“Apa yang kamu bicarakan dengan Indah?” tanya Haris ketika mereka sedang duduk santai di ruang keluarga menemani Ais yang asyik bermain.
Esti yang dari tadi matanya tertuju ke layar televisi langsung menoleh ke arah Haris dengan penuh tanda tanya. “Kok Mas tahu kalau aku ngobrol dengan Indah? Oh, Indah mengadu sama kamu ya? Ngomong apa aja? Sesuai dengan yang aku bicarakan dengannya atau ada yang dikurangi dan ditambahi?’ Esti langsung memberondong Haris dengan beberapa pertanyaan yang membuat Haris kaget dan gugup. “E-enggak, Indah nggak ngomong apa-apa sama aku,” jawab Haris dengan gugup. “Aduh, kok aku nggak kepikiran kalau Esti bakal mencecarku dengan banyak pertanyaan,” kata Haris dalam hati menyadari kebodohannya. “Jujur saja, Mas. Jangan bohong! Indah mengadu padamu kan? Terus kamu lebih percaya sama aku atau Indah?” “Sudahlah, nggak usah dibahas.” Haris berusaha mengalihkan pembicaraan. “Enggak bisa, Mas yang memulainya. Harus diselesaikan, apa yang Indah bicarakan? Kapan Indah mengadu padamu?” Haris hanya menghela nafas panjang, saat ini maju kena mundur pun kena. Ia terjebak dengan ucapannya sendiri. “Indah hanya bilang kalau ia ngobrol-ngobrol denganmu saja.” Haris berkata dengan hati-hati supaya tidak menyinggung Esti. “Bohong, pasti lebih dari itu yang ia katakan. Mas, jangan terlalu dekat dengan Indah, sewajarnya saja. Sebelum semua terjadi, lebih baik menghindar. Jangan bermain api!” “Kamu menuduhku?” “Enggak, hanya mengingatkan saja.” Lalu Esti mengirim sebuah rekaman percakapan yang ia lakukan dengan Indah. “Buka ponselmu, itu rekaman percakapan yang sebenarnya. Kalau Indah bercerita lain padamu berarti ia berusaha mencari perhatian dan simpati darimu.” Esti meminta Haris untuk membuka ponselnya. Haris langsung membuka ponselnya dan mendengarkan percakapan antara Esti dan Indah. Benar kata Esti kalau apa yang dikatakan Indah pada Haris tidak sesuai dengan apa yang ia dengar dari rekaman itu. “Aku hanya mengingatkan saja, tidak ada maksud lain. Lagipula semua itu bermula dari Mei yang risih melihat Indah berpakaian ketat. Mas tahu kan bagaimana kritisnya Mei? Daripada Mei yang langsung nyeletuk di depan Indah, lebih baik aku yang bicara baik-baik. Mas saja tidak suka ketika Mei atau Ais pakai pakaian yang sangat ketat dan terbuka, iya kan?” Haris hanya terdiam, tidak berani berkomentar. “Dari awal aku tidak setuju ketika Mas mulai membeli peralatan orgen tunggal.” “Tapi kamu mau kan menerima uang hasilnya?” sindir Haris. “Ya tentu saja, karena gaji Mas sudah dipotong bank untuk membeli perlengkapan itu. Uang bulanan dari Mas jadi berkurang.” “Kamu kan bisa pakai uang gajimu.” “Terus kita nggak punya tabungan, gitu ya? Kalau ada keperluan mendadak atau biaya yang lain pakai uang dari mana? Apalagi tahun ini Mei sudah masuk SMA, pengeluaran menjadi meningkat. Tugas mencari nafkah itu tugasnya suami, istri hanya membantu saja. Kita kan sudah sepakat dari awal. Apa Mas nggak ikhlas ngasih uang hasil Orgen tunggal?” Esti mulai kesal. “Tentu saja aku ikhlas, semua aku lakukan untuk keluarga kita.” “Jual saja orgen tunggal itu. Cari usaha lain yang lebih berkah. Kita selalu saja meributkannya,” keluh Esti. “Bukan aku yang mengajak ribut, tapi kamu yang selalu berlebihan tentang orgen tunggal.” “Berlebihan katamu, Mas? Aku hanya realistis menganalisa apa yang mungkin bisa terjadi. Tentu saja aku melihat fakta dan kenyataan yang terjadi pada beberapa pemilik orgen tunggal. Rata-rata mereka selalu ribut dengan pasangannya. Coba kayak musik Silampari Voice itu, mereka menyanyikan lagu-lagu yang tidak banyak bergoyangnya. Penyanyinya pun tampil sopan.” “Ya jelas berbeda. Penikmat hiburan disini kan kalangan menengah ke bawah, jadi banyak menyanyikan lagu-lagu dangdut dan remix yang sedang naik daun. Kalau Silampari voice itu untuk kalangan menengah ke atas, bayarannya pun mahal,” kata Haris membela diri. *** “Sepertinya orgen tunggal punyamu sangat maju ya? Aku lihat manggung di beberapa tempat minggu ini. Soalnya beberapa kali aku kondangan, hiburannya orgen tunggalmu,” kata Dewi kakak pertama Haris. Sore ini Haris mampir ke rumah Ibunya, kebetulan kakak pertamanya juga datang berkunjung. Siti, ibunya Haris tinggal bersama dengan Erlin, sang anak bungsu. “Alhamdulillah, Mbak,” sahut Haris sambil menyeruput kopi yang dibuat oleh Erlin. “Tapi aku nggak suka dengan penampilan biduannya.” Dewi berkomentar lagi. “Kenapa, Mbak? Padahal suara Indah itu bagus lho.” Erlin ikut nyeletuk. “Pakaiannya terlalu seksi, membuat risih.” “Iya, Mbak. Aku pernah melihat penampilan Indah yang menurutku terlalu vulgar. Apa Mas Haris nggak pernah mengingatkan Indah?” Lagi-lagi Erlin mengomentari ucapan Dewi. “Apa yang kemarin nyanyi di rumah Pak Hendri?’ tanya Siti, sang ibu yang dari tadi mendengarkan pembicaraan anak-anaknya. “Betul, Bu. Indah memakai baju ketat dengan belahan dada yang terlalu rendah. Kelihatannya banyak yang menyawernya,” sahut Erlin. “Coba kamu bicara baik-baik dengan Indah. Kalau kamu merasa nggak enak, minta Esti untuk berbicara, biasanya kalau sesama perempuan kan lebih enak.” Siti memberi saran pada Haris. “Kalau latihan di rumah, pakaiannya bagaimana? Lebih tertutup atau semakin terbuka?” lanjut Siti. “Kayaknya sama saja, Bu. Soalnya aku pernah melihat dia latihan pakai celana sangat pendek, memperlihatkan pahanya yang mulus.” Erlin berbicara lagi. “Hati-hati lho, jangan sampai penampilan Indah membuat kamu dan Esti ribut. Ibu yakin kalau Esti tidak suka melihat cara berpakaian Indah. Kenapa nggak kamu jual saja orgen tunggal itu, cari usaha lain yang lebih berkah.” Siti menasehati Haris. “Itu kan penghasilan tambahan untuk Haris, apalagi bermain musik itu kan hobinya Haris. Esti pasti senang karena ada tambahan uang dari Haris. Gaji, TPP dan dari orgen tunggal, apa nggak semakin banyak uang yang dipegang Esti.” Dewi tampak membela Haris,” Benar kan Haris kalau semua uang kamu berikan pada Esti?” “Gaji sudah dipotong bank, Mbak.” Haris menjawab pelan. “Kamu pinjam bank? Untuk apa? Kalian berdua PNS, ada TPP, Esti dapat sertifikasi, uang dari orgen tunggal, apakah masih kurang?” cecar Dewi. Haris menghela nafas kemudian berbicara,”Untuk membeli peralatan orgen tunggal dan sound sistemnya. Butuh modal besar untuk melengkapi alat-alat musiknya.” Dewi dan Siti hanya geleng-geleng kepala mendengarkan penjelasan dari Haris. “Haris, kamu sudah pernah melakukan kesalahan fatal yang hampir membuat rumah tanggamu berantakan. Ibu harap kamu jangan melakukan kesalahan yang sama. Karena semua itu bisa terjadi lagi, apalagi kamu punya musik yang biduannya kayak perempuan nggak benar.” “Indah nggak seperti itu, Ibu jangan menuduh sembarangan.” Haris berkata dengan spontan, membuat semua yang ada di ruangan itu tampak kaget. Semua menatap Haris dengan penuh tanda tanya. “Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?” Haris tidak menyadari kalau apa yang tadi ia ucapkan menimbulkan pertanyaan baru.Haris dan Esti menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan putih seperti kapas yang bergulung-gulung di bawah mereka. Suara mesin pesawat berdengung pelan, namun entah mengapa, hati Esti terasa ringan. Beberapa minggu terakhir penuh kepenatan, tumpukan pekerjaan, masalah keluarga, dan rasa lelah yang sulit dijelaskan. Semua itu seolah menempel di pundaknya.“Siap untuk liburan tanpa anak-anak?” tanya Haris sambil tersenyum nakal. Esti menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau mereka ada, pasti nggak akan sebebas ini,” jawabnya. Haris menggenggam tangannya erat. “Ini waktunya kita berdua. Waktu kita.”Setibanya di Bali, mata mereka disambut langit biru cerah dan aroma laut yang khas. Di bandara, mereka disambut dengan sopan seorang supir hotel yang membawa mereka ke vila kecil di tepi pantai. Saat memasuki vila, Esti terpesona melihat pemandangan laut yang terbentang luas dari balkon. “Wow… ini seperti mimpi,” bisiknya. Haris tersenyum sambil menyerahkan sebotol air dingin.“Dan ter
“Ibu, sama siapa ke sini?” tanya Esti tergopoh-gopoh sambil buru-buru mengelap tangannya di celemek. Senyumnya merekah begitu melihat Bu Siti, mertuanya, berdiri di depan pintu.“Sendirian saja. Dewi sejak pagi sudah ada urusan, jadi Ibu berangkat sendiri,” jawab Bu Siti sambil menepuk-nepuk ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Esti melirik ke arah suaminya, Haris, yang baru saja muncul dari ruang tengah. “Lho, Bu. Kan bisa telepon aku, biar aku jemput,” kata Haris dengan nada setengah menegur, tapi matanya berbinar senang melihat ibunya datang.Bu Siti terkekeh pelan, kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum. “Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan Ibu. Masih kuat kok naik angkot sendiri. Belum pikun juga.”Esti tersenyum, tapi hatinya sedikit hangat bercampur cemas. Ia tahu Bu Siti keras kepala soal kemandirian, meski usianya sudah senja. Ada rasa bangga sekaligus khawatir yang selalu muncul tiap kali mertuanya bersikeras melakukan sesuatu sendirian.“Mana anak-anak?” tanya Bu Siti
Dengan tiba-tiba, ia bersimpuh di kaki Haris, membuat semua orang terpaku.“Mas… nikahi aku. Aku berjanji akan sadar posisiku sebagai istri kedua. Aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya jangan tinggalkan aku…”Esti terperangah, tangannya menutupi mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Om Wisnu menatap anaknya dengan tatapan marah sekaligus putus asa.Haris menatap Widya yang menangis di kakinya, lalu menatap Esti, pilihan yang akan menentukan segalanya.“Widya…,” ucap Haris pelan, “aku mencintai Esti. Aku tidak bisa dan tidak akan menghancurkan rumah tanggaku. Berdirilah, pulanglah bersama ayahmu.”Widya masih berlutut di kaki Haris, tangisannya tersengal. Tapi tiba-tiba tubuhnya melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri.“Widya!” teriak Om Wisnu panik, langsung memeluk tubuh anaknya.Haris berjongkok membantu, sementara Esti hanya bisa berdiri terpaku, antara iba dan sakit hati.“Cepat! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” kata Haris tegas.Om Wisnu mengangguk, wajahnya pucat. “To
Widya tiba-tiba menangis, air matanya jatuh deras, membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.“Aku… aku nggak sanggup lagi, Mbak,” suaranya bergetar, nyaris tersedu. “Aku cuma ingin seseorang mendengarkan ceritaku, tapi sekarang aku malah disalahkan seolah aku perebut suami orang.”Esti menatapnya tajam. “Lalu pesanmu itu? Kata-katamu yang jelas mengatakan kamu masih mencintai Haris? Itu hanya keluhan biasa menurutmu?”Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku… aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi. Sejak bercerai, semua orang menghakimiku. Aku merasa sepi. Aku cuma ingin ada yang peduli.”Dewi mendengus sinis. “Jangan mainkan peran korban di sini, Widya. Kita semua bisa lihat apa niatmu.”Namun Bu Siti tampak mulai bimbang, melihat tangisan itu. Haris sendiri hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak bersuara.“Apa salahku mencoba mencari perhatian? Apa salahku ingin merasa dicintai lagi?” seru Widya di sela tangisnya, membuat suasana semakin emosional
Haris menarik napas panjang, lalu menatap Esti dengan sorot mata penuh ketegasan.“Sayang, dengar aku baik-baik. Aku tidak mencintai Widya. Aku mencintai kamu, hanya kamu. Dan sekarang aku akan buktikan.”Tanpa ragu, Haris mengambil ponselnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Widya, membacakan setiap kata dengan lantang agar Esti mendengar.[Widya, jangan hubungi aku lagi. Apa pun yang kamu rasakan, aku tidak bisa membalasnya. Aku sudah berkeluarga dan akan menjaga rumah tanggaku. Semoga kamu bisa memahami.]Setelah itu, Haris langsung memblokir nomor Widya. “Sudah. Tidak ada lagi pesan darinya yang bisa masuk,” ucapnya mantap, lalu meletakkan ponsel di meja, menjauhkan dari dirinya.Esti terdiam, masih dengan wajah tegang, namun perlahan ekspresinya mulai melembut. “Kamu yakin ini akan selesai begitu saja?”“Tidak tahu,” jawab Haris jujur. “Tapi aku akan hadapi. Yang penting kamu tahu bahwa aku memilihmu, bukan dia.”Esti menarik napas panjang. Meski masih ada rasa curiga, kejujuran H
Haris kembali ke kantornya dengan langkah berat. Senyum Widya, tatapan matanya, dan kata-katanya terus berputar di pikirannya.Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menatap layar komputer, tapi huruf-huruf di laporan tampak kabur."Kenapa aku merasa seperti ini? Aku sudah bahagia dengan Esti… kan?" gumamnya dalam hati.Bayangan masa lalu datang, saat Widya pernah menyatakan perasaannya dengan polos, dan Haris menolaknya demi menjaga hati Esti. Ia yakin keputusan itu benar, tapi mengapa sekarang perasaan itu kembali, justru ketika situasi semakin rumit?Telepon di mejanya berdering, membuatnya tersentak. Ternyata dari Esti. Haris menatap layar ponsel, bimbang beberapa detik sebelum mengangkat.“Mas, jadi pulang cepat, kan? Anak-anak mau kita ajak makan malam di luar,” suara Esti terdengar riang.Haris tersenyum samar, meski hatinya penuh gejolak. “Iya, Sayang. Mas segera selesaikan kerjaan dulu.”Setelah telepon ditutup, Haris bersandar di kursinya. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya se