“Sesil sudah nggak ada kabar sama sekali sejak dia memutuskan untuk pergi bekerja di tempat lain. Nggak terasa udah empat bulan kami nggak berhubungan. Nomornya juga nggak aktif. Segitu ketatnya ya? Kasihan dia. Aku kangen curhat-curhatan sama dia. Sampai rahasianya Mas Gifar saja aku beberkan padanya. Memang ya, sahabat bisa lebih dari keluarga sendiri. Tapi anehnya, aku nggak pernah cerita tentang Sesil sama Mas Gifar. Nggak perlu juga sih menurutku. Lagian, Mas Gifar juga males kalau aku ceritain tentang wanita lain. Dia memang laki-laki idaman. Setia meski sudah bergelimang harta. Suamiku memang hebat, pantas dia sering menuntutku agar tetap terlihat cantik.”
Sambil memegang ponsel dan melihat rekam jejak percakapan dengan Sesil, Khumaira bergumam tentang rasa kehilangan sahabatnya itu.Khumaira dan Sesil menjadi dekat sejak mereka bertemu di tempat kerja. Mereka tinggal satu kos hingga Khumaira menikah dengan Gifar yang tak sengaja berjumpa di kedai kopi milik laki-laki itu.Sebenarnya Sesil dan Gifar pernah berjumpa. Namun, penampilan Sesil waktu itu tidak seperti sekarang. Ditambah Gifar memang tak peduli pada wanita lain setelah jatuh hati pada Khumaira. Ketika Laela menjodohkan keduanya tanpa sepengetahuan Khumaira, Gifar tak mengingat Sesil sama sekali. Beda hal dengan Sesil.“Semoga kamu baik-baik saja di tempat kerjamu ya, Sil. Semoga juga kamu cepat menikah sama laki-laki idamanmu itu.”Setelah puas berbicara sendiri di depan layar ponsel, Khumaira meletakkan kembali benda pilih itu di atas meja. Rasa rindunya hanya bisa dilampiaskan dengan berbicara di layar ponsel yang menunjukkan percakapannya dengan Sesil.“Makin dewasa, makin sedikit orang yang dipercaya. Aku memang banyak kenalan lewat bisnis kueku, tapi nggak bisa curhat bebas seperti ke Sesil. Aku jadi tambah kangen.” Khumaira menghela napas untuk membuang perasaan yang mengganjal hatinya.Khumaira masih setia menunggu Gifar yang sedang mandi di meja makan. Karena kesendirian, pikiran Khumaira jadi melanglang buana.***Baru saja selesai mandi, ponsel Gifar berbunyi. Laki-laki yang masih mengenakan handuk itu mengambil benda yang berkedip-kedip di atas nakas.“Ibu, apalagi yang ingin diinginkan,” gumam Gifar ketika layar ponselnya tertulis nama Ibu di sana.Jika Laela menghubungi, artinya pembicaraan akan tertuju ke Sesil. Laela begitu menyayangi menantu barunya yang kini tengah mengandung empat bulan. Dalam waktu yang sangat singkat, keinginannya seketika terkabul. Padahal Gifar hanya sekali menjamah wanita itu. Namun, di luar dugaan hasilnya sesuai yang Laela harapkan.Gifar membuang napas sebelum mengangkat telepon dar Laela. Meski Sesil sudah hamil, rasa bersalah terhadap Khumaira lebih besar dari segalanya. Ia tak bisa sesenang Laela.“Iya, Ibu. Ada apa? Aku baru mandi, belum pakai baju juga.”“Gifar, masa ngomongnya ketus gitu sih? Ini ibumu loh, Gi.”“Iya, Bu, ada apa?” tanya Gifar lagi tidak mau memperkeruh keadaan.“Besok kamu ingat kan? Acara empat bulannya Sesil, kamu harus datang ke sini. Jangan pura-pura lupa, Gi.”Lagi, udara kehidupan terhempas kasar dari lubang hidung Gifar. Rasa sayang yang Laela berikan untuk Sesil, membuat Gifar tersakiti sebab perlakuan ibunya itu tak sehangat saat bersama Khumaira.“Iya, aku pasti ke situ.”“Kalau mau ajak Khumaira juga boleh. Lama kelamaan, pernikahanmu dengan Sesil pasti diketahui oleh Khumaira, Gi. Bukankah lebih baik diberi tahu secepatnya, daripada nanti Khumaira tahu dari mulut orang lain.”Padahal Laela telah berjanji akan menutup rapat-rapat hubungan Gifar dengan Sesil, tetapi sekarang sudah beda lagi. Karena Sesil yang sudah mengandung calon cucunya, membuat Laela ingin memamerkannya di hadapan Khumaira. Dengan kata lain, ia ingin mengatakan kalau anaknya bisa menghamili wanita lain dan mungkin masalah ada di rahim Khumaira.“Bu, bukankah Ibu akan menutupi hubunganku dengan Sesil agar Khumaira tidak merasa sakit hati, kenapa sekarang menawarkan hal semacam itu? Aku nggak mungkin membawanya datang ke rumah Ibu yang jelas ada Sesil di sana. Aku akan mengatakannya nanti kalau keadaannya sudah memungkinkan. Ibu harus tetap merahasiakannya. Jangan sampai Khumaira tahu, Bu. Ibu kan ngomong sama orang-orang kalau Sesil pembantu di rumah Ibu, harusnya tetap seperti itu sampai aku sudah siap, Bu.”Laela kini membuang napas. Ia sudah sangat ingin mengumbar calon cucunya ke banyak orang. Namun, ia harus menahan diri. Acara yang akan dilakukan pun hanya sebatas syukuran tanpa diberitahu apa niat sesungguhnya kepada orang yang akan hadir.“Baiklah, Gi. Yang penting kamu datang di syukuran anakmu yang keempat bulan. Kamu harus bersyukur dapat anak dari Sesil loh, Gi. Hanya sekali kan, kalian melakukannya. Ternyata apa, Gi? Langsung jadi kan? Artinya Sesil itu rahimnya subur. Nggak kayak Khumaira. Sudah tiga tahun masih aja belum kelihatan hasilnya. Artinya rahimnya kering kan, Gi. Udah penampilannya suka-suka dia, rahimnya nggak subur lagi.”Sudah sangat sering Laela mengatakan kekurangan Khumaira yang bagi Gifar bukanlah sebuah kekurangan. Memang belum diamanahi saja. Bukan karena seperti yang Laela katakan tadi. Nyatanya memang Khumaira sehat sesuai hasil pemeriksaan. Bahkan beberapa kali telah melakukannya pun hasilnya tetap sama.“Aku akan ke rumah Ibu. Sekarang aku mau pakai baju dulu, Bu. Aku matikan. Assalamualaikum!”Karena memang sudah merasa semakin kesal, Gifar harus mengakhiri perbincangannya dengan Laela. Khumaira selalu cacat di mata Laela dan itu membuat hati Gifar makin terasa tersayat.“Selalu begitu! Apa Ibu nggak bisa melihat kebaikan dari Khumaira sedikit pun? Kedatangan Sesil makin menyudutkan posisi Khumaira. Aku nggak bisa menerimanya, tapi aku harus melakukan apa? Aku bodoh!”Ponsel yang digenggam sengaja dilempar ke atas kasur. Saking tidak punya solusi yang bisa melegakan hatinya, Gifar hanya bisa melampiaskan amarahnya. Itu pun harus disembunyikan dari Khumaira.Meski amarahnya bergejolak, Gifar akan berpura-pura baik-baik saja saat di hadapan istri tercintanya.“Dek, gimana kalau kita periksa lagi. Kita harus tetap berusaha kan?”Ketika Gifar sudah duduk di hadapan Khumaira, ia menyampaikan keinginannya agar Laela bisa lebih menghormati Khumaira sebagai seorang menantu.Namun, Khumaira tampak kebingungan. Ia tersenyum, tetapi ujung bibirnya terasa kaku.“I—iya, Mas. Tapi, mau periksa ke mana lagi? Dokter langganan dan beberapa dokter yang lain kan sudah mengatakan hasil pemeriksaan kita sehat semua. Terus, kita mau periksa ke mana lagi?”Khumaira yang tiba-tiba bicaranya tergagap, membuat Gifar sedikit merasa janggal.Khuma kenapa ya? Bukankah periksa ke dokter lain meski tempatnya jauh tidak jadi masalah? Namanya usaha kan?“Ke mana saja, Dek. Yang penting kita bisa segera punya anak. Nggak apa-apa kan kalau kita tetap usaha? Kamu nggak tersinggung kan, Sayang?”Karena takut menyakiti hati, Gifar menegaskan perkataannya tadi tidak mengusik perasaan istrinya itu.“Nggak kok, Mas. Hanya saja, dokter yang sudah-sudah, hasilnya sama semua, Mas. Kalau cari dokter lain lagi, waktu kita jadi sedikit terganggu kan, Mas? Kamu sibuk, aku juga banyak pesanan kue.”Khumaira seakan mempersulit jalan agar tidak melakukan pemeriksaan ke dokter lain dengan dalih akan mengganggu waktu yang sudah terjadwal. Itu membuat rasa curiga timbul di benak Gifar.Jangan-jangan, Khumaira menyembunyikan sesuatu? Apa susahnya meluangkan waktu demi usaha memiliki seorang buah hati?Gifar mulai menduga-duga motif di balik kata-kata Khumaira yang seakan enggan memeriksakan diri ke dokter lain.“Nggak apa-apa, Sayang. Kan demi seorang anak. Kita harus mengorbankan apa pun demi bisa mendapatkannya. Termasuk waktu kita yang memang sibuk. Kita bisa meluangkannya, Dek.”Dengan hati-hati, Gifar berusaha meyakinkan Khumaira agar mau mengikuti sarannya. Gifar juga tidak mau menjerumuskan diri pada prasangka yang tiba-tiba menghinggapi benaknya.“Baik, Mas. Kapan kita akan melakukannya? Ke mana juga kira-kira kita akan pergi. Aku mau cari tahu lewat media sosial tentang kualitas dokter yang akan kita kunjungi, Mas. Kamu juga mau pergi ke luar kota kan?”Setelah mendapatkan jawaban itu, prasangka di hati Gifar mulai luntur. Khumaira bukan ingin menolak, tetapi mengkhawatirkan penanganan yang nantinya akan dokter baru itu lakukan. Itulah yang Gifar yakini di dalam hati.“Iya juga sih, Dek. Kalau aku sudah pulang, kita cari waktu yang tepat, Dek. Ujian kita soal anak. Jadi, usahanya memang di sekitar itu saja kali ya?”“Iya, Mas.” Senyum Khumaira tersungging, tetapi ada sisi kepedihan
Dengan rasa penasaran yang makin menggebu, Khumaira turun dari mobil sambil membawa oleh-oleh yang telah dipersiapkan untuk mertuanya.Raut wajah yang penuh selidik menemani setiap langkah Khumaira. Jantungnya mendadak berdebar seakan ada firasat yang nantinya akan membuatnya mengetahui sesuatu yang mengejutkan.Apakah benar, Mas Gifar ada di rumah Ibu? Lantas buat apa dia ke sini? Bukankah dia berpamitan ke luar kota tentang bisnisnya?“Maaf, Bu. Ada acara apa ya?” tanya Khumaira kepada seorang wanita yang belum lama ini keluar dari rumah Laela.Rasa penasaran itu sudah tak tertahan, hingga Khumaira memberanikan diri mencari tahu kepada orang yang tak dikenali.“Oh ini, Mbak. Bu Laela lagi ngadain syukuran. Tapi, mereka sengaja tidak memberi tahu secara jelas syukurannya untuk apa. Katanya, yang penting sudah berniat, tidak perlu diumbar secara jelas lagi ke orang-orang. Bu Laela emang kadang gitu, Mbak. Orangnya suka merendah. Duluan ya, Mbak.” Sambil tersenyum, wanita itu berpamita
“Dek, aku minta maaf karena saking sibuknya jadi nggak sempat mengabarimu, Dek. Pekerjaan di luar kota juga akhirnya kubatalkan karena harus datang ke rumah Ibu begini. Kalau nanti kamu sudah mau pulang, aku akan ikut bersamamu.”Dengan sangat canggung dan raut wajah yang tampak kebingungan, Gifar berusaha keras agar rahasianya tetap tertutup rapat.Gifar menyadari kalau Khumaira mulai mencurigai keberadaan Sesil di rumah Laela. Kalau keadaan makin memanas, bisa saja semua rahasianya terbongkar detik itu juga.“Mas, apakah benar, kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Memangnya, Ibu baru saja melakukan syukuran untuk apa? Aku baru tahu, seorang pembantu berpakaian yang hampir serasi dengan majikannya. Terutama denganmu, Mas. Apa sesulit itu mengabari acara yang Ibu selenggarakan kepada istrimu sendiri, Mas?”Pertanyaan demi pertanyaan yang Khumaira sampaikan, membuat Gifar makin kebingungan.“Apa salahnya kalau Sesil memakai pakaian yang serasi dengan kami. Biar dia terlihat rapi. Memangn
“Itu suara orang muntah kan, Mas? Sesil yang muntah kan? Aku dengar Ibu barusan ngomong walau samar. Sesil kenapa? Sakit? Aku pikir, tadi dia baik-baik saja kan, Mas?”Khumaira hendak bangkit meninggalkan piring yang isinya masih ada. Namun, spontan Gifar memegang lengannya.Sorot mata yang tadinya tertuju ke ruangan yang ada di belakang, mengetahui tangannya ada yang memegang, Khumaira melihat ke arah Gifar.Lelaki itu tampak pucat. Kekhawatiran di wajahnya sulit disembunyikan. Apalagi gelagatnya begitu aneh, hingga Khumaira mengernyitkan kening bertambah curiga.“Kenapa, Mas? Kenapa tanganku kamu pegang? Aku mau melihat keadaan Sesil. Apa kamu tahu sesuatu, Mas? Apa benar, Sesil sedang sakit?”Untuk mengurangi rasa curiga, pertanyaan demi pertanyaan terlontar. Khumaira bukan sekadar mengkhawatirkan kondisi Sesil, tetapi lebih takut lagi kalau dugaan yang tadi disampaikan kepada Gifar menjadi kenyataan.Gifar perlahan mengalihkan sorot matanya. Tangan yang mencegah kepergian istrinya
“Khuma! Sesil tadi sudah menjelaskan semuanya kan? Kenapa kamu nggak percaya dan malah banyak bicara macam itu? Sesil lagi lemas begini gara-gara muntah karena masuk angin. Apa kamu masih saja nggak mempercayai perkataan Sesil? Kamu pernah tinggal bersama kan? Artinya, kalian berteman. Kenapa kamu nggak punya rasa kasihan dan simpati saat melihat kondisi Sesil yang lagi lemah dan sakit begini, Khuma! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Bikin orang jadi marah saja sih!”Suara penuh amarah itu terucap dari lisan sang mertua. Wajahnya yang mirip Gifar itu menunjukkan guratan-guratan kemarahan yang ditujukan kepada menantunya sendiri.Khumaira yang menahan kekecewaan dan kekesalan itu juga makin terasa panas hatinya ketika mendengar pembelaan dari Laela untuk Sesil. Pertanyaannya selalu disanggah dengan emosi yang meluap-luap. Kalau seandainya semua yang dilontarkan oleh Khumaira adalah kesalahan, harusnya mereka menyikapinya dengan tenang dan tidak perlu mengeluarkan nada suara yang tinggi. S
“Khuma, tolong dengarkan aku. Antara aku dan Mas Gifar tidak ada hubungan apa pun. Aku hanya masuk angin, Khuma.”Sesil berucap lagi. Walau Laela menatap tidak suka sebab ucapannya, wanita itu seakan memberi isyarat kepada Laela agar diam dan menurut saja apa katanya. Namun sayangnya, gelagat itu ditangkap oleh mata kepala Khumaira. Ia makin kesal.“Jangan bohong kamu, Sil! Memangnya aku bodoh, ha! Barusan kamu memberikan tanda kepada Ibu agar mau menurut apa katamu kan? Bukankah kamu sahabatku? Kenapa kamu malah ingin menutupi sesuatu dariku? Aku sudah menceritakan banyak hal tentang kehidupanku kepadamu, Sil. Bahkan sampai membicarakan Mas Gifar. Aku bodoh memang. Kenapa mempercayai orang sepertimu yang sekarang malah bersandiwara untuk menutupi sesuatu dariku. Aku bodoh terlalu percaya kepadamu yang aku anggap sebagai sahabat terbaikku selama ini, Sil!”Nyalang. Mata Khumaira menatap wanita yang baginya sudah seperti keluarga sendiri, tetapi nyatanya, ada permainan yang disembunyik
Rahang Khumaira beradu keras. Tatapan kebencian menyoroti sahabat yang kini telah tega berkhianat. Ia kembali teringat waktu ketika lisannya menceritakan tentang kekurangan suaminya kepada Sesil dengan harapan bisa melegakan beban hidupnya walau secuil.“Sil, sebenarnya aku punya rahasia yang terasa berat kalau kusimpan sendiri,” ujar Khumaira kala itu.“Cerita aja, biar kamu lega, Khuma. Nggak perlu ragu, kayak sama siapa aja sih. Aku juga sering cerita sama kamu kan? Tapi, memang sih, aku belum bisa menceritakan lelaki yang bikin aku berdebar sama kamu. Nanti saja, kalau waktunya udah tepat,” jawab Sesil sambil nyengir.“Jadi, kapan dong? Masa sejak pertama ngomong sampai saat ini kamu masih merahasiakannya.” Khumaira malah fokus pada cerita Sesil tentang lelaki idamannya.“Dia masih milik orang lain. Nggak pantas kalau aku ngomongnya sekarang kan, Ma? Makanya, aku menunggu waktu yang tepat saja nanti.”Khumaira agak terkejut mendapati sahabat dekatnya menyukai lelaki yang katanya s
“Apa maksudmu? Aku nggak melakukan apa pun. Lebih baik, kamu izin untuk pulang lebih awal saja.”Tiba-tiba, Sesil mengeluarkan air matanya. Ia sempat terdiam. Kemudian, bulir kristal yang telah berjatuhan dihapus oleh tangannya hingga Laela menyadarinya.“Kenapa malah nangis? Kalau makin terasa tidak nyaman, lebih baik pulang. Takutnya malah tambah parah nanti. Kalau kamu bingung tentang izinnya, aku akan menemanimu dan sekalian mengantarmu pulang untuk istirahat.”Tidak menyangka kalau Laela sebaik itu. Namun, Sesil jadi heran sama Khumaira yang mengatakan kalau mertuanya kurang suka kepadanya. Padahal orang yang ada di hadapannya sekarang begitu baik.Apa mungkin gara-gara Khuma belum hamil-hamil, Ibu ini jadi jutek sama menantunya ya? Khuma jadi merasa tidak nyaman sama orang ini. Tapi, dia malah menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Bukankah aku harus memanfaatkannya dengan baik? Aku akan pura-pura bertanya tentang kehidupan anaknya. Kalau hubungannya dengan Khumaira kurang