“Warna rambutmu membuat mataku sakit,” kata Alden sebelum meninggalkan meja makan dan Alana yang sedang tercengang. “Apa kau bilang, hah?” Suara teriakan Alana sama sekali tidak digubris oleh Alden. Pria itu dengan santai kembali ke ruang tamu, dan membaringkan tubuhnya di sofa. Matanya dipejamkan, dengan otaknya yang terus memikirkan cara untuk segera menyalurkan balas dendamnya itu. Sementara itu, Alana yang sedang membereskan piring kotor di dapur terus mengomel karena ulah Alden. Pria itu selalu saja mengomentarinya, bahkan hal yang tidak perlu diurus olehnya. “Apanya yang buruk? Ini sangat bagus!” gumamnya dengan kesal. Setelah membereskan piring kotor, Alana keluar dengan wajah jeleknya. Tentu saja di masih kesal dengan pria yang tiba-tiba masuk ke rumahnya tanpa izin dan datang dengan komentar buruknya itu. “Aishh...” Suara Alana tertahan saat melihat Alden yang sudah tertidur di so
Alden mengucapkan kata-kata itu dengan mantap, tatapannya tajam seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Frey tercengang sejenak, tidak mengira Alden akan memberikan balasan sepadan.“Tuan memang selalu tahu cara membalas, apakah tidak lelah?” goda Frey dengan senyum mengejek.Alden hanya tersenyum tipis, “Jika itu membuatmu bahagia, mengapa tidak?”Keduanya saling menatap dengan tatapan tajam, tetapi di balik itu, terdapat penghargaan satu sama lain atas kekuatan yang dimiliki masing-masing.Setelah terdiam beberapa saat, Alden beranjak dari duduknya. Ia menghela napas pelan, dan meminta Frey untuk memanggil dua orang anak buahnya.“Memangnya kau mau kemana, Tuan?” tanya Frey sembari mengikuti langkah Alden yang menuju ruang kamar di dalam club itu. Alden tidak menjawabnya, dan terus berjalan hingga berhenti di depan sebuah kamar bernomor 204. Kamar itu adalah tempat dia meminta wanita suruhannya untuk menunggu. “Kau tunggu di sini,” ucap Alden meningg
Wanita itu meringis kesakitan, tetapi tidak ada belas kasihan di mata Alden. Dia telah memasuki dunia yang penuh dengan bahaya, dan dia tahu bahwa tidak ada tempat untuk penyesalan.Anak buah Alden dengan sigap menahan wanita itu, memastikan dia tidak bisa melarikan diri. Mereka menundukkan wanita itu dengan keadaan kacau di depan Alden, menunggu perintah selanjutnya.“Apa yang seharusnya kita lakukan, Tuan?” tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ketegasan.Alden memandang wanita itu dengan dingin. Dia harus membuat keputusan, menimang apa yang akan dilakukan untuk wanita itu bisa membuka mulutnya.“Jadikan saja di budak,” usul Frey dengan santai membuat wanita itu mendelikkan matanya terkejut.Alis Alden terangkat sebelah, seolah usulan Frey itu sangat berguna. Tatapan matanya yang dingin menatap wanita yang menggeleng lemah di hadapannya itu. Dia terlihat sangat memohon untuk tidak menyetujuinya.Tapi, Alden bukanlah pria yang bisa berbaik hati pada musuhnya. Demi bala
Alden baru saja tiba di apartemen Alana. Dia mengetuk pintu kamar wanita itu, hingga seorang wanita membukakan untuknya. Alana berdiri di sana dengan wajahnya yang sembab, karena mengantuk. Dia hampir saja tidur, tapi suara ketukan pintu membuatnya kembali terbangun. “Alden?” Tanpa menjawab, Alden langsung saja menerobos masuk membuat wanita itu mendelikkan matanya kesal. Dia menghentakkan kakinya, karena waktu tidurnya harus terganggu. “Ada apa? Kenapa kau datang selarut ini?” tanya Alana sembari melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Alden yang tadinya ingin menanyakan banyak perihal informasi itu, hanya terdiam. Dia lupa dan tak memikirkan orang lain, karena ambisinya ini. “Tidak ada, kau pergi tidur saja. Tapi aku akan menginap di sini,” jawab Alden dengan santai. Alden mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Meski apartemen itu cukup besar, tapi hanya ada satu kamar di dalamnya,
Alana mendorong Alden, dan bergegas berdiri. Dia berdecak, dan langsung saja keluar dengan wajahnya yang merah merona karena malu. Begitu di luar, dia malah dikejutkan dengan kehadiran Frey. Frey yang hendak mengambil ponsel milik Alden pun sama terkejut. Dia semakin dibuat terkejut dengan Alden yang tiba-tiba muncul dari kamar Alana. “Em… kapan kau ada di sini?” tanya Alana dengan sedikit salah tingkah. Frey yang masih belum paham situasi pun hanya terdiam. Matanya sesekali memandangi Alden dan juga Alana. “Kalian…?” “Cepat, aku sudah lapar!” kata Alden memotong ucapan Frey. Alana yang juga tidak ingin semakin dicerca pertanyaan oleh Frey, segera menyusul Alden yang sudah lebih dulu berjalan ke ruang makan. Frey yang masih terlihat bingung pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Apakah dia ingin karena semalam menontonnya secara langsung?” gumamnya pelan sembari menyusul kedua orang itu.
Suasana di dalam ruang rapat itu benar-benar tegang. Tidak ada satu pun orang yang berani bersuara, bahkan untuk menghela napas saja mereka seperti dicekik. Alden muncul benar-benar membuat semua orang panik. Tak terkecuali sekretaris wanita itu, tapi dia tetap dengan berani memperlihatkan dirinya jika sedang menganggumi sosok Alden. Brak! Alden menggebrak meja dengan map yang ada di tangannya. Sorot matanya yang tajam, menatap semua orang yang ada di dalam ruang rapat tersebut. “Selama ini apa yang kalian lakukan, hah? Bukannya untung, tapi kalian malah membuat perusahaanku hancur!” kata Alden marah. Frey yang ikut rapat pun ikut terdiam, sambil memeriksa keanehan dalam laporan yang diberikan para petinggi perusahaannya itu. Dia menganggukkan kepalanya, dan sesekali menatap Alden yang tengah marah. “Apa kalian sungguh menguji kesabaranku, hah!” “Jawab aku, sialan!” Alden di lua
“Sekretarismu itu sangat menyebalkan! Kenapa juga kau harus memilih wanita seperti itu,” ucap Alana begitu dia mengikuti Alden masuk ke ruangannya. “Ah, aku baru tahu ternyata kau menyukai modelan wanita seperti itu, ya?” Dari masuk ruangan Alana tak berhenti bicara, membuat Alden merasa pening. Dia menghela napasnya, sambil memijat pelipisnya. “Apa kau ke sini untuk membalas dendam?” tanya Alden dengan ketus. Alana tertawa mendengarnya, “Kau peka sekali. Tentu saja iya,” jawabnya. Sekali lagi Alden mengembuskan napas kasar. Harusnya ia tidak menganggu wanita gila ini, dan sekarang ia malah dikerjai balik. Mana bisa ia bekerja dengan suara berisik dari wanita itu. “Alana, apa kau tidak punya pekerjaan?” tanya Alden dengan memasang wajahnya yang super sabar, tapi ingin sekali meneriaki wanita itu untuk tetap diam. “Tidak ada. Pekerjaanku kan bersamamu, tentu saja aku akan menunggumu menyeles
“Sembarangan sekali kau berbicara!” Alana tertawa keras mendengar jawaban yang keluar dari mulut Alden. Moodnya hari ini benar-benar sangat baik karena Alden. Sementara itu Alden hanya diam saja, sudah malas berkata apa-apa. Sudut bibirnya saja yang sedikit tertaik saat melihat Alana. Tak lama setelah mereka selesai makan, seorang wanita datang menghampiri Alden. Wanita itu datang dengan bajunya super ketat, dan langsung duduk di samping Alden tanpa permisi. “Semalam kau meninggalkanku begitu saja,” ucap wanita itu dengan nada suaranya yang terdengar manja. Alden menghela napasnya, “Aku ada urusan penting,” jawabnya singkat. Wanita itu mengerutkan bibirnya. Dia sama sekali tidak memperhatikan Alana yang ada di antara mereka berdua. “Uhmm, permainamu sungguh luar biasa. Bagaimana lagi aku bisa tidur denganmu?” Degh! Alana yang hendak bicara, terdiam dengan tiba-tiba s