendung. Ia berdiri terpaku di bawah guyuran itu, tubuhnya berguncang oleh isakan yang semakin lama semakin tak terkendali.“Inikah alasannya…?” suaranya serak, bergetar, nyaris tenggelam oleh gemuruh air. “Kenapa kamu sekarang menjauh, Mas? Kenapa kamu bisa setenang itu waktu aku minta kamu pergi?”Air matanya bercampur dengan air shower, mengalir tanpa henti.“Kamu sudah punya yang baru, ya?” tanyanya pada dinding keramik, pada ruang hampa, pada sosok yang tak ada di sana. “Secepat itu kamu dapat pengganti? Apa... segitu mudahnya aku untuk kamu lupakan?”Ia menunduk, lututnya mulai lemas. Ia merosot pelan ke lantai kamar mandi, duduk dengan punggung bersandar di dinding, tubuhnya basah kuyup. Tapi yang lebih basah adalah hatinya, penuh luka yang kembali terbuka.“Aku baru saja
Esti menatap cermin di kamarnya. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan, bukan pula karena anak-anak. Ini jenis lelah yang lain, yang datang dari dalam.Ia menyandarkan kedua telapak tangannya di meja rias. Matanya menatap refleksi diri yang terasa asing."Kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Bukankah ini yang aku inginkan? Mas Haris menjauh dariku dan aku bisa melanjutkan hidupku?"Ia menggeleng pelan, seperti menolak jawabannya sendiri.Beberapa minggu lalu, ia merasa kuat saat berkata bahwa Haris bebas mencari kebahagiaan lain. Ia merasa sudah dewasa, sudah bijak. Tapi kini, saat benar-benar merasakan sepinya, ia mulai goyah.Ia pikir ia akan lega, tapi yang datang justru kekosongan.Tak ada lagi suara Haris yang bertanya soal hari-harinya. Tak ada candaan garing yang dulu ia anggap menyebalkan, tapi kini justru dirindukan. Tak ada Haris yang diam-diam meninggalkan roti kesukaannya di meja dapur saat mengantar anak-ana
Awalnya, Esti merasa lega.Sejak ia meminta Haris untuk tak menunggunya, semuanya menjadi tenang. Tidak ada lagi pesan setiap pagi. Tidak ada panggilan video singkat untuk sekadar menanyakan kabar. Haris hanya datang ketika diperlukan, membawa kebutuhan anak-anak, atau mengantar mereka ke sekolah saat Esti lembur.Semua sesuai keinginannya. Namun, semakin hari, ketenangan itu terasa berbeda. Bukan damai, tapi sepi. Bukan lapang, tapi kosong.Pagi itu, Esti berdiri di dapur, membuat sarapan sambil sesekali melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan “selamat pagi” seperti biasanya. Ia berusaha mengabaikan, tapi tangannya justru membuka obrolan terakhir mereka. Masih ada di sana, namun tidak ada pesan baru sejak tiga hari lalu.Di kantor, ia tak sengaja mendengar rekan kerja bercerita tentang suaminya yang cerewet soal makan siang. Esti tersenyum kecut. Dulu, Haris juga begitu. Menyebalkan, tapi hangat.Sepulang kerja, Esti mendapati Ais tidur di sofa, dengan bantal bergamb
"Mungkin ucapanku ini terdengar basi, dan sudah terlalu sering kau dengar. Tapi aku akan terus mengucapkannya, Esti. Aku benar-benar minta maaf, dari hatiku yang paling dalam," ucap Haris lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara deru hujan yang membasahi jendela rumah mereka yang kini ditempati oleh Esti dan anak-anaknya. Esti menatap keluar, pandangannya kosong, seolah mencari jawaban pada langit kelabu di luar sana. Tak ada kilatan emosi di matanya. Ia seperti batu, dingin, diam, dan tak tergoyahkan.Di antara mereka terbentang jarak yang tak kasat mata. Mereka adalah suami istri, tapi hanya di atas kertas. Rumah tak lagi mereka bagi. Kehangatan pun telah lama menguap. Kesalahan Haris di masa lalu telah membuat Esti mati rasa. Apa pun itu, perselingkuhan, kebohongan, atau pengkhianatan, ia tak lagi ingin menyebutkan namanya.Esti hanya tetap berdiri disisinya karena dua alasan, Mei dan Ais. Kedua malaikat kecil yang masih membutuhkan sosok ayah, meski rapuh."Mas nggak bosan ya,
Sejak terdengarnya undangan resmi dari brand Lúmina, nama Indah mulai sering dibicarakan, tak hanya di dunia maya, tapi juga di gang-gang sempit perumahan tempat ia tinggal.Sayangnya, tidak semua kabar itu bernada baik.“Lho, sekarang si Indah udah kaya ya? Lihat tuh tiap hari kiriman paket terus.”“Ah, paling juga settingan. Biasanya orang yang pernah ‘main belakang’ gitu emang pinter cari simpati.”“Dulu manggung, sekarang jual skincare. Tapi kok bisa viral? Pasti ada yang dukung di belakang.”Indah mendengarnya dari anak-anak kecil yang menirukan gaya bicara ibunya. Dari tukang sayur yang celingukan saat menyebut namanya. Dari Bu Yuni tetangga sebelah, yang pura-pura menyapa lalu menyelipkan sindiran.“Wah, Mbak Indah sekarang udah seleb ya. Tapi hati-hati lho, dunia medsos itu nggak selalu bersih."Indah tersenyum menahan rasa.Malamnya, ia duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna.“Bu, aku capek dengar omongan orang. Kenapa ya, orang lebih senang lihat kita jatuh daripada bangkit?”