Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.
“Aku berangkat.”
Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.
“Abang, bagaimana dengan …”
“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.
Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.
“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”
Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.
“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”
Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terlihat bosan dan gusar.
“Tapi aku juga tahu bagaimana membedakan hubungan layaknya abang dan adik dengan hubungan yang berbeda seperti kalian berdua,” tukas Rinto lagi.
Rinto menjulurkan kedua tangan di depan Widya. Menunjuk sekujur tubuh wanita itu dengan wajah jijik.
“Lihat dirimu. Kau pikir aku percaya, kau dengan letkol angkatan darat itu tidak ada hubungan apa-apa? Bahwa kau hanya menganggapnya abang, seorang kakak? Widya, kita ini sama-sama polisi. Kau pasti tahu, bagaimana tingkah seseorang jika tengah berdusta. Seperti dirimu saat ini, dengan air mata palsu itu!”
Widya terperangah. Ia baru menyadari bahwa air matanya sudah mengalir di pipi. Air mata yang dituduh ‘palsu’ oleh Rinto, suaminya sendiri.
Rinto mendengus sinis, lalu beranjak meninggalkan Widya. Ia tidak menoleh lagi. Demikian pula Widya yang masih terkejut dengan dirinya sendiri. Ia tidak memanggil Rinto lagi, apalagi mencegahnya pergi.
Setelah deru mobil Rinto terdengar menjauh, Widya menghapus air matanya. Ia menarik napas berkali-kali, sebelum beranjak kembali ke meja makan tempat cangkir tehnya diletakkan.
Terbayang kembali kenangan saat ia pertama kali melihat Rinto di akademi. Juga saat mereka pertama kali saling berbincang di mal, delapan tahun yang lalu. Juga kencan demi kencan, termasuk beberapa kali kunjungan ke panti asuhan tempat Widya dibesarkan. Serta pernikahan mereka dua tahun silam.
Semudah itukah Rinto mencampakkan Widya? Sakti bukanlah pria yang dicintai oleh Widya. Sakti adalah abang bagi Widya. Titik. Ia bahkan menyesal tidak bisa menghadiri pernikahan Widya dan Rinto karena harus bertugas di lapangan. Seharusnya, Rinto memahami Widya dan masa lalunya sebagai penghuni panti asuhan yang dekat dengan sesama penghuni. Bukannya menghakimi kedekatannya dengan Sakti!
Tehnya belum habis, namun Widya tak berselera lagi untuk menghabiskannya. Ia hanya duduk dengan lengan bertumpu di meja makan. Merenungkan kembali apa yang baru saja terjadi. Dengan air mata yang kembali mengalir.
Dering ponsel membuat Widya tersentak. Ia meraih benda kecil yang diletakkan di dekat cangkirnya itu. Berharap bahwa nama Rinto tertera di sana. Harapannya juga tentunya adalah bahwa Rinto berubah pikiran dan bersedia memperbaiki hubungan mereka sekali lagi.
Namun, nama yang tertera bukanlah nama sang suami. Melainkan nama Sakti, pria yang dituduh menjadi biang kerok dari kandasnya pernikahan Widya dan Rinto.
Widya tertegun menatap layar ponselnya. Setelah tiga hari menghilang, pria yang bagai abangnya itu kembali menghubunginya. Di saat pernikahan Widya sudah berada di titik akhir. Pernikahan yang kandas dan konon disebabkan oleh keberadaan Sakti di antara Widya dan Rinto.
Widya membiarkan bunyi panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Ia mengembuskan napas, lalu meletakkan kembali ponselnya. Setelah apa yang terjadi dengan Rinto, untuk sementara, Widya tak ingin berhubungan dengan Sakti lagi. Meskipun sesungguhnya tidak ada masalah dengan Sakti, Widya hanya ingin menjauh darinya. Entah sampai kapan.
Sesaat setelah ponselnya tak berbunyi lagi, terdengar bunyi bel di depan rumah.
Widya bergegas membuka pintu. Siapa tahu, Rinto kembali setelah berubah pikiran …. Widya bahkan melupakan kewaspadaannya demi Rinto. Padahal, biasanya ia mengintip dulu dari balik jendela sebelum membukakan pintu pada tamu yang menekan bel.
Sayangnya, harapan Widya lagi-lagi tak terkabul. Alih-alih melihat sosok Rinto, yang berdiri di hadapannya adalah seseorang yang tidak ingin ia lihat keberadaannya saat ini. Sakti.
“Maaf aku baru ke sini lagi. Aku baru pulang dari dinas,” ucap pria itu dengan tutur kata yang penuh kelembutan, terutama pada Widya. Berkarir bertahun-tahun di militer tidak membuatnya melupakan tutur kata santun itu.
Widya terperangah. Sosok kekar yang menjadi pria paling dekat dengannya selama ini, rupanya tidak bisa ia hindari hanya dengan menolak panggilan teleponnya. Sakti terlalu keras kepala. Terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja.
“Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a
Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa
Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul
Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha
Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag
Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh