"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren.
Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, salah-salah bisa membuatnya jadi kena batunya. "Tak ada apa pun," lirih Marissa saat membongkar tas kerja Tristan. Setelah mengeledah tas milik suaminya itu, Marissa ternyata tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Dia kembali menutupnya dan meletakkan semua seperti semula. Wanita itu beralih pada kemeja yang suaminya gunakan semalam. Dia mencoba mengendus aromanya, berharap ada sesuatu yang tertinggal di sana yang bisa dia jadikan bukti atas apa yang dia curigai. "Ini parfum Tristan," ujarnya yang sangat yakin jika tak ada aroma lain selain aroma parfum suaminya itu. Setengah putus asa, Marissa berjalan menuju kamar mandi. Dia merasa apa yang dia lakukan hari ini sudah cukup, dia masih harus berpikir keras untuk mencari bukti kecurigaannya. "Ya Tuhan, benarkah yang aku lakukan? Apa hanya karena melihat Tristan menjemput seorang wanita lantas dia memiliki hubungan serius dengan wanita itu?" katanya sembari menatap dirinya di cermin. Marissa merasa ada yang berlebihan, walau rumah tangganya dengan Tristan terasa biasa saja selama ini kenyataan tak bisa dipungkiri. Wanita itu benar-benar sudah menerima Tristan sebagai suaminya apa pun keadaannya. Mulai terselip rasa cinta dan rasa peduli walau beberapa hari lalu harus ternoda oleh sikap kasar Tristan padanya. Perasaan yang Marissa rasakan sekarang menjadi cukup rumit. Apa lagi setelah melihat Tristan semalam, pikirannya menjadi kacau dan merasa ada hal yang salah dalam hubungan itu. Semua itu berlanjut hingga beberapa minggu. Dia masih saja tak tenang dengan apa yang terjadi. Rasa cintanya ternodai oleh kecurigaan dan juga bayangan hadirnya orang ketiga di tengah hubungannya dengan Tristan. * * *"Apa hari ini kamu mau makan siang denganku?" tanya Marissa pada seseorang melalui panggilan telepon. "Jarak kantormu dengan kantorku jauh, bukankah hanya akan menghabiskan waktu," jawab pria itu. "Kita bertemu di tengah saja, akan menghemat waktu," balasnya. "Ada sesuatu?" tanya Naren."Tidak, rasanya sulit sekali menyatukan jadwalku dan Tristan hanya untuk makan siang. Jadi, aku memilih menghubungimu," jelas Marissa. Marissa sengaja menghubungi Naren karena sudah lebih dari tiga kali Tristan menolak ajakannya. Merasa tak mendapat kesempatan untuk sekedar makan siang, Marissa memutuskan untuk mengajak Naren. Hingga akhirnya Naren bersedia makan siang bersama adik iparnya itu tanpa syarat.Mobil segera melaju ke tempat yang sudah keduanya janjikan, tak lama berselang mereka sudah saling duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Bincang-bincang ringan mulai terbangun. Mereka bicara tentang perusahaan, kesibukan dan juga beberapa hal yang berhubungan dengan pasar. "Aku keluar makan siang untuk mencari angin segar. Kenapa kamu terus membahas perusahaan?" protes Marissa. "Ah, maafkan aku, Rissa." Naren menjawab dengan sudut bibir yang terangkat. Secara tidak sadar memang mereka berdua hanya terus membahas tentang perusahaan. "Ada sesuatu yang terjadi?" tanya Naren penasaran dan dibalas Marissa dengan gelengan kepala."Hanya merasa bosan saja, sudah beberapa minggu aku hanya makan siang di cafetaria perusahaan." Marissa menjelaskan. "Seburuk itu?" desak Naren. "Buruk?" tiru Marissa. "Tidak sampai buruk, kok. Hanya bosan saja," lanjutnya. Mata Marissa menyimpan sejuta misteri yang sama sekali tak bisa ditafsirkan oleh Naren. Bagaimana juga sikap dan nada bicara Marissa membuat suasana terasa berbeda. Sesekali Marissa nampak canggung saat pandangan matanya bertemu dengan Naren. Ada keraguan dan juga ada usaha untuk menyembunyikan sesuatu nampaknya. "Apa ini bisa membuat kebosananmu itu berkurang?" tanya Naren. "Hm, walau sedikit aku bisa merasakan suasana baru siang ini," balas Marissa. "Bagus, hubungi aku jika ini bisa membantumu," ujar Naren. "Sungguh? Bukankah kamu tadi mengatakan ini sangat merepotkan karena jarak kantor kita berjauhan?" tanya Marissa memastikan. "Apa pun untukmu, apa pun yang bisa membuatmu lebih baik akan aku lakukan," balas Naren ditutup dengan senyum. Nada bicaranya seperti menggoda, hanya saja bukan itu tujuan utama Naren. Dia yang sebenarnya mengetahui sesuatu tentang Naren hanya sedang berusaha membuat Marissa tak merasakan apa yang terjadi. "Alah, mulut pria selalu seperti itu," timpal Marissa mengejek Naren. Canda tawa pecah di sela obrolan keduanya. Naren yang memang memiliki selera humor yang tinggi membuat suasana hati Marissa membaik. Mereka bicara omong kosong, tapi sangat menghibur. Hingga tak terasa jam makan siang sudah habis. Tak seberapa makanan yang masuk ke perut Marissa, tapi agaknya Naren bisa membuat Marissa sedikit mengesampingkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya. "Mengapa pria lain saja bisa melakukan ini untukku, sementara suamiku sendiri tak pernah melakukannya?" batin Marissa saat melihat mobil Naren meninggalkan parkiran restoran. Pikirannya terpecah belah, tanpa Marissa sadari kehadiran Naren membuat dirinya merasa jauh lebih baik. Padahal yang Naren lakukan hanya hal-hal kecil yang mungkin tidak terpikirkan jika itu penting.Hari berlalu hingga Marissa dan Naren tanpa sengaja pulang bersamaan. Mobil mereka berdua masuk gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna serempak. Dari balkon kamar Marissa sepasang mata mengawasi keduanya. "Ah, jadi mereka melakukan ini?" ujar Tristan yang sudah pulang lebih awal. Tak lama berselang, pintu kamar terbuka. Marissa mengetahui jika suaminya sudah di dalam setelah melihat mobil Tristan sudah terparkir di garasi dengan rapi malam itu. "Baru pulang?" tanya Tristan ketus. "Hm, aku tidak biasa membawa pekerjaan ke rumah, sehingga aku menyelesaikannya sebelum pulang," jawab Marissa dengan sungguh. "Kamu yakin?" Tristan mendesak. "Yakin seyakin-yakinnya," balas Marissa tegas. "Bukankah kamu terlambat pulang karena ke suatu tempat dahulu dengan kakak iparmu itu?" tuduh Tristan. Marissa membulatkan matanya, dia merasa dipojokkan dengan kalimat tuduhan suaminya. "Apa yang kamu katakan?" bantah Marissa. "Semua sudah cukup jelas, kalian berdua makan siang bersama dan malamnya pulang bersama. Apa lagi, Rissa?" Tristan melengkapi tuduhannya.Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,