Dua tahun yang lalu.
Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?
Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.
Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.
Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berhasil melumpuhkan musuh yang sudah melukainya.
Meskipun ia juga tidak mengetahui jumlah musuh yang mungkin berada di sekitarnya, Rizwan merasa dirinya kini cukup aman karena posnya berada tidak jauh dari tempatnya merebahkan diri saat ini. Rekan-rekannya akan mencari dan menemukannya. Terlebih setelah mendengar bunyi dua tembakan saat Rizwan berhadapan dengan musuh.
Tanpa alat komunikasi apa pun karena hilang saat berduel, pilihan Rizwan memang hanya menunggu bantuan tiba. Ia tidak akan bertindak konyol dengan menembak ke udara untuk mendapatkan perhatian kawan-kawannya. Tindakan gegabah yang bisa saja memancing musuh dalam jumlah yang lebih banyak untuk mendekat.
Rupanya, setelah nyaris tewas saat duel dengan musuh yang belum ia ketahui identitasnya, Rizwan masih diselimuti keberuntungan. Di bawah cahaya fajar yang menyingsing, ia mendengar langkah kaki yang terdengar cukup jelas di atas rumput yang kering. Dari langkahnya yang terdengar percaya diri dan tidak mengendap-ngendap, Rizwan tahu bahwa pemilik langkah kaki itu adalah sosok yang terbiasa dengan wilayah ini. Itu pasti salah seorang rekannya di pos!
“Rizwan?”
Rizwan tersentak saat melihat sosok yang menyebut namanya itu. Seharusnya sosok itu tidak berada di sini. Apa yang dia lakukan di sini?
“Siap, Pak. Saya tidak mengira, Bapak ada di sini.”
Pria yang baru tiba itu tak menghiraukan ucapan Rizwan dan segera memeriksa keadaan Rizwan.
“Pak, saya menembak penyusup itu,” lapor Rizwan sambil menunjuk tubuh yang tergeletak di dekatnya. Ia meringis saat pahanya diperiksa.
Pria itu menoleh pada tubuh yang tergeletak tersebut.
“Aku akan menyuruh yang lain memeriksa ke sini. Sekarang, kita obati dulu lukamu. Kau bisa berjalan?” tanya pria itu seraya membantu Rizwan berdiri.
“Bisa, Pak.”
Dengan dibantu oleh pria yang ternyata adalah atasannya, Rizwan bergerak kembali ke pos. Tubuhnya terasa terbakar, terutama di bagian yang tertembak. Namun Rizwan kini merasa lega karena telah berjumpa dengan kawan sendiri.
Setelah beberapa menit menahan sakit yang luar biasa, Rizwan tiba di pos. Wajah Rizwan kini menjadi cerah. Senyumnya melengkung membayangkan pengobatan yang akan mengurangi penderitaannya.
Akan tetapi, saat tiba di depan pos, Rizwan dibuat terperangah. Terlalu terkejut hingga tak bisa mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu dan wajahnya memucat. Bau anyir membuat Rizwan mual hingga limbung.
Enam orang rekan yang dalam bayangannya akan ia jumpai, ternyata berkumpul di depan pos dalam keadaan yang tak pernah Rizwan bayangkan. Tubuh mereka bertumpuk satu sama lain dengan leher yang mengeluarkan darah. Di dekat mereka, teronggok pisau-pisau berlumuran darah.
“Pak … apa yang terjadi dengan teman-teman kita?” tanya Rizwan terbata-bata. Ia mencium gelagat buruk. Sangat buruk.
Dengan tangan bergetar, pistol di tangan Rizwan terangkat untuk diarahkan pada atasannya. Melihat gelagat sang atasan yang tenang, Rizwan tahu bahwa pria itu kemungkinan besar terlibat dalam pembantaian itu.
Akan tetapi, meski telah siap menembak, Rizwan tidak juga menarik pelatuknya. Bahkan, perlahan Rizwan mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri!
“A-apa yang terjadi?” tanya Rizwan terbata-bata. Susah payah ia menahan tangannya agar tidak membidik pelipisnya sendiri. Namun upayanya sia-sia, tangan kekar itu tetap menempelkan moncong pistol ke pemilik tubuh itu sendiri.
Satu tembakan lagi kembali membelah kesunyian. Tembakan yang mengejutkan seisi hutan, hingga membuat burung-burung beterbangan menjauh.
Tubuh Rizwan yang tak bernyawa lagi, diletakkan di dalam pos dengan pistol dibiarkan tergeletak di dekat kakinya. Terpisah dengan rekan-rekannya yang lebih dahulu menemui Sang Pencipta. Dengan bensin dan pemantik, tubuh Rizwan dan keenam tentara tersebut dibakar bersama pos jaga yang menjadi rumah mereka selama enam bulan terakhir itu.
Atasan Rizwan tersebut memandang api yang berkobar. Setelah berkali-kali mengembuskan napas berat, ia berbalik dengan tangan masih memegang pistol yang siap ditembakkan. Masih ada satu pekerjaan yang harus ia selesaikan agar ia bisa meninggalkan daerah ini dengan tenang.
Pria berdarah dingin tersebut kembali menyusuri jalan yang sebelumnya ia lalui bersama Rizwan. Hingga akhirnya ia tiba di tempat di mana ia menemukan Rizwan yang sebelumnya terbaring tanpa berdaya.
Seharusnya masih ada satu tubuh lagi di tempat itu. Tubuh musuh yang konon telah ditembak mati oleh Rizwan.
Namun, saat atasan Rizwan tersebut itu tiba di sana, tubuh itu telah raib. Hanya jejak darah yang tertinggal di atas rerumputan kering yang ikut menjadi saksi pengkhianatan dan pembantaian pagi itu.
Rimba menjadi hadirin yang bertepuk tangan paling keras saat Widya menyelesaikan lagu. Ia sangat bahagia mendengar lirik lagu yang keluar dari mulut Widya, seolah-olah kata-kata puitis dan romantis itu dilantunkan khusus untuknya.“Suaramu bagus,” puji Rimba tanpa menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya tampak lega setelah Widya menyelesaikan nyanyiannya.Widya tersentak mendengar pujian itu. Namun kemudian, dengan tersipu ia mengucapkan terima kasih. Barangkali, baru kali ini ada orang yang memuji suaranya.Di sisi lain, usai menyaksikan pertunjukan Widya, Rimba menjadi bersemangat untuk melakukan hal yang sebelumnya membuat ia malu. Maka, ia pun pamit sejenak pada hadirin di sekitarnya, termasuk Daud dan istrinya. Ada sesuatu yang harus ia ambil di mobilnya.Sarah yang memahami maksud adiknya, mengacungkan dua jempol. Memberi semangat agar Rimba tidak mundur dalam melaksanakan niatnya.Rimba hanya tertawa tanpa suara, lalu bergegas
Setelah penyelidikan insiden pos jaga yang memakan waktu sangat lama tersebut, Sarah dan Rimba belum mengambil kasus baru lagi. Mereka cuti panjang untuk memulihkan diri usai kasus yang nyaris merenggut nyawa mereka tersebut.Di lain pihak, Widya dan Rinto telah resmi bercerai. Juga mengundurkan diri dari kepolisian meski demi alasan yang berbeda. Rinto melepaskan lencananya karena alasan kesehatan setelah hampir terbunuh oleh anak buah Sakti. Ia akan menjalankan bisnis keluarga sebagai kontraktor pengadaan fasilitas kepolisian. Sedangkan Widya memberikan alasan yang tidak terlalu mengejutkan.“Aku menjadi polwan karena keinginan Bang Sakti. Setelah apa yang terjadi, aku tidak mau dikaitkan lagi dengan orang gila itu, termasuk dengan berhenti menjadi polisi,” jelas Widya, setiap kali ada yang menanyakan alasannya berhenti menjadi aparat penegak hukum.Dari sisi romantisnya, Rinto akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sarah. Bulan lalu, ia melamar Sarah
Namun Prakasa tetap bersikap tenang. Dengan santai ia melepaskan cengkeraman Sakti yang lemah.“Aku lega karena Daud dan orang-orangnya tidak mencurigaiku. Selain karena kasus penguasaan kota ini, kau mungkin akan diburu karena kasus pembantaian dua tahun lalu itu. Terima kasih, anakku. Kau sudah menutupi apa yang sudah aku lakukan terhadap putra Daud itu,” lanjut Prakasa. Ia mencium kening Sakti dengan lembut.“Kau pasti paham, mengapa aku membantai prajurit-prajurit muda itu dan memfitnah Rizwan. Setelah nama Daud tercoreng karena kasus itu, aku bisa melesat sendirian dan mendapatkan posisi puncak ini. Yah, walaupun kelihatannya, aku akan kesulitan mempertahankannya setelah kegagalanmu yang memalukan ini.”Sakti terperangah. Merintih, mencoba untuk berbicara pada Prakasa yang hendak meninggalkan kamar tempatnya dirawat.Sebelum membuka pintu, Prakasa berbalik untuk mengucapkan satu lagi pengakuan yang membuat Sakti terbelalak tak
Prakasa mengembuskan napas kasar saat melihat keadaan Sakti. Luka-lukanya membuat perwira super itu harus tergolek lemah di ranjang. Luka di lidah, dagu dan bahunya telah diobati, namun mentalnya tidak akan terobati secepat itu.Prakasa kembali mengembuskan napas kasar saat melihat tatapan dan ekspresi Sakti. Bola mata yang membesar dengan otot-otot wajah yang menegang menunjukkan betapa terguncangnya pemuda itu.Yah, kekalahan memang sulit diterima jika kau terbiasa menjadi yang terbaik. Prakasa lupa mengajarkan hal itu, hingga Sakti harus mendapatkannya dengan cara yang tak hanya sangat keras, tetapi juga kejam.“Kau ingat,” ujar Prakasa sambil mendudukkan diri di tepi ranjang, “saat kita pertama kali bertemu. Setelah kau membantai keluarga perempuan yang hatinya tidak bisa kau taklukkan itu? Aku membungkam mulutmu, ‘kan?”Sakti yang belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melirik sekilas. Ia hanya bisa menunggu ke
Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k
Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,