Share

3. Kehamilan Sesil

“Sesil sudah nggak ada kabar sama sekali sejak dia memutuskan untuk pergi bekerja di tempat lain. Nggak terasa udah empat bulan kami nggak berhubungan. Nomornya juga nggak aktif. Segitu ketatnya ya? Kasihan dia. Aku kangen curhat-curhatan sama dia. Sampai rahasianya Mas Gifar saja aku beberkan padanya. Memang ya, sahabat bisa lebih dari keluarga sendiri. Tapi anehnya, aku nggak pernah cerita tentang Sesil sama Mas Gifar. Nggak perlu juga sih menurutku. Lagian, Mas Gifar juga males kalau aku ceritain tentang wanita lain. Dia memang laki-laki idaman. Setia meski sudah bergelimang harta. Suamiku memang hebat, pantas dia sering menuntutku agar tetap terlihat cantik.”

Sambil memegang ponsel dan melihat rekam jejak percakapan dengan Sesil, Khumaira bergumam tentang rasa kehilangan sahabatnya itu.

Khumaira dan Sesil menjadi dekat sejak mereka bertemu di tempat kerja. Mereka tinggal satu kos hingga Khumaira menikah dengan Gifar yang tak sengaja berjumpa di kedai kopi milik laki-laki itu.

Sebenarnya Sesil dan Gifar pernah berjumpa. Namun, penampilan Sesil waktu itu tidak seperti sekarang. Ditambah Gifar memang tak peduli pada wanita lain setelah jatuh hati pada Khumaira. Ketika Laela menjodohkan keduanya tanpa sepengetahuan Khumaira, Gifar tak mengingat Sesil sama sekali. Beda hal dengan Sesil.

“Semoga kamu baik-baik saja di tempat kerjamu ya, Sil. Semoga juga kamu cepat menikah sama laki-laki idamanmu itu.”

Setelah puas berbicara sendiri di depan layar ponsel, Khumaira meletakkan kembali benda pilih itu di atas meja. Rasa rindunya hanya bisa dilampiaskan dengan berbicara di layar ponsel yang menunjukkan percakapannya dengan Sesil.

“Makin dewasa, makin sedikit orang yang dipercaya. Aku memang banyak kenalan lewat bisnis kueku, tapi nggak bisa curhat bebas seperti ke Sesil. Aku jadi tambah kangen.” Khumaira menghela napas untuk membuang perasaan yang mengganjal hatinya.

Khumaira masih setia menunggu Gifar yang sedang mandi di meja makan. Karena kesendirian, pikiran Khumaira jadi melanglang buana.

***

Baru saja selesai mandi, ponsel Gifar berbunyi. Laki-laki yang masih mengenakan handuk itu mengambil benda yang berkedip-kedip di atas nakas.

“Ibu, apalagi yang ingin diinginkan,” gumam Gifar ketika layar ponselnya tertulis nama Ibu di sana.

Jika Laela menghubungi, artinya pembicaraan akan tertuju ke Sesil. Laela begitu menyayangi menantu barunya yang kini tengah mengandung empat bulan. Dalam waktu yang sangat singkat, keinginannya seketika terkabul. Padahal Gifar hanya sekali menjamah wanita itu. Namun, di luar dugaan hasilnya sesuai yang Laela harapkan.

Gifar membuang napas sebelum mengangkat telepon dar Laela. Meski Sesil sudah hamil, rasa bersalah terhadap Khumaira lebih besar dari segalanya. Ia tak bisa sesenang Laela.

“Iya, Ibu. Ada apa? Aku baru mandi, belum pakai baju juga.”

“Gifar, masa ngomongnya ketus gitu sih? Ini ibumu loh, Gi.”

“Iya, Bu, ada apa?” tanya Gifar lagi tidak mau memperkeruh keadaan.

“Besok kamu ingat kan? Acara empat bulannya Sesil, kamu harus datang ke sini. Jangan pura-pura lupa, Gi.”

Lagi, udara kehidupan terhempas kasar dari lubang hidung Gifar. Rasa sayang yang Laela berikan untuk Sesil, membuat Gifar tersakiti sebab perlakuan ibunya itu tak sehangat saat bersama Khumaira.

“Iya, aku pasti ke situ.”

“Kalau mau ajak Khumaira juga boleh. Lama kelamaan, pernikahanmu dengan Sesil pasti diketahui oleh Khumaira, Gi. Bukankah lebih baik diberi tahu secepatnya, daripada nanti Khumaira tahu dari mulut orang lain.”

Padahal Laela telah berjanji akan menutup rapat-rapat hubungan Gifar dengan Sesil, tetapi sekarang sudah beda lagi. Karena Sesil yang sudah mengandung calon cucunya, membuat Laela ingin memamerkannya di hadapan Khumaira. Dengan kata lain, ia ingin mengatakan kalau anaknya bisa menghamili wanita lain dan mungkin masalah ada di rahim Khumaira.

“Bu, bukankah Ibu akan menutupi hubunganku dengan Sesil agar Khumaira tidak merasa sakit hati, kenapa sekarang menawarkan hal semacam itu? Aku nggak mungkin membawanya datang ke rumah Ibu yang jelas ada Sesil di sana. Aku akan mengatakannya nanti kalau keadaannya sudah memungkinkan. Ibu harus tetap merahasiakannya. Jangan sampai Khumaira tahu, Bu. Ibu kan ngomong sama orang-orang kalau Sesil pembantu di rumah Ibu, harusnya tetap seperti itu sampai aku sudah siap, Bu.”

Laela kini membuang napas. Ia sudah sangat ingin mengumbar calon cucunya ke banyak orang. Namun, ia harus menahan diri. Acara yang akan dilakukan pun hanya sebatas syukuran tanpa diberitahu apa niat sesungguhnya kepada orang yang akan hadir.

“Baiklah, Gi. Yang penting kamu datang di syukuran anakmu yang keempat bulan. Kamu harus bersyukur dapat anak dari Sesil loh, Gi. Hanya sekali kan, kalian melakukannya. Ternyata apa, Gi? Langsung jadi kan? Artinya Sesil itu rahimnya subur. Nggak kayak Khumaira. Sudah tiga tahun masih aja belum kelihatan hasilnya. Artinya rahimnya kering kan, Gi. Udah penampilannya suka-suka dia, rahimnya nggak subur lagi.”

Sudah sangat sering Laela mengatakan kekurangan Khumaira yang bagi Gifar bukanlah sebuah kekurangan. Memang belum diamanahi saja. Bukan karena seperti yang Laela katakan tadi. Nyatanya memang Khumaira sehat sesuai hasil pemeriksaan. Bahkan beberapa kali telah melakukannya pun hasilnya tetap sama.

“Aku akan ke rumah Ibu. Sekarang aku mau pakai baju dulu, Bu. Aku matikan. Assalamualaikum!”

Karena memang sudah merasa semakin kesal, Gifar harus mengakhiri perbincangannya dengan Laela. Khumaira selalu cacat di mata Laela dan itu membuat hati Gifar makin terasa tersayat.

“Selalu begitu! Apa Ibu nggak bisa melihat kebaikan dari Khumaira sedikit pun? Kedatangan Sesil makin menyudutkan posisi Khumaira. Aku nggak bisa menerimanya, tapi aku harus melakukan apa? Aku bodoh!”

Ponsel yang digenggam sengaja dilempar ke atas kasur. Saking tidak punya solusi yang bisa melegakan hatinya, Gifar hanya bisa melampiaskan amarahnya. Itu pun harus disembunyikan dari Khumaira.

Meski amarahnya bergejolak, Gifar akan berpura-pura baik-baik saja saat di hadapan istri tercintanya.

“Dek, gimana kalau kita periksa lagi. Kita harus tetap berusaha kan?”

Ketika Gifar sudah duduk di hadapan Khumaira, ia menyampaikan keinginannya agar Laela bisa lebih menghormati Khumaira sebagai seorang menantu.

Namun, Khumaira tampak kebingungan. Ia tersenyum, tetapi ujung bibirnya terasa kaku.

“I—iya, Mas. Tapi, mau periksa ke mana lagi? Dokter langganan dan beberapa dokter yang lain kan sudah mengatakan hasil pemeriksaan kita sehat semua. Terus, kita mau periksa ke mana lagi?”

Khumaira yang tiba-tiba bicaranya tergagap, membuat Gifar sedikit merasa janggal.

Khuma kenapa ya? Bukankah periksa ke dokter lain meski tempatnya jauh tidak jadi masalah? Namanya usaha kan?

“Ke mana saja, Dek. Yang penting kita bisa segera punya anak. Nggak apa-apa kan kalau kita tetap usaha? Kamu nggak tersinggung kan, Sayang?”

Karena takut menyakiti hati, Gifar menegaskan perkataannya tadi tidak mengusik perasaan istrinya itu.

“Nggak kok, Mas. Hanya saja, dokter yang sudah-sudah, hasilnya sama semua, Mas. Kalau cari dokter lain lagi, waktu kita jadi sedikit terganggu kan, Mas? Kamu sibuk, aku juga banyak pesanan kue.”

Khumaira seakan mempersulit jalan agar tidak melakukan pemeriksaan ke dokter lain dengan dalih akan mengganggu waktu yang sudah terjadwal. Itu membuat rasa curiga timbul di benak Gifar.

Jangan-jangan, Khumaira menyembunyikan sesuatu? Apa susahnya meluangkan waktu demi usaha memiliki seorang buah hati?

Gifar mulai menduga-duga motif di balik kata-kata Khumaira yang seakan enggan memeriksakan diri ke dokter lain.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
emang gak punya art ya... semua2 dikerjain sendiri? pelit amat...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status