Widya menyerahkan dokumen yang baru saja ia tanda tangani pada stafnya. Setelah ia kembali sendirian di ruangannya, Widya merebahkan kepalanya pada sandaran kursi. Mengembuskan napas sambil memijat sedikit keningnya.
Bayangan masa lalunya bersama Rinto melintas di benaknya yang tengah kalut. Mulai dari pertemuan pertama kali saat ia masih belasan tahun, hingga masa-masa selama pernikahan mereka berlangsung.
Widya tahu, ia memikirkan Rinto pada saat jam kerja seperti ini bukan tanpa alasan. Proses perceraian yang memakan waktu, tenaga dan pikirannya—di sisi lain—telah membangkitkan kenangan masa lalunya bersama seniornya di akademi kepolisian itu.
Jika tidak mengingat bahwa saat ini ia sedang bekerja, Widya pasti sudah menangis. Meratapi kegagalan pernikahannya dengan Rinto yang singkat.
Meskipun Widya berusaha menjelaskan, Rinto tak mau mendengar apa-apa lagi. Pria itu sudah muak karena harus memaklumi kedekatan Widya dengan Sakti.
Pada
Sakti dijuluki Perwira Super bukan tanpa alasan. Misi demi misi, tugas demi tugas yang diamanatkan padanya, semuanya terlaksana dengan sempurna. Bahkan sesekali, membawa hasil yang melebihi harapan.Dua bulan bertugas di lapangan, puluhan anggota gerombolan pengacau keamanan ditangkap atau bahkan terbunuh dalam berbagai kontak senjata. Sementara di pihak Sakti, hanya segelintir korban luka-luka.Meskipun sudah menjadi seorang komandan batalyon, Sakti tetap turun langsung ke lapangan untuk memastikan kesuksesan tugas mereka. Ia tahu, hal ini kadang menjadi sorotan karena Sakti tetap turun langsung meskipun tugas yang diamanatkan terhitung ‘ringan’. Namun Sakti tak peduli.“Saya hanya ingin meminimalisir korban di pihak kita. Saya ingin kita semua bisa pulang dalam keadaan hidup untuk menemui orang-orang yang kita cintai,” jelas Sakti saat salah seorang bawahannya bertanya, mengapa Sakti selalu mengupayakan turun langsung ke lapangan meskip
Hingga satu tahun yang lalu, Daud tidak bisa menemukan siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas insiden di pos jaga yang merenggut nyawa dan nama baik Rizwan. Dokumentasi dan catatan lainnya dalam kasus tersebut sangat sulit ia dapatkan meskipun saat ini Daud adalah petinggi di angkatan darat. Seolah-olah ada yang menutup-nutupi kasus ini hingga pengadilan militer memutuskan bahwa Rizwan menderita skizofrenia hingga nekad membantai kawan-kawannya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri.Tapi, jika benar Rizwan menderita penyakit kejiwaan itu, mengapa tindakannya seperti direncanakan dengan matang? Dia membunuh rekan-rekan yang semuanya adalah bawahannya dengan menggunakan pisau yang tidak menimbulkan suara seperti senjata api. Lalu, setelah itu, mengapa Rizwan justru menembak kepalanya sendiri, bukannya merobek lehernya sendiri menggunakan pisau?Fakta yang lebih aneh lagi adalah, kenapa dia harus repot-repot membakar tubuh para korbannya dan dirinya sendiri? Apakah
Widya menyerahkan dokumen yang baru saja ia tanda tangani pada stafnya. Setelah ia kembali sendirian di ruangannya, Widya merebahkan kepalanya pada sandaran kursi. Mengembuskan napas sambil memijat sedikit keningnya.Bayangan masa lalunya bersama Rinto melintas di benaknya yang tengah kalut. Mulai dari pertemuan pertama kali saat ia masih belasan tahun, hingga masa-masa selama pernikahan mereka berlangsung.Widya tahu, ia memikirkan Rinto pada saat jam kerja seperti ini bukan tanpa alasan. Proses perceraian yang memakan waktu, tenaga dan pikirannya—di sisi lain—telah membangkitkan kenangan masa lalunya bersama seniornya di akademi kepolisian itu.Jika tidak mengingat bahwa saat ini ia sedang bekerja, Widya pasti sudah menangis. Meratapi kegagalan pernikahannya dengan Rinto yang singkat.Meskipun Widya berusaha menjelaskan, Rinto tak mau mendengar apa-apa lagi. Pria itu sudah muak karena harus memaklumi kedekatan Widya dengan Sakti.Pada
“Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a
Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa
Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul