Share

BAB 3 Napas Keharapan

Puspa langsung menuju ke unit gawat darurat untuk mencari neneknya. Saat ia melihat Pak RT yang bernama Rudi, ia langsung bergegas menghampirinya. Benar saja, di dekat Rudi duduk, terbaring Gendis, nenek Puspa yang sedang terkulai tidak berdaya.

          “Pak Rudi, nenek saya kenapa ya?” tanya Puspa.

          “Darah, kadar gula, dan hemoglobin nenekmu sangat rendah. Jadi, ia pingsan tadi saat sedang menyapu di depan rumah,” jelas Rudi.

          “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” cemas Puspa sembari menggenggam tangan neneknya yang masih terlelap.

          “Kata dokter, sekarang keadaannya sudah stabil. Nenekmu hanya kekurangan gizi, Puspa. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu tidak memiliki makanan untuk dimakan?” cemas Rudi.

“Hutang saya ke warga kampung sudah banyak, Pak. Saya tidak mau merepotkan.”

“Apa kamu ada uang untuk membayar rumah sakit? Jika tidak, bapak akan melakukan penggalangan dana ke warga kampung untuk biaya pengobat nenekmu,” usul Rudi.

“Tidak, Pak. Tidak perlu. Saya tadi dapat bantuan dari juragan kaya,” tolak Puspa.

“Bantuan bagaimana?”

“Sejenis utuber yang bagi-bagi uang gitu, Pak. Dan kebetulan saya mendapatkannya,” jawab Puspa berbohong. Karena menurutnya sangat tidak logis jika ia mengatakan mendapatkan uang setelah masuk dengan paksa ke rumah orang kaya yang mesum. Wajarnya pasti sudah diusir. Terlebih Puspa tidak mau dituduh mencuri lagi.

“Apa uangnya cukup untuk membayar rumah sakit?”

“Cukup kok, Pak.”

“Kalau begitu, lebih baik kamu sekarang ke bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.”

          Puspa menganggukkan kepalanya seraya menghela napas lega. Ia lalu menuju ke bagian administrasi. Sepanjang langkah kakinya, ia tidak sadar menitikan air mata. Dadanya terasa nyeri. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan selama ini hingga membuat neneknya harus pingsan karena seminggu ini mereka hanya makan satu kali sehari. Itu pun hanya nasi aking dan garam.

          Di bagian administrasi rumah sakit, ia membayar dengan uang pemberian Andre.

          “Apa mungkin pria mesum dan kurang ajar itu malaikat penolong? Jika bukan karena uang yang ia berikan, aku tidak akan mampu membayar rumah sakit. Aku tidak mau peduli dengan sikapnya, yang jelas dia sudah sangat membantuku. Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya dan berterimakasih. Tadi, aku langsung saja pergi karena omongannya,” gumam Puspa lega sembari duduk di lorong rumah sakit.

          Ia menghitung lagi uang yang ia terima. Tersisa 16 juta rupiah. Ia lantas mengkalkulasi hutangnya di warung dan uang sewa rumah yang sudah menunggak 4 bulan.

          “Jika dikurangi hutang-hutang, sisanya masih 13 juta. Uang itu akan aku fokuskan untuk sewa rumah dan membeli makanan yang bergizi untuk nenek agar nenek tidak pingsan lagi. Tapi, uang 13 juta jika digunakan terus menerus tanpa ada pemasukkan, akan habis juga. Aku harus berusaha mencari pekerjaan lain agar punya gaji bulanan,” lanjutnya sebelum kembali menemui neneknya.

          Saat ia menghampiri Gendis, Gendis tengah beradu dengan beberapa perawat. Sementara Rudi sudah tidak ada di sana. Puspa pun panik melihatnya. Buru-buru ia mendekati neneknya itu.

          “Ada apa ini?” tanya Puspa.

          “Nenek ini memaksa untuk melepaskan selang infus dan ingin pulang. Kondisinya belum memungkinkan untuk pulang,” terang salah satu perawat yang masih sibuk memegangi Gendis.

          “Kenapa nenek memaksa ingin pulang?” tanya Puspa.

          “Puspa! Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit? Nenek sudah tidak punya tabungan lagi,” cemas Gendis.

          “Aku sudah membayarnya. Berikut deposit untuk rawat inap dua malam.”

          Seketika Gendis berhenti memberontak dan membiarkan perawat memasang kembali selang infus ke tangannya. Para perawat langsung permisi meninggalkan mereka berdua setelah selesai dengan tugas mereka.

          “Kamu dapat uang dari mana? Kamu tidak mencuri, kan?” tanya Gendis curiga.

          “Tidak.”

          “Lalu?”

          “Pa-pacarku yang memberikannya,” bohong Puspa. Ia enggan menjelaskan kronologi kejadian yang sebenarnya. Puspa sadar betul jika neneknya akan murka ketika mengetahui cucunya menerobos masuk ke rumah orang kaya demi mendapatkan uang.

          “Pacar? Apa pacarmu orang kaya? Kenapa kamu tidak pernah cerita?”

          Puspa hanya menganggukkan kepalanya.

          “Kenalkan pada nenek kalau begitu,” desak Gendis.

          “Heh?” Sontak Puspa langsung terkejut dengan permintaan itu. Tentu saja ia terkejut, pacar yang ia sebutkan barusan hanyalah fiksi belaka.

          “Kenapa? Kamu malu mengenalkan nenekmu yang miskin ini pada pacarmu itu?”

          “Tidak. Hanya saja dia sedang sibuk bekerja. Nanti saja kalau dia punya waktu luang, aku akan memperkenalkannya pada nenek. Yang penting sekarang nenek istirahat dan fokus dengan pemulihan kesehatan nenek saja.”

          Gendis hanya melirik curiga. Dalam hatinya terbesit kemungkinan buruk jika cucunya itu telah mencuri. Namun, Gendis mengenal betul siapa cucunya itu. Jadi, ia buru-buru menepis anggapannya.

          “Puspa?” panggil seorang perempuan dari belakang.

          “Vani? Kok bisa kamu ada di sini?” tanya Puspa terkejut dengan kehadiran sahabat dekatnya itu.

          “Papaku telp katanya nenek Gendis masuk rumah sakit. Jadi, aku bergegas ke sini untuk menjenguk. Lagi pula aku bekerja di kantor sebelah,” ujar Vani teman masa kecil Puspa. Vani adalah anak Pak Rudi, ketua RT yang mengantarkan Gendis ke rumah sakit.

          “Bagaimana keadaan nenek, Pus? Nenek sakit apa?” tanya Vani.

          “Lebih baik kita bicara di luar saja yuk. Biar nenek bisa istirahat,” ajak Puspa.

          Vani mengangguk meng-iya-kan ajakan Puspa. Keduanya berjalan menuju ke halaman rumah sakit. Agar percakapan mereka tidak menganggu pasien lain atau pun tenaga medis yang bertugas.

          “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” ulang tanya Vani.

          Puspa menarik napas panjang penuh sesal.

          “Ini semua salahku, Van. Aku tidak bisa mencukupi semua kebutuhan rumah tangga dan membuat nenek pingsan. Selama 3 minggu terakhir, aku tidak mendapatkan banyak pekerjaan. Kamu tahu sendiri, tempatku menjaga parkir sudah diambil alih oleh preman. Aku tidak punya tempat mencari nafkah dan aku tidak punya uang untuk beli makanan sama sekali.

          “Seminggu pertama aku masih bisa berhutang pada penjual sayur, tapi karena hutangku sudah satu juta rupiah lebih, aku tidak bisa lagi berhutang. Seminggu kedua aku hanya mampu membeli beras dan kerupuk. Seminggu terakhir, aku terpaksa meminta sisa beras aking dari tetangga samping rumah untuk makan. Aku tahu beras aking itu pakan ternak. Mau bagaimana lagi, dari pada tidak ada sama sekali.

          “Sebab itulah nenek pingsan karena kurang gizi. Aku masih bisa bertahan mungkin karena aku masih muda,” jelas Puspa panjang lebar dengan wajah menyesal.

          “Astaga. Kenapa kamu nggak bilang sama aku?”

          “Ibumu kan lagi sakit. Aku tidak mau terus-terusan merepotkan.”

          “Lalu bagaimana dengan pembayaran rumah sakit. Kalau kamu butuh, aku punya sedikit tabungan yang bisa kamu pakai,” ujar Vani menawarkan bantuan.

          “Terima kasih, Van. Tapi, tadi ada pria baik yang membantuku membayar rumah sakit sekaligus memberikan deposito untuk rawat inap. Jadi, aku rasa, aku dan nenek akan baik-baik saja untuk sementara ini.”

          “Syukurlah.” Vani ikut merasa lega mendengarnya.

          “Tapi, aku butuh bantuanmu, Van.”

          “Bantuan apa? Katakan saja, jika aku bisa bantu, aku pasti akan membantumu.”

          “Begini, aku tidak bisa berpangku tangan meminta tolong pada orang terus menerus. Aku butuh pekerjaan yang bisa mengandalkan ijazah SMA. Apa kamu punya pandangan lowongan kerja?”

          Vani terdiam sejenak. Ia lantas membuka ponselnya, mengecek pesan grup dari perusahaan tempatnya bekerja untuk mengecek ketersediaan lowongan.

          “Ada nih, Pus. Lowongan untuk lulusan SMA. Menjadi sales produk suplemen. Perusahaan farmasi yang memproduksi suplemen kesehatan itu juga masih satu kepemilikan dengan pemilik rumah sakit ini. Kamu mau?” kata Vani menawarkan.

          “Mau, Van. Aku mau. Tapi ….”

          “Tapi apa, Pus?”

          “Aku tidak punya baju yang layak untuk digunakan melamar kerja. Bajuku semuanya sudah kumal dan tidak pantas. Apa aku pakai seragam SMA ku saja ya? Aku lepas logo sekolahnya.”

          “Hmmm, tidak perlu sih. Besok pagi mending kamu datang ke rumahku saja sih. Aku pinjamkan baju kerjaku untuk wawancara kerja. Sistem pelamar di sana, langsung wawancara soalnya. Nanti aku ajarin kamu cara menjawab pertanyaan untuk wawancara kerja. Oke?”

          Puspa tersenyum dan langsung memeluk Vani. “Makasih banget ya, Van!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status