"Menyingkir kalian! Biarkan saya masuk!"
"Di mana Tuan Muda Fortman kalian sekap?!" "Serahkan dia pada saya!" Suara ricuh di ujung lorong mengembalikan kewarasan Aaron. Ia tersadar dari semua bayangan masa lalunya. Iris biru terang itu mencari-cari ke sekitar. Sepertinya ia kenal dengan suara laki-laki yang berteriak pada para penjaga di ujung lorong. Bukankah dia Jeremy? Sementara itu di ujung lorong sedang terjadi perdebatan hebat antara seorang laki-laki dengan tiga orang penjaga. Laki-laki itu datang dengan membawa berkas-berkas penting dalam kopernya. Jeremy merupakan pria asal Selatan yang sudah bekerja puluhan tahun melayani keluarga Fortman sebagai sekretaris sekaligus pengacara Tuan Fortman. Setelah Tuan Besar Fortman meninggal, semua hak waris jatuh pada putra tunggalnya yaitu Aaron de Fortman. Sayangnya, di hari penyerahan hak waris di pengadilan pusat, Jeremy tidak melihat Aaron sama sekali. Dia curiga jika Marisa dan Marquez sudah melakukan sesuatu pada Tuan Muda Fortman tersebut. Dan saat ia menanyakan Aaron. Marisan dan Marquez menjawab dengan santai. "Aaron sedang tidak sehat. Mentalnya terganggu. Sekarang dia sedang berada di rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan." Jeremy yang mahir menebak gelagat orang mengetahui jika dia sudah dibohongi oleh para bajingan itu. Dia pun berusaha mencari keberadaan Aaron. Marisa dan Marquez tidak membawa Aaron ke rumah sakit jiwa mana pun untuk proses pemulihan mentalnya. Hingga hari ini Jeremy datang dengan membawa tiga orang detektif. Dia menggeledah rumah Tuan Forman. "Ada apa ini? Pagi-pagi sudah merusuh di rumah orang!" Jeremy yang sedang bersitegang dengan para penjaga di ujung lorong pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. Marisa menghembuskan asap rokoknya lalu tersenyum sinis. "Nyonya, saya tahu Anda sudah berbuat tidak benar pada Tuan Muda Aaron. Sekarang katakan di mana dia? Saya harus menyerahkan banyak berkas penting padanya," ucap Jeremy dengan sorot mata dingin pada wanita di depannya. Marisa menyeringai. Sambil menjepit batang rokok di antara kedua jarinya, wanita itu mendekat pada Jeremy. "Apa yang bisa orang gila perbuat pada berkas-berkas penting itu? Aaron sudah tidak bisa diharapkan lagi. Mentalnya rusak dan dia sangat berbahaya! Jika ada hal penting mengenai warisan keluarga Fortman, baiknya serahkan saja padaku," desisnya. Jeremy mencengkeram pegangan koper di tangannya. Matanya menatap tajam. "Tidak bisa, Nyonya. Seperti apa pun kondisi Tuan Muda Aaron, saya harus menemuinya." Melihat laki-laki itu yang keras kepala, Marisa jadi muak. "Oke! Jika tidak mau berurusan denganku maka enyahlah kau dari hadapanku!" "Setidaknya biarkan saya melihat kondisi Tuan Muda dulu!" desak Jeremy tak kalah kesal. Marisa memicingkan matanya. "Kau tidak akan keluar dengan selamat jika maju satu langkah lagi!" Jeremy mematung di tempat. Dia tahu betul wanita di depannya ini memang bukan hanya racun, tapi juga iblis yang suka makan orang. Maka sebelum ia meninggalkan tempat itu, sang pengacara mengintimidasi mereka dengan melempar tatapan yang tajam. "Dasar laki-laki sinting!" Marisa tidak peduli. Dia segera melangkah menuju pintu rahasia yang berada di ujung lorong. Tiga orang penjaga segera mengkuti langkah wanita itu. Jeremy, oh dia sudah pergi? Indera pendengaran Aaron yang amat tajam menangkap suara langkah pantofel mereka menjauh dari tempat ia berada saat ini. Wajah kuyu itu menekur ke bawah. Aaron sempat putus asa setelah berharap jika Jeremy akan membebaskan dia dari penjara busuk yang membelenggunya saat ini. Langkah sepasang tungkai jenjang yang dipasangi heels warna merah menepi di depan jeruji besi di mana seorang laki-laki terpenjara di sana. Marisa tersenyum remeh melihat kondisi Aaron. "Kasihan sekali. Kau pikir pengacara bodoh itu bisa membantumu? Kau salah, Aaron! Tidak ada yang bisa membantumu selain aku! Maka sebelum aku bosan dan ingin menghabisimu, aku bertanya lagi. Maukah kau menjadi budakku? Maka kau akan terbebas dari penjara ini!" Sepasang mata Aaron terangkat guna menggapai wajah iblis di depannya. Seringai tipis terbit di sudut bibir Marisa kala manik-manik biru terang itu menatapnya. "Kau terlalu menyedihkan untuk mati di tempat ini, Aaron. Maka apa sulitnya terima saja tawaran dariku? Kau pasti akan hidup enak jika bersedia menjadi budakku," desis Marisa lagi. Aaron meludah. "Cuih! Lebih baik aku mati di sini daripada menjadi budakmu!" "Dasar keras kepala!" Maria yang marah segera meminta seember air pada para penjaga. Maka segera ia menyiram laki-laki di dalam sel tahanan itu. Dia tertawa puas melihat Aaron basah kuyup dan menggigil kedinginan. "Jangan beri dia makan! Biarkan dia makan kotorannya sendiri!" Usai memberi perintah, Marisa bergegas pergi. Aaron mengepalkan tangannya dengan tatapan yang tajam. Wanita itu, dia bahkan lebih gila daripada orang yang tidak waras! Dipejamkan mata itu, Aaron kembali mengingat momen-momen yang sudah lewat di hidupnya. ['Telah terjadi kecelakaan tunggal di sekitar bukit. Mobil mewah yang membawa Tuan Muda Fortman terperosok hingga masuk jurang. Tim satuan khusus dan para polisi sedang melakukan evakuasi saat ini!'] "Apa?!" "Oh, tidak!" 'Tuan Muda Aaron!" Breaking News pagi itu mengejutkan seluruh kota. Mereka bergegas pergi ke lokasi untuk melihat proses evakuasi. Mereka juga tidak sabar ingin tahu bagaimana kondisi Aaron saat itu. "Mobilnya meledak! Kami membutuhkan Tim Pemadam!" "Oh, Tuhanku!" Tuan Fortman yang baru saja pulih dari komanya dibuat shock saat mendengar kabar duka yang Jeremy sampaikan. Laki-laki tua itu sekuat tenaga berusaha sadar. Dia ingin melihat kondisi putranya. "Kau tidak bisa meninggalkan rumah sakit saat ini." Tuan Fortman dan Jeremy menoleh ke arah pintu, dari mana sumber suara tersebut. Marisa membalas tatapan dua orang laki-laki itu dengan wajah sedih dan panik. Wanita itu lantas berlari menuju Tuan Fortman sambil menangis. "Oh, Sayang! Aaron tidak ditemukan di jurang! Para polisi dan Unit Khusus sudah menyerah mencarinya!" jerit Marisa setelah menjatuhkan wajahnya ke dada Tuan Fortman. Seketika laki-laki tua itu mengalami shock berat. "Tuan Besar!" Jeremy sangat terkejut melihat Tuan Fortman jatuh pinsan. Marisa tersenyum licik diam-diam sambil melihat para dokter dan perawat yang sibuk menangani laki-laki tua itu. Dia berharap hari ini ada dua nyawa yang hilang. Nyawa Anthony dan putranya, Aaron. "Bagiamana? Apakah laki-laki itu sudah kau bereskan?" Marisa menghubungi Marquez setelah mengambil privasi dari kericuhan di ruang ICU di mana Tuan Fortman terbaring. Marquez yang sedang berada di dalam jurang menoleh ke arah laki-laki yang tergolek di bawah kakinya. Aaron belum sadrakan diri. Sementara dia sudah kepayahan menyeret laki-laki itu menjauh dari ledakan mobil. "Huh! Aku capek sekali karena si bodoh ini! Kenapa kita tidak biarkan dia tewas dalam ledakan mobil?" jawab Marquez. Ponsel pintar berada dalam genggaman tangan kanannya dan didekatkan ke teinga. Marisa tersenyum puas mendengar ucapan Marquez. "Kita masih butuh Aaron untuk memindahkan semua wewenang hak waris semua kekayaaan keluarga Fortman, bukan? Maka bersabarlah sebentar lagi, Sayangku." Marquez berdecak jengah. Ia segera menyudahi panggilan. "Bodoh! Kau merepotkan saja!" Dengan kesal dia menendang Aaron yang masih belum sadarkan diri. Kemudian kepalanya menggeleng dengan ekspresi bosan. Tiba-tiba matanya melihat sebuah semak belukar yang rimbun. Bibirnya menyeringai tipis. "Kurasa di hutan ini masih banyak hewan buas. Bagaimana jika aku berbaik hati memberi makan mereka?" Marquez tertawa begitu gila. Kemudian dia menyeret tubuh ringkih Aaron, lantas melemparnya ke semak-semak. "Persetan dengan apapun! Matilah kau, Aaron!"Musim sepi di San Alexandria Baru. Embun pagi berjatuhan dari kuntum-kuntum Tulip dan Lily. Sinar jingga tampak samar dari ufuk barat. Menandakan hari mulai pagi.Tirai putih melambai-lambai karena embusan angin dari arah laut. Bayangan gunung tercipta dari kaca jendela besar di sekeliling rumah.Anak laki-laki berlarian sambil mengejar bola di halaman belakang rumah. Sejak mereka kembali dua tahun yang lalu, Bungalow Fortman kembali semarak."Nyonya, di mana saya harus meletakkan bunga ini?"Wanita yang sedang duduk menghadap ke arah teras balkon dibuat terkejut saat mendengar suara itu.Ia berputar guna menggapai wajah wanita paruh baya berseragam asisten yang berdiri di belakang."Letakkan saja di sana."Dia berkata seraya menunjuk ke arah meja kecil di samping balkon kamar. Wanita itu menunjuk dengan dagunya. Sebab kedua tangan tampak sedang menggendong bayi kecil yang sedang menyusu.Sang asisten mengangguk. Maka ia segera berjalan menuju meja yang ditunjuk. Kemudian diletakkan
Langkah sepasang tungkai panjang terayun mantap menuju lobi gedung putih di pusat kota. Rumah Sakit Ameer, San Francisco bagian Barat. Aaron datang ke tempat itu setelah membaca surel ilegal yang dikirim untuknya.Entah siapa pengirim surel tersebut, baik Neymar sekalipun tidak tahu dari mana alamat email itu.Namun hal itu tidak begitu penting bagi Aaron. Yang paling penting dia harus memastikan dua mayat yang berada di rumah sakit itu.Orang-orang di rumah sakit tampak sangat terkejut dan heran melihat kemunculan sekelompok orang di lobi. Mereka sangat tercengang setelah melihat pria yang berjalan di barisan paling depan.Aaron de Fortman.Siapa yang tidak mengenal pria itu?Bukan hanya Presiden Direktur Mecco Group, laki-laki berparas tampan itu juga merupakan Walikota San Alexandria Baru selama dua periode.Kemunculan Aaron di sana menyita perhatian publik. Awak Media yang kebetulan berada di sana langsung menyalakan kamera mereka."Itu Walikota San Alexandria Baru, Tuan Muda Fort
Kediaman Fortman pukul tujuh pagi."Tuan Muda, hari ini jadwal Anda sangat padat. Namun jangan lupa meminum obat Anda."Luca berkata seraya mengikuti langkah panjang Aaron. Mereka berjalan bersisian di lorong rumah.Neymar dan sepuluh orang bodyguard sudah menunggu di pelataran bersama mobil-mobil yang akan mereka tumpangi pagi ini.Sebagai walikota Aaron sangat sibuk. Namun penyakit mental yang dia derita bisa kumat kapan saja. Oleh karena itu, Luca selalu mengingatkan dia untuk meminum obat.Mendengar penuturan sang asisten, Aaron sangat muak. Namun dia tahu jika kesehatan mentalnya amatlah penting."Luca, apa sudah dapat kabar tentang proyek pembangunan Bank Century di daerah Selatan?""Saya sudah kirim orang untuk meninjau langsung ke lokasi. Anda nggak usah capek-capek ke sana."Langkah Aaron dihentikan seketika. Luca cukup terkejut karenanya. Dia segera menunduk saat mata Tuan Muda mengincar wajahnya."Aku tidak percaya jika tidak melihatnya dengan mata kepala ku sendiri," desis
Setelah kembali ke kota, Miranda lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di rumah orang tuanya. Serangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang tahun, dia ingin melupakannya. Termasuk Aaron."Cuacanya sangat cerah, apa Anda tak ingin keluar untuk mengajak Tuan Muda berjalan-jalan?"Wanita yang sedang duduk di sofa dibuat mengernyit saat mendengar suara itu. Dialihkan pandang dari halaman buku tebal ilmu kedokteran yang sedang ia baca.Berta-asisten yang bekerja di rumah mewah itu tersenyum menanggapi saat manik-manik hijau itu melirik."Juan tidak akan suka. Cuaca di sini terlalu panas untuk kulitnya yang sensitif."Berta tersenyum."Tuan Muda sangat istimewa, bukan? Anda sangat beruntung memiliki putra sepertinya." Ia berkata begitu untuk meluaskan hati wanita itu, lantas kembali melempar senyum sebelum pergi.Miranda, dia masih duduk di sofa dekat dengan balkon kamar. Mendengar penuturan Berta, nafasnya terasa berat.Juanito, putranya mengalami kelainan langka. Anak laki-laki berusia e
Siang berganti malam. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Di suatu kamar, Miranda menggigil dalam balutan selimut yang tebal. Pria yang berdiri di ambang pintu cuma tersenyum smirk melihatnya."Apa kau mau aku hangatkan?"Suara itu membuat mata Miranda melirik. Marquez, pria itu sedang berjalan menuju padanya. Dia sudah bisa menebak apa yang akan pria itu lakukan. Hingga pintu didorong dengan kaki, Marquez pun datang padanya.Hari-hari terus berganti. Pendeta mendatangi kediaman Marquez di Swedia. Hari pernikahan sudah ditetapkan. Menyadari semestanya sudah hancur lebur, Miranda hanya bisa menunduk pasrah.Aaron de Fortman, laki-laki yang semestinya berdiri dengannya di atas altar, kini entah hilang ke mana. Bersama semua kenangan mereka, Miranda menutup buku harian.Jiwanya amat rapuh. Tiada lagi tempatnya guna bertumpu. Namun meski derasnya kesusahan ini, dia tak bisa bertindak. Bayi dalam rahimnya kian berkembang. Ia membutuhkan seorang ayah. Tetapi, bukan Marquez!"Gaun penganti
'Sudah nyaris enam bulan dia berada dalam cengkeraman pria itu. Namun Nona Miranda tidak menyadari celaka yang ia alami. Pria itu memberinya obat tidur pada menu makan malamnya. Dia datang pada Nona Miranda setiap malam dan mengganggunya. Kini Nona Miranda sedang mengandung bayi bajingan itu.'"TIDAK!"Prang!Malam nyaris menemukan pagi. Casandra merasa cemas saat Luca dan Neymar mengantar Aaron pulang. Pria itu mabuk berat dan tampak sangat kacau. Aaron tak sadarkan diri di kamar cukup lama. Hingga suara gaduh tiba-tiba terdengar dari sana.Casandra sangat prihatin melihat kondisi putra angkatnya itu. Dia sudah dengar dari Luca dan Neymar. Aaron sepertinya sangat depresi saat ini."Aku sudah katakan agar berhenti mencari wanita itu! Kenapa kalian tidak dengar?"Luca dan Neymar hanya diam dengan tak berani mengangkat sepasang mata ke depan pria tua di depannya. Tuan Besar Fortman sangat murka setelah tahu putranya jatuh depresi. Pria itu lantas memanggil Luca dan Neymar ke kantor."A