Share

BAB 5 Menghadapi Takdir

Andre membawa Puspa ke gedung yang berada di samping rumah sakit. Tepatnya gedung Core Farmasi.

          “Tunggu!” Puspa langsung menghentikan langkahnya begitu tahu Andre membawanya ke gedung tempat ia melakukan wawancara tadi pagi.

          “Ada apa?”

          “Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tahu kamu orang kaya. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena!” ujar Puspa ketakutan.

          “Semena-mena bagaimana?”

          “Kamu ingin mengatakan pada HRD Core Farmasi agar tidak menerimaku sebagai sales di sini, kan? Sebab aku telah menamparmu tadi. Aku mohon jangan lakukan itu. Aku sangat butuh pekerjaan. Maafkan aku,” mohon Puspa memelas.

          Andre mengangkat satu alisnya. “Kamu melamar jadi sales di sini?”

          “Oh, jadi kamu belum tahu ya. Hehe. Pokoknya aku minta maaf ya. Plis. Ya?” rengek Puspa.

          “Memangnya kamu siapa hingga aku harus tahu di mana kamu melamar kerja? Aku menyeretmu ke sini karena kamu menamparku di depan umum! Apa yang kamu lakukan tadi sangat mempermalukanku. Maaf saja tidaklah cukup! Terima kasih atas informasinya. Aku akan memastikan kamu tidak akan pernah bekerja di tempat ini!” tandas Andre yang buru-buru masuk ke dalam gedung Core Farmasi.

          “Tunggu! Jangan lakukan itu!” Puspa yang panik langsung berlari menyusul Andre dan menarik tangan Andre, agar Andre mengurungkan niatnya. Saking paniknya, Puspa sampai tidak menyadari setiap karyawan yang melihat Andre membungkukkan badan untuk memberi hormat.

          Andre tidak bergeming. Ia tetap menuju ke ruangan HRD. Baru saja Andre membuka pintu, kepala HRD langsung panik. Pria itu takut melakukan kesalahan yang membuat Andre datang ke ruangannya.

          “Pa-Pak Andre?” Pria itu buru-buru bangkit dari duduknya dan membungkukkan badannya memberi hormat. “Hal penting apa yang membuat Pak Andre datang ke sini?” tanya pria itu masih gemetar.

          “Berikan aku surat lamaran kerja atas nama Puspa Gemilang,” suruh Andre.

          “Baik, Pak.” Kepala HRD itu bergegas ke ruangan sebelah di mana seluruh berkas lamaran ada di sana. Buru-buru ia mengaduk-aduk dokumen untuk mencari dokumen yang dimaksud. Beruntunglah dokumen itu masih ada di atas meja, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk ditemukan.

          “I-ini, Pak.” Kepala HRD itu langsung menyerahkan dokumen lamaran kerja Puspa pada Andre.

          Tanpa melihat isinya, Andre merobek dokumen itu di hadapan Puspa. Puspa hanya bisa ternganga melihatnya.

          “Jika ada wanita ini datang …,” tunjuk Andre ke arah Puspa. “Jangan pernah Anda berikan satu kesempatan pun untuk dirinya bekerja di tempat ini.”

          “Baik, Pak,” ucap kepala HRD.

          Puspa menarik tangan Andre. “Kenapa kamu tega sekali melakukan itu?” rengeknya sembari menangis. “Aku butuh pekerjaan.”

          “Hash!” Andre langsung menarik kembali lengannya dari cengkeraman Puspa. “Ikut aku ke ruanganku dan berhentilah menangis. Mental cupu!” cibir Andre yang beralih melangkah ke ruangannya di lantai dua.

          Puspa buru-buru menghapus air matanya. Ia sadar jika Andre memiliki kuasa di beberapa tempat. Itu membuatnya mau tidak mau menurutinya dari pada namanya masuk daftar hitam di banyak perusahaan dan membuatnya tidak bisa bekerja.

          “Duduklah,” perintah Andre.

          Puspa yang masih ketakutan mengangguk cepat. Ia duduk di sofa di dalam ruangan kerja yang besar itu. Sementara Andre kembali keluar dari ruangan, entah akan pergi ke mana.

          Lama Puspa menunggu Andre di ruangan itu. Ketika pintu ruangan itu kembali dibuka, Puspa bersiap merapikan duduknya. Namun, yang masuk ke dalam ruangan itu bukanlah Andre. Melainkan seorang wanita cantik dengan setelan kerja sembari membawa nampan berisikan teh hangat dan beberapa kudapan di atas piring. Wanita itu melemparkan senyuman manis pada Puspa.

          “Pak Andre meminta saya membawakan ini untuk Anda selama Anda menunggunya. Beliau sedang ada urusan. Jika membutuhkan bantuan, meja saya ada di depan ruangan ini,” kata wanita dengan pin bertuliskan Stefani di atas dadanya itu.

          “Terima kasih. Apa boleh saya bertanya?”

          “Tentu saja boleh.”

          “Andre itu siapa ya?” tanya Puspa.

          Stefani tampak terkejut mendengarnya. Ia tidak menjawab dan malah menunjuk ke arah meja kerja yang menghadap ke arah sofa, dengan jempol tangannya. Di atas meja kerja itu ada tulisan “CEO: Andre Pradipta”.

          Sekarang gantian Puspa yang terkejut. Matanya melotot tidak percaya dirinya baru saja menampar seorang CEO.

          “Ah, dia CEO,” ujar Puspa pelan sembari tersenyum getir.

          Stefani menganggukkan kepalanya. “Ada yang ingin ditanyakan lagi?”

          “Tidak. Terima kasih.”

          “Baiklah, kalau begitu saya permisi,” ucap Stefani yang lantas keluar dari ruangan.

          Plak!

          Puspa memukul pelan dahinya sendiri. “Bodoh, bodoh, bodoh!!!! Kenapa tanganku bisa dengan mudah mendarat ke pipi pria itu? Jika aku tahu kalau dia adalah pimpinan perusahaan farmasi ini, aku pasti tidak akan melakukannya,” sesal Puspa.

          Ia menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Matanya kosong menatap langit-langit ruangan.

          “Entah mengapa, dari sini aku bisa melihat gambaran hidupku yang suram,” gumamnya bermonolog putus asa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status