Gifar memandangi istri tercintanya pergi untuk membersihkan diri. Semakin dipandangi, nyeri di hati makin terasa berdenyut-denyut.
“Khuma Sayang, maafkan aku. Bukan maksudku tidak bersyukur punya istri sepertinya. Aku tahu, Khuma penampilannya berantakan karena belum sempat membersihkan diri saja. Khuma wanita mandiri, tanpaku pun sepertinya dia sanggup. Tapi, mendengar Ibu selalu membandingkan penampilannya dengan Sesil, membuatku jadi sering menuntut penampilan Khuma agar terlihat lebih rapi. Aku yang salah di sini. Bukan malah menuntut Khuma untuk tetap berpenampilan cantik sedangkan dia wanita mandiri dengan berbagai kegiatannya, tapi hatiku sakit saat Ibu terus membandingkannya dengan Sesil. Laki-laki macam apa aku ini.”Gifar bergumam dan merutuki rasa bersalah yang kian menenggelamkannya. Setelah dirinya menyetujui permintaan dari Laela, satu hari setelahnya, pernikahan itu terjadi.Gifar memang sejak dulu orang yang sibuk. Sering pergi keluar kota untuk membicarakan bisnisnya yang sudah punya beberapa gerai di beberapa kota. Khumaira tentu tidak mencurigai sama sekali.Setelah pernikahan Gifar dan Sesil terlaksana meski dengan terpaksa dan rasa bersalah yang begitu besar, laki-laki berpostur tinggi itu harus tinggal sementara waktu di rumah Laela.Antara rumah yang Khumaira tinggali dengan rumah mertuanya, menempuh sekitar satu jam perjalanan karena memang sudah beda kota. Dengan seperti itu, Laela sangat percaya diri dengan rencana yang telah disusun olehnya.Khumaira yang sangat mempercayai Gifar, pastinya tidak berpikiran macam-macam. Sudah biasa juga, laki-lakinya itu pergi ke luar kota, bahkan sampai menginap berhari-hari. Semua itu dilakukan untuk memenuhi nafkah untuk istrinya di rumah. Begitu yang Khumaira pikirkan.Ketika malam pertama antara Gifar dan Sesil setelah melakukan ijab kabul, Gifar teramat kebingungan. Ia ingin kabur, tetapi tidak akan mungkin.Isi kepalanya tidak fokus pada Sesil, melainkan memikirkan perasaan Khumaira yang sudah dikhianati. Kalau istri pertamanya dan yang paling dicintainya itu tahu perbuatannya, tentu akan merasa sakit hati. Bahkan, lukanya mungkin tak akan pernah bisa disembuhkan.“Mas Gifar, apakah kamu akan diam saja seperti itu? Bukankah Ibu menginginkan anak dariku? Bagaimana bisa kalau kamu mendiamkanku terus seperti ini?” tanya Sesil kala itu.Gifar yang sengaja duduk di sofa hanya melihat sejenak ke arah Sesil yang sudah berada di ranjang. Pakaian yang dikenakan oleh Sesil seharusnya bisa memancing nafsu dari seorang lelaki. Itu pun Laela yang mengusulkannya.“Kenapa kamu gampang sekali mengiyakan semua keinginan ibuku? Apa semua demi uang?” tanya Gifar tanpa memikirkan perasaan wanita yang kini sudah sah menjadi istri keduanya.“Ibu yang selalu memintaku, Mas. Bukan aku yang mengemis. Tapi memang munafik kalau aku mengatakan kalau melakukan semua ini bukan demi uang. Aku wanita, aku suka uang, Mas. Terlebih, kamu memang tampan. Sakit sih memang, kalau menikah bukan seutuhnya karena cinta, tapi kata orang, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan. Aku hanya berharap bisa segera punya anak sesuai keinginan Ibu agar aku tidak harus pergi meninggalkanmu, Mas. Bukankah kalau aku hamil, Ibu pasti bahagia?”Penjelasan yang Sesil lontarkan terdengar masuk akal. Namun, Gifar enggan untuk memberikan cinta meski secuil. Khumaira adalah pemilik hatinya. Meski keadaan sekarang sudah bisa dikatakan sebagai bentuk pengkhianatan. Bagi Gifar, semua yang dilakukan karena keterpaksaan.Gifar bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke ranjang. Matanya menatap Sesil tak berkedip. Memang tak ada hasrat untuk bercinta, hingga Gifar memaksa diri untuk memancing libidonya. Sesuai perkataan Sesil, Gifar hanya akan menjamah satu kali dan berharap benih itu akan langsung bertumbuh di rahim Sesil agar Laela puas dan merasa bahagia.“Meski aku melakukannya bersamamu seperti ini. Kamu harus ingat, rasa cinta yang kamu harapkan, tidak akan pernah kamu dapat. Aku juga berharap, cukup sekali tubuhmu kujamah.”Sambil mencumbu, Gifar memperingatkan tujuannya melakukan semua itu kepada Sesil.“Kamu setega itu? Aku berharap ingin selalu mendapat nafkah lahir maupun batin darimu, Mas. Tapi, aku juga nggak punya waktu banyak sesuai perjanjianku bersama Ibu. Jadi, aku memilih, meski sekali, tapi benihmu langsung tumbuh di rahimku. Dengan begitu, dilain kesempatan setelah melahirkan, cintamu pasti hadir untukku.”Tanpa menjawabnya, Gifar tetap melakukan aktivitasnya. Ia ingin cepat menyelesaikannya karena pikirannya terus tertuju kepada Khumaira yang telah dikhianatinya.“Mas?” Sekali Khumaira memanggil suaminya.“Mas!” Karena tidak ada respons, Khumaira kembali mengulanginya dengan suara yang lebih lantang.“De—dek? Kamu sudah ada di sini?”Gifar terperanjat dan membenarkan posisi duduknya. Sejak tadi, dia menatap langit-langit sambil melamun tentang hubungan rahasianya bersama Sesil.“Kamu kenapa sih, Mas? Kok jadi sering melamun? Apa kamu ada masalah sama pekerjaan? Cerita dong, Mas? Sekarang jadi sering pergi jauh-jauh juga kan?”Khumaira yang telah mandi dan berpakaian rapi serta wangi, duduk di sebelah Gifar yang masih mengenakan pakaian yang digunakan saat bekerja.“Nggak, Dek. Hanya memikirkan masalah kerjaan yang biasa dilakukan. Tuh kan, kamu memang bidadari surgaku. Gini-gini kok masih ada saja yang membanding-bandingkanmu, Dek.”Gifar memuji istrinya, tetapi lupa kalau lisannya mengatakan sesuatu yang tidak dipahami oleh Khumaira. Karena yang Khumaira tahu, tidak ada yang membandingkan penampilannya seperti yang dikatakan oleh suaminya.“Mas, memangnya siapa yang sudah melakukannya? Dibandingkan dengan siapa? Kayaknya nggak ada yang melakukannya deh, Mas.”Karena memang rasa penasaran sudah di ubun-ubun, Khumaira langsung menanyakan kalimat yang baginya terasa janggal.Gifar tentu gelagapan. Ia tersenyum kebingungan mencari alasan. Tidak mungkin kalau mengatakan semua kejujurannya. Laela adalah orang yang suka membandingkan, sedangkan Sesil adalah orang yang selalu dibandingkan dengan Khumaira.“Oh, itu, Dek. Kadang teman-teman di gerai suka bercanda dan membandingkan istri-istri mereka. Termasuk kamu juga ikut jadi sasaran.”Untuk seterusnya, Gifar mungkin akan semakin pandai berbohong. Meski semakin lama pula, rasa bersalahnya kian besar. Apalagi Sesil kini tengah hamil. Tidak mungkin kalau Khumaira tidak mengetahuinya. Lama-lama, rahasia pasti akan terbongkar.Gifar nyengir untuk menutupi kebohongannya. Ia teledor karena tidak bisa memilih kalimat yang pantas diucapkan.“Oh gitu, iya sih, aku juga kadang sama, Mas. Kalau lagi pada ngumpul sama teman, memang ada saja yang dibicarakan. Maaf ya, Mas. Aku jadi jarang memperhatikan penampilan. Waktunya kadang nggak sempat, Mas. Alhamdulillah, ada saja yang pesan kue. Walau udah mandi, tetap aja berantakan karena ngurusin pesanan. Sampai kamu pulang, aku masih kucel. Aku yang salah, Mas.”Betapa dewasanya Khumaira, Gifar makin merasa bersalah. Ada yang menyayat hatinya sebab dirinya telah tega mengkhianati dengan pernikahan yang lain tanpa diketahui.Gifar berdiri dan menghampiri Khumaira. Ia memeluk istri tercintanya yang sedang duduk. Kecupannya mendarat lembut di kening Khumaira.Khuma, maafkan aku. Aku bukan suami yang baik.Kalimat itu hanya terucap di lubuk hati. Gifar masih belum bisa mengatakan semua kejujurannya. Itu sangat menyakitkan bagi keduanya.“Kamu yang terbaik, Sayang. Seharusnya, aku nggak boleh ngomong tentang penampilanmu yang memang belum sempat berbenah. Aku egois, Dek.”Khumaira mendongakkan kepala untuk melihat suaminya. Bibirnya pun tersenyum.“Nggak apa-apa, Mas. Besok belikan B E*l saja. Aku akan coba memakainya.”“Baiklah, Sayang. Kebetulan juga, besok aku harus pergi keluar kota. Sekalian beli waktu pulang ya, Dek. Aku harus mandi dulu, masa udah sering nuntut kamu, aku masih kucel begini. Maaf ya, Sayang. Aku mandi dulu.”Sebelum pergi, kecupan kembali mendarat. Kini di bagian pipi.Khumaira sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi sengaja diurungkan. Gifar pun telah menjauhinya.“Aku berniat ke rumah Ibu sih. Sudah lama nggak datang ke sana. Takutnya dikira mantu yang kurang sopan lagi. Ah, nggak boleh berpikiran begitu, Khumaira.” Wanita berparas cantik itu menghela napas. “Aku akan datang sendiri saja. Kalau ngomong, pasti Mas Gifar khawatir dan melarangku. Diam-diam aja deh. Mudah-mudahan aku nggak berdosa, meski tetap salah sih. Tapi, biarin ah, kan mau ketemu ibunya juga.”Saat duduk sendiri, Khumaira sudah memutuskan rencananya untuk mengunjungi mertua tanpa sepengetahuan dari suaminya.“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.