Share

Perpisahan

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 10:28:44

Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.

“Aku berangkat.”

Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.

“Abang, bagaimana dengan …”

“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.

Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.

“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”

Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.

“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”

Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terlihat bosan dan gusar.

“Tapi aku juga tahu bagaimana membedakan hubungan layaknya abang dan adik dengan hubungan yang berbeda seperti kalian berdua,” tukas Rinto lagi.

Rinto menjulurkan kedua tangan di depan Widya. Menunjuk sekujur tubuh wanita itu dengan wajah jijik.

“Lihat dirimu. Kau pikir aku percaya, kau dengan letkol angkatan darat itu tidak ada hubungan apa-apa? Bahwa kau hanya menganggapnya abang, seorang kakak? Widya, kita ini sama-sama polisi. Kau pasti tahu, bagaimana tingkah seseorang jika tengah berdusta. Seperti dirimu saat ini, dengan air mata palsu itu!”

Widya terperangah. Ia baru menyadari bahwa air matanya sudah mengalir di pipi. Air mata yang dituduh ‘palsu’ oleh Rinto, suaminya sendiri.

Rinto mendengus sinis, lalu beranjak meninggalkan Widya. Ia tidak menoleh lagi. Demikian pula Widya yang masih terkejut dengan dirinya sendiri. Ia tidak memanggil Rinto lagi, apalagi mencegahnya pergi.

Setelah deru mobil Rinto terdengar menjauh, Widya menghapus air matanya. Ia menarik napas berkali-kali, sebelum beranjak kembali ke meja makan tempat cangkir tehnya diletakkan.

Terbayang kembali kenangan saat ia pertama kali melihat Rinto di akademi. Juga saat mereka pertama kali saling berbincang di mal, delapan tahun yang lalu. Juga kencan demi kencan, termasuk beberapa kali kunjungan ke panti asuhan tempat Widya dibesarkan. Serta pernikahan mereka dua tahun silam.

Semudah itukah Rinto mencampakkan Widya? Sakti bukanlah pria yang dicintai oleh Widya. Sakti adalah abang bagi Widya. Titik. Ia bahkan menyesal tidak bisa menghadiri pernikahan Widya dan Rinto karena harus bertugas di lapangan. Seharusnya, Rinto memahami Widya dan masa lalunya sebagai penghuni panti asuhan yang dekat dengan sesama penghuni. Bukannya menghakimi kedekatannya dengan Sakti!

Tehnya belum habis, namun Widya tak berselera lagi untuk menghabiskannya. Ia hanya duduk dengan lengan bertumpu di meja makan. Merenungkan kembali apa yang baru saja terjadi. Dengan air mata yang kembali mengalir.

Dering ponsel membuat Widya tersentak. Ia meraih benda kecil yang diletakkan di dekat cangkirnya itu. Berharap bahwa nama Rinto tertera di sana. Harapannya juga tentunya adalah bahwa Rinto berubah pikiran dan bersedia memperbaiki hubungan mereka sekali lagi.

Namun, nama yang tertera bukanlah nama sang suami. Melainkan nama Sakti, pria yang dituduh menjadi biang kerok dari kandasnya pernikahan Widya dan Rinto.

Widya tertegun menatap layar ponselnya. Setelah tiga hari menghilang, pria yang bagai abangnya itu kembali menghubunginya. Di saat pernikahan Widya sudah berada di titik akhir. Pernikahan yang kandas dan konon disebabkan oleh keberadaan Sakti di antara Widya dan Rinto.

Widya membiarkan bunyi panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Ia mengembuskan napas, lalu meletakkan kembali ponselnya. Setelah apa yang terjadi dengan Rinto, untuk sementara, Widya tak ingin berhubungan dengan Sakti lagi. Meskipun sesungguhnya tidak ada masalah dengan Sakti, Widya hanya ingin menjauh darinya. Entah sampai kapan.

Sesaat setelah ponselnya tak berbunyi lagi, terdengar bunyi bel di depan rumah.

Widya bergegas membuka pintu. Siapa tahu, Rinto kembali setelah berubah pikiran …. Widya bahkan melupakan kewaspadaannya demi Rinto. Padahal, biasanya ia mengintip dulu dari balik jendela sebelum membukakan pintu pada tamu yang menekan bel.

Sayangnya, harapan Widya lagi-lagi tak terkabul. Alih-alih melihat sosok Rinto, yang berdiri di hadapannya adalah seseorang yang tidak ingin ia lihat keberadaannya saat ini. Sakti.

“Maaf aku baru ke sini lagi. Aku baru pulang dari dinas,” ucap pria itu dengan tutur kata yang penuh kelembutan, terutama pada Widya. Berkarir bertahun-tahun di militer tidak membuatnya melupakan tutur kata santun itu.

Widya terperangah. Sosok kekar yang menjadi pria paling dekat dengannya selama ini, rupanya tidak bisa ia hindari hanya dengan menolak panggilan teleponnya. Sakti terlalu keras kepala. Terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Reuni Keluarga

    Rimba menjadi hadirin yang bertepuk tangan paling keras saat Widya menyelesaikan lagu. Ia sangat bahagia mendengar lirik lagu yang keluar dari mulut Widya, seolah-olah kata-kata puitis dan romantis itu dilantunkan khusus untuknya.“Suaramu bagus,” puji Rimba tanpa menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya tampak lega setelah Widya menyelesaikan nyanyiannya.Widya tersentak mendengar pujian itu. Namun kemudian, dengan tersipu ia mengucapkan terima kasih. Barangkali, baru kali ini ada orang yang memuji suaranya.Di sisi lain, usai menyaksikan pertunjukan Widya, Rimba menjadi bersemangat untuk melakukan hal yang sebelumnya membuat ia malu. Maka, ia pun pamit sejenak pada hadirin di sekitarnya, termasuk Daud dan istrinya. Ada sesuatu yang harus ia ambil di mobilnya.Sarah yang memahami maksud adiknya, mengacungkan dua jempol. Memberi semangat agar Rimba tidak mundur dalam melaksanakan niatnya.Rimba hanya tertawa tanpa suara, lalu bergegas

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Lamaran

    Setelah penyelidikan insiden pos jaga yang memakan waktu sangat lama tersebut, Sarah dan Rimba belum mengambil kasus baru lagi. Mereka cuti panjang untuk memulihkan diri usai kasus yang nyaris merenggut nyawa mereka tersebut.Di lain pihak, Widya dan Rinto telah resmi bercerai. Juga mengundurkan diri dari kepolisian meski demi alasan yang berbeda. Rinto melepaskan lencananya karena alasan kesehatan setelah hampir terbunuh oleh anak buah Sakti. Ia akan menjalankan bisnis keluarga sebagai kontraktor pengadaan fasilitas kepolisian. Sedangkan Widya memberikan alasan yang tidak terlalu mengejutkan.“Aku menjadi polwan karena keinginan Bang Sakti. Setelah apa yang terjadi, aku tidak mau dikaitkan lagi dengan orang gila itu, termasuk dengan berhenti menjadi polisi,” jelas Widya, setiap kali ada yang menanyakan alasannya berhenti menjadi aparat penegak hukum.Dari sisi romantisnya, Rinto akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sarah. Bulan lalu, ia melamar Sarah

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Tentang Keluarga

    Namun Prakasa tetap bersikap tenang. Dengan santai ia melepaskan cengkeraman Sakti yang lemah.“Aku lega karena Daud dan orang-orangnya tidak mencurigaiku. Selain karena kasus penguasaan kota ini, kau mungkin akan diburu karena kasus pembantaian dua tahun lalu itu. Terima kasih, anakku. Kau sudah menutupi apa yang sudah aku lakukan terhadap putra Daud itu,” lanjut Prakasa. Ia mencium kening Sakti dengan lembut.“Kau pasti paham, mengapa aku membantai prajurit-prajurit muda itu dan memfitnah Rizwan. Setelah nama Daud tercoreng karena kasus itu, aku bisa melesat sendirian dan mendapatkan posisi puncak ini. Yah, walaupun kelihatannya, aku akan kesulitan mempertahankannya setelah kegagalanmu yang memalukan ini.”Sakti terperangah. Merintih, mencoba untuk berbicara pada Prakasa yang hendak meninggalkan kamar tempatnya dirawat.Sebelum membuka pintu, Prakasa berbalik untuk mengucapkan satu lagi pengakuan yang membuat Sakti terbelalak tak

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Kebenaran

    Prakasa mengembuskan napas kasar saat melihat keadaan Sakti. Luka-lukanya membuat perwira super itu harus tergolek lemah di ranjang. Luka di lidah, dagu dan bahunya telah diobati, namun mentalnya tidak akan terobati secepat itu.Prakasa kembali mengembuskan napas kasar saat melihat tatapan dan ekspresi Sakti. Bola mata yang membesar dengan otot-otot wajah yang menegang menunjukkan betapa terguncangnya pemuda itu.Yah, kekalahan memang sulit diterima jika kau terbiasa menjadi yang terbaik. Prakasa lupa mengajarkan hal itu, hingga Sakti harus mendapatkannya dengan cara yang tak hanya sangat keras, tetapi juga kejam.“Kau ingat,” ujar Prakasa sambil mendudukkan diri di tepi ranjang, “saat kita pertama kali bertemu. Setelah kau membantai keluarga perempuan yang hatinya tidak bisa kau taklukkan itu? Aku membungkam mulutmu, ‘kan?”Sakti yang belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melirik sekilas. Ia hanya bisa menunggu ke

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Akhir Duel

    Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Organ

    Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status