Mendengar suara tembakan, kapten Axelle bergegas masuk ke rumah Arbia. Tidak lupa sinyal GPS ponsel nya dinyalakan. Dia mengirim pembaruan informasi pada timnya.
Di bukanya pintu rumah Arbia dengan hati-hati. Dengan sikap tenangnya inilah seorang Narendra Axelle, selalu berhasil menjalankan tugas. Dia bersama timnya selalu sukses.
Dilihatnya Arbia meringkuk ketakutan di samping tangga rumahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sedangkan seseorang yang menembakkan pistol dengan peluru kematian itu, masih berjalan dengan tenang mendekati gadis muda itu. Dia belum menyadari kedatangan kapten Axelle.
" Kenapa kamu harus ketakutan seperti ini, Arbi?" Mendengar nama kecilnya dipanggil, Arbia menoleh sesaat ke arah laki-laki itu. Ditatapnya dalam-dalam sosok mafia itu. Ada yang dia cari di sana. Dan dia merasa begitu familiar dengan nama panggilan itu.
"Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku waktu kecil?"
Arka Abianta, sang mafia tertawa terkekeh mendengar kenaifan sang reporter. Masih persis 15 tahun yang lalu. Anak perempuan kecil yang polos. Lugas dan keras kepala.Terkenang masa kecilnya, Arka menekan perasaannya. Ada gemuruh dada yang menyesakan. Dia tidak mau terlena dengan perasaan itu.
Dengan tangan kekarnya, dia mencengkram rahang Arbia.
"Bagaimana, kamu terima tawaranku? Kita hancurkan kapten Axelle! Kita bekerja sama jadi satu tim." ucapnya tandas.
"Jangan mimpi kamu! Aku dan kamu beda misi! Kamu urus saja urusan kamu!" teriak Arbia meringis menahan sakit. Merasakan kuatnya tangan Arka meneka rahangnya.
"Dasar gadis bodoh! Plakk-kk!"
"Aukh-kh ...,
Darah itu keluar dari sudut bibir sensual Arbia. Dia tambah meringis sambil memegangi pipinya. Raut mukanya menjadi tegang. Amarahnya menyeruak ke kepalanya. Ditatapnya dengan tajam sosok Arka.
"Ternyata kamu sa-kit-! Beraninya hanya sama perempuan-!" Arbia menekan ucapannya dengan rahang mengeras. Seperti punya kekuatan. Dia berdiri dengan tegak.
Arka tambah terkekeh dengan sinis. Ada seringai menyeramkan dari sudut bibirnya yang simetris. Wajah tampannya tiba-tiba menghilang dengan tatapannya yang berubah menyeramkan. Sisi lain seorang Arka yang tidak pernah diketahui oleh Arbia.
Semakin mendekat, Arka semakin beringas. Dia menekan tubuh Arbia ke dinding. Di sisi lain, Axelle terus mengamati dari jarak 500 meter di bawah remang-remang lampu sudut. Di luar rumah Arbia, satu kontingen anak buah Axelle sudah menyebar dan menunggu aba-aba dari sang kapten.
Karena kepekaan insting yang begitu tajam. Arka Abiant, menyadari kehadiran tamu tak diundang. Dia terus menekan Arbia dengan pistolnya. Gadis itu mulai gemetar. Keringat dingin mulai berjatuhan dari keningnya.
"Apa yang kamu mau dari aku?" suara Arbia bergetar. Dia merasakan benda tajam itu menyentuh pinggangnya, kedua tangan Arbia begitu dingin. Sang mafia menyadari ada bayangan melintas, Arka menarik peluru pistolnya.
Bumb- ...
Lampu sudut itu pecah berkeping-keping. Suara riuh terdengar dari luar rumah. Gelap tiba-tiba memenuhi ruang keluarga itu. Arbia bersimpuh lemas. Dia menutup kedua kupingnya. Badannya gemetar. Keringat dingin menyeruak masuk ke pori-porinya.
Dirasakan ada tangan menyentuhnya. Tapi bukan tangan sang mafia. Tangan kokoh itu milik sang kapten. Super heronya. Dengan tergesa di peluknya laki-laki tegap itu. Dia menubruk Axelle dan menangis sejadi-jadinya di dada bidang sang kapten. Rasa trauma membuat dia menjadi lemah.
"Tenang-tenang, semua baik-baik saja." Axelle mengelus punggung ringkih itu lembut. Di dalam kegelapan itu Arbia merasa sangat nyaman dan terlindungi dari orang yang sangat ia benci.
"Lapor kapten! Target berhasil lolos! Laporan selesai! Anak buahnya melaporkan kondisi terkini.
"Kurang ajar! Masih bisa kabur dia! Dasar ular! Licik!" Dengusnya kesal. Dan mengiyakan laporan anak buahnya.
"Perbaiki arus listrik! Ada konsleting akibat lampu yang tertembak tadi!" Perintahnya tegas.
"Baik kapten! Laksanakan!" Bergegas mereka melaksanakan perintah kaptennya.
******
Arka Abianta, berhasil lolos dan kabur dari kepungan satuan tim khusus dibawah pimpinan kapten Axelle. Dia merupakan target operasi yang selama ini dicari-cari.
Berita ini jadi trending topik. Diberitakan, peristiwa penyanderaan Arbia Siquilla mencuat ke media sosial.
Situasi di rumah Arbia malam ini hening. Tinggal kapten Axelle yang menemaninya. Anak buah satu kompinya sudah lepas tugas sejam yang lalu.
Arbia masih merasa syok dengan kejadian tadi. Trauma masa kecilnya kembali memenuhi benaknya.
Kapten Axelle menyodorkan teh hangat kepadanya. Gadis itu mengerjap sesaat. Dan meneguk tehnya sedikit.
"Kamu dah bisa tenang sekarang. Semua sudah berlalu. Biar lebih aman, aku akan perintahkan beberapa anak buahku untuk berjaga di rumahmu." ucapnya tegas . Dia melihat pias di raut wajah Arbia.
Arbia menggeleng."Tidak perlu! Aku tidak perlu pengawal! Tidak perlu dijaga juga!" tambahnya angkuh dengan wajah sedingin salju.
"Jangan keras kepala, ini semua demi keamanan dan kebaikanmu!" timpal kapten Axelle masih tegas.
"Ini semua karena kamu! Hidupku dari kecil hancur karena ulah ayah kamu! Sekarang aku tidak aman juga karena kamu! Arka punya dendam pribadi sama kamu! Dan ingin melibatkan aku!" teriak histeris Arbia. Punggungnya terguncang hebat. Ada derai air mata lagi di pipinya. Isaknya mulai terdengar.
Axelle menghela nafas panjang. Ditariknya gadis cantik itu ke dalam pelukannya. Ditepuknya punggung ringkih yang berguncang itu. Ditenangkannya jiwa rapuh itu. Sesaat Arbia terlena.
Direnggangkannya pelukan hangat itu. Wajah mereka bersinggungan. Nafas mereka begitu hangat. Dan mata mereka beradu. Axelle menggapai wajah pias itu. Menyeka lembut air mata Arbia. Wajahnya mendekati wajah gadis itu. Menyeruakan aroma lembut tubuhnya yang begitu melenakan. Aroma wangi yang menyejukkan. Membuat Arbia nyaman dan tenang.
Ketika bibir mereka berjarak 3 senti. Arbia menahan nafas kuat-kuat. Dadanya bergemuruh. Ada debar jantung yang berkejaran. Axelle menatap dalam-dalam mata gadis cantik itu. Mencari-cari kedamaian di sana. Sesaat kemudian bibirnyan sudah beradu dengan bibir Arbia. Matanya terpejam. Menikmati suasana yang ia ciptakan.
Sedangkan Arbia terbelakak kaget, ketika bibir sang kapten begitu dalam mengecup bibirnya. Semakin dalam dan semakin terbuai. Matanya kian meredup dan terpejam.
Beberapa saat lamanya, mereka kembali ke alam sadar. Mereka jadi salah tingkah. Arbia membuang muka malu. Dia memaki dalam hati. Mengumpat sesukanya.
"Dasar bodoh kamu Arbia! Dia orang yang akan kamu bunuh! Kenapa bisa malah terjadi kissing?" Arbia terus merutuk dalam hati. Mengutuk dirinya sendiri. Orang yang sangat ia benci tiba-tiba menempati ruang hatinya.
"Maaf!" suara itu membuyarkan semua lamunan Arbia. Ada tatapan tenang di mata sang kapten. Arbia memicingkan matanya lalu membuang muka kesamping. Bukan karena benci tapi karena dia tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang berlarian tak karuan.
"Kamu bisa pulang!" suaranya bergetar. Nada pengusiran itu membuat Axelle tersenyum simpul. Dia kembali mendekati gadis itu dan mendekatkan wajahnya.
Arbia merasa jengah. Ditariknya mukanya kebelakang beberapa centi.
"Apa sikapmu selalu seperti ini sama setiap perempuan?" pertanyaan itu mampu membuat laki-laki dengan sejuta pesona itu mengubah raut mukanya. Lebih serius dan tegas. Wajahnya berubah lebih dingin dan angkuh. Tidak seramah tadi.
Ada penyesalan menguar di dada Arbia. Tidak dia sangka pertanyaannya itu ditanggapi serius oleh sang kapten.
Tanpa berkata apa-apa, laki-laki tampan itu memakai jasnya.
"Tidurlah lebih awal, agar kondisimu besok pagi lebih segar." ucapnya seraya berlalu meninggalkan Arbia yang masih dalam penyesalan.
BERSAMBUNG
Pembaca yang baik hati terima kasih atas partisipasinya Harap klik bintang, vite, like dan koment nya, ya
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel