Share

Tak Seperti di Film

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 10:25:58

Dua tahun yang lalu.

Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?

Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.

Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.

Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berhasil melumpuhkan musuh yang sudah melukainya.

Meskipun ia juga tidak mengetahui jumlah musuh yang mungkin berada di sekitarnya, Rizwan merasa dirinya kini cukup aman karena posnya berada tidak jauh dari tempatnya merebahkan diri saat ini. Rekan-rekannya akan mencari dan menemukannya. Terlebih setelah mendengar bunyi dua tembakan saat Rizwan berhadapan dengan musuh.

Tanpa alat komunikasi apa pun karena hilang saat berduel, pilihan Rizwan memang hanya menunggu bantuan tiba. Ia tidak akan bertindak konyol dengan menembak ke udara untuk mendapatkan perhatian kawan-kawannya. Tindakan gegabah yang bisa saja memancing musuh dalam jumlah yang lebih banyak untuk mendekat.

Rupanya, setelah nyaris tewas saat duel dengan musuh yang belum ia ketahui identitasnya, Rizwan masih diselimuti keberuntungan. Di bawah cahaya fajar yang menyingsing, ia mendengar langkah kaki yang terdengar cukup jelas di atas rumput yang kering. Dari langkahnya yang terdengar percaya diri dan tidak mengendap-ngendap, Rizwan tahu bahwa pemilik langkah kaki itu adalah sosok yang terbiasa dengan wilayah ini. Itu pasti salah seorang rekannya di pos!

“Rizwan?”

Rizwan tersentak saat melihat sosok yang menyebut namanya itu. Seharusnya sosok itu tidak berada di sini. Apa yang dia lakukan di sini?

“Siap, Pak. Saya tidak mengira, Bapak ada di sini.”

Pria yang baru tiba itu tak menghiraukan ucapan Rizwan dan segera memeriksa keadaan Rizwan.

“Pak, saya menembak penyusup itu,” lapor Rizwan sambil menunjuk tubuh yang tergeletak di dekatnya. Ia meringis saat pahanya diperiksa.

Pria itu menoleh pada tubuh yang tergeletak tersebut.

“Aku akan menyuruh yang lain memeriksa ke sini. Sekarang, kita obati dulu lukamu. Kau bisa berjalan?” tanya pria itu seraya membantu Rizwan berdiri.

“Bisa, Pak.”

Dengan dibantu oleh pria yang ternyata adalah atasannya, Rizwan bergerak kembali ke pos. Tubuhnya terasa terbakar, terutama di bagian yang tertembak. Namun Rizwan kini merasa lega karena telah berjumpa dengan kawan sendiri.

Setelah beberapa menit menahan sakit yang luar biasa, Rizwan tiba di pos. Wajah Rizwan kini menjadi cerah. Senyumnya melengkung membayangkan pengobatan yang akan mengurangi penderitaannya.

Akan tetapi, saat tiba di depan pos, Rizwan dibuat terperangah. Terlalu terkejut hingga tak bisa mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu dan wajahnya memucat. Bau anyir membuat Rizwan mual hingga limbung.

Enam orang rekan yang dalam bayangannya akan ia jumpai, ternyata berkumpul di depan pos dalam keadaan yang tak pernah Rizwan bayangkan. Tubuh mereka bertumpuk satu sama lain dengan leher yang mengeluarkan darah. Di dekat mereka, teronggok pisau-pisau berlumuran darah.

“Pak … apa yang terjadi dengan teman-teman kita?” tanya Rizwan terbata-bata. Ia mencium gelagat buruk. Sangat buruk.

Dengan tangan bergetar, pistol di tangan Rizwan terangkat untuk diarahkan pada atasannya. Melihat gelagat sang atasan yang tenang, Rizwan tahu bahwa pria itu kemungkinan besar terlibat dalam pembantaian itu.

Akan tetapi, meski telah siap menembak, Rizwan tidak juga menarik pelatuknya. Bahkan, perlahan Rizwan mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri!

“A-apa yang terjadi?” tanya Rizwan terbata-bata. Susah payah ia menahan tangannya agar tidak membidik pelipisnya sendiri. Namun upayanya sia-sia, tangan kekar itu tetap menempelkan moncong pistol ke pemilik tubuh itu sendiri.

Satu tembakan lagi kembali membelah kesunyian. Tembakan yang mengejutkan seisi hutan, hingga membuat burung-burung beterbangan menjauh.

Tubuh Rizwan yang tak bernyawa lagi, diletakkan di dalam pos dengan pistol dibiarkan tergeletak di dekat kakinya. Terpisah dengan rekan-rekannya yang lebih dahulu menemui Sang Pencipta. Dengan bensin dan pemantik, tubuh Rizwan dan keenam tentara tersebut dibakar bersama pos jaga yang menjadi rumah mereka selama enam bulan terakhir itu.

Atasan Rizwan tersebut memandang api yang berkobar. Setelah berkali-kali mengembuskan napas berat, ia berbalik dengan tangan masih memegang pistol yang siap ditembakkan. Masih ada satu pekerjaan yang harus ia selesaikan agar ia bisa meninggalkan daerah ini dengan tenang.

Pria berdarah dingin tersebut kembali menyusuri jalan yang sebelumnya ia lalui bersama Rizwan. Hingga akhirnya ia tiba di tempat di mana ia menemukan Rizwan yang sebelumnya terbaring tanpa berdaya.

Seharusnya masih ada satu tubuh lagi di tempat itu. Tubuh musuh yang konon telah ditembak mati oleh Rizwan.

Namun, saat atasan Rizwan tersebut itu tiba di sana, tubuh itu telah raib. Hanya jejak darah yang tertinggal di atas rerumputan kering yang ikut menjadi saksi pengkhianatan dan pembantaian pagi itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terhubung

    “Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terselamatkan

    Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   TV Kabel

    Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Perpisahan

    Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Putra Sang Jenderal

    Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Tak Seperti di Film

    Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status