Share

2. TWENTY EIGHT YEARS LATER

Busan, Korea Selatan

Suasana malam di Busan yang eksotik menjadikan kehidupan tampak glamour dan eksentrik.

Sebagai kota terbesar kedua di Korea Selatan setelah Seoul, Busan memiliki warna dan daya tarik unik.

Berlokasi di timur laut Korea Selatan, kota ini memiliki banyak pantai, kaya hasil laut, dan menawarkan pemandangan yang memanjakan mata.

Busan juga merupakan kota yang hidup dengan pusat bisnis tersibuk dan p***r-p***r tradisional yang meriah.

Industri kreatif pun tumbuh subur di kota ini. Sama halnya dengan industri hiburan malam di Busan yang menawarkan kepuasan seks tanpa batas.

"Permainanmu di ranjang itu memang tidak bisa di ragukan lagi Yura," puji seorang laki-laki dengan senyuman miringnya yang nakal. Dia membelai rambut wanita bernama Yura yang kini tertidur nyaman di sampingnya.

"Oke baiklah, aku akan memberikanmu hadiah karena malam ini kamu sungguh luar biasa, " laki-laki itu menarik selimut yang sedari tadi menutupi tubuh bugilnya bersama Yura.

"Besok, jadwal casting di mulai jam sepuluh pagi, aku akan memilihmu sebagai peran utama dalam film baruku nanti. Tapi dengan catatan, kamu harus merahasiakan hal ini. Aku tidak mau rumah tangga dan karirku hancur hanya karena hubungan gelap kita," jelasnya pada Yura. Lelaki itu bicara sambil memunguti pakaiannya yang berserak di lantai lalu mengenakannya satu persatu.

Matanya masih menatap liar sosok Yura, sang kekasih gelapnya yang kini masih santai tertidur dalam balutan selimut putih. Sebuah selimut yang menutupi tubuh indah tak berbusana milik Yura, seorang perempuan berusia 28 tahun yang kini berprofesi sebagai aktris pendatang baru di Industri perfilman Korea Selatan.

"Sebenarnya aku bisa saja menerima tawaran sutradara Hae Sung kemarin," ucap Yura yang kini sudah menyandarkan punggungnya di bantal. Lalu dia mulai menyulut sebatang rokok dan dihisapnya pelan-pelan.

"Bahkan film-film yang dia sutradarai itu jauh lebih bagus daripada film-film karyamu," ucap Yura lagi, dia melirik malas ke arah teman tidurnya malam ini.

"Hanya saja, aku tidak mau jika harus kembali beradu akting dengan Min Hyuk. Nanti yang ada dia jadi besar kepala. Perceraianku dengannya sudah cukup membuat karirku hampir saja hancur berantakan! Apalagi sekarang, dia masih terus saja menggangguku dengan alasan yang sama, Eun Sa- Eun Sa- Eun Sa dan Eun Sa! Dasar tidak tahu diri!" Yura memutar bola matanya malas sambil geleng-geleng kepala.

Yura mematikan puntung rokoknya yang masih menyala. Lalu membanting kepalanya ke atas bantal. Matanya menerawang ke langit-langit kamar hotel yang bernuansa putih.

Bayangan seorang laki-laki bernama Min Hyuk seolah merasuk kembali memenuhi isi kepalanya. Dan hal itu cukup membuatnya frustasi.

Dia benci Min Hyuk!

Sangat-sangat membencinya.

Meski, dia tidak akan pernah bisa beralih dari bayangan laki-laki itu yang kini berstatus sebagai mantan suaminya setelah urusan perceraiannya akhirnya selesai sekitar setengah tahun yang lalu.

Meski pahit, meski sakit, tapi Yura tidak mau terpuruk hanya karena laki-laki brengsek macam Min Hyuk.

Seorang laki-laki yang sudah berhasil menipunya dengan bualan manis hingga membuatnya seolah terbang hingga ke langit ke tujuh, tapi setelah itu dengan teganya, lelaki itu juga yang menghempaskan Yura kembali ke bumi.

Hatinya hancur, patah, dan nyeri.

Rumah tangga yang pada awalnya dia pikir sempurna justru hanya menyisakan segunung derita.

Bahkan sejak saat itu, satu hal yang Yura tahu, hatinya seperti mati rasa.

Kekecewaan mendalam yang Yura rasakan akibat perbuatan Min Hyuk membuat wanita itu sulit menjalin hubungan baru dengan lelaki lain.

Bahkan hingga detik ini, di saat dirinya bergonta-ganti pasangan tidur dengan pria-pria hidung belang yang menyewa jasanya di layanan prostitusi o****e terselubung, tak pernah sekalipun Yura merasakan hatinya bisa kembali berdegup kencang.

Yura tidak bisa merasakan kembali bagaimana rasanya jatuh cinta.

Yura tidak bisa membedakan cinta dan nafsu.

Yang Yura tahu adalah dirinya harus tetap melanjutkan hidup.

Yura sudah tercebur terlalu dalam. Dia sadar dirinya tidak akan bisa kembali. Apalagi terbebas dari jurang prostitusi o****e yang sudah menjerat dirinya semasa remaja.

"Bagaimanapun Eun Sa itu tetap anakmu, Yura. Apalagi diakan baru berusia tiga tahun, dia masih sangat membutuhkan sosok ibunya," nasehat laki-laki itu pada Yura. Saat ini dia sudah terlihat rapi dengan pakaian casualnya.

"Baiklah, aku akan keluar dari hotel ini sekarang. Ingat! Jeda beberapa jam, baru kamu boleh keluar. Aku tidak mau kalau sampai ada wartawan yang memergoki kita berada di hotel yang sama malam ini," ancam laki-laki itu pada Yura.

Yura mencebik. "Tidak kamu beritahupun aku sudah mengerti! Memang kamu pikir aku bodoh?" bentak Yura tidak terima. "Sudah sana, cepat keluar!"

Laki-laki itu pun keluar dari kamar hotel itu setelah memastikan keadaan sekitar aman. Lalu dia mulai berjalan menelusuri lorong di hotel itu menuju lift untuk kemudian secepatnya pergi meninggalkan hotel itu.

Sepeninggal tamunya, Yura mulai memunguti pakaiannya lalu beralih ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam ini dia benar-benar dibuat kewalahan oleh Woo bin si maniak sex itu. Aneh-aneh saja permintaannya. Pikir Yura geram dalam hati.

Yura melepaskan rantai besi yang mengikat lehernya sejak tadi. Yura merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dirinya yang seringkali diperlakukan seperti binatang oleh laki-laki hidung belang itu. Bahkan kini saat dia menatap bayangannya di depan cermin kamar mandi, Yura mendapati beberapa luka memar dan bercak merah di sekitar dadanya. Yura menekannya sedikit lalu dia meringis. Menahan sakit. Dia menggigit bibir bawahnya.

Satu titik air matanya menetes tanpa mampu dia tahan.

Yura ingin berhenti. Yura ingin berlari. Yura ingin hidup normal layaknya wanita-wanita lain yang bisa hidup bahagia membina rumah tangga bersama laki-laki yang dia cintai dan juga mencintai dirinya dengan tulus. Sayangnya, hal itu kini hanya menjadi mimpi baginya.

Mimpi yang entah kapan bisa terwujud.

Dulu, Yura pernah berharap pada seseorang yang dia pikir bisa menyelamatkannya dari jeratan prostitusi o****e itu, meski pada akhirnya dia hanya bisa menerima kenyataan pahit dan kekecewaan yang mendalam, saat laki-laki itu justru malah mengkhianati dirinya.

"Kamu tidak usah khawatir, Soumi, Yura itu hanya seorang pelacur yang kusewa untuk menjadi istriku. Aku melakukan itu hanya untuk menaikkan pamorku di dunia hiburan. Aku dan dia hanya kawin kontrak. Hanya satu tahun, karena dia sudah terlanjur hamil anakku. Jadi, selepas satu tahun nanti, aku dan dia akan bercerai lalu kita menikah. Aku hanya mencintaimu, Soumi, percayalah,"

Yura mendengar semua percakapan Min Hyuk dan Soumi malam itu saat mereka selesai dengan kegiatan mereka di atas ranjang miliknya dan Min Hyuk. Dan hebatnya, Soumi adalah sahabat dekat Yura sendiri. Seorang sahabat yang begitu dia percaya selama ini.

Dan sejak hari itu, Yura tidak ingin lagi mempercayai siapapun di dalam hidupnya. Sebab baginya dunia ini penuh dengan kepalsuan.

Dunia ini kejam.

Tidak berprikemanusiaan.

Yura meninggalkan Min Hyuk saat itu juga. Dan dengan terpaksa harus mengubur semua benih-benih cintanya yang mulai tumbuh untuk laki-laki itu. Hingga akhirnya benih cinta itu kini bersemai menjadi sebuah rasa benci yang melekat di nadi dan tak mau pergi.

Hingga kini, Yura kembali menjalani hidupnya, seorang diri lagi.

Prostitusi o****e yang tengah menjeratnya kali ini, sudah mendarah daging di dalam sela kesehariannya.

Dan dia tidak bisa kembali.

Jauh sebelum hari ini, Yura pernah bermimpi.

Bermimpi memiliki kehidupan layaknya wanita normal kebanyakan.

Memiliki suami yang mencintainya.

Melahirkan anak-anak yang lucu.

Serta keluarga besar yang bisa menyayanginya dan memanjakan dirinya.

Tapi ketika dirinya terbangun, Yura sadar, mimpi hanyalah bunga tidur.

Karena pada kenyataannya, kehidupan yang dia jalani saat ini justru berbanding terbalik dengan semua angan semu dalam mimpi-mimpinya.

*****

Bandung, Indonesia

Suara tangisan bayi akhirnya terdengar dari ruangan bersalin.

Semua orang yang tadinya duduk cemas di depan ruangan itu langsung berhambur ke arah pintu ruangan yang memang kondisinya tertutup rapat.

Mereka begitu tidak sabar ingin melihat anggota baru keluarga mereka.

Sementara itu di dalam ruangan bersalin, seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri di pojok ruangan itu dengan posisi membelakangi sang istri yang sedang berjuang melawan maut demi melahirkan sang buah hati mereka, kini mulai membalikkan tubuhnya tepat satu detik saat suara tangis bayi itu terdengar.

Reyhan frustasi.

Dia panik, cemas, bingung dan takut.

Saat melihat Katrina yang terus menerus menangis dan berteriak kesakitan sejak dia mulai memasuki ruangan bersalin dua belas jam yang lalu.

Awalnya Reyhan masih bisa menemani sang Istri di sampingnya dengan terus menggenggam erat tangan Katrina. Tapi, lama kelamaan Reyhan jadi tidak sanggup saat dilihatnya Katrina yang semakin lama semakin kesakitan. Terlebih setelah dokter menginstruksi istrinya untuk mulai mengejan dan Reyhan melihat darah segar yang mengalir dari kemaluan istrinya itu semakin deras.

Sungguh Reyhan tidak sanggup.

Reyhan tidak sanggup jika harus terus menerus menyaksikan Katrina menderita seperti itu. Hingga diapun memilih untuk mengasingkan diri ke pojok ruangan.

Seandainya saja bisa, rasanya dia ingin Katrina memberikan seluruh rasa sakit yang istrinya itu rasakan sekarang pada dirinya. Melihat Katrina menjerit kesakitan, Reyhan benar-benar tidak tega.

Hingga setelahnya, lelaki itu malah menangis di sana. Di dalam ruangan bersalin itu.

Teriakan Katrina semakin kencang. Sementara Reyhan tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa dan terus berdoa supaya penderitaan istrinya cepat berakhir.

"Pak, silahkan di adzani dulu putranya. Dia sudah selesai dibersihkan," ucap salah satu perawat wanita yang menggendong seorang bayi laki-laki ditangannya dan mulai menyerahkan bayi itu pada Reyhan.

Dengan tangan gemetar, Reyhan menerima putranya. Anak kandungnya. Darah dagingnya.

Reyhan sungguh terharu sampai dia tidak sadar kalau air matanya mengalir semakin deras, bahkan saat dia mulai mengadzani sang buah hati.

Reyhan menangis saking bahagia. Penantiannya selama kurang lebih tiga tahun usia pernikahannya dengan Katrina akhirnya berbuah manis.

Kini dia merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Ayah sungguhan.

Reyhan sudah selesai mengadzani putranya dan kini dia mulai berjalan ke arah istrinya yang baru saja selesai mendapat beberapa jahitan di luka bekas persalinannya.

Katrina terlihat pucat dan lelah. Tapi binar cerah dimatanya tidak dapat menyembunyikan rona bahagia yang teramat sangat luar biasa begitu Reyhan mendekatkan putra mereka dan menaruhnya di atas dada sang istri.

"Jagoan kita, sayang... Terima kasih," bisik Reyhan seraya mengecup lembut kening Katrina, dia duduk di samping istrinya.

Katrina tersenyum.

Dia masih belum bisa berkata-kata.

Kontraksi yang dia rasakan kurang lebih dua belas jam cukup menguras energi dan seluruh tenaganya. Kini dia hanya bisa menatap penuh haru pada sesosok tubuh mungil yang terbalut kain bedongan bayi di atas dadanya.

Seorang bayi laki-laki yang sehat, dengan berat badan 3,5 kg dan tinggi 50 cm itu terlihat menggeliat-geliat di balik kain yang membungkus tubuhnya. Matanya masih terpejam sempurna. Tapi mulutnya terlihat bergerak-gerak. Sepertinya dia haus.

"Silahkan bayinya di beri asi pertama dulu ya, Bu." perintah suster lain di dalam ruangan tersebut.

"Nanti kalau Ibunya sudah bisa bangun, baru dipindahkan ke ruang perawatan ya," sang suster hendak membantu Katrina untuk memberikan asi pertamanya pada sang bayi dibantu oleh Reyhan juga.

"Kita sudah boleh masuk belum, Sus?" teriak suara dari luar pintu ruangan bersalin. Pintu itu kini sudah terbuka sebagian.

Reyhan langsung sigap menutup tirai untuk menutupi ranjang bersalin Katrina seraya berkata, "Sabar, masih menyusui bayinya dulu."

"Ish, lama sekali? Akukan sudah tidak sabar ingin melihat keponakanku," seru Luwi sembari cemberut. Dia akhirnya beringsut dari arah pintu itu untuk kembali keluar sambil sesekali menggerutu pelan.

Wanita berparas manis itu menghampiri suaminya yang sedang menerima telepon. Luwi duduk di bangku tunggu di depan ruangan bersalin bersama seluruh keluarga besarnya.

Keluarga besar Sastro Sudiro dan Surawijaya.

Ada Hardin, Omah, Opah, Ayah Hadi, Bibi Zaenab dan Bibi Atiqah serta suami-suami mereka.

"Satu minggu lagi saya kembali ke Amerika, Pak. Kalau masalah kerjasama di Busan, saya belum bisa menanganinya. Pekerjaan saya di Amerika masih banyak dan saya tidak punya anak buah yang bisa cukup dipercaya untuk menangani urusan kerjasama di Busan. Saya minta waktu lagi untuk mempertimbangkan hal itu, Pak. Nanti saya musyawarahkan hal ini dengan Kakek dan Kakak Ipar saya dulu, bagaimana?" tutur Hardin yang merupakan suami Luwi. Lelaki itu masih berbicara dengan partner bisnisnya di telepon, sementara Luwi hanya mendengarkan percakapan itu dengan sikap santainya.

"Oh, oke. Baik Pak. Terima kasih, Pak. Iya-iya. Sampai jumpa minggu depan," Hardin mengakhiri percakapannya di telepon.

"Dari Mr.Demian?" tanya Luwi menebak-nebak.

"Iya. Dia bilang perusahaan W-mart sedang membangun anak cabang di Busan. Mr.Kennedy sangat berharap perusahaan kita bisa ikut bekerja sama di sana. Tapi pekerjaanku di Amerika belum selesai, masa iya, aku harus bulak balik Amerika-Busan setiap hari? Memang aku punya kantong doraemon yang bisa mengeluarkan pintu kemana saja?" Hardin terkekeh di akhir kalimatnya yang disambut tepisan tangan Luwi di pipinya.

"Masalah itu kita serahkan saja pada Reyhan nanti," sambung Opah menambahi.

"Katrina itu baru melahirkan, Abi. Masa iya Abi tega harus mengirim Reyhan ke Busan dan meninggalkan Katrina dan bayi mereka di sini? Opahmu ini kalau bicara suka sembarangan Luwi," kali ini Omah yang menyahut.

"Project di Busan tidak akan lama sih Omah, paling hanya memakan waktu selambat-lambatnya tiga sampai empat bulan. Kan kita hanya perlu mengontrol saja. Tidak seperti pekerjaanku di Amerika yang sampai memakan waktu bertahun-tahun. Ini hanya masalah sumber daya manusianya saja sih, aku masih trauma untuk percaya begitu saja dengan menyerahkan urusan penting perusahaan kepada orang-orang baru. Kalau nanti sudah menemukan orang-orang yang tepat mungkin kita bisa kembali ke Indonesia dengan tenang. Iyakan Opah?" Hardin mencoba untuk menjelaskan ke Omah. Sementara Opah hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

"Nanti kita coba bicarakan baik-baik dengan Reyhan dulu," lanjut Opah kemudian.

"Permisi Pak, Bu, dengan keluarga Ibu Katrina dan Pak Reyhan? Ibu Katrinanya sudah bisa dijenguk. Silahkan," ucap seorang suster yang keluar dari dalam ruangan bersalin.

Mendengar hal itu seluruh keluarga terdengar mengucap kalimat hamdalah secara bergantian dan mereka mulai memasuki ruangan bersalin dimana Katrina sudah rapi dengan cadarnya, sementara sang bayi di taruh di samping Katrina.

"Masya Allah Trina, cucu Omah tampan sekali?" Omah langsung menggendong bayi yang saat itu tengah tertidur pulas. Luwi dan Bibi Atiqah terlihat mengerubungi Omah seraya membelai pipi mungil bayi di gendongan Omah.

"Selamat ya, Trina. Nikmatkan rasanya melahirkan? Inshaa Allah dengan semua rasa sakit yang kamu rasakan saat melahirkan, Allah telah menggugurkan semua dosa-dosamu. Terlebih, rasa sakit itu tidak sebanding dengan perasaan bahagia dan bangga yang luar biasa setelah kita mampu melewatinya. Dan semuanya akan terbayar saat kamu melihat keadaan bayimu, benarkan yang Teteh katakan?" ucap Kak Zaenab bangga.

"Iya, Teh. Benar sekali." jawab Katrina pelan.

"Almarhumah Ibumu pasti sangat bahagia melihat cucunya kini sudah lahir, Trina. Mbak Arini pasti sedang tersenyum melihatmu begitu bahagia sekarang. Teteh saja sampai terharu," ujar Zaenab seraya menyeka air matanya.

Katrina jadi ikutan menangis. Mengingat almarhum sang Ibunda tercinta yang kini telah tiada. Tapi, meskipun begitu Arini selalu hidup dalam relung hati Katrina. Dalam setiap doa dan dzikirnya di sepertiga malam. Katrina tak pernah lupa untuk mengirimkan Doa pada sang Ibu.

"Wah... Ini jagoannya Reyhan? Kok nggak mirip sih sama Reyhan?" goda Hardin yang sedang berdiri di samping Omah. Dia melirik jahil pada Reyhan, sahabat yang merangkap sebagai kakak iparnya saat ini.

Mendengar gurauan Hardin, Reyhan cuma senyum-senyum sambil berdiri di samping Katrina. Guyonan Hardin cukup mencairkan suasana haru di sana.

"Hardin!!!" pekik Omah, Bibi Atiqah, dan Kak Zaenab.

"Terus mirip siapa? Mirip kamu gitu? Hah? Nih rasain," Luwi memelintir pinggang suaminya yang jahil itu. Hardin meringis kesakitan. Sontak hal itu mengundang tawa dari beberapa keluarga yang ada di sana termasuk Reyhan dan Katrina sendiri.

Bercandaan Hardin itu memang kadang terdengar nyeleneh dan agak kelewatan tapi bagi semua keluarga yang sudah mengenal sifat Hardin hanya menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, apalagi Luwi. Bagi Hardin, kali ini, tidak ada satupun istri yang paling galak dan bawel selain istrinya itu.

"Wah bahagianya, selamat ya untuk Kakakku dan Kakak ipar. Akhirnya penantian kalian selama tiga tahun berakhir juga." Luwi berhambur memeluk Katrina di ranjang. Dia sangat terharu dan juga bahagia.

"Terima kasih, Luwi. Oh ya, ini anak-anak tidak ada yang di ajak?" tanya Katrina kemudian.

"Si kembar biar di rumah saja dengan Bi Lisa. Yumna dan Gibran sedang di perjalanan menuju kesini di antar Pak Budiman," jawab Luwi kemudian.

"Ini, omong-omong, jagoan baru Ayah mau di beri nama siapa Reyhan?" tanya Hadi kemudian saat dia baru saja selesai mengobrol dengan Opah. Kini dia terlihat menggendong sang cucu tercinta.

Reyhan dan Katrina saling berpandangan dan tersenyum, lalu dengan mantap mereka menjawab bersamaan.

"Akmal Rayhaan Syakiel,"

Dan semua keluarga pun tersenyum tanda setuju.

Mereka semua berharap arti dari nama itu benar-benar tersemat dalam diri sang Bayi. Hingga dia benar-benar bisa menjelma menjadi sesosok laki-laki berparas tampan yang baik dan sempurna akhlaknya.

Sesuai kebaikan yang ada pada namanya.

Hari ini, di keluarga besar itu bertambah lagi satu anggota baru.

Kehidupan mereka semakin terasa sempurna.

Lengkap dan bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status