“Kamu menerima tawaran Mommy-mu?” tanya Om Wisman antusias.
“Ya…,” jawab Jessie masih dengan menekuk muka. “Aku pengin cepat punya banyak uang.”
Om Wisman terpingkal.
“Buat apa banyak uang? Kenapa nggak minta aku saja? Sudah berkali-kali aku bilang, kalau butuh uang, bilang! ‘Om, minta duit yang banyak!’ Begitu kamu bilang begitu, pasti langsung aku transfer! Kamu, sih, sok-sokan idealis. Hidup menderita cuma demi mencari pengalaman. Pengalaman hidup itu bisa didapat dari mana aja! Nggak usah jadi orang miskin, orang kaya juga nggak kurang-kurang ada masalah dan kejadian yang bisa dipetik hikmahnya jadi pengalaman hidup.”
“Apa, sih, Oom…?” gerutu Jessie. “Aku nyari duit buat bayar utang!"
"Utang apa?"
"Utangnya Tante Clarrisa-lah!"
“Lho? Utangnya tantemu kok kamu yang harus bayar?” Om Wisman berlagak tidak tahu. “Biarin aja ta
“Aku benar-benar nggak tahu selera,” keluh Jessie dengan banyak tas belanjaan di tangan. Semuanya bermerek maha. Gacci, LuiViutong, Bilmaina, Shhyaanel, Havaenaz, dan lainnya.“Tidak masalah…,” tenang Om Wisman sembari menerima kembali kartu kreditnya. Ia mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan setengah badannya. Para petugas di butik membalas dengan penghormatan yang lebih-lebih.Om Wisman adalah pelanggan mereka yang terbaik. Setiap kali datang, gadis yang dibawanya selalu berbeda. Tak jadi masalah karena Om Wisman memborong pakaian musim terbaru dan yang terbaik.“Tidak masalah, Sayang,” ulang Om Wisman sembari mengambil rentetan tas belanjaan dari tangan Jessie. Laki-laki itu membawakannya dengan enteng saja. Tak terlihat malu karena harus menenteng tas belanjaan sementara perempuan di sebelahnya melenggang kangkung. Prinsip Om Wisman: melayani perempuan sebaik-baiknya – selama belum ada keinginan untuk
“Jatuh cinta pada orang yang salah? Baiknya lanjut atau langsung bubar tengah jalan?”Terdengar siulan Jessie membuka acara program STM-nya alias Siaran Tengah Malam. Musik backsound yang berupa instrumen dari lagu Aku Parempuan dari Razi Marthemevia mengalun lebih lambat. Mengiringi kegiatan siaran di malam yang syahdu.Sebelum memulai siaran tadi Jessie mengusulkan pada Bambang. Ia ingin menyebutkan tema obrolan malam siaran di paling depan, baru kemudian disusul musik backsoun, lalu dilanjutkan dengan opening seperti biasanya. Apakah boleh?Bambang mengerenyitkan kening. “Ayo, kita coobaaa…!”Jessie meringis gembira. Hal yang ia senang dari bekerja di Radio Siul adalah terbuka dengan setiap masukan. Bila halnya bagus dan bisa meningkatkan jumlah pendengar, mengapa tidak? Bila tidak pun ya tidak apa-apa, yang penting sudah dicoba dan diusahakan.“Yaa, mumpung pendengarnya masih sedikit, Mbak,” sahut Bambang sambil mengeset playlist lagu untuk STM mala
“Kamu sengaja mau nyindir aku, ya?”Jessie mengangkat kepala. Ia sedang berada di dalam pantry. Sekian waktu siaran di ruangan terus, kok, tiba-tiba kepengin segelas susu panas. Sekarang ia sedang menunggu rebusan airnya mendidih. Tadi ia sudah menawari Bambang. “Mau nggak sekalian dibikinin segelas kopi?”“Iya, deh. Mau. Tadi Reni katanya mau bikinin kopi tapi kok malah nggak muncul-muncul. Ketiduran mungkin, ya,” jawab Bambang. “Iya, mau, Jess. Thanks sebelumnya.”Jessie menyiapkan segelas susu panas untuknya dan segelas kopimiks panas untuk Bambang.“Iya, kan!?” rangsek Reni lagi.“Nyindir apaan??” tanya Jessie sungguh tidak mengerti. Ceret air mengeluarkan bunyi peluit. Itu artinya air di dalamnya sudah mendidih. Jessie mematikan kompor dan segera menuang aiir panas ke masing-masing cangkir. Setelah itu diaduknya rata.“Pura-pura nggak tahu lagi,” emosi R
Sudah aman. Barang-barang lama di kos Jessie sudah berpindah tangan. Lemari, kasur spring-bed, dispenser, dan lain-lain sudah ‘diadopsi’ oleh teman-teman kos yang lain. Mereka berterima kasih pada Jessie karena barang-barang itu masih bagus. Sangat bagus malahan.Ibu Kos menyesalkan keputusan Jessie pindah. “Kamu nggak bakal bisa dapat kos-kosan bagus dengan harga murah kayak di sini, Mbak!” kecamnya sembari menakut-nakuti. “Kos-kosan di tempat lain itu jelek, harganya mahal lagi. Kamu pasti akan sangat menyesal.”Jessie nyengir di dalam hati. “Iya, Bu. Maafkan saya, Bu. Tapi saya nggak kuat kalau harus harga sewa kamarnya naik tinggi banget. Nggak kuat bayar saya, Bu.”“Ya, wajar dong naik!” slepet Ibu Kos emosi. “TDL alias Tarif Dasar Listrik aja naik! Ya masaaa yaaa saya harus nombok untuk kalian-kalian yang ngekos di sini? Nombok biar kalian-kalian tetap dapat harga sewa kamar yang sama kayak sebelumnya? Yaa nanti tekor saaya!”“Iya, Bu. Maaf, Bu,” kata J
Ada perasaan cemas yang terus berkecamuk di dalam dada Alfin. Ada perasaan bersalah yang selalu mengingatkan: seharusnya kamu enggak ngelakuin ini, Fin. Tapi ada gairah menggelora yang tak dapat ditahan lagi.Wanita yang dicintainya tergolek dalam posisi terbuka. Alfin melepaskan celana panjangnya. Kini hanya menyisakan bokser berwarna hitam. Jessie bukan perempuan pertama dalam petualangannya bercinta. Tapi ia tak berani menyentuh gadis itu. Kulitnya yang kuning langsat – sekarang agak pucat – seolah begitu rapuh untuk disentuh.Sekujur tubuh Alfin cenat-cenut. Ia merebahkan diri di sisi Jessie yang terpejam. Perlahan tangannya mengelus pipi lembut sahabatnya – sahabat yang dicintainya. Bibirnya yang merekah seolah memanggil-manggil kelelakian Alfin untuk segera beraksi.Gejolak liar laki-laki muda milik Alfin menjerit ingin pelampiasan. Laki-laki itu mengernyit – mencoba menahan dirinya. Bisa saja ia segera melucuti seluruh pakaian Jessie, bercinta lalu mengenaka
“Dia mau ketemu kamu. Pengin mendekatkan diri terlebih dulu. Biar besok pas pakansi kalian nggak canggung gitu,” kata Jeng Ries.Tante Clarrisa melengak. “Katanya piawai dengan macam-macam wanita. Masa baru ketemu langsung kencan bisa bikin canggung? Klienmu itu beneran orang kaya nggak, tuh? Jangan-jangan kekayaannya cuma tipu-tipu aja?”Pagi tadi Jeng Ries menghubungi Tante Clarrisa. Pak Burhan – klien yang menyewa Tante Clarrisa sebagai teman kencan untuk pakansi di beberapa hari ke depan minta ketemuan. ‘Makan siang nanti kita keluar. Aku jemput kamu. Kita ketemu dengan Pak Burhan. Klien ingin double-check teman kencannya untuk mengurus akomodasi.'“Kenapa dadakan?” protes Tante Clarrisa ketika Jeng Ries tiba. Jeng Ries begitu heboh. Pakaiannya warna-warni. Gelang mahalnya berkemerincing. Tante Clarrisa sendiri sampai merasa malu melihat teman arisanya begitu norak – ya, sih, memang sebelum-sebelumnya juga sudah sangat norak.“Anu, Jeeng, hehe….” Alih-ali
Dada Tante Clarrisa bergemuruh. Pak Burhan ternyata jauh lebih cakep dari bayangannya. Laki-laki itu terlihat tua dan matang. Rahangnya tegas. Gurat-gurat keriput di wajahnya menyiratkan kesan ramah. Senyumnya tulus. Giginya putih dan rapi. Suaranya… berat namun juga empuk dan berwibawa.“Sel… selamat siang, Pak Burhan,” balas Tante Clarrisa.Pak Burhan berpaling ke arah Jeng Ries. Perempuan itu sepertinya tahu kode yang diberikan kliennya.“Hei, Jeeng, aku tinggalkan kalian berdua dulu, ya? Aku ada perlu sedikit di luar sana.” Jeng Ries menyenggol lengan Tante Clarrisa seolah memberi kode. Tangannya menyibak bagian bawah dress Tante Clarrisa – dilakukannya seolah-olah tanpa sengaja.“Eeh? Mau ke mana, Jeng?” tanya Tante Clarrisa mulai panik.“Nanti aku segera balik, kok. Tenang ajaa. Lagian, Pak Burhan ini orangnya baik. Nggak akan nggigit – hihihi. Kecuali kalau sudah dipersilakan.”Pak Burhan hanya tersenyum. Laki-laki itu menyilangkan kaki. Si
Monica mematut-matut di diri. Dandanannya bold – mencoba menyembunyikan samar kerutan usianya. Lipstiknya merah menyala – sengaja dipilihnya warna itu untuk menunjukkan cintanya yang menggelora untuk Adam tersayang.Betapa ia sebenarnya sudah letih dengan hubungan ini. Adam dipenjara. Bisa keluar dengan uang jaminan yang besar. Monica tahu Adam bisa mengakses uangnya tapi tak dilakukannya. Monica harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar uang jaminan, membayar makan siang, mem-booking hotel dan lain-lain. Beruntungnya Burhan –suaminya – tergolong royal. Kerap memberinya uang dalam jumlah besar.Monica berhenti bersolek. Sebuah kesadaran baru menyentak batinnya. “Jangan-jangan Burhan sudah mencium perselingkuhanku?” gumamnya pelan. “Ah, masa bodoh. Kalau pun Burhan tahu, toh ia sendiri juga gemar bersenang-senang di luaran sana. Toh yang penting ia masih mau mencurahiku duit dalam jumlah besar.”Hari itu Monica telah mengambil keputusan. Ia akan menyudahi hubun