Share

3. Kehamilan Sesil

Author: Khanna
last update Last Updated: 2023-05-22 18:10:20

“Sesil sudah nggak ada kabar sama sekali sejak dia memutuskan untuk pergi bekerja di tempat lain. Nggak terasa udah empat bulan kami nggak berhubungan. Nomornya juga nggak aktif. Segitu ketatnya ya? Kasihan dia. Aku kangen curhat-curhatan sama dia. Sampai rahasianya Mas Gifar saja aku beberkan padanya. Memang ya, sahabat bisa lebih dari keluarga sendiri. Tapi anehnya, aku nggak pernah cerita tentang Sesil sama Mas Gifar. Nggak perlu juga sih menurutku. Lagian, Mas Gifar juga males kalau aku ceritain tentang wanita lain. Dia memang laki-laki idaman. Setia meski sudah bergelimang harta. Suamiku memang hebat, pantas dia sering menuntutku agar tetap terlihat cantik.”

Sambil memegang ponsel dan melihat rekam jejak percakapan dengan Sesil, Khumaira bergumam tentang rasa kehilangan sahabatnya itu.

Khumaira dan Sesil menjadi dekat sejak mereka bertemu di tempat kerja. Mereka tinggal satu kos hingga Khumaira menikah dengan Gifar yang tak sengaja berjumpa di kedai kopi milik laki-laki itu.

Sebenarnya Sesil dan Gifar pernah berjumpa. Namun, penampilan Sesil waktu itu tidak seperti sekarang. Ditambah Gifar memang tak peduli pada wanita lain setelah jatuh hati pada Khumaira. Ketika Laela menjodohkan keduanya tanpa sepengetahuan Khumaira, Gifar tak mengingat Sesil sama sekali. Beda hal dengan Sesil.

“Semoga kamu baik-baik saja di tempat kerjamu ya, Sil. Semoga juga kamu cepat menikah sama laki-laki idamanmu itu.”

Setelah puas berbicara sendiri di depan layar ponsel, Khumaira meletakkan kembali benda pilih itu di atas meja. Rasa rindunya hanya bisa dilampiaskan dengan berbicara di layar ponsel yang menunjukkan percakapannya dengan Sesil.

“Makin dewasa, makin sedikit orang yang dipercaya. Aku memang banyak kenalan lewat bisnis kueku, tapi nggak bisa curhat bebas seperti ke Sesil. Aku jadi tambah kangen.” Khumaira menghela napas untuk membuang perasaan yang mengganjal hatinya.

Khumaira masih setia menunggu Gifar yang sedang mandi di meja makan. Karena kesendirian, pikiran Khumaira jadi melanglang buana.

***

Baru saja selesai mandi, ponsel Gifar berbunyi. Laki-laki yang masih mengenakan handuk itu mengambil benda yang berkedip-kedip di atas nakas.

“Ibu, apalagi yang ingin diinginkan,” gumam Gifar ketika layar ponselnya tertulis nama Ibu di sana.

Jika Laela menghubungi, artinya pembicaraan akan tertuju ke Sesil. Laela begitu menyayangi menantu barunya yang kini tengah mengandung empat bulan. Dalam waktu yang sangat singkat, keinginannya seketika terkabul. Padahal Gifar hanya sekali menjamah wanita itu. Namun, di luar dugaan hasilnya sesuai yang Laela harapkan.

Gifar membuang napas sebelum mengangkat telepon dar Laela. Meski Sesil sudah hamil, rasa bersalah terhadap Khumaira lebih besar dari segalanya. Ia tak bisa sesenang Laela.

“Iya, Ibu. Ada apa? Aku baru mandi, belum pakai baju juga.”

“Gifar, masa ngomongnya ketus gitu sih? Ini ibumu loh, Gi.”

“Iya, Bu, ada apa?” tanya Gifar lagi tidak mau memperkeruh keadaan.

“Besok kamu ingat kan? Acara empat bulannya Sesil, kamu harus datang ke sini. Jangan pura-pura lupa, Gi.”

Lagi, udara kehidupan terhempas kasar dari lubang hidung Gifar. Rasa sayang yang Laela berikan untuk Sesil, membuat Gifar tersakiti sebab perlakuan ibunya itu tak sehangat saat bersama Khumaira.

“Iya, aku pasti ke situ.”

“Kalau mau ajak Khumaira juga boleh. Lama kelamaan, pernikahanmu dengan Sesil pasti diketahui oleh Khumaira, Gi. Bukankah lebih baik diberi tahu secepatnya, daripada nanti Khumaira tahu dari mulut orang lain.”

Padahal Laela telah berjanji akan menutup rapat-rapat hubungan Gifar dengan Sesil, tetapi sekarang sudah beda lagi. Karena Sesil yang sudah mengandung calon cucunya, membuat Laela ingin memamerkannya di hadapan Khumaira. Dengan kata lain, ia ingin mengatakan kalau anaknya bisa menghamili wanita lain dan mungkin masalah ada di rahim Khumaira.

“Bu, bukankah Ibu akan menutupi hubunganku dengan Sesil agar Khumaira tidak merasa sakit hati, kenapa sekarang menawarkan hal semacam itu? Aku nggak mungkin membawanya datang ke rumah Ibu yang jelas ada Sesil di sana. Aku akan mengatakannya nanti kalau keadaannya sudah memungkinkan. Ibu harus tetap merahasiakannya. Jangan sampai Khumaira tahu, Bu. Ibu kan ngomong sama orang-orang kalau Sesil pembantu di rumah Ibu, harusnya tetap seperti itu sampai aku sudah siap, Bu.”

Laela kini membuang napas. Ia sudah sangat ingin mengumbar calon cucunya ke banyak orang. Namun, ia harus menahan diri. Acara yang akan dilakukan pun hanya sebatas syukuran tanpa diberitahu apa niat sesungguhnya kepada orang yang akan hadir.

“Baiklah, Gi. Yang penting kamu datang di syukuran anakmu yang keempat bulan. Kamu harus bersyukur dapat anak dari Sesil loh, Gi. Hanya sekali kan, kalian melakukannya. Ternyata apa, Gi? Langsung jadi kan? Artinya Sesil itu rahimnya subur. Nggak kayak Khumaira. Sudah tiga tahun masih aja belum kelihatan hasilnya. Artinya rahimnya kering kan, Gi. Udah penampilannya suka-suka dia, rahimnya nggak subur lagi.”

Sudah sangat sering Laela mengatakan kekurangan Khumaira yang bagi Gifar bukanlah sebuah kekurangan. Memang belum diamanahi saja. Bukan karena seperti yang Laela katakan tadi. Nyatanya memang Khumaira sehat sesuai hasil pemeriksaan. Bahkan beberapa kali telah melakukannya pun hasilnya tetap sama.

“Aku akan ke rumah Ibu. Sekarang aku mau pakai baju dulu, Bu. Aku matikan. Assalamualaikum!”

Karena memang sudah merasa semakin kesal, Gifar harus mengakhiri perbincangannya dengan Laela. Khumaira selalu cacat di mata Laela dan itu membuat hati Gifar makin terasa tersayat.

“Selalu begitu! Apa Ibu nggak bisa melihat kebaikan dari Khumaira sedikit pun? Kedatangan Sesil makin menyudutkan posisi Khumaira. Aku nggak bisa menerimanya, tapi aku harus melakukan apa? Aku bodoh!”

Ponsel yang digenggam sengaja dilempar ke atas kasur. Saking tidak punya solusi yang bisa melegakan hatinya, Gifar hanya bisa melampiaskan amarahnya. Itu pun harus disembunyikan dari Khumaira.

Meski amarahnya bergejolak, Gifar akan berpura-pura baik-baik saja saat di hadapan istri tercintanya.

“Dek, gimana kalau kita periksa lagi. Kita harus tetap berusaha kan?”

Ketika Gifar sudah duduk di hadapan Khumaira, ia menyampaikan keinginannya agar Laela bisa lebih menghormati Khumaira sebagai seorang menantu.

Namun, Khumaira tampak kebingungan. Ia tersenyum, tetapi ujung bibirnya terasa kaku.

“I—iya, Mas. Tapi, mau periksa ke mana lagi? Dokter langganan dan beberapa dokter yang lain kan sudah mengatakan hasil pemeriksaan kita sehat semua. Terus, kita mau periksa ke mana lagi?”

Khumaira yang tiba-tiba bicaranya tergagap, membuat Gifar sedikit merasa janggal.

Khuma kenapa ya? Bukankah periksa ke dokter lain meski tempatnya jauh tidak jadi masalah? Namanya usaha kan?

“Ke mana saja, Dek. Yang penting kita bisa segera punya anak. Nggak apa-apa kan kalau kita tetap usaha? Kamu nggak tersinggung kan, Sayang?”

Karena takut menyakiti hati, Gifar menegaskan perkataannya tadi tidak mengusik perasaan istrinya itu.

“Nggak kok, Mas. Hanya saja, dokter yang sudah-sudah, hasilnya sama semua, Mas. Kalau cari dokter lain lagi, waktu kita jadi sedikit terganggu kan, Mas? Kamu sibuk, aku juga banyak pesanan kue.”

Khumaira seakan mempersulit jalan agar tidak melakukan pemeriksaan ke dokter lain dengan dalih akan mengganggu waktu yang sudah terjadwal. Itu membuat rasa curiga timbul di benak Gifar.

Jangan-jangan, Khumaira menyembunyikan sesuatu? Apa susahnya meluangkan waktu demi usaha memiliki seorang buah hati?

Gifar mulai menduga-duga motif di balik kata-kata Khumaira yang seakan enggan memeriksakan diri ke dokter lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
emang gak punya art ya... semua2 dikerjain sendiri? pelit amat...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Doa dan Harapan

    “Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Luka yang Sama

    “Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Menyesal Lagi

    Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Keadilan

    Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Penolakan

    “Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo

  • SAHABATKU DI RUMAH MERTUA   Berta'aruf

    Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status