Share

2. Pernikahan yang Lain

Gifar memandangi istri tercintanya pergi untuk membersihkan diri. Semakin dipandangi, nyeri di hati makin terasa berdenyut-denyut.

“Khuma Sayang, maafkan aku. Bukan maksudku tidak bersyukur punya istri sepertinya. Aku tahu, Khuma penampilannya berantakan karena belum sempat membersihkan diri saja. Khuma wanita mandiri, tanpaku pun sepertinya dia sanggup. Tapi, mendengar Ibu selalu membandingkan penampilannya dengan Sesil, membuatku jadi sering menuntut penampilan Khuma agar terlihat lebih rapi. Aku yang salah di sini. Bukan malah menuntut Khuma untuk tetap berpenampilan cantik sedangkan dia wanita mandiri dengan berbagai kegiatannya, tapi hatiku sakit saat Ibu terus membandingkannya dengan Sesil. Laki-laki macam apa aku ini.”

Gifar bergumam dan merutuki rasa bersalah yang kian menenggelamkannya. Setelah dirinya menyetujui permintaan dari Laela, satu hari setelahnya, pernikahan itu terjadi.

Gifar memang sejak dulu orang yang sibuk. Sering pergi keluar kota untuk membicarakan bisnisnya yang sudah punya beberapa gerai di beberapa kota. Khumaira tentu tidak mencurigai sama sekali.

Setelah pernikahan Gifar dan Sesil terlaksana meski dengan terpaksa dan rasa bersalah yang begitu besar, laki-laki berpostur tinggi itu harus tinggal sementara waktu di rumah Laela.

Antara rumah yang Khumaira tinggali dengan rumah mertuanya, menempuh sekitar satu jam perjalanan karena memang sudah beda kota. Dengan seperti itu, Laela sangat percaya diri dengan rencana yang telah disusun olehnya.

Khumaira yang sangat mempercayai Gifar, pastinya tidak berpikiran macam-macam. Sudah biasa juga, laki-lakinya itu pergi ke luar kota, bahkan sampai menginap berhari-hari. Semua itu dilakukan untuk memenuhi nafkah untuk istrinya di rumah. Begitu yang Khumaira pikirkan.

Ketika malam pertama antara Gifar dan Sesil setelah melakukan ijab kabul, Gifar teramat kebingungan. Ia ingin kabur, tetapi tidak akan mungkin.

Isi kepalanya tidak fokus pada Sesil, melainkan memikirkan perasaan Khumaira yang sudah dikhianati. Kalau istri pertamanya dan yang paling dicintainya itu tahu perbuatannya, tentu akan merasa sakit hati. Bahkan, lukanya mungkin tak akan pernah bisa disembuhkan.

“Mas Gifar, apakah kamu akan diam saja seperti itu? Bukankah Ibu menginginkan anak dariku? Bagaimana bisa kalau kamu mendiamkanku terus seperti ini?” tanya Sesil kala itu.

Gifar yang sengaja duduk di sofa hanya melihat sejenak ke arah Sesil yang sudah berada di ranjang. Pakaian yang dikenakan oleh Sesil seharusnya bisa memancing nafsu dari seorang lelaki. Itu pun Laela yang mengusulkannya.

“Kenapa kamu gampang sekali mengiyakan semua keinginan ibuku? Apa semua demi uang?” tanya Gifar tanpa memikirkan perasaan wanita yang kini sudah sah menjadi istri keduanya.

“Ibu yang selalu memintaku, Mas. Bukan aku yang mengemis. Tapi memang munafik kalau aku mengatakan kalau melakukan semua ini bukan demi uang. Aku wanita, aku suka uang, Mas. Terlebih, kamu memang tampan. Sakit sih memang, kalau menikah bukan seutuhnya karena cinta, tapi kata orang, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu berjalan. Aku hanya berharap bisa segera punya anak sesuai keinginan Ibu agar aku tidak harus pergi meninggalkanmu, Mas. Bukankah kalau aku hamil, Ibu pasti bahagia?”

Penjelasan yang Sesil lontarkan terdengar masuk akal. Namun, Gifar enggan untuk memberikan cinta meski secuil. Khumaira adalah pemilik hatinya. Meski keadaan sekarang sudah bisa dikatakan sebagai bentuk pengkhianatan. Bagi Gifar, semua yang dilakukan karena keterpaksaan.

Gifar bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke ranjang. Matanya menatap Sesil tak berkedip. Memang tak ada hasrat untuk bercinta, hingga Gifar memaksa diri untuk memancing libidonya. Sesuai perkataan Sesil, Gifar hanya akan menjamah satu kali dan berharap benih itu akan langsung bertumbuh di rahim Sesil agar Laela puas dan merasa bahagia.

“Meski aku melakukannya bersamamu seperti ini. Kamu harus ingat, rasa cinta yang kamu harapkan, tidak akan pernah kamu dapat. Aku juga berharap, cukup sekali tubuhmu kujamah.”

Sambil mencumbu, Gifar memperingatkan tujuannya melakukan semua itu kepada Sesil.

“Kamu setega itu? Aku berharap ingin selalu mendapat nafkah lahir maupun batin darimu, Mas. Tapi, aku juga nggak punya waktu banyak sesuai perjanjianku bersama Ibu. Jadi, aku memilih, meski sekali, tapi benihmu langsung tumbuh di rahimku. Dengan begitu, dilain kesempatan setelah melahirkan, cintamu pasti hadir untukku.”

Tanpa menjawabnya, Gifar tetap melakukan aktivitasnya. Ia ingin cepat menyelesaikannya karena pikirannya terus tertuju kepada Khumaira yang telah dikhianatinya.

“Mas?” Sekali Khumaira memanggil suaminya.

“Mas!” Karena tidak ada respons, Khumaira kembali mengulanginya dengan suara yang lebih lantang.

“De—dek? Kamu sudah ada di sini?”

Gifar terperanjat dan membenarkan posisi duduknya. Sejak tadi, dia menatap langit-langit sambil melamun tentang hubungan rahasianya bersama Sesil.

“Kamu kenapa sih, Mas? Kok jadi sering melamun? Apa kamu ada masalah sama pekerjaan? Cerita dong, Mas? Sekarang jadi sering pergi jauh-jauh juga kan?”

Khumaira yang telah mandi dan berpakaian rapi serta wangi, duduk di sebelah Gifar yang masih mengenakan pakaian yang digunakan saat bekerja.

“Nggak, Dek. Hanya memikirkan masalah kerjaan yang biasa dilakukan. Tuh kan, kamu memang bidadari surgaku. Gini-gini kok masih ada saja yang membanding-bandingkanmu, Dek.”

Gifar memuji istrinya, tetapi lupa kalau lisannya mengatakan sesuatu yang tidak dipahami oleh Khumaira. Karena yang Khumaira tahu, tidak ada yang membandingkan penampilannya seperti yang dikatakan oleh suaminya.

“Mas, memangnya siapa yang sudah melakukannya? Dibandingkan dengan siapa? Kayaknya nggak ada yang melakukannya deh, Mas.”

Karena memang rasa penasaran sudah di ubun-ubun, Khumaira langsung menanyakan kalimat yang baginya terasa janggal.

Gifar tentu gelagapan. Ia tersenyum kebingungan mencari alasan. Tidak mungkin kalau mengatakan semua kejujurannya. Laela adalah orang yang suka membandingkan, sedangkan Sesil adalah orang yang selalu dibandingkan dengan Khumaira.

“Oh, itu, Dek. Kadang teman-teman di gerai suka bercanda dan membandingkan istri-istri mereka. Termasuk kamu juga ikut jadi sasaran.”

Untuk seterusnya, Gifar mungkin akan semakin pandai berbohong. Meski semakin lama pula, rasa bersalahnya kian besar. Apalagi Sesil kini tengah hamil. Tidak mungkin kalau Khumaira tidak mengetahuinya. Lama-lama, rahasia pasti akan terbongkar.

Gifar nyengir untuk menutupi kebohongannya. Ia teledor karena tidak bisa memilih kalimat yang pantas diucapkan.

“Oh gitu, iya sih, aku juga kadang sama, Mas. Kalau lagi pada ngumpul sama teman, memang ada saja yang dibicarakan. Maaf ya, Mas. Aku jadi jarang memperhatikan penampilan. Waktunya kadang nggak sempat, Mas. Alhamdulillah, ada saja yang pesan kue. Walau udah mandi, tetap aja berantakan karena ngurusin pesanan. Sampai kamu pulang, aku masih kucel. Aku yang salah, Mas.”

Betapa dewasanya Khumaira, Gifar makin merasa bersalah. Ada yang menyayat hatinya sebab dirinya telah tega mengkhianati dengan pernikahan yang lain tanpa diketahui.

Gifar berdiri dan menghampiri Khumaira. Ia memeluk istri tercintanya yang sedang duduk. Kecupannya mendarat lembut di kening Khumaira.

Khuma, maafkan aku. Aku bukan suami yang baik.

Kalimat itu hanya terucap di lubuk hati. Gifar masih belum bisa mengatakan semua kejujurannya. Itu sangat menyakitkan bagi keduanya.

“Kamu yang terbaik, Sayang. Seharusnya, aku nggak boleh ngomong tentang penampilanmu yang memang belum sempat berbenah. Aku egois, Dek.”

Khumaira mendongakkan kepala untuk melihat suaminya. Bibirnya pun tersenyum.

“Nggak apa-apa, Mas. Besok belikan B E*l saja. Aku akan coba memakainya.”

“Baiklah, Sayang. Kebetulan juga, besok aku harus pergi keluar kota. Sekalian beli waktu pulang ya, Dek. Aku harus mandi dulu, masa udah sering nuntut kamu, aku masih kucel begini. Maaf ya, Sayang. Aku mandi dulu.”

Sebelum pergi, kecupan kembali mendarat. Kini di bagian pipi.

Khumaira sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi sengaja diurungkan. Gifar pun telah menjauhinya.

“Aku berniat ke rumah Ibu sih. Sudah lama nggak datang ke sana. Takutnya dikira mantu yang kurang sopan lagi. Ah, nggak boleh berpikiran begitu, Khumaira.” Wanita berparas cantik itu menghela napas. “Aku akan datang sendiri saja. Kalau ngomong, pasti Mas Gifar khawatir dan melarangku. Diam-diam aja deh. Mudah-mudahan aku nggak berdosa, meski tetap salah sih. Tapi, biarin ah, kan mau ketemu ibunya juga.”

Saat duduk sendiri, Khumaira sudah memutuskan rencananya untuk mengunjungi mertua tanpa sepengetahuan dari suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status