Satu bulan ternyata tidak selama yang dipikirkan Ruu, waktu tiga puluh hari justru berjalan sangat cepat. Apalagi diselingi dengan celotehan Rin melalui setiap pesan yang dikirimkannya. Terkadang cewek yang sekarang sudah dekat kembali dengan Go itu mengiriminya video Ry saat mereka sedang mengobrol berdua, terkadang hanya mengirimkan suara Ry saja. Tiga tahun lagi dilalui dan Ry tetap tak berubah. Wajahnya masih menggemaskan dengan pipi yang masih saja sebulat bakpao. Seandainya saja bisa –Ry berada di dekatnya– akan dicubitnya pipi itu. Mungkin ia akan melakukannya nanti saat mereka bertemu.Omong-omong soal pertemuan mereka, ia tidak memberi tahu siapa-siapa. Yang pasti ia akan menemui Ry saat masa tiga tahun terakhir, berakhir. Untuk tempat, ia masih belum menentukannya. Ia memang memiliki nomor ponsel Ry, Rin yang memberikannya. Awalnya cewek itu tidak mau memberitahunya, Rin malah meminta pertukaran, nomor ponsel Ry dengan alasan kenapa ia tak ingin Ry melihatnya. Namun, setel
Osaka sekarang sama berartinya dengan Tokyo bagi Ruu. Jika dulu ia hanya menganggap Tokyo yang terpenting karena keluarganya tinggal di sana, sejak Papa memberi tahu keberadaan Ry di Osaka, kota ini juga menjadi yang penting untuknya. Ruu bahkan tak menyangka jika ia akan menjadi bagian dari kota ini. Mulai besok ia akan memimpin perusahaan cabang yang berada di sini. Perusahaan cabang yang diberikan Papa padanya seratus persen. Jadi, mulai besok perusahaannya akan berdiri sendiri. Meskipun begitu, ia tetap menggunakan nama perusahaan yang lama. Toh, Papa tidak keberatan dengan itu, malah Papa yang memintanya untuk tidak mengubah nama agar tidak merepotkan. Ruu sedang duduk di sofa ruang tamu di apartemennya setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah hari mengendarai mobil. Rencana ia akan beristirahat beberapa jam sebelum menemui Ry nanti sore di tempatnya bekerja. Menurut informasi dari Rin, Ry tidak mengambil cuti dan tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Satu perubahan y
Mata bulat Ry masih berkaca-kaca, tak percaya jika dia benar-benar bertemu dengan cowok yang selama ini dirindukannya . Semua seperti mimpi saja, Ruu datang ke kedai es krim tempatnya bekerja, memesan es krim yang tidak ada dalam daftar menu. Tak ada kedai es krim yang menjual es krim dengan rasa yang tawar, dan Ruu memesannya karena tidak menyukai makanan manis. Konyol memang, tapi Ruu melakukannya hanya ingin dia mengetahui keberadaannya. "Maafin aku, Ry." Ruu menggenggam tangannya erat. "Harusnya sejak awal aku udah tau kalo Ikki pengen kisahin kita, tapi aku nggak tau kalo dia bisa selicik itu."Ry menggeleng. Dia masih belum dapat berbicara. "Aku nyari Ry ke mana-mana selama beberapa bulan awal itu, tapi nggak ketemu. Hampir seluruh Tokyo aku cari, tapi Ry nggak ada. Sampai Papa nawarin aku bantuan dengan satu syarat." Ruu menundukkan kepala. "Aku harus mau lanjutin pendidikan aku."Ry mengangguk. Dia percaya dengan semua yang dikatakan Ruu. Cowok yang duduk di sebelahnya, seda
Ruu mengembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, dan meneguk ludah susah payah. "Aku ... ancam dia biar nggak ganggu Ry lagi " Mata bulat Ry melebar. "Kok, Ruu gitu?" tanyanya memprotes. "Habisnya dia nyebelin!" Ruu membela diri. "Masa mau sama cewek aku?" Sepasang alis Ry terangkat. "Dia nggak nolak dijodohin sama Ry pas udah liat foto Ry. Dia sampai mutusin ceweknya yang satu fakultas sama aku. Ya, udah, aku hajar aja!" Ry mengerjapkan mata beberapa kali. Apa kata Ruu tadi, menghajar seseorang yang mau dijodohkan dengannya? Astaga! Ry memencet pangkal hidung. Meskipun kesal, tapi dia tidak bisa marah. Hati kecilnya justru menganggap apa yang dilakukan Ruu sangat manis. "Astaga!" Ry menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, Ry!" kata Ruu cepat, ia tak ingin mendapatkan kemarahan dari ceweknya. Mereka baru saja bertemu sore tadi setelah enam tahun berpisah, akan sangat tidak lucu jika mereka kemudian langsung bertengkar. "Aku cuman berusaha
Pagi datang lebih cepat dari biasanya bagi Ruu. Suara kicau sekumpulan burung yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya yang membangunkannya. Suara itu lebih dahsyat dari suara jam alarm yang dipasangnya tadi malam. Jam itu terus berbunyi nyaris selama dua jam, tidak berhenti jika ia tidak mematikannya, dengan mata yang masih terpejam. Tadi malam ia tidur lewat tengah malam. Bukan karena begadang, melainkan karena mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah mengantarkan Ry pulang pada pukul sepuluh malam, dan tiba kembali di apartemennya tiga puluh menit kemudian, ia langsung mengerjakannya. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan. Ia baru mengingatnya setelah berbaring di atas tempat tidur tadi malam. Dengan malas Ruu bangun. Rasanya masih belum puas tidur meskipun sekarang sudah pukul delapan pagi. Ruu sadar jika ia terlambat, dan itu bukan merupakan contoh yang baik bagi bawahannya. Namun, mau bagaimana lagi, walaupun ia bersiap dengan tergesa tetap saja tidak
“Sie!”Cowok berlesung pipi itu menoleh. Ry, pantas. Enggak ada gadis yang berani berteriak sekencang itu di sekolahnya, gadis tomboy sekali pun. Sie menghentikan langkahnya. “Ada apa?” tanyanya malas.“Tumben Sie masuk sekolah…”“Ada janji sama Rin,” potong Sie cepat. “Ngapain Ry mencariku?”“Sie tau nggak ke mana Ruu, udah beberapa hari aku nggak liat dia.”Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis manja ini, ingin rasanya Sie menoyor kepala cantik Ry, untung calon kakak ipar. Sabar Sie. Sie mengembuskan napas melalui mulut. Tapi kok, masa sih Ruu tidak memberi tahu kepada gadisnya ke mana dia pergi?“Aku kan kangen,” ucap Ry sambil memasang tampang manis.“Emang Ry nggak tau ke mana Ruu pergi?” tanya Sie. Pemuda itu menggaruk alis.Ry menggeleng lucu.“Tapi Ry kan ceweknya Ruu?”Ry menatap cowok basket itu kesal. “Tapi Ruu nggak bilang apa-apa sama aku!” sentaknya judes.Sie mengembuskan napas melalui mulut. Lagi. Untung stok sabarnya banyak, kalo tidak sudah habis gadis keka
“Ruu!” teriak Sie kencang sambil berlari ke arah Ruu yang lagi asyik berduaan dengan Gea.Ruu menatap Sie kaget dan heran.“Apaan?” tanya Ruu kesal.Sie tidak peduli Ruu melotot ke arahnya saat ia ikut duduk di antara mereka berdua, Ruu dan Gea.“Sie ngapain sih?” protes Gea. “Ganggu aja.”Sie menatap Ruu serius terkesan horror, tidak memedulikan Gea yang cemberut. “Ry,” ucapnya gugup.“Ry?” ulang Ruu sambil menaikkan sebelah alisnya kurang senang, karena Sie menyebut nama Ry di depan Gea.“Aku ngeliat Ry menuju kemari!” sambung Sie setelah berhasil mengendalikan diri.“Apa?”Spontan Ruu berdiri. Tak dihiraukannya Gea yang makin cemberut mendengar nama Ry. Yang dipikirannya sekarang Cuma Ry. Untuk apa Ry kemari, lalu dari mana gadisnya itu tahu tempatnya bekerja.“Ngapain Ry kemari?” tanya Ruu cemas. Dari suaranya, kentara sekali kalau Ruu tengah gugup.Sie mengangkat bahu tanga tidak tahu. Sebelum pemuda berlesung pipi itu menjawab pertanyaan Ruu, terdengar suara seorang gadis menyer
"Ry!"Gadis manis itu menoleh kemudian tersenyum ketika tahu siapa yang memanggilnya."Keiya!" serunya senang."Kok Ry sendiri?" tanya Keiya sambil memutar topi baseball-nya ke arah belakang.Ry mengangkat bahu. "Rin di lapangan basket, setelah tadi ngomel karena Sie nggak masuk lagi." Ry tertawa kecil yang membuat lesung pipinya melekuk dalam. Keiya terpesona melihatnya."Terus, tadi Mina ada rapat sama Shoun."Keiya diam melongo menatap Ry. Membuat gadis bertubuh mungil itu bingung sekaligus kesal."Keiya!" sentak Ry.Pemuda itu kaget. "Ah i-iya," jawab Keiya gugup."Keiya kenapa, sih?" sungut Ry kesal. "Aku, 'kan, lagi ngomong sama Keiya, nggak lagi ngomong sama tembok." Gadis itu cemberut."So-sorry." Keiya tergagap. "Tumben Ry baca," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Kapten klub baseball itu menunjuk buku yang berada di tangan Ry.Ry nyengir sambil mengangkat bukunya. Keiya tersenyum melihat buku itu. Komik. Pantas. Harusnya dia sudah tahu, tidak mungkin Ry membaca buku selain bu