“Siapa dia?” tanya Alden. Alana memutar bola matanya dengan malas. Ia mendengus, “Dia targetmu!” jawab dengan sedikit kesal. Alden menganggukkan kepalanya tanpa minat, dan kembali fokus pada ponselnya. Hal itu membuat Alana membulatkan matanya tak percaya. Bisa-bisanya Alden terlihat biasa saja, padahal mereka punya kesempatan saat ini. Lagipula tadi Alden mengajaknya keluar untuk melakukan misi, tapi kenapa sekarang dia malah diam saja?Alana menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sebenarnya, dia tak boleh terlalu kaget. Alden memang terkenal dengan sikap dingin dan tak terbaca.“Baiklah, kita perlu merencanakan pendekatan yang matang,” ujar Alana, mencoba memimpin situasi.Mereka duduk di sebuah sudut kafe, berdiskusi sambil memeriksa data-data yang mereka miliki. Alden masih terlihat serius, matanya fokus pada layar ponselnya.Alana mencoba untuk memikirkan setiap kemungkinan, mempertimbangkan setiap langkah yang harus dia
“Aku membutuhkannya malam ini, pastikan kau membawanya dengan baik, Nona.” Alden berkata pada wanita yang mendatanginya itu dengan senyuman manisnya. Siapa saja yang melihat senyuman itu, sudah pasti akan terpana. Sama halnya seperti wanita yang sedang bersamanya itu, dia langsung menyangupi keinginan Alden. Alden beranjak dari duduknya, dan mengedipkan matanya sebelah sebelum meninggalkan wanita suruhannya itu. Ia keluar meninggalkan club dengan smirik menyeramkan di wajahnya. Mobilnya perlahan melaju meninggalkan tempatnya berada barusan. Meski dibilang kejam, ia akan tetap melakukan untuk mencapai balas dendamnya. Selama ini ia sudah berada dalam keterpurukan karena sebuah pengkhianatan. Sekarang, sudah saatnya untuk ia bangkit dan mengambil semua yang telah menjadi miliknya. Alden tidak kembali ke markasnya, dia memilih untuk pulang ke rumah. Begitu tiba di kediamannya, dia pergi ke sebuah ruangan. Tempat itu
“Warna rambutmu membuat mataku sakit,” kata Alden sebelum meninggalkan meja makan dan Alana yang sedang tercengang. “Apa kau bilang, hah?” Suara teriakan Alana sama sekali tidak digubris oleh Alden. Pria itu dengan santai kembali ke ruang tamu, dan membaringkan tubuhnya di sofa. Matanya dipejamkan, dengan otaknya yang terus memikirkan cara untuk segera menyalurkan balas dendamnya itu. Sementara itu, Alana yang sedang membereskan piring kotor di dapur terus mengomel karena ulah Alden. Pria itu selalu saja mengomentarinya, bahkan hal yang tidak perlu diurus olehnya. “Apanya yang buruk? Ini sangat bagus!” gumamnya dengan kesal. Setelah membereskan piring kotor, Alana keluar dengan wajah jeleknya. Tentu saja di masih kesal dengan pria yang tiba-tiba masuk ke rumahnya tanpa izin dan datang dengan komentar buruknya itu. “Aishh...” Suara Alana tertahan saat melihat Alden yang sudah tertidur di so
Alden mengucapkan kata-kata itu dengan mantap, tatapannya tajam seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Frey tercengang sejenak, tidak mengira Alden akan memberikan balasan sepadan.“Tuan memang selalu tahu cara membalas, apakah tidak lelah?” goda Frey dengan senyum mengejek.Alden hanya tersenyum tipis, “Jika itu membuatmu bahagia, mengapa tidak?”Keduanya saling menatap dengan tatapan tajam, tetapi di balik itu, terdapat penghargaan satu sama lain atas kekuatan yang dimiliki masing-masing.Setelah terdiam beberapa saat, Alden beranjak dari duduknya. Ia menghela napas pelan, dan meminta Frey untuk memanggil dua orang anak buahnya.“Memangnya kau mau kemana, Tuan?” tanya Frey sembari mengikuti langkah Alden yang menuju ruang kamar di dalam club itu. Alden tidak menjawabnya, dan terus berjalan hingga berhenti di depan sebuah kamar bernomor 204. Kamar itu adalah tempat dia meminta wanita suruhannya untuk menunggu. “Kau tunggu di sini,” ucap Alden meningg
Wanita itu meringis kesakitan, tetapi tidak ada belas kasihan di mata Alden. Dia telah memasuki dunia yang penuh dengan bahaya, dan dia tahu bahwa tidak ada tempat untuk penyesalan.Anak buah Alden dengan sigap menahan wanita itu, memastikan dia tidak bisa melarikan diri. Mereka menundukkan wanita itu dengan keadaan kacau di depan Alden, menunggu perintah selanjutnya.“Apa yang seharusnya kita lakukan, Tuan?” tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ketegasan.Alden memandang wanita itu dengan dingin. Dia harus membuat keputusan, menimang apa yang akan dilakukan untuk wanita itu bisa membuka mulutnya.“Jadikan saja di budak,” usul Frey dengan santai membuat wanita itu mendelikkan matanya terkejut.Alis Alden terangkat sebelah, seolah usulan Frey itu sangat berguna. Tatapan matanya yang dingin menatap wanita yang menggeleng lemah di hadapannya itu. Dia terlihat sangat memohon untuk tidak menyetujuinya.Tapi, Alden bukanlah pria yang bisa berbaik hati pada musuhnya. Demi bala
Alden baru saja tiba di apartemen Alana. Dia mengetuk pintu kamar wanita itu, hingga seorang wanita membukakan untuknya. Alana berdiri di sana dengan wajahnya yang sembab, karena mengantuk. Dia hampir saja tidur, tapi suara ketukan pintu membuatnya kembali terbangun. “Alden?” Tanpa menjawab, Alden langsung saja menerobos masuk membuat wanita itu mendelikkan matanya kesal. Dia menghentakkan kakinya, karena waktu tidurnya harus terganggu. “Ada apa? Kenapa kau datang selarut ini?” tanya Alana sembari melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Alden yang tadinya ingin menanyakan banyak perihal informasi itu, hanya terdiam. Dia lupa dan tak memikirkan orang lain, karena ambisinya ini. “Tidak ada, kau pergi tidur saja. Tapi aku akan menginap di sini,” jawab Alden dengan santai. Alden mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Meski apartemen itu cukup besar, tapi hanya ada satu kamar di dalamnya,
Alana mendorong Alden, dan bergegas berdiri. Dia berdecak, dan langsung saja keluar dengan wajahnya yang merah merona karena malu. Begitu di luar, dia malah dikejutkan dengan kehadiran Frey. Frey yang hendak mengambil ponsel milik Alden pun sama terkejut. Dia semakin dibuat terkejut dengan Alden yang tiba-tiba muncul dari kamar Alana. “Em… kapan kau ada di sini?” tanya Alana dengan sedikit salah tingkah. Frey yang masih belum paham situasi pun hanya terdiam. Matanya sesekali memandangi Alden dan juga Alana. “Kalian…?” “Cepat, aku sudah lapar!” kata Alden memotong ucapan Frey. Alana yang juga tidak ingin semakin dicerca pertanyaan oleh Frey, segera menyusul Alden yang sudah lebih dulu berjalan ke ruang makan. Frey yang masih terlihat bingung pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Apakah dia ingin karena semalam menontonnya secara langsung?” gumamnya pelan sembari menyusul kedua orang itu.
Suasana di dalam ruang rapat itu benar-benar tegang. Tidak ada satu pun orang yang berani bersuara, bahkan untuk menghela napas saja mereka seperti dicekik. Alden muncul benar-benar membuat semua orang panik. Tak terkecuali sekretaris wanita itu, tapi dia tetap dengan berani memperlihatkan dirinya jika sedang menganggumi sosok Alden. Brak! Alden menggebrak meja dengan map yang ada di tangannya. Sorot matanya yang tajam, menatap semua orang yang ada di dalam ruang rapat tersebut. “Selama ini apa yang kalian lakukan, hah? Bukannya untung, tapi kalian malah membuat perusahaanku hancur!” kata Alden marah. Frey yang ikut rapat pun ikut terdiam, sambil memeriksa keanehan dalam laporan yang diberikan para petinggi perusahaannya itu. Dia menganggukkan kepalanya, dan sesekali menatap Alden yang tengah marah. “Apa kalian sungguh menguji kesabaranku, hah!” “Jawab aku, sialan!” Alden di lua