“Apa maksudmu? Memangnya dia siapa?” tanya Ronald.Zaliyah tidak menjawab, dia hanya memasang senyum miring membuat Ronald makin bingung. Dia memberi instruksi pada orang suruhannya untuk mencari tahu hingga membuat Zaliyah tertawa kecil.“Coba saja cari tahu, aku pastikan kalian tidak akan menemukan hal yang spesial,” ungkap Zaliyah.“Karena dia memang bukan siapa-siapa kan? Kamu hanya menggertak kan?” pancing Ronald.Zaliyah mengendikkan bahunya. “Bisa saja dia memang orang biasa yang bukan siapa-siapa, tapi bisa juga dia orang yang sangat penting yang bisa menyembunyikan siap dirinya rapat-rapat.”Jawaban itu membuat Ronald kembali menatap Haniyah, seolah sedang mencari tahu lewat tatapannya.“Pak Ronald tidak perlu mencari tahu siapa saya, anggap saja saya bukan siapa-siapa. Karena memang tidak akan terjadi apa-apa kalau tindakan anda, anda hentikan saat ini.” Kalimat Haniyah begitu tenang, Ronald jadi curiga kalau
Mobil hitam milik Zaliyah meluncur perlahan keluar dari pelataran kantor Elkan. Di dalamnya, suasana terasa hening. Duduk di bangku tengah, Haniyah mengenakan blazer krem lembut dan kerudung yang disemat rapi. Wajahnya tenang, meskipun pikirannya terasa benar-benar berisik.Di sebelahnya, Zaliyah duduk dengan anggun. Sorot matanya tajam, pembawaannya jauh lebih tenang dibanding Haniyah. Mungkin, karena hal seperti ini sudah jadi bagian masa mudahnya. Di kursi depan, Anandita duduk tenang sambil mengemudi. Ia tidak banyak bicara, sama seperti Zaliyah, dia terlihat tenang dan lebih fokus. Mungkin saat ini hanya Haniyah yang dipenuhi perhitungan ini dan itu.Zaliyah menoleh perlahan ke arah Haniyah. “Han,” suaranya rendah tapi jelas, “Ronald bukan pria biasa. Dia tahu cara membaca bahasa tubuh, dia tahu kapan seseorang gugup, dan dia tahu bagaimana memancing reaksi emosional.” Haniyah mengalihkan pandangannya ke Zaliyah.“Aku sudah pernah ngajarin kamu dasar-dasarnya, gimana caranya men
Suasana di kantor Elkan mendadak berubah drastis setelah Hanan menerima panggilan telepon dari orang suruhannya. Pagi tadi semuanya masih jadi asumsi, prakiraan tanpa dasar dan hanya sebuah tebakan—seandainya—sekiranya. Tapi siang ini, semua menjadi lebih jelas.Hanan masih duduk di sofa yang sama dengan Elkan, satu tangan menyentuh telinga kirinya, menyimak suara dari earpiece kecil yang terhubung langsung ke orang kepercayaannya di lapangan. Beberapa detik kemudian, ia memutus sambungan, menoleh perlahan ke arah Elkan.“Sudah bisa dipastikan, sesuai perkiraan Pak Arifin dan detektif yang kamu bayar… dalangnya memang Ronald,” katanya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan mendalam. “Dan alasannya persis seperti yang disampaikan Pak Arifin, karena Carol.”Elkan mengepalkan tangannya, dadanya sesak. Marah dan kesal bercampur jadi satu.“Jadi… mau pakai cara apa?” tanya Elkan.“Negosiasi saja, aku siap.” Elkan menatap Haniyah
Pukul sembilan pagi. Hanan keluar dari mobilnya bersamaan dengan Elkan yang baru saja sampai. Tidak lama kemudian, motor Anandita dan Farid juga merapat. Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju ruangan Elkan.Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang kerja Elkan, menyinari meja kayu mahoni yang mengkilap. Aroma kopi hitam masih samar tercium dari cangkir yang baru saja disiapkan Haniyah. Suasana ruangan terasa tegang namun terkendali.Pagi itu Hanan datang dengan pakaian santai. Tidak sebagai CEO dari sebuah perusahaan besar. Ia mengenakan hoodie gelap dan celana jeans, wajahnya tenang namun matanya awas. Elkan meminta mereka semua duduk bersama. Hanya mereka, tanpa ada Brata atau anggota keluarga Elkan yang lainnya. Hanan mulai mendengarkan penjelasan Elkan tentang hal yang menimpanya, termasuk semua asumsi dari detektif yang ia bayar, Farid, Fathur dan juga Anandita. Wajahnya nampak lelah menghadapi ini semua, belum lagi dia juga dihantui rasa takut kalau orang-orang
Akash mematung. Kata-kata itu menggantung di udara, mengguncang pikirannya seperti badai yang datang tanpa peringatan.“Mafia?” tanya Elkan ragu. “Gak mungkin.” Suara itu keluar dari mulutnya nyaris sebagai bisikan. "Dia mungkin punya kuasa, punya uang banyak, tapi kalau mafia… rasanya gak mungkin.” Elkan benar-benar tidak percaya dengan ucapan mereka."Dia memiliki usaha perbankan Pak," ucap Farid pelan. "Usaha perbankan yang ia jalankan tidak sepenuhnya murni untuk urusan perbankan seperti yang diketahui umum. Usaha itu dibuat sebagai topeng… untuk mempermudah pencucian uang klien-klien besar yang selama ini dia jaga.”Tak hanya Akash, Haniyah pun ikut menggeleng tidak percaya setelah mendengar ucapan Farid.“Selama ini dia membantu orang-orang yang nggak mau uang kotornya kelihatan. Bandar narkoba, penyelundup, bahkan oknum pejabat. Uang haram itu disulap jadi seolah-olah bersumber dari investasi, tabungan bisnis, atau pembe
Jakarta malam ini sedikit mencekam. Sesuai pesan Anandita, malam ini Elkan pulang ditemani Farid dan Fathur. Brata merelakan asisten termudanya itu untuk mendampingi Elkan. Dia tahu pasti kemampuan ilmu bela diri Farid sebaik apa, maka pilihan tepat kalau dia dikirim untuk mengawal Elkan.Fathur berada di mobil yang sama dengan Elkan. Ia yang memegang stir karena tahu kondisi kepala Elkan yang terlalu penuh saat ini. Elkan bukan takut berhadapan dengan orang-orang itu, tapi kalau sesuai prediksi Anandita dan Sultan, dia tidak akan mampu melawan geng motor itu sendiri.Farid tidak ikut di dalam mobil, dia memilih mengekori dengan motor trail dari belakang.Mobil SUV hitam yang dikemudikan Fathur keluar dari arah gedung perkantoran di Jalan Gatot Subroto.Rahang Fathur mengeras saat menggenggam setir. Matanya tajam menatap ke jalan. Sesekali ia melirik ke spion, berharap motor yang mengikuti mereka sejak tadi menjauh.“Sepertinya