Di balik sorotan cahaya ponsel, ada sorot mata Calista yang tak bisa menyembunyikan rasa puasnya. Hari ini, wajahnya terpampang di berbagai media sebagai bintang iklan perhiasan berlian ternama—dan pujian pun datang dari segala arah. Dari teman-teman lamanya yang dulu, dari kolega yang kini meliriknya dengan kagum, termasuk juga dari followernya yang makin bertambah.Hanya satu pujian yang belum dia dapatkan, dari kedua mertuanya.Di balik senyumnya yang elegan, pikirannya menari-nari cukup liar. Ia tahu betul bahwa ini lebih dari sekadar foto cantik atau sorotan iklan—ini adalah momen pembuktian sekaligus jalan pembuka. Ia mulai membayangkan dirinya melangkah mantap sebagai brand ambassador butik milik keluarga Aryo, bukan sekadar sebagai menantu yang diam di balik layar dan pandai menghabiskan harta.“Lihat, sebentar lagi Ayah dan Ibu Aryo pasti mulai melirikku untuk menjadi model mereka. Pelan tapi pasti… aku akan mengambil alih butik dan usaha konveksi milik mereka.” Calista bica
Setelah insiden penculikan dan adanya stalker yang mengikuti Haniyah, akhirnya Ia memutuskan untuk mengikuti saran Zaliyah, memilih seorang asisten perempuan yang juga bisa bertugas sebagai bodyguard untuk menjaga keamanannya. Seseorang yang tidak hanya mampu menangani urusan teknis dan administratif, tapi juga bisa diandalkan dalam situasi genting. Setelah melalui proses seleksi dan pertimbangan yang dalam, Haniyah akhirnya memilih Anandita. Wanita berhijab itu bukan kandidat biasa, ia lulusan Teknik Informatika dengan predikat terbaik, memiliki sabuk hitam karate dan juara nasional pencak silat.Pendapat Elkan cukup mempengaruhi Haniyah saat mengambil keputusan. Menurut Elkan, kemiripan fisik dan penampilan antara Haniyah dan Anandita akan membawa keuntungan tersendiri dalam hal mengelabui orang yang berniat buruk pada Haniyah.Dua dari kandidat tidak terpilih diizinkan pulang setelah melewati seleksi sementar Anandita diminta tinggal untuk mendengarkan penjelasan Elkan dan Haniyah
Brak!Pintu mendadak terbuka dengan kasar, menghantam dinding di belakangnya dan menimbulkan gema keras yang memecah keheningan ruang kerja itu. Haniyah dan Rusli yang sedang berdiskusi langsung beralih pandang, refleks menoleh dengan alis terangkat dan napas tertahan. Di ambang pintu, berdiri seorang gadis dengan rambut yang sedikit berantakan. Senyumnya merekah lebar, tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah karena telah membuat kegaduhan, seakan aksinya tadi adalah hal paling wajar di dunia. Rusli menatap gadis itu sambil menggeleng, ia lalu berdiri dan menghampiri gadis yang tidak lain adalah Amanda–putri Rusli yang masih berusia enam belas tahun. Tatapan isengnya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Rusli yang kini berdiri di depannya. Dan ia berkata dengan ringan, “Ayah lagi sibuk ya?”Rusli mengacak rambut putrinya yang berantakan itu dan mulai menjawab, “ini di kantor, biasakan yang sopan kalau masuk ruang kerja, bisa kan?”Amanda mengerucutkan bibirnya–paling tidak suka
Elkan dan Brata melangkah cepat menuju kantor polisi begitu mendapat kabar bahwa Bara akan memberikan kesaksian baru. Wajah mereka dipenuhi ketegangan, mata saling bertukar pandang seolah mencari kepastian dalam keraguan yang menyelimuti. Entah apa yang terjadi sampai Bara bersedia membuat kesaksian baru, dan entah kesaksian macam apa lagi yang akan dibuatnya kali ini.Derap langkah mereka menggema bergantian di lorong-lorong kantor polisi. Seorang petugas mengantar mereka ke ruangan Kapten Rifandi, orang yang menangani kasus Bara. Mereka tidak tahu kesaksian apa yang akan dibuat Bara, tapi saat pintu ruang pemeriksaan terbuka, Elkan bisa melihat Bara yang duduk dengan sorot mata penuh pertimbangan. Kapten Rifandi meminta mereka duduk. Atmosfer di ruangan itu terasa tegang, seolah setiap kata yang akan keluar dari mulut Bara mampu mengubah arah cerita yang selama ini mereka yakini.“Harusnya, saya tidak perlu memanggil Pak Elkan kemari, tapi Bara meminta anda datang. Dia ingin mengat
Elkan mengadakan pertemuan tertutup dengan Brata dan kedua kakaknya di ruangannya. Tujuannya satu, dia ingin bertukar pikiran dan mendapat solusi untuk masalah ini, dia sudah tidak bisa lagi memendam masalah ini sendiri.Elkan mengatakan tentang semua kegelisahannya, termasuk rasa curiganya pada Carol. Dia juga menceritakan kalau sudah menyewa detektif swasta untuk mencari tahu, namun sayangnya detektif itu belum menemukan bukti pasti kalau Carol terlibat dalam penculikan Haniyah beberapa waktu lalu.“Jadi selama ini kamu mencurigai Carol? Lalu mengirim orang untuk mengikuti dia tapi tidak ada hasilnya, karena sepertinya semua hal yang dilakukannya adalah hal normal. Begitu?” Satriya bertanya untuk memastikan setelah mendengar penjelasan Elkan.“Iya Mas,” jawab Elkan pelan.“Astagfirullah,” ucap Satriya sambil mengusap wajahnya kasar. “Kenapa gak bilang Kan? Ini bahaya, gimana kalau Carol atau keluarganya yang lain sadar kalau kamu kirim orang buat ngikutin dia? Bisa jadi masalah nant
Haniyah merasa ada yang aneh sore ini, saat dia keluar dari kantor dan berjalan ke sebuah supermarket yang letaknya bersebelahan dengan kantor dia merasa ada yang membuntuti. Haniyah mempercepat langkahnya saat merasa ketenangannya terusik—seorang pria berpakaian serba hitam, dengan topi dan kacamata hitam terus berjalan tidak jauh di belakangnya.Haniyah sudah berusaha menepis tiap rasa khawatirnya, tapi makin cepat langkahnya, langkah kaki pria di belakangnya pun ikut bertambah cepat. Haniyah menelan salivanya kasar dan mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Tapi belum sempat tersambung Haniyah dikejutkan oleh kehadiran seseorang.“Hei!” Haniyah menghela nafas yang hampir tersengal hingga membuat perempuan di hadapannya jadi sedikit khawatir. “Kamu kenapa Han?” tanyanya.“Mbak Zali dari tadi di sini?” tanya Haniyah sambil menoleh ke kanan kiri saat bicara dengan Zaliyah yang tadi menepuk pundaknya.“Belum lama, kamu kenapa? Dari tadi aku lihat kamu kayak orang takut gitu,”