Salah seorang anak buah Bargowi yang pada saat itu tengah berada di beranda rumah tersebut, tampak kaget melihat kedatangan Ramandika.
"Siapa pemuda itu?" desis pria tersebut, sama sekali dia tidak mengenal tamu tak diundang itu.
Pria itu adalah Wikara yang kebetulan sedang bertugas menjaga perkebunan milik majikannya. Wikara sudah paham bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya itu sedang dalam kondisi marah, sehingga dirinya lekas bangkit dan langsung menghampiri Ramandika.
"Siapa kau, Anak muda? Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini ?" tanya Wikara bernada tinggi.
"Di mana pimpinanmu?" jawab Ramandika balas melontar pertanyaan. Suaranya terdengar keras menyulut amarah Wikara.
"Untuk apa kau mencari pemimpinku?"
"Jangan banyak tanya! Katakan saja, di mana Bargowi?" bentak Ramandika.
Entah apa yang merasuk dalam jiwa Ramandika? Pada saat itu sikapnya benar-benar berubah, ia tampak garang dan sangat berani sekali tandang ke markas orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang terkenal kasar dan kejam.
"Berani sekali kau membentakku, apakah kau sudah bosan hidup?" bentak Wikara. "Jangan mencari pemimpinku, hadapi saja aku!" sambungnya penuh amarah.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Aku hanya ada urusan dengan pemimpinmu, Ki Sanak."
"Hahaha ... kau bilang tidak ada urusan denganku?" tanya Wikara bersikap angkuh, dua bola matanya menatap tajam wajah Ramandika sambil tersenyum sinis.
Tanpa banyak bicara lagi, Ramandika langsung maju dua langkah dan langsung menyerang Wikara dengan menggunakan tangan kosong. Namun naas baginya, karena Wikara bukanlah orang sembarangan.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Wikara menangkap tangan Ramandika seraya menggerakkan kaki kanannya dengan lihai, menendang perut Ramandika. Tendangan keras tersebut, membuat Ramandika kesakitan. Lantas, jatuh bergelimpangan.
"Bangkitlah! Hadapi aku, Anak muda!" tantang Wikara.
"Kurang ajar!" bentak Ramandika.
Seiring demikian, datanglah beberapa orang pria yang tiada lain adalah orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan yang baru saja kembali dari kediaman sang kuwu.
Melihat Wikara tengah berhadapan dengan Ramandika, sontak mereka langsung menghampiri. Tanpa diperintah mereka langsung melakukan tindakan keji terhadap Ramandika.
"Habisi saja pemuda ini!" seru Wikara kepada kawan-kawannya yang baru tiba.
Demikianlah, mereka pun langsung menyerang Ramandika dengan menggunakan senjata tajam.
Seketika itu, Ramandika menjadi bulan-bulanan orang-orang tersebut. Ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan, wajahnya sudah penuh darah.
"Aku tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan dengan mereka. Jika aku terus bertahan, maka aku akan mati di tempat ini," desis Ramandika sambil mencari celah untuk melarikan diri.
Sekuat tenaga, ia berusaha menahan gempuran orang-orang tersebut. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun kembali jatuh. Tangan kirinya mengalami luka terkena sabetan golok.
"Hahaha ...!" Wikara tertawa lepas saat melihat Ramandika mengalami luka. "Bunuh saja dia!" serunya.
Dalam keadaan semakin terdesak, Ramandika pun memutuskan untuk menyelamatkan diri. Ia bangkit dan langsung berlari kencang menembus kegelapan malam.
"Kurang ajar, jangan lari kau!" teriak Wikara. "Kejar pemuda itu!" seru Wikara kepada kawan-kawannya.
Dengan demikian, orang-orang itu langsung berlarian. Mereka terus mengejar Ramandika hingga tiba di ujung desa tersebut.
"Ke mana larinya anak muda itu?" tanya salah seorang dari mereka.
"Entahlah, mungkin dia sudah memasuki hutan ini. Sebaiknya kita kembali, kita harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Bargowi dan kepada Ki Kuwu," sahut Wikara.
"Apakah kau kenal dengan pemuda tersebut?"
"Aku tidak mengenalnya, tapi pemuda itu mengenal Ki Bargowi. Dia datang berteriak-teriak memanggil Ki Bargowi," jawab Wikara.
"Apakah kau tidak bertanya kepada pemuda itu tentang tujuan kedatangannya?"
"Tidak. Tapi aku yakin, kedatangannya membawa dendam tersendiri kepada Ki Bargowi," jawab Wikara.
Setelah berkata demikian, dia bersama kawan-kawannya langsung kembali ke markas mereka.
Sedangkan Ramandika langsung menuju kediaman Ramudya yang berada di tepi hutan. Ramandika mengalami luka yang sangat parah akibat sabetan golok dari salah seorang pendekar yang bertarung dengannya.
Setibanya di depan gubuk sederhana yang berdiri kokoh di tengah-tengah perkebunan jagung, Ramandika langsung mengetuk pintu gubuk tersebut.
"Tok! Tok! Tok! Paman, tolong buka pintunya!" ucap Ramandika.
Mendengar suara Ramandika, Ramudya bergegas bangun dari tidurnya. "Iya, tunggu sebentar!" sahut Ramudya bangkit dan langsung membuka pintu.
"Apa yang terjadi denganmu, Ramandika?" tanya Ramudya menatap wajah pemuda yang sudah ia anggap sebagai putranya itu.
"Aku baru saja bertarung dengan orang-orang kepercayaan Kuwu Sangkan, Paman."
"Nekat sekali kau ini," desis pria paruh baya itu. Kemudian langsung mempersilakan Ramandika untuk masuk.
Setelah berada di dalam gubuk tersebut, Ramudya tidak banyak bertanya lagi, ia langsung mengambil kain halus dan air hangat untuk membersihkan luka memar dan luka sabetan golok di tangan Ramandika.
"Mengapa kau nekat berurusan dengan mereka?" tanya Ramudya sambil membersihkan luka di tangan Ramandika.
Ramandika menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Aku mendatangi mereka, karena aku sudah tahu bahwa mereka adalah para pelaku yang sudah membinasakan keluargaku."
Mendengar jawaban Ramandika, Ramudya tampak kaget dan langsung bertanya lagi, "Kau mengetahui hal itu dari siapa?"
"Dari Rawinta, Paman," jawab Ramandika lirih. "Rawinta mengetahui itu semua dari keterangan Sintani sebelum ia meninggal, bahkan para penduduk desa lainnya pun mengetahui hal itu. Tapi mereka tidak ada yang mau buka mulut ketika aku bertanya kepada mereka," sambungnya menjelaskan.
"Kurang ajar sekali!" geram Ramudya. "Paman tidak menyangka Kuwu Sangkan bisa sekejam itu," sambung pria paruh baya itu tampak menyesalkan perbuatan sang kuwu.
Di tempat terpisah ....
Malam itu Wikara dan kawan-kawannya sudah berkumpul di rumah yang menjadi markas mereka. Mereka tengah melakukan pembicaraan penting dengan Bargowi yang kala itu baru saja tiba di rumah tersebut.
"Kira-kira, siapakah pemuda itu?" tanya Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain.
"Entahlah, aku tidak mengenali anak muda itu, Ki," jawab Wikara.
Bargowi terdiam sejenak, pandangannya menerawang jauh menembus kegelapan malam. Pikirannya mulai terarah kepada kasus pembantaian yang dilakukan oleh anak buahnya terhadap keluarga Dupara. Sehingga, ia berkesimpulan bahwa pemuda yang baru saja bertarung dengan anak buahnya adalah Ramandika.
"Apakah pemuda itu memiliki rambut pirang dan memakai kalung Sanca?" tanya Bargowi mengarah kepada Wikara dan kawan-kawannya.
"Benar, Ki. Pemuda itu berambut pirang dan mengenakan kalung Sanca," jawab Wikara.
'Sudah jelas, pemuda itu adalah Ramandika,' kata Bargowi dalam hati.
Sejenak ia menarik napas panjang, lalu berkata, "Ya, sudah jelas bahwa pemuda itu adalah Ramandika putra Ki Dupara, kemungkinan besar dia datang untuk menuntut balas kepada kita karena kematian kedua orang tuanya dan juga adiknya," desis Bargowi tampak yakin sekali.
Wikara mengerutkan kening memandang wajah Bargowi. Lalu bertanya lagi, "Apakah Aki yakin kalau pemuda itu adalah Ramandika?"
"Ya, aku yakin. Karena tidak ada orang yang memiliki kalung Sanca selain Ramandika dan Dupara," jawab Bargowi.
"Jika memang pemuda itu adalah putra Ki Dupara, lantas apa yang harus kita lakukan, Ki?" Wikara kembali bertanya kepada Bargowi.
"Besok kita cari dia, kita harus segera membunuhnya!" jawab Bargowi langsung memberi perintah.
"Ke mana kita harus mencarinya?" timpal salah seorang anak buahnya.
"Dalam kondisi terluka, tidak mungkin Ramandika pergi jauh dari desa ini. Besok kita harus mendatangi rumah orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya," jawab Bargowi.
"Apakah Aki tahu siapa saja orang-orang yang dekat dengan Ramandika?" tanya Wikara kembali angkat bicara.
Bargowi berpaling ke arah Wikara, ia tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan anak buahnya itu, "Ya, aku tahu."Dengan demikian, Bargowi langsung merancang siasat bersama anak buahnya. Dia memberikan tugas kepada Wikara dan kawan-kawannya untuk mendatangi kediaman Sondaka dan juga Ramudya, karena dirinya sangat yakin bahwa mereka mengetahui keberadaan Ramandika."Kita bergerak esok pagi, pastikan bahwa Ramandika tidak lepas dari buruan kita!" ujar Bargowi di sela perbincangannya dengan Wikara dan anak buahnya yang lain."Baik, Ki," jawab Wikara bersikap penuh rasa hormat terhadap pimpinannya itu.Keesokan harinya ....Menjelang matahari terbit, Ramandika sudah berada di beranda rumah bersama Ramudya. Pada saat itu, mereka sedang berbincang santai sembari menikmati minuman rempah-rempah khas desa tersebut."Kau sudah tidak aman lagi jika harus tetap berada di desa ini, sebaiknya esok hari kau harus segera meninggalkan desa ini," saran Ramudya di sela perbincangannya dengan Ramandika.R
Ramudya sudah pasrah dengan keadaan, ia sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungannya dengan Bargowi.'Ya, Dewata Agung! Jika aku harus mati hari ini. Aku ikhlas, yang penting Ramandika dan Rawinta selamat dari buruan orang-orang ini,' kata Ramudya dalam hati.Ramudya menarik napas dalam-dalam, kemudian meluruskan pandangannya ke wajah Bargowi.Bargowi kemudian melangkah mendekat ke arah Ramudya sambil mengayun-ayunkan goloknya yang tajam. Kemudian berkata, "Aku akan mengurungkan niatku untuk membinasakanmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus mengatakan di mana Ramandika berada?""Bunuh saja aku! Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan pernah tunduk kepadamu!" tegas Ramudya bersikeras tidak mau mengatakan tentang keberadaan Ramandika."Kurang ajar kau!" bentak Bargowi.Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung mengayunkan goloknya dan langsung menebas leher Ramudya hingga hampir putus. Seketika itu, Ramudya pun langsung tewas dengan luka yang sangat lebar di lehernya.Setelah
"Lancang sekali kau ini, seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau ini? Berani sekali menginjakkan kaki di wilayah ini," jawab salah seorang dari kedua pria itu dengan nada tinggi.Dalam situasi seperti itu, Ramandika paham bahwa kedua pria yang menghadangnya itu tidak punya itikad baik. Sehingga dirinya pun langsung bersiap dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Mereka bukan orang baik-baik, mau tidak mau aku harus berani menghadapi mereka,' batin Ramandika."Mohon maaf, Ki Sanak. Bukankah ini jalan umum?" kata Ramandika balas melontar pertanyaan.Sontak, sikapnya itu mengundang emosi dari kedua pria tersebut. Sehingga salah seorang dari mereka langsung membentak keras, "Kurang aja sekali kau ini! Apakah kau sudah bosan hidup?"Meskipun Ramandika tidak memiliki keahlian ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga tidak memiliki banyak pengalaman bertarung, namun dirinya sudah siap dalam menghadapi kedua orang itu.'Aku harus melawan mereka. Jika nanti aku kalah, maka aku harus
Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar."Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang bias
Ki Ageng Penggir tersenyum lebar mendengar pertanyaan Ramandika, sejenak ia terdiam. Sikapnya itu, tentu membuat Ramandika penasaran saja."Kenapa, Aki tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku ini tidak layak menjadi muridmu?" tanya Ramandika menatap wajah pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut."Siapa pun yang datang ke padepokan ini dengan niat sungguh-sungguh ingin belajar, aku pasti akan menerima dengan baik. Tapi ingat, kau harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu kanuragan yang akan aku ajarkan kepadamu!"Mendengar jawaban pria paruh baya itu, Ramandika tampak senang dan begitu bahagia. Ternyata perjuangannya yang rumit selama ini telah dibayar lunas dengan sikap baik Ki Ageng Penggir."Terima kasih banyak, Ki," ucap Ramandika sambil menjura hormat. "Mulai hari ini, aku akan memanggilmu guru," sambungnya penuh kebahagiaan."Ya sudah. Mulai besok, kau bisa langsung bergabung dengan murid-murid lainnya untuk berlatih," kata Ki Ageng Penggir tersenyum lebar. "Untuk
Meskipun sudah berteriak keras, tak ada sahutan dari Dendaka. Tempat tersebut tampak sunyi, seakan-akan hanya Ramandika saja yang berada di tempat itu.'Apa maksud Dendaka meninggalkan aku di tempat ini? Apakah mungkin, Dendaka berniat jahat terhadapku?' Ramandika bertanya-tanya dalam hati."Dendaka, di mana kau?" teriak Ramandika semakin penasaran, dua bola matanya terus bergulir mengamati sekitaran tempat tersebut.Namun, tak ada seorang pun yang menyahut teriakan Ramandika. Hingga pada akhirnya, Ramandika pun merasa lelah dan memutuskan untuk kembali ke padepokan."Rupanya Dendaka sengaja menipu dan mempermainkan aku," gumam Ramandika kesal. Kemudian, ia langsung melangkah hendak kembali ke padepokan.Namun, baru beberapa langkah saja Ramandika berjalan. Tiba-tiba datang serangan tak terduga, Ramandika jatuh tersungkur ketika kepalanya dihantam sebuah pukulan keras dari arah belakang.Seiring demikian, terdengar suara Somala dan Dendaka tertawa keras, "Hahaha ...!" Seakan-akan, mer
Sementara itu, Ramandika masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia terombang-ambing arus sungai yang lumayan deras. Namun setelah beberapa lamanya terbawa arus, tubuh Ramandika akhirnya tersangkut di sebatang kayu. Kemudian, ia ditemukan oleh seorang pria paruh baya yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai tersebut.Pria paruh baya itu adalah Ki Warmala—seorang pendekar yang sudah lama mengasingkan diri bersama putranya di hutan itu. Kemudian, pria paruh baya itu langsung mengangkat tubuh Ramandika dan membawanya ke gubuk tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sungai tersebut."Jayamanik!" teriak Ki Warmala setelah tiba di gubuknya."Iya, Rama," sahut Jayamanik bergegas keluar menghampiri ayahnya. "Siapa orang ini, Rama?" tanya Jayamanik setelah berada di hadapan ayahnya."Entahlah, Rama menemukan pemuda ini di sungai. Kemungkinan besar dia kebawa arus dari Pancara," jawab Ki Warmala. "Tolong bersihkan tubuh pemuda ini, dan ganti pakaiannya!" sambungnya memerintahkan putranya."Ba
Jayamanik merangkapkan kedua telapak tangannya seraya berkata, "Baik, Guru. Apa yang Guru perintahkan akan aku laksanakan dengan baik."Tanpa berlama-lama lagi, Jayamanik langsung pamit kepada Ki Ageng Penggir, saat itu juga dirinya langsung menemui Bisama, Sena, dan kedua kawan baiknya yakni Braja dan Kolada.Mereka langsung mengadakan pembicaraan penting terkait rencana mereka yang akan segera mengusir Dendaka dan juga Somala."Bedebah! Ternyata, merekalah yang menjadi dalang di balik hilangnya Ramandika," geram Bisama."Sedari awal, aku sudah merasa curiga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Dendaka dan Somala terhadap Ramandika. Ternyata memang benar, dugaanku tidak meleset," desis Braja."Kita harus segera meminta keterangan lebih jelas dari Dendaka dan Somala terkait kejahatan yang sudah mereka lakukan terhadap Ramandika. Aku ingin mengetahui apa sebenarnya yang menjadi alasan mereka, sehingga mereka tega membuat Ramandika menderita," ujar Bisama dengan raut wajah penuh amarah.H