“Sebelum aku jawab masalah perceraian, aku ingin bilang sesuatu dulu.” Rajendra meringis saat nyeri terasa di bibirnya untuk bicara. “Tidak perlu banyak bicara, kamu tidak perlu menjelaskan juga mengapa kamu ada di sana sama Clara. Aku juga tidak menuntut apa-apa dari kamu karena memang aku yang bodoh dari awal, pilihannya apa aku harus menyembunyikan kondisi kamu dari ibu, atau aku kasih tahu ibu untuk merawat kamu. Aku tidak mau merawat kamu soalnya.” Yudith memberikan dua pilihan. “Jangan bilang ibu,” lirih Rajendra. “Ok berarti Clara yang akan menemani kamu,” pungkas Yudith. Yudith mengangkat ponselnya yang bergetar, dari asistennya. Mengangkat sebentar dan mengatakan ia akan segera sampai. Sekali lagi memandang wajah babak belur suaminya, Yudith menghela nafas. “Sory untuk apa yang bang Galuh lakukan, semoga kalian tidak lagi bertemu saat aku enggak ada. Karena aku enggak yakin setelah in
“Tolong rescedule ya, iya saya hari ini enggak bisa masuk. Terima kasih, Risa.” Yudith mematikan panggilan, mengusap wajah. Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah sakit tempat Rajendra dirawat, untuk mengambilkan pakaian dan menyelesaikan urusan di sana agar tidak dilaporkan sebagai pasien hilang. Lalu ia kembali ke rumah mereka untuk mengambil pakaian gantinya, baru kembali ke rumah sakit dan syok dapati Rajendra menggigil kedinginan namun suhu badan begitu tinggi. Ia tidak mungkin meninggalkan suami semarah apa pun, sekali lagi ia menegaskan ia hanya melakukan atas dasar kemanusiaan. “Terima kasih,” ucap Rajendra. Yudith baru saja membantu menggantikan pakaiannya yang basah kuyup karena keringat dingin yang satu jam lalu membuatnya harus mendapatkan sebuah suntikan. “Istirahatlah, kamu bisa mengalami hal seperti tadi kalau kabur lagi,” desah Yudith. “Kamu tidak ingin tahu mengapa Clara kabur?”
“Kenapa kamu terus ingin bicara sama aku? aku sudah serahkan Rajendra sama kamu. Sana diurus, jangan hanya sehatnya, sakitnya juga di urus,” desah Yudith lelah. Lagi dan lagi Clara meminta bertemu dan bicara, Yudith terpaksa menemui karena Clara berkata akan ke kantornya jika Yudith tidak menemui. “Tentu saja aku akan mengurusinya, walau dia pernah meminta aku menggugurkan anaknya. Aku tetap mencintai dia,” gusar Clara. “Lalu mau apa menemui aku?” tanya Yudith malas mendengarkan pengakuan cinta wanita di depannya. “Aku akan menuntut kakak kamu atas penyerangan pada Rajendra, dia juga tidak beritikad baik meminta maaf atau bertanggung jawab atas perbuatannya,” terang Clara. “Galuh tidak akan minta maaf, dia akan melayani jika kamu melaporkannya. Justru kalian yang akan celaka kalau sampai Galuh menceritakan semuanya. Jika sudah siap celaka ... silakan kirimkan laporan. Kamu butuh nama lengkap
“Mama dan ibu menghubungi aku, katanya nomor kamu enggak bisa dihubungi. Aku terpaksa bilang kamu lagi dirawat, pada mau ke sini. Jadi aku ke sini dulu sebelum mama sama ibu datang, runyam nanti urusannya lihat keadaan kamu tapi aku enggak ada di sini.” Yudith menjawab dengan rangkaian kebohongan, mama dan ibu mereka tidak atau belum tahu keadaan Rajendra sekarang. “Ponsel aku lowbet, kamu tadi bawa-bawa amplop. Hasil periksa aku atau apa?” Rajendra bertanya dengan menyandarkan kepala pada kepala ranjang yang sudah dinaikkan oleh perawat. “Oh itu ... bukti pelunasan, istri kamu ke mana? dia belum melunasi pembayaran rumah sakit kamu?” tanya Yudith balik. “Masa? aku sudah minta dia selesaikan? mana coba aku lihat,” pinta Rajendra.Yudith melambaikan tangan. “Sudah aku selesaikan, memang harusnya abang yang tanggung jawab karena membantai kamu kan? kamu belum makan? kok masih utuh makanannya?” “Belum lapar,” d
“Aku akan mengurus Bang, please jangan bilang sama mama dulu. Aku menerima pernikahan ini dan aku juga yang akan menyelesaikannya.” Yudith berkata pelan pada Galuh yang berdiri di ambang pintu ruang kamar rawat Rajendra. Setelah menjalani sepuluh hari perawatan di rumah sakit, Rajendra diperbolehkan pulang. Mama dan ibu mereka begitu marah dan terus bertanya apakah pelaku sudah ditangkap atau belum. Rajendra mengatakan jika ia sudah melaporkan dan sedang di cari. Di hari kepulangan, Galuh ikut datang karena diminta mama Yudith membantu Rajendra. “Iya iya ... kamu memang sudah dewasa.” Galuh mengacak rambut Yudith di bawah tatap Rajendra yang sedari tadi memperhatikan mereka. “Kamu harus langsung bilang aku kalau kupret itu bertingkah, ok?” Galuh mengatakannya berbisik, namun Rajendra masih dapat mendengar dengan jelas. Yudith mencubit lengan sepupunya yang tertawa akan ucapannya. Mereka pulang dengan diantar
“Ibu telepon aku kenapa aku enggak ikut kamu ke rumah, kamu ke tempat ibu?” berondong Yudith saat Rajendra sampai rumah pukul tujuh malam. “Iya tadi balik dari kantor, hanya sebentar karena ibu bilang sedang pusing. Aku pikir kamu lembur lagi,” jawab Rajendra. “Ibu sakit?” Yudith menegakkan punggungnya yang sedang menikmati potongan buah di ruang TV. “Hanya pusing saja, pas aku datang sudah baik. Ini dibawakan lauk sama ibu.” Rajendra meletakan rantang susun di hadapan Yudith. “Syukurlah, kamu sudah makan di tempat ibu kan? aku sudah makan di luar.” Yudith membawa rantang lauk dari ibu mertuanya ke dapur. “Aku belum makan, biarkan saja di sana nanti aku akan makan setelah mandi.” Rajendra berlalu menuju kamarnya. Yudith menghubungi ibu Rajendra saat suami membersihkan diri, bertanya keadaannya dan mengatakan jika esok akan ke rumah. Namun ibu mertuanya justru mengatakan nanti
“Serangan jantung, Ma.” Yudith mengatakan pada mamanya yang datang menjenguk sang besan. “Ya Tuhan .... “ Yudith dan suami membawa ibu ke rumah sakit begitu jatuh pingsan usai menganiaya anaknya sendiri. Rajendra masih terpekur di samping ranjang ibunya yang belum sadarkan diri setelah berada lima jam di ruang ICU. Selama itu juga anak dan menantunya hanya berdiam diri dengan penuh rasa penyesalan. Mama Yudith membelai punggung dan bahu Rajendra yang masih duduk terpekur di kursi memegangi telapak tangan dingin ibunya. Mereka semua diliputi kesedihan mendalam, sedangkan Rajendra selain merasa sangat sedih, ia juga sangat marah dengan Clara yang melanggar kesepakatan untuk tidak menemui ibunya sebelum masalahnya dengan Yudith selesai. “Bagaimana ini?” lirih Yudith.Rajendra menyugar rambutnya. “Aku akan memikirkan secepatnya, setelah ibu sadar ya. Aku sekarang enggak bisa berpikir.” Yudith meng
Yudith ditarik sang mama pulang setelah mengabaikan permohonan maaf dari menantunya. Tanpa berpamitan pada besan yang selama ini amat ia hormati karena kebaikannya. Rajendra masih terpekur di lantai sepeninggal istri dan mertuanya. Ia terperanjat saat mendengar suara mesin berdering kuat, ibunya kolaps. “Kembali ke rumah hari ini juga. Mama akan temani ambil semua pakaian kamu. Bawa saja pakaian, lainnya tidak perlu,” tegas mama. “Hanya sedikit yang di rumah itu, selebihnya di apartemen abang.” Yudith menjawab dengan tangan di kemudi, mereka berada di jalan menuju rumah Yudith. Mama kaget dengan penuturan Yudith, menoleh dan kembali bertanya melalui tatap matanya. “Galuh tahu?” tanya mama. Yudith menggigit kuat bibir bawahnya, ia kelepasan bicara dan otomatis tidak mungkin berbohong. Yudith mengangguk pelan melirik sang mama yang menghela nafas panjang dengan menutup mata. Yudith hanya terdi