Om Wisman menyukai Jessie sejak pertama kali melihat anak perempuan Om dan Tante Clarrisa itu datang memenuhi undangan makan malam. Sebuah private dinner di resto Jepang. Hanya kolega yang diundang beserta keluarganya yang bisa datang.
Ia menyukai gadis muda tersebut. Jessie tinggi dan langsing. Kulitnya kuning langsat dan kencang. Sepertinya gadis itu agak pendiam. Tapi ia bisa membawa diri dengan baik. Tahu kapan waktu yang tepat untuk tertawa. Tahu kapan ia bisa asyik sendiri dengan ponselnya.
Om Wisman sudah tahu kalau sebenarnya Jessie adalah anak perempuan Mommy. Clarrisa membesarkan Jessie karena memang tak punya anak. Juga untuk membantu adik iparnya yang sedang kesulitan.
Laki-laki paruh baya itu menunggu waktu yang tepat. Ia sangat ingin mengencani Jessie. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Keluarga Clarrisa morat-marit. Suaminya tertangkap atas kasus korupsi. Belum lagi juga terjerat hutang. Wisman sudah menghitung semuanya. Suami Clarrisa meman
Jessie bangun pagi dengan kondisi bersimbah air mata. Ia lupa mimpi apa tapi yang pasti mimpinya tidak menyenangkan. Samar ia teringat ada Om Wisman dalam mimpinya. Om Wisman yang terkekeh-kekeh sembari menanggalkan satu demi satu pakaiannya. Om Wisman yang mengecup-ngecup kecil bahunya yang ramping.Bayangan buruk itu belum juga pergi. Setahun sudah berlalu, setahun sudah Jessie mencoba menerima kehadiran Om Wisman, perasaannya masih saja ingin berontak. Marahnya ingin dikeluarkan. Tapi keadaan belum memungkinkan.Jessia segera mencuci muka. Pagi ini ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.Ponselnya berdering. Mommy menelepon.“Ya, Mommy?” tanya Jessie begitu menerima telepon.Seperti biasa Mommy menanyakan kabar.“Baik, Mom,” jawab Jessie. “Hari ini aku sudah nggak kerja jadi kasir lagi.”Mommy mendesah. “Sampai kapan kamu hidup menderita begini, sih, Sayang?”“Mommy yang membuat aku menderita, kan?” serang Jessie tanpa tedeng a
Jessie menunggu air mendidih di ceret. Busyet, batinnya memaki kesal. Ia dikerjain mbak-mbak muka bopeng. Padahal Pak Burhan – pemilik Radio Siul – tidak bilang apa-apa tentang ini. Beliau senang kalau Jessie mau belajar untu menjadi penyiar yang baik. Membersihkan kantor dan membikinkan kopi untuk senior bukan – sama sekali bukan tujuan Jessie.Ceret mengeluarkan debip panjang seperti peluit kereta api.Secangkir kopi instan sudah siap. Jessie meletakkan secangkir kopi panas itu di meja resepsionis. Reni memandangnya masih dengan tatapan sengak – super sengak.“Silakan, Mbak. Kopinya sudah siap,” kata Jessie.“Kopimiks?” tanya Reni.Jessie mengangguk. Sedetik kemudian ia menjawab, “Ya, Mbak. Sesuai permintaan Mbak tadi.” Ia pamit undur diri. Hendak mengerjakan tugas menyapu dan mengepel seluruh ruangan kantor.Seluruh tugas dikerjakan dengan hati mengedumel.Jessie membersih
Reni memperhatikan kepergian Jessie dengan hati puas. Hari ini ia berhasil mengospek anak baru. Sebenarnya maksudnya meminta Jessie datang tidak hanya membentak-bentak dan menyuruh-nyuruh tanpa tujuan. Tentu saja apa yang dilakukannya hari ini penuh tujuan.Reni ingin anak baru itu menghormatinya. Jelek-jelek begini Reni termasuk senior di Radio Siul. Bisa dibilang dedengkot. Saat radio menjelang bangkrut cuma dia yang tetap bertahan mau siaran. Alasan utamanya tentu bukan karena tetap ingin siaran, tapi masih ingin bersama Mas Bambang. Apalagi radio sudah sepi begitu, makin asyik-lah mereka pacaran diam-diam.Alasan keduaa Reni memanggil Jessie hari ini tentu saja untuk memberi peringatan. Jangan sekali-sekali anak baru berani menganggu Mas Bambang. Tidak boleh bergenit-genit! Tidak boleh kemayu! Tidak boleh naksir Mas Bambang! Dengan lagak senior yang berwibawa yang ditunjukkannya tadi, Reni yakin pasti Jessie akan menaruh segan padanya. Juga pasti takut untuk me
Jessie kembali menyendok es krimnya. “Enak banget ini, Fin! Kamu pinter memilih tempat.”“Enak yang kayak gimana memangnya?” tanya Alfin meminta penjelasan lebih.Dengan mata berbinar-binar Jessie menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan enak. Susunya pas. Es krimnya lembut. Rasanya juga nendang. Rasa manisnya tidak berlebihan. Satu porsinya pas. Setelah es krimnya habis tidak meninggalkan rasa eneg di lidah dan leher. Itu artinya perpaduan bahan-bahannya sempurna.“Kamu suka?” tanya AlfinJessie mencicip es krim rasa rosella merah. Kecut-kecut segar. “Ih, ini… ini….!” serunya dengan menunjuk-nunjuk es krim rosella yang berwarna merah muda dengan bintik-bintik daging bunga rosella merah di setiap inci sekup es krimnya. “Ini lebih enak ketimbang es krim stroberi, lho. Kecutnya lebih berasa tapi juga seger banget. Kontradiktif, ya, tapi ini enakkk bangett!”Alfin mengangguk-angg
Jessie mencoba bersikap biasa saja. Padahal, jujur saja pesan singkat Om Wisman terasa sangat mengganggu. Kenapa, sih, ia diberi cobaan hidup berat banget? Kenapa ia nggak kayak anak-anak konglomerat yang lain? Hidupnya gampang sejak kecil, pacaran sesama anak-anak konglo, tunangan megah, pesta kawinan mewah, punya anak, liburan ke luar negeri, bisnis berjalan lancar, perusahan beranak-pinak dengan cuan berlimpah-limpah.Sementara ia sendiri, kenapa harus diasuh Tante Clarrisa, kenapa Papa harus pergi meninggalkan Mommy sehingga harus memilih jalan menitipkan Jessie pada Tante Clarrisa. Kenapa pula Om harus terjerat utang dan korupsi. Kenapa tidak menunggu Jessie lulus kuliah, dapat kerja, sehingga hidupnya tak lagi tergantung pada keluarga Tante Clarrisa. Sehingga ketika ia dijadikan jaminan pada Om Wisman, dengan tegas Jessie bisa menolak keras.Hufftt…!Jessie menghela napas. Ya sudahlah, yang sudah telanjur terjadi biarlah terjadi.Pukul sembil
“Nggak gagal, kok. Cuma kurang lancar aja…,” kata Bambang lembut mencoba menenangkan penyiar baru yang baru saja demam panggung. Laki-laki itu menepuk bahu Jessie yang kaku. Tegang karena kecewa dengan dirinya sendiri. Kaku karena kedinginan. Beneran, deh, temperatur AC-nya kayak bisa berubah sendiri gitu. Jadi lebih dingin.Jessie mengembuskan napas pelan-pelan. Radio sedang memutar susunan lagu di playlist yang sudah disiapkan. Bambang menyuruhnya membikin minuman hangat.Di pantry Jessie membikin segelas susu panas. Ia tidaak tergesa harus segera kembali siaran. Bambang yang akan menjadi operator sementara. “Tenangkan dirimu dulu, Mbak. Pelan-pelan aja. Kalau sudah siap baru balik ke studio. Nggak usah tergesa-gesa.”“Terima kasih, Mas Bambang.”Jessie mengikuti saran Bambang. Ia menyeruput susu panasnya perlahan. Rasa hangat meluncur dari mulut ke tenggorokan. Lalu, menggelenyar menyebar ke sekujur tubuhnya.
Jari lentik Lisa berhenti menggeser layar ponsel. Matanya menumbuk sebuah postingan dari akun Instagram Alfin. Sebuah video sederhana. Sepertinya rekaman dari screen-recording ponsel. Lisa mencoba menaikkan volume ponselnya.“Satu lagu sudah hadir menemani kamu di acara STM malam ini. Mau lagu berikutnya, nggak? Boleh, loh, kalau mau rikues ke sini. Nomornya masih sama: 08195xx8xx9xx7. Sekarang kita baca satu pesan yang sudah masuk. Dari siapa, niih? Ohh, Alfin. Hai, Alfin selamat malam….”Lisa mengerenyitkan kening. Matanya membaca narasi singkat di caption postingan Instagram Alfin.‘Ternyata seperti ini rasanya. Rasanya namamu dipanggil oleh penyiar favoritmu. Penyiar favorit yang setiap saat setiap waktu memutar lagu-lagu cinta dan rindu yang sendu. Aku menyukai Penyiar Radio ini. Tapi, ia masih enggan menerima cintaku. Aku kudu bagaimana?’Hati Lisa panas. Ia tahu betul siapa penyiar yang dimaksud dalam postingan Instagram Alfin. Siapa lagi kalau bukan s
Pak Burhan mencari kesungguhan di ucapan Lisa. “Kamu serius dengan permintaanmu, Lisa?” tanyanya. “Aku membeli radio itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Alfin. Gadis itu melamar kerja di tempatku juga tidak membawa-bawa Alfin. Lalu, kenapa sekarang aku harus repot-repot memecat gadis itu?”Lisa mengerang panjang. “Soalnya, gadis itu caper banget sama Alfin, Ooom…! Aku sama Alfin nggak bersama lagi pasti gara-gara gadis itu! Gadis gembel yang pura-pura menderita cuma demi mendapat simpati Alfin! Kalau bukan cewek gampangan, apa lagi namanya si gembel itu, Oomm…!?”Tookk…! Tokk…! Tookk…!Percakapan antara Lisa dan Pak Burhan terhenti. Seseorang mengetuk pintu ruang privat.“Pasti mengantar makanan. Masuk!” perintah Pak Burhan.Chef dan asistennya membuka pintu. Reaksi mereka biasa saja melihat ada Lisa berada di dalam ruangan. Berdua hanya dengan Pak Burhan.Chef menata makanan sesuai pesanan. Ia menjelaskan satu demi satu menu yang telah d