Masih dengan ketidakpercayaannya, Praditia Wicaksana memandangi wajah gadis yang sudah berdiri di hadapannya itu.
"Kenapa ke sini, dan dari mana kamu tahu alamat apartemenku?" Sebuah pertanyaan itu merasuk ke telinga gadis itu.
Ratu Putri Prameswari, putri dari Prabu Mangkunegara yang semula ditangkap dan masuk kehotel prodeo karena kepemilikan senjata tajam ilegal. Dan kini harus menjalani perawatan terapis khusus gangguan kejiwaan. Sudah menjejakkan kaki di apartemen seorang buronan oleh kepolisian seantero negeri ini.
"Aku di suruh mengantar ini sama kak Cathrine, karena kakak sedang pergi ke luar negeri." ucap gadis itu sambil mengangkat sebuah map biru yang pastinya berisi file-file penting.
Cathrine partner kerjanya itu bukan ke luar negeri untuk bersenang-senang melainkan untuk bersembunyi dan lebih tepatnya melarikan diri.
"Oh ya sudah! Tapi kamu nggak diikuti siapa-siapa, kan?" tanya Praditia gugup.
Baru kali ini dia men
Hai, semua mampir yuk ke sini--
Ratu Prameswari sudah selesai merapikan diri. Dia sudah bersiap untuk pulang. Diliriknya jam diatas nakas, sudah hampir jam 11 malam. Dia harus pulang dan mencari tahu apa isi file itu. File yang sudah dipindahkan datanya ke usb. "Harus pulang sekarang?" tanya Praditia yang masih berbaring di atas kasurnya. "Hem!" jawab Ratu singkat lalu berdiri dari tempat duduknya. "Aku pulang, ya?" Entah bernada pamit atau bertanya. Tapi yang jelas gadis itu berjalan menuju pintu menjauhi tempst di mana Praditia berbaring. Praditia terkejut ketika menyadari bahwa perempuan yang beberapa menit yang lalu sudah membuatnya mabuk dan gila itu benar-benar ingin pergi meninggalkannya. Ddngan cepat dia menyamvar tubuh sintal gadis itu dan menggendobgnya. "Eh-eh! Kenapa?" Ratu berusaha memberontak halus, namun, rontaannya jadi desahan ketika bibir Praditia sudah mengunyah lembut bibirnya. Memainkannya dengan birahi tinggi. Dengan perlahan laki-laki i
Praditia menatap dalam-dalam gadis yang sudah semalaman itu menjadi candunya. Rasanya dia benar-benar mencintai gadis bertubuh sintal itu. Bahkan subuh tadi dia sudah membatalkan penerbangan untuk melarikan diri ke luar negeri. Dia seakan nggak rela meninggalkan gadis itu serang diri di sini. Kebingungan sekarang melanda dirinya. Apakah dia akan menyerahkan diri kepada polisi, agar proses hukumnya cepat selesai. Dan mungkin hukumannya akan menjadi lebih ringan. Dan apabila du sudah keluar dari sel tahana, dia ingin menikah dan membangun rumah tangga menjadi keluarga kecil dengan gadis yang masih tergolek dengan nyenyaknya di pembaringannya, dengan dengkuran kecilnya. Berkali-kali di belainya rambut hitam mengkilat itu, sentuh lembut bibir tipis yang sekarang menebal itu, dan disibakkan selimut yang menutupi tubuh gadis itu. Ada senyum yang terlihat sangat puas di sudut bibirnya melihat tanda merah lebam yang dia berikan di setiap inci badan gadis itu.
Mata Axelle nanar melihat siapa yang mengucapkan kata-kata itu. "Aku haus," suara lemah itu menatap lemah ke arah Axelle dan Zakaria. Seolah terhipnotis kedua laki-laki itu hanya terpana, bergeming tanpa merespon suara lemah dan seakan baru tersadar, baik Axelle dan Zakaria sama berlari menghampiri sosok lemah yang ada di pembaringan. "Aku haus," sekali lagi suara lemah itu meminta. "Oh, iya! Kamu sudah bangun, Sayang," suara lembut Axelle sambil membantu menyesapkan air putih ke mulut Arbi menggunakan sedotan. Zakaria mengelus rambut hitam putrinya. "Syukurlah, kamu sudah bangun, Sayang." Orang tua itu juga merasa bahagia dan lega. Satu putranya sudah membuka mata dalam keadaan normal. "Arka," dengan suara lemahnya Arbia memangggil kakanya yang terbaring tak jauh dari pembaringannya. "Arka kenapa?" tanya lemah, sambil tangannya mencoba menggapai jarak yang memisahkan antara dirinya dan sang kakak. "Arka--
Dokter Celine Fazah Arufiah, kembali menelan salivanya dengan pahit. Mtanya sudah mengalir buliran bening yang tidak bisa dia tahan lagi. "Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semampu kami, tapi ternyata-- Zakaria Lawalata tidak bisa menyokong badannya. Dia merosot ke bawah mendengar pernyataan dokter Crline. Celine terkejut melihat reaksi lelaki berumur itu. Dia sock mendengar berita tentang anaknya. Bahkan Celine belum sempat melanjutkan ucapannya. "Bapak, nggak apa-apa?" suara dokter cantik itu lembut dan berusaha membantu Zakaria bangkit. "Benarkah, Dok? Benarkah Arka sudah-- "Dokter...!" teriak salah satu perawat dari ruangan ICU. Spontan Celine dan Zakaria menoleh ke arah perawat tersebut. "Dokter!" Perawat itu tergopoh mendekati kedua dokter yang ada di hadapanZakaria. "Denyut nadi pasien kembali," ucapnya terengah mengejar dimana dokter Celine berdiri. Dan seketika ucapan perawat iti membuat dokter Celine sendiri terk
"Maksud kamu apa" tanya Axelle masih dengan keterkejutannya. "Bukannya sudah jelas di berkas itu. Aku ingin kamu mengelola semua perusahaanku, selama aku masuk nanti." ucap Praditia tenang dan santai. "Mana bisa begitu?" Lagi ucapan Axelle ragu. "Aku nggak msu ketika keluar nanti aku akan hadi gembek Axelle. Aku juga manusia biasa sepertimu. Yang ingin meniksh dan punya keluarga." ucap Praditia mengambil naoas inyuk menjeda sesaat kalimatnya. "Aku tahu kesalahanku fatal. Aku pejahat kelas kakap selama ini. Sadis dan bengis. Tapi aku juga hanya manusia biasa yang kapan saja bisa insaf." Axelle benar-benar terpana mendengar laki-laki dewasa itu bicara. "Apa dia ada semacam kelsinan mental hingga bisa suasana hatinya berubah-ubah kapan pun dia mau." batinnya berujar. "Kamu mau menyebutku gila atau semacamny, silakan Kapten. Tapi Aku takkan menyershksn diri sebelum kamu menanda tangani berkas-berkas itu. Bahkan Ak
Bersamaan dengan ditangkapnya Sang Kaisar atau Praditia Wicaksana yang menjadi pejahat kelas kakap dan buronan polisi bertahun, seorang Arka Abianta terbangun dari tidur panjangnya. Seperti ada semacam chamistry diantara mereka, ikatan batin itu terlalu kuat. Secara dari kecil mereka tumbuh bersama dan besar bersama. Berita menggempar seluruh dunia, Praditia Wicaksana atau yang lebiih dikenal Sang Kaisar hari ini secara suka rela menyerahkan diri kepada polisi fan segala berkas psrkara akan segera masuk pengadilan untuk sidang oertama. Didampingi 3 pengacara yang siap membantu Praditia Wicaksana untuk mendapatkan keringanan hukuman karena telah dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui segala kesalahannya. Axelle sengaja mendatangkan 3 pengacara sekaligus agar bisa membantu untuk meringankan hukuman Sang Kaisar. Dirinya sendiripun, akan dengan suka rela menjadi saksi kunci dipengadilan pada sidang yang pertama tadi. Tentang hampir puluhan perusahaan yang
Arbia dengan mata sayu menatap Axelle. Dan lelaki jantan itu kembali mengulum, bibir ranum milik Arbia. "Kamu hanya milikku," bisik Axelle di telinga Arbia yang mulai metemangkan bulu-bulu halusnya. Axelle mulai beraksi kembali, mengecup dan menggigit daun telinga sang gadis. Lidahnya dijulurkan dengan tidak sabar lagi. Terdengar desahan halus di dadanya yang membengkak. Dirabanya perut sixpack itu. Sobekan di bagian perut Axelle itu membuatnya seketika mengerang. Dia mulai menuruni perut pria tampan itu. Dan sekali gigit, Arbia sudah mencampakkan segitiga pengaman Axelle. "Ah, Sayang," desis Axelle tajam sambil menahan gejolak yang membara. Sedang Arbia semakin menjadi. Dengan llihainya digerakannya lidahnya yang menyapu ke seluruh element senjata milik Axelle. Pria itu menggelinjang manja, menggerak-gerakkan bokongnya karena menahan sesuatu yang seolah akan meledak. "Uhh, Arbi! Aku sudah nggak tahan!" Dengan sekali hentakkan, Axelle
Axelle hanya bergeming melihat perempuan yang seumuran dengannya itu datang menghampirinya. Masih tetap sama, cantik dan anggun dengan senyum yang ramah dan sikap yang hangat. "Apa kabar? Kamu juga kerja di kantor ini? Aku dengar berita terbaru, bahwa kamu masuk pendidikan kepolisian?" ucapnya ramah dengan senyum tertebar di bibir sensualnya. Tangannya terulur ke arah Axelle. Dan entah kenapa Axelle tidak lama-lama membiarkan tangan mungil itu terlalu lama menggantung. Disambutnya uluran tangan itu dengan baik. "Kabar aku baik, kamu sendiri?" ucapnya menjawab pertanyaan perempuan itu. "Syukurlah, kita sama. Aku juga baik." Sekali lagi perempuan itu menjawab tanpa melepas senyum. Dia, Intan Pertiwi. Teman satu kelas waktu memakai seragam putih abu-abu. Kalau mau jujur dulu, mereka saling menyukai, tapi masing-masing sudah punya pasangan. "Kamu juga bekerja di sini, Axelle?" Agak tersentak kapten muda itu mendengar suara Intan. "