Share

Jangan Main Api

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-02-28 09:57:34

“Apa yang kamu bicarakan dengan Indah?” tanya Haris ketika mereka sedang duduk santai di ruang keluarga menemani Ais yang asyik bermain.

Esti yang dari tadi matanya tertuju ke layar televisi langsung menoleh ke arah Haris dengan penuh tanda tanya.

“Kok Mas tahu kalau aku ngobrol dengan Indah? Oh, Indah mengadu sama kamu ya? Ngomong apa aja? Sesuai dengan yang aku bicarakan dengannya atau ada yang dikurangi dan ditambahi?’ Esti langsung memberondong Haris dengan beberapa pertanyaan yang membuat Haris kaget dan gugup.

“E-enggak, Indah nggak ngomong apa-apa sama aku,” jawab Haris dengan gugup.

“Aduh, kok aku nggak kepikiran kalau Esti bakal mencecarku dengan banyak pertanyaan,” kata Haris dalam hati menyadari kebodohannya.

“Jujur saja, Mas. Jangan bohong! Indah mengadu padamu kan? Terus kamu lebih percaya sama aku atau Indah?”

“Sudahlah, nggak usah dibahas.” Haris berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Enggak bisa, Mas yang memulainya. Harus diselesaikan, apa yang Indah bicarakan? Kapan Indah mengadu padamu?”

Haris hanya menghela nafas panjang, saat ini maju kena mundur pun kena. Ia terjebak dengan ucapannya sendiri.

“Indah hanya bilang kalau ia ngobrol-ngobrol denganmu saja.” Haris berkata dengan hati-hati supaya tidak menyinggung Esti.

“Bohong, pasti lebih dari itu yang ia katakan. Mas, jangan terlalu dekat dengan Indah, sewajarnya saja. Sebelum semua terjadi, lebih baik menghindar. Jangan bermain api!”

“Kamu menuduhku?”

“Enggak, hanya mengingatkan saja.” Lalu Esti mengirim sebuah rekaman percakapan yang ia lakukan dengan Indah.

“Buka ponselmu, itu rekaman percakapan yang sebenarnya. Kalau Indah bercerita lain padamu berarti ia berusaha mencari perhatian dan simpati darimu.” Esti meminta Haris untuk membuka ponselnya.

Haris langsung membuka ponselnya dan mendengarkan percakapan antara Esti dan Indah. Benar kata Esti kalau apa yang dikatakan Indah pada Haris tidak sesuai dengan apa yang ia dengar dari rekaman itu.

“Aku hanya mengingatkan saja, tidak ada maksud lain. Lagipula semua itu bermula dari Mei yang risih melihat Indah berpakaian ketat. Mas tahu kan bagaimana kritisnya Mei? Daripada Mei yang langsung nyeletuk di depan Indah, lebih baik aku yang bicara baik-baik. Mas saja tidak suka ketika Mei atau Ais pakai pakaian yang sangat ketat dan terbuka, iya kan?”

Haris hanya terdiam, tidak berani berkomentar.

“Dari awal aku tidak setuju ketika Mas mulai membeli peralatan orgen tunggal.”

“Tapi kamu mau kan menerima uang hasilnya?” sindir Haris.

“Ya tentu saja, karena gaji Mas sudah dipotong bank untuk membeli perlengkapan itu. Uang bulanan dari Mas jadi berkurang.”

“Kamu kan bisa pakai uang gajimu.”

“Terus kita nggak punya tabungan, gitu ya? Kalau ada keperluan mendadak atau biaya yang lain pakai uang dari mana? Apalagi tahun ini Mei sudah masuk SMA, pengeluaran menjadi meningkat. Tugas mencari nafkah itu tugasnya suami, istri hanya membantu saja. Kita kan sudah sepakat dari awal. Apa Mas nggak ikhlas ngasih uang hasil Orgen tunggal?” Esti mulai kesal.

“Tentu saja aku ikhlas, semua aku lakukan untuk keluarga kita.”

“Jual saja orgen tunggal itu. Cari usaha lain yang lebih berkah. Kita selalu saja meributkannya,” keluh Esti.

“Bukan aku yang mengajak ribut, tapi kamu yang selalu berlebihan tentang orgen tunggal.”

“Berlebihan katamu, Mas? Aku hanya realistis menganalisa apa yang mungkin bisa terjadi. Tentu saja aku melihat fakta dan kenyataan yang terjadi pada beberapa pemilik orgen tunggal. Rata-rata mereka selalu ribut dengan pasangannya. Coba kayak musik Silampari Voice itu, mereka menyanyikan lagu-lagu yang tidak banyak bergoyangnya. Penyanyinya pun tampil sopan.”

“Ya jelas berbeda. Penikmat hiburan disini kan kalangan menengah ke bawah, jadi banyak menyanyikan lagu-lagu dangdut dan remix yang sedang naik daun. Kalau Silampari voice itu untuk kalangan menengah ke atas, bayarannya pun mahal,” kata Haris membela diri.

***

“Sepertinya orgen tunggal punyamu sangat maju ya? Aku lihat manggung di beberapa tempat minggu ini. Soalnya beberapa kali aku kondangan, hiburannya orgen tunggalmu,” kata Dewi kakak pertama Haris.

Sore ini Haris mampir ke rumah Ibunya, kebetulan kakak pertamanya juga datang berkunjung. Siti, ibunya Haris tinggal bersama dengan Erlin, sang anak bungsu.

“Alhamdulillah, Mbak,” sahut Haris sambil menyeruput kopi yang dibuat oleh Erlin.

“Tapi aku nggak suka dengan penampilan biduannya.” Dewi berkomentar lagi.

“Kenapa, Mbak? Padahal suara Indah itu bagus lho.” Erlin ikut nyeletuk.

“Pakaiannya terlalu seksi, membuat risih.”

“Iya, Mbak. Aku pernah melihat penampilan Indah yang menurutku terlalu vulgar. Apa Mas Haris nggak pernah mengingatkan Indah?” Lagi-lagi Erlin mengomentari ucapan Dewi.

“Apa yang kemarin nyanyi di rumah Pak Hendri?’ tanya Siti, sang ibu yang dari tadi mendengarkan pembicaraan anak-anaknya.

“Betul, Bu. Indah memakai baju ketat dengan belahan dada yang terlalu rendah. Kelihatannya banyak yang menyawernya,” sahut Erlin.

“Coba kamu bicara baik-baik dengan Indah. Kalau kamu merasa nggak enak, minta Esti untuk berbicara, biasanya kalau sesama perempuan kan lebih enak.” Siti memberi saran pada Haris.

“Kalau latihan di rumah, pakaiannya bagaimana? Lebih tertutup atau semakin terbuka?” lanjut Siti.

“Kayaknya sama saja, Bu. Soalnya aku pernah melihat dia latihan pakai celana sangat pendek, memperlihatkan pahanya yang mulus.” Erlin berbicara lagi.

“Hati-hati lho, jangan sampai penampilan Indah membuat kamu dan Esti ribut. Ibu yakin kalau Esti tidak suka melihat cara berpakaian Indah. Kenapa nggak kamu jual saja orgen tunggal itu, cari usaha lain yang lebih berkah.” Siti menasehati Haris.

“Itu kan penghasilan tambahan untuk Haris, apalagi bermain musik itu kan hobinya Haris. Esti pasti senang karena ada tambahan uang dari Haris. Gaji, TPP dan dari orgen tunggal, apa nggak semakin banyak uang yang dipegang Esti.” Dewi tampak membela Haris,” Benar kan Haris kalau semua uang kamu berikan pada Esti?”

“Gaji sudah dipotong bank, Mbak.” Haris menjawab pelan.

“Kamu pinjam bank? Untuk apa? Kalian berdua PNS, ada TPP, Esti dapat sertifikasi, uang dari orgen tunggal, apakah masih kurang?” cecar Dewi.

Haris menghela nafas kemudian berbicara,”Untuk membeli peralatan orgen tunggal dan sound sistemnya. Butuh modal besar untuk melengkapi alat-alat musiknya.”

Dewi dan Siti hanya geleng-geleng kepala mendengarkan penjelasan dari Haris.

“Haris, kamu sudah pernah melakukan kesalahan fatal yang hampir membuat rumah tanggamu berantakan. Ibu harap kamu jangan melakukan kesalahan yang sama. Karena semua itu bisa terjadi lagi, apalagi kamu punya musik yang biduannya kayak perempuan nggak benar.”

“Indah nggak seperti itu, Ibu jangan menuduh sembarangan.” Haris berkata dengan spontan, membuat semua yang ada di ruangan itu tampak kaget. Semua menatap Haris dengan penuh tanda tanya.

“Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?” Haris tidak menyadari kalau apa yang tadi ia ucapkan menimbulkan pertanyaan baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ending

    Malam kembali turun, kali ini tanpa banyak percakapan. Hari itu mereka lewati bersama dengan ringan, sarapan bersama Mei dan Ais, membersihkan rumah, menonton televisi sambil saling melempar komentar kecil yang dulu terasa asing. Tapi malam selalu punya cara mengupas sisi terdalam dari hati yang lelah.Haris masuk kamar lebih dulu, sudah mengenakan kaus longgar dan celana tidur. Ia tak lagi duduk di pinggir ranjang menunggu izin, tapi langsung berbaring di sisi kanan seperti malam sebelumnya. Esti menyusul tak lama kemudian, mematikan lampu lalu naik ke tempat tidur tanpa banyak suara.Untuk beberapa menit, hanya ada sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Ini semacam diam yang tenang, seperti dua hati yang sedang belajar memahami ritmenya lagi.Perlahan, Haris memutar tubuhnya menghadap Esti. “Makasih,” katanya pelan.Esti membuka mata, mengerutkan dahi. “Untuk apa?”“Buat hari ini. Buat masih ngasih aku tempat di rumah ini. Di hati kamu.”Esti terdiam sejenak. “Aku juga lagi belajar,

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Damai

    Hubungan antara Esti dan Haris perlahan mulai pulih. Luka yang dulu menganga kini perlahan dijahit kembali dengan kesabaran, pengertian, dan tekad untuk tidak menyerah. Setelah badai kesalahan yang pernah dilakukan Haris mengguncang fondasi rumah tangga mereka, kini keduanya sepakat untuk memperjuangkan apa yang pernah hampir hancur.Mereka tak ingin hanya menjadi sepasang orang tua yang tinggal dalam rumah yang sama tanpa kehangatan. Demi Mei dan Ais, dua buah hati yang sempat terseret dalam pusaran konflik, mereka belajar untuk saling memaafkan. Tawa kecil Mei yang kini kembali memenuhi ruang tamu, dan pelukan hangat Ais pada ayahnya setiap pulang kerja, menjadi pengingat betapa pentingnya kehadiran keluarga yang utuh.Di mata orang luar, mungkin ini hanyalah lembaran baru dari sebuah kisah rumah tangga biasa. Namun bagi Esti dan Haris, ini adalah perjalanan panjang menuju pemulihan dengan cinta sebagai kompasnya, dan anak-anak sebagai cahaya yang menuntun langkah mereka pulang.Mal

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Rumah Penuh Cinta

    Beberapa hari setelah percakapannya dengan Haris, Esti kembali merasa hening dalam dirinya. Bukan karena ragu, tapi karena ia tahu, mencintai kembali seseorang yang pernah menyakitinya bukan soal keberanian, tapi tentang keikhlasan.Dan keikhlasan butuh waktu. Butuh dialog dengan diri sendiri yang paling jujur. Tanpa anak-anak. Tanpa Haris.Tanpa senyuman penuh harap.Malam itu, setelah semua tidur, Esti duduk sendiri di meja makan. Lampu sengaja ia biarkan redup. Pikirannya melayang jauh, memikirkan hal-hal yang sedang ia alami saat ini. Pertanyaan-pertanyaan muncul dipikirannya."Apa kamu benar-benar sudah sembuh dari luka itu, Esti?""Apa kamu benar-benar siap bukan hanya menerima Haris, tapi juga risiko cinta yang bisa mengecewakan lagi?”Ia berhenti sejenak, napasnya panjang dan berat. Ingatannya kembali ke malam-malam saat ia menangis sendiri di kamar mandi, menyembunyikan tangis dari anak-anak, ketika Haris dulu menghilang.Saat itu, ia pernah bersumpah.“Cukup. Ini yang terakh

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Pelan-pelan

    Esti tak pernah sengaja menguping. Tapi malam itu, saat ia membuka pintu kamar untuk mengambil gelas kosong, ia mendengar suara Mei dari ruang tengah."Kalau Ayah punya keluarga baru, kami masih boleh kayak gini?"Langkah Esti berhenti. Ia berdiri diam di balik pintu, tak berniat ikut campur, tapi tak kuasa menahan detik itu berlalu tanpa ia dengar. Suara Haris menyusul pelan, lalu suara Mei lagi.Esti menutup matanya sesaat. Ia pikir, luka paling dalam hanya ada di hatinya. Tapi malam itu, ia mendengar serpihan luka yang jauh lebih kecil, lebih sunyi dan lebih menyakitkan, luka anak-anak mereka.Ketika Haris memeluk anak-anak dan meminta maaf dengan suara serak tertahan, Esti tak kuasa menahan air matanya jatuh.Ia bersandar ke tembok, tidak ingin masuk, tidak ingin menghentikan momen itu. Saat itu, ia melihat Haris bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai ayah yang sedang memperbaiki kehilangan.Malam itu, bukan hanya anak-anak yang disembuhkan perlahan. Tapi juga hatinya.Hati yang

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Luka Tidak Hilang

    Tengah malam, Esti bangun. Hujan reda. Ia berjalan ke dapur untuk minum. Ketika melewati ruang tamu, ia melihat Haris tertidur pulas di sofa, miring ke kanan, selimut hanya menutup sampai pinggang. Ada botol minum setengah kosong di meja.Tanpa berpikir panjang, Esti mengambil selimut cadangan dari lemari, lalu pelan-pelan menyelimuti Haris lebih rapat. Ia berdiri sejenak, menatap wajah Haris dalam diam.Bukan lagi wajah orang asing. Tapi juga belum sepenuhnya wajah yang ia percayai sepenuhnya.Lalu ia berbalik menuju kamarnya.Sebelum menutup pintu, ia berbisik dalam hati.“Kita lihat besok. Kalau kamu tetap di sini, tetap konsisten, mungkin suatu hari nanti, rumah ini benar-benar jadi rumah lagi.”***Pagi itu, sinar matahari menembus sela gorden tipis kamar anak-anak. Ais menggeliat kecil di atas kasurnya, lalu membuka mata perlahan. Ia melihat pintu kamar terbuka sedikit, dan samar-samar mendengar suara gelas beradu dari arah dapur.Ais melangkah keluar kamar, masih dengan piyama

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Rumah Yang Utuh

    Pagi itu berbeda. Bukan karena aroma kopi yang harum atau sinar matahari yang hangat menembus jendela ruang makan. Tapi karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Esti dan Haris duduk berdua di meja makan, tanpa kata-kata pedih, tanpa tatapan yang saling menghindar.Mei dan Ais masih di kamar, sibuk memilih kaus kaki untuk sekolah.Di antara dua cangkir teh yang mengepulkan uap, Esti menatap Haris. Ia menarik napas, lalu berkata dengan nada tenang, “Kalau kita mau mulai lagi, aku mau kita sepakat, kita bukan melanjutkan dari tempat yang kemarin, kita mulai dari titik nol.”Haris mengangguk pelan. “Aku paham. Dan aku setuju.”“Aku ingin rumah ini jadi tempat aman buat anak-anak, dan buat kita juga. Tapi aku butuh batas,” lanjut Esti, menunduk sejenak. “Kita jalani ini pelan-pelan. Aku belum siap sepenuhnya, bukan karena aku masih marah. Tapi karena aku sedang belajar percaya lagi, pada diriku sendiri dan pada kamu.”Haris tampak menahan sesuatu dalam dadanya. Lalu ia menjawab, “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status