Ponsel milik John mendentingkan notifikasi. Laki-laki itu cepat memeriksa pesan singkat yang dikirim Papi. ‘Siap memegang anak perusahaan di Cina, John? Perusahaan top. Nomor satu. Omzet ratusan milyar. Kepemimpinan John di sana pasti bisa membuatnya lebih pesat lagi.’
John termenung-menung. Tawaran yang datang tepat pada waktunya. Selepas dari Flowery-Rose Ice Cream Resto sebaiknya ia pindah saja. Menjadi bos dan tak lagi jadi manajer di perusahaan orang lain benar-benar penawaran yang bagus. Sungguh, laki-laki itu selalu tertantang setiap kali diserahi tugas baru. Terutama tantangan membuat perusahaan menjadi semakin pesat maju.
Hanya satu yang membuat John Burgundy masih bertahan sudi menjadi karyawan orang lain. Ia masih ingin mendapatkan cinta Lisa. Gadis cantik, muda, dan sukses. Sayangnya, gadis itu arogan luar biasa. Sulit dikendalikan.
“Kalau aku berhasil sekali saja membuat Lisa takluk, aku akan terima tawaran Papi,” janji John
“Es krim! Aku suka banget es krim! Ini buatku?” pekik Reni kesenangan. Sengak dan wibawa yang dibikin-bikin kayak biasanya mendadak lenyap. Ekspresinya kegirangan seperti anak SD yang mendapat mainan kesukaan.“Iya, Mbak. Ini buat teman-teman di sini. Eh, di sini cuma ada aku, Mbak Reni, Sisil, dan Mas Bambang, ya? Hehe. Yaa, buat kita semua,” jawab Jessie. “Tapi boleh ambil banyak-banyak. Aku juga bawa banyak banget.”“Sisanya simpan di freezer aja!” saran Reni.Jessie mengangguk. Ia membiarkan penyiar senior yang super-duper galak itu mengambil jatah premannya terlebih dulu. Ia tak menyangka Reni si jutek langsung berubah jadi ramah dan baik setelah diberi es krim.“Aku seneng banget sama es krim. Kecilnya dulu keluargaku orang susah. Mau es krim aja nggak bisa langsung beli. Kudu ngumpulin banyak duit dulu,” lanjut Reni.‘Oh, oke…,’ gumam Jessie di dalam hati. ‘
Serrr….Jessie baru saja mengambil air putih di dapur. Tenggorokannya haus sekali. Ia banyak makan es krim di sela istirahat lalu kembali siaran. Bambang bertugas dengan semangat. Pasti karena banyak makan es krim juga. Reni tidak kelihatan batang hidungnya. Beberapa cup es krim berbagai rasa berkurang banyak dari freezer almari es. Mestinya dibawa gadis sengak itu di kamar karyawan. Dinikmati sendiri sampai mabuk lalu kekenyangan dan ketiduran.Segelas air putih dihabiskan. Haus di tenggorokan berkurang. Masih satu jam lagi jam siarannya. Jessie meregangkan tubuhnya. Lalu memutar pinggang hingga bunyi bergemerutuk.Serrr….Bulu kuduk Jessie meremang. Sekelebat bayangan hitam terlihat di pintu kaca pembatas koridor studio dan halaman belakang kantor. Ada yang barusan lewat.“Siapa, ya?” tanya Jessie. Ia melangkah pelan. Barangkali ada orang asing yang iseng biar dibentaknya pergi.Jessie melongok keluar. Pintu dibuka sedikit. Angin mala
Ckrekk… ckrekk… ckrekkk….Jessie mencoba melepaskan pelukan Om Wisman yang terlalu erat. “Ih, Om. Jangan main peluk-peluk di ruang terbuka gini, dong. Malu kalau dilihat orang?”“Ini jam kerja, Sayang. Aku tidak bisa membawamu check-in ke hotel bintang tujuh lalu kita pelukan di sana.”Ckrekk… ckrekk… ckrekkk….Seketika itu juga wajah Jessie bersemburat merah. Dengan cepat ia menguasai kesadaran dirinya. Jangan sampai baper: karena digombali Om Wisman dan ini masih jam kerja – di ruang publik lagi. Pandangan Jessie bertatapan dengan Pak Sopir. Laki-laki yang bekerja sebagai sopir pribadi Om Wisman segera menyunggingkan senyum dan menggangguk sebagai bentuk sapaan. Jessie membalas sapaan itu dengan melakukan hal yang sama.“Ngapain kamu?” tanya Om Wisman menyelidik. Pelukannya sudah dilepaskan.“Kerja, Om,” jawab Jessie. “Om sendiri ngapain ke sini?”“Memeriksa keadaanmu,” Om Wisman ganti menjawab pertanyaan. “Pesan-pesanku tidaak kamu balas.
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam