Share

BAB 4 Kisah Tersimpang

Andre membuang muka tidak senang. Menunjukkan dengan jelas ketidaktertarikannya pada wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu sedang merengek meminta agar hubungan mereka yang kandas bisa diperbaiki.

          “Ini jam makan siang dan aku kehilangan selera makan karena kedatanganmu ke rumah sakit,” ujar Andre pada wanita itu.

          “Sayang, aku kan ke sini memang untuk mengajakmu makan siang,” bujuk wanita bernama Debbie. Ia adalah mantan pacar Andre.

          “Bagaimana jika kamu mengajak selingkuhanmu saja? Oh iya, siapa namanya? Nathan kalau tidak salah,” sindir Andre.

Pria berusia 29 tahun yang merupakan pemilik rumah sakit ini, memang pernah berpacaran dengan seorang model bernama Debbie Sabrina. Sebelum akhirnya ia memergoki Debbie tidur dengan sahabat dekatnya, Nathan.

“Itu kan masa lalu. Lagi pula aku sama Nathan tidak memiliki perasaan apa pun. Terlebih, kita sedang bertengkar saat itu. Itu sebabnya aku menerima ajakan Nathan,” jelas Debbie beralibi mencari pembenaran.

“Oh, jadi kalau kita bertengkar, kamu bisa bebas tidur dengan sembarang pria. Begitu?” tandas Andre.

“Bukan begitu maksudku. Aku hanya ….”

“Hanya apa?” potong Andre. “Hanya tidak bisa setia? Hhh! Memuakkan.” Pria itu bergegas berjalan pergi.

Di sisi lain rumah sakit ….

          Puspa terlihat sangat cantik dengan rambut yang dikuncir rapi dan setelan kerja berwarna biru sekaligus tas tangan yang elegan. Semuanya berjalan sangat lancar. Vani sangat membantu Puspa dalam proses menyiapkan dokumen lamaran kerja dan wawancara hari ini.

          Kini Puspa tinggal menunggu hasil wawancara sembari menjaga neneknya di rumah sakit.

          “Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Kemarin aku mendapatkan rejeki nomplok, sekarang aku bisa ikut wawancara kerja. Nenek, aku akan menjamin  nenek tidak perlu kelaparan lagi,” ujar Puspa bermonolog. Rasanya hari ini langkah kakinya lebih ringan dari biasanya.

          Tiba-tiba ….

          BUUUK!

          Seorang pria menabrak Puspa hingga terjatuh.

          “Aduh,” rintih Puspa sembari mengusap pantatnya yang nyeri terbentur lantai.

          Pria itu melebarkan matanya. Ia sedang memastikan wajah gadis yang baru saja ia tabrak.

          “Kamu?” tanya Andre sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Puspa berdiri.

          “Tu-tuan yang kemarin?” sentak Puspa terkejut. “Tuan tidak hendak mengambil uang yang diberikan untukku kemarin, kan? Karena aku sudah memakainya.”

          Andre mengernyitkan keningnya. “Bicara apa kamu?”

          “Andre? Sayang!” panggil Debbie yang ternyata masih mengejar Andre.

          Andre mendengus kesal. Ia langsung mendekap Puspa dan berbisik ke telinga gadis itu, “Ikuti alurku jika kamu tidak ingin aku meminta uang itu kembali.”

          Puspa yang tidak mengerti apa yang tengah terjadi pun hanya mampu mengangguk cepat. Jujur, ia lebih sayang dengan uang itu dari pada gengsinya.

          “Heh! Kamu siapa?” tanya ketus Debbie sembari mendorong Puspa agar lepas dari dekapan Andre.

          Andre dengan sigap memasang badan melindungi Puspa. “Jangan sentuh pacarku. Hubungan kita sudah berakhir. Tidak ada hak lagi bagimu untuk mengusik hidupku,” tegas Andre.

          “Pa-pacar?” Debbie ternganga mendengarnya. “Kamu pacaran dengan gadis cupu begini? Kamu tidak malu jalan dengan gadis yang bajunya entah di dapat dari pasar loak sebelah mana, ini?”

          Puspa terdiam melihat baju di badannya yang ia pinjam dari Vani. Menurutnya baju yang ia kenakan itu sangat bagus. Ia bahkan tidak mampu membeli baju seperti ini.

          “Aku tidak tahu kamu siapa, tapi yang jelas bajuku lebih mahal dari harga dirimu!” balas Puspa tidak terima.

          “Apa kamu bilang?” Debbie hendak menampar Puspa tapi tangan Puspa dengan sigap langsung menghadang tangan Debbie.

          “Gadis cupu ini bisa dengan mudah menghajarmu. Apa kamu mau coba?” tantang Puspa.

          Andre ikut ternganga melihat kelakuan Puspa. Ia takjub. Ternyata gadis itu bisa melindungi dirinya sendiri.

          Debbie kehabisan kata-kata. Ia melihat sekeliling dan mendapati banyak pasien yang mengantri serta petugas medis melihat ke arahnya. Karena malu, ia buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

          Setelah Debbie pergi, Andre membungkukkan badannya ke arah para pasien yang sedang duduk mengantri.

          “Maaf, telah menganggu,” ucap Andre.

          Puspa yang tidak mengerti hanya ikut membungkukkan badannya sebelum Andre menariknya pergi ke halaman depan rumah sakit.

          “Apa yang kamu lakukan di rumah sakit ini? Apa belum cukup kamu menyelinap masuk ke rumahku? Sekarang kamu mengikutiku sampai ke tempatku bekerja?” cerca Andre yang langsung menghardik Puspa dengan banyak tuduhan.

          “Apa orang kaya selalu ke-pede-an?” dengus kesal Puspa. “Harusnya di sini aku yang berhak mencerca! Apa yang barusan kamu katakan? Pacar? Dih!”

          “Jawab saja pertanyaanku!” desak Andre.

          “Nenekku sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Itu sebabnya aku ada di sini.”

          “Aku tidak percaya.”

          “Kalau begitu cek saja di bagian informasi.”

          “Oke. Siapa nama nenekmu. Katakan dengan jujur, ya!”

          “Gendis Rahmawati.”

          Lagi-lagi Andre langsung menarik tangan Puspa ke bagian informasi.

          “Aduh, sakit! Pelan-pelan,” mohon Puspa merasakan nyeri di pergelangan tangannya. Tentu saja, Andre tidak menggubrisnya.

          “Sus, apa ada pasien bernama Gendis Rahmawati?” tanya Andre pada resepsionis itu.

          Wajah resepsionis itu langsung pucat saat melihat Andre yang bertanya.

          “Tu-tuan.” Ia buru-buru mengecek komputernya. “Ada, Tuan. Beliau baru masuk ke rumah sakit kemarin.”

          “Penanggung jawab pasien atas nama siapa?”

          “Atas nama Puspa Gemilang, Tuan.”

          “Ada di kamar berapa?”

          “Bangsal 23-D kelas 4, Tuan.”

          “Pindahkan ke ruangan VVIP.”

          “Ba-baik, Tuan.”

          Puspa ternganga mendengar “ruangan VVIP”. Ia menengok pelan ke arah Andre.

          “Apa kamu sedang mencari ginjal untuk dibeli? Ginjalku kelebihan satu,” ucap Puspa memelas.

          “Apa yang sedang kamu bicarakan?” tanya Andre kebingungan.

          “Ruang VVIP harganya 3 juta semalam. Aku tidak punya uang untuk membayarnya. Bagaimana jika kamu membeli ginjalku saja dan memberikan aku kembaliannya?”

          “Aku sudah punya dua ginjal sehat. Aku tidak butuh ginjalmu.”

          “Lalu kenapa kamu memindahkan nenekku ke ruangan yang tidak bisa aku bayar?!” kesal Puspa.

          “Aku yang bayar! Apa susahnya mengucapkan terima kasih?”

          “Susah. Itu sangat susah. Kamu sudah membantuku kemarin. Aku tidak bisa menerima lebih banyak lagi bantuan. Bagiku, aku harus bekerja untuk mendapatkan upah. Aku tidak biasa menerima uluran tangan orang terus menerus. Kalau bukan karena keadaan yang sangat memaksaku, aku juga tidak akan menerima uangmu kemarin,” tolak Puspa.

          Andre terdiam sejenak. Ia lalu berbisik ke telinga Puspa.

          “Bagaimana jika upahnya, keperawananmu saja?”

          PLAK!

          Secara refleks, Puspa malah menampar pria itu, membuat seluruh staff di ruangan itu terkejut melihat pimpinan rumah sakit ditampar di depan umum.

          “Seriously?” kesal Andre memelototi Puspa.

          Puspa seketika sadar dari rasa kesalnya.

          “Ma-maafkan aku. Aku tidak sengaja. Tadi ada nyamuk. Sungguh! Aku tidak sengaja,” mohon Puspa melemparkan dusta.

          Andre mendengus kesal. “Kamu harus membayar yang ini. Ikut aku!”

          Sekali lagi Andre menarik paksa tangan Puspa. Kali ini Puspa tidak melawan. Ia benar-benar takut jika harus diminta membayar semuanya dengan uang. Setengah mati ia bekerja pun tidak akan terbayarkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status