Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.
Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.
“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.
‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.
Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bagi mereka jika ingin tetap hidup.
“Kau bisa berenang, ‘kan? Larilah ke sungai,” kata si ‘mayat hidup’ pada anak yang sudah menolongnya itu.
Anak itu tampak ragu. Ia baru bergerak saat bahunya didorong oleh pria yang terluka itu.
“Pergilah. Selamatkan dirimu. Terima kasih untuk pertolonganmu.”
Atasan Rizwan tidak membiarkannya. Ia mengarahkan pistol pada anak tersebut, hendak melenyapkan satu-satunya saksi mata.
“Lawanmu itu aku, bukan anak itu!” sergah pria yang bangkit dari kematian itu, lalu menyeruduk atasan Rizwan.
Atasan Rizwan bisa menahan serangan itu. Namun pistolnya terjatuh dan dipungut oleh lawannya karena posisinya memang lebih dekat dengan pistol itu.
Sementara itu, anak yang sudah membantu penyusup yang dilumpuhkan oleh Rizwan tersebut, menoleh untuk memastikan keadaan orang yang telah ia tolong. Melihat pistol berpindah tangan, tampaknya ada secercah harapan bahwa kemenangan berpihak pada anak itu dan pria yang ia tolong.
Namun, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Alih-alih membidik atasan Rizwan, sang penyusup malah mengarahkan moncong senjata ke pelipisnya sendiri. Ia meneriakkan sesuatu, lalu menarik pelatuk pistol itu.
Saat tubuh pria itu ambruk mencium tanah, anak yang menolongnya itu melompat ke sungai. Lalu menghilang di bawah pemukaan air.
***
Satu tahun kemudian.
Rasanya seperti di film-film. Seseorang menunggu di luar penjara untuk menjemput keluarga, kerabat atau sahabat yang baru saja menyelesaikan masa hukumannya. Lalu mereka naik ke mobil dan meninggalkan gedung penjara selamanya.
Gambaran itulah yang kini berada di benak Sarah. Wanita berkulit putih yang mengecat cokelat tua rambutnya itu sedang menunggu seseorang yang akan dibebaskan hari itu. Seorang pria yang sudah dikenalnya selama delapan belas tahun terakhir ini.
Sarah tak menunggu lama. Sosok yang ia nantikan tampak keluar dari pintu gerbang penjara. Penampilannya cukup membuat Sarah takjub karena sangat berbeda dengan sosok yang Sarah kenal selama ini.
“Rimba, kau kelihatan ganteng. Rapi,” kata Sarah yang lebih terdengar seperti sindiran daripada pujian.
Rimba, pria yang baru dibebaskan dari penjara itu, hanya mengangkat bahu.
“Kau mandi, ya, sebelum dibebaskan?” terka Sarah.
Rimba hanya mengangguk sambil tersenyum lebar. Kelihatannya, pembebasannya yang lebih cepat dari seharusnya ini sudah sangat membuatnya senang.
Belasan tahun mengenal pria dua puluh tiga tahun itu membuat Sarah memahami Rimba seperti adiknya sendiri. Pria itu bukan sosok yang rapi, meskipun tidak acak-acakan juga. Rambut ikalnya nyaris tak mengenal sisir. Namun dengan potongan super pendek hasil karya tukang cukur di penjara, Rimba kini terlihat lebih ‘tertata’.
“Kita ada pekerjaan,” ujar Sarah setelah mereka memasuki mobil. Ia menatap lurus pada Rimba.
Rimba balas menatap Sarah. Menunggu penjelasan wanita yang lebih tua tiga tahun daripada dirinya itu.
“Kasusnya cukup menantang dan kelihatannya akan memakan waktu lama. Jadi, selama mengerjakan kasus ini, kau tidak akan punya waktu untuk membuat masalah lagi.”
Rimba merengut. Tampak sebal. Tapi dia tidak bisa membantah karena apa yang dikatakan oleh Sarah itu benar. Rimba terlalu sering membuat masalah hingga berurusan dengan hukum dan berakhir di penjara.
“Kalau kita terima pekerjaan ini, kita akan bersentuhan dengan dunia militer. Calon klien kita seorang petinggi angkatan darat. Dia minta kita menyelidiki kasus anak dan teman-temannya yang tewas di pos jaga di perbatasan, satu tahun yang lalu,” jelas Sarah sambil menyerahkan sebuah tablet untuk dibaca oleh Rimba.
Rimba mengerutkan kening saat membaca tangkapan layar berita-berita tentang kasus yang menghebohkan setahun silam tersebut. Satu bulan yang lalu, diputuskan bahwa kasus itu adalah tindak terorisme dan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perwira muda bernama Rizwan yang konon adalah putra seorang jenderal angkatan darat.
Kasus ditutup. Namun rupanya, masih ada pihak yang tidak terima dengan hasil putusan tersebut. Dan pihak yang diam-diam menolak penyelesaian kasus itu adalah ….
“Iya, benar,” kata Sarah saat Rimba menatapnya, “Jenderal Daud. Beliau yang meminta kita menyelidikinya karena beliau sulit memercayai penyelidik internal lagi.”
Rimba mengembuskan napas berat. Kemudian ia mengangguk. Setuju untuk mengambil kasus ini.
“Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a
Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa
Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul
Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha
Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag
Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh