Share

10. Dihibur Pria Lain

"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. 

Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. 

Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. 

Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, salah-salah bisa membuatnya jadi kena batunya. 

"Tak ada apa pun," lirih Marissa saat membongkar tas kerja Tristan. 

Setelah mengeledah tas milik suaminya itu, Marissa ternyata tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Dia kembali menutupnya dan meletakkan semua seperti semula. Wanita itu beralih pada kemeja yang suaminya gunakan semalam. Dia mencoba mengendus aromanya, berharap ada sesuatu yang tertinggal di sana yang bisa dia jadikan bukti atas apa yang dia curigai. 

"Ini parfum Tristan," ujarnya yang sangat yakin jika tak ada aroma lain selain aroma parfum suaminya itu. 

Setengah putus asa, Marissa berjalan menuju kamar mandi. Dia merasa apa yang dia lakukan hari ini sudah cukup, dia masih harus berpikir keras untuk mencari bukti kecurigaannya. 

"Ya Tuhan, benarkah yang aku lakukan? Apa hanya karena melihat Tristan menjemput seorang wanita lantas dia memiliki hubungan serius dengan wanita itu?" katanya sembari menatap dirinya di cermin. 

Marissa merasa ada yang berlebihan, walau rumah tangganya dengan Tristan terasa biasa saja selama ini kenyataan tak bisa dipungkiri. Wanita itu benar-benar sudah menerima Tristan sebagai suaminya apa pun keadaannya. Mulai terselip rasa cinta dan rasa peduli walau beberapa hari lalu harus ternoda oleh sikap kasar Tristan padanya. 

Perasaan yang Marissa rasakan sekarang menjadi cukup rumit. Apa lagi setelah melihat Tristan semalam, pikirannya menjadi kacau dan merasa ada hal yang salah dalam hubungan itu. Semua itu berlanjut hingga beberapa minggu. Dia masih saja tak tenang dengan apa yang terjadi. Rasa cintanya ternodai oleh kecurigaan dan juga bayangan hadirnya orang ketiga di tengah hubungannya dengan Tristan. 

* * *

"Apa hari ini kamu mau makan siang denganku?" tanya Marissa pada seseorang melalui panggilan telepon. 

"Jarak kantormu dengan kantorku jauh, bukankah hanya akan menghabiskan waktu," jawab pria itu. 

"Kita bertemu di tengah saja, akan menghemat waktu," balasnya. 

"Ada sesuatu?" tanya Naren.

"Tidak, rasanya sulit sekali menyatukan jadwalku dan Tristan hanya untuk makan siang. Jadi, aku memilih menghubungimu," jelas Marissa. 

Marissa sengaja menghubungi Naren karena sudah lebih dari tiga kali Tristan menolak ajakannya. Merasa tak mendapat kesempatan untuk sekedar makan siang, Marissa memutuskan untuk mengajak Naren. Hingga akhirnya Naren bersedia makan siang bersama adik iparnya itu tanpa syarat.

Mobil segera melaju ke tempat yang sudah keduanya janjikan, tak lama berselang mereka sudah saling duduk berhadapan di meja sebuah restoran. Bincang-bincang ringan mulai terbangun. Mereka bicara tentang perusahaan, kesibukan dan juga beberapa hal yang berhubungan dengan pasar. 

"Aku keluar makan siang untuk mencari angin segar. Kenapa kamu terus membahas perusahaan?" protes Marissa. 

"Ah, maafkan aku, Rissa." Naren menjawab dengan sudut bibir yang terangkat. Secara tidak sadar memang mereka berdua hanya terus membahas tentang perusahaan. 

"Ada sesuatu yang terjadi?" tanya Naren penasaran dan dibalas Marissa dengan gelengan kepala.

"Hanya merasa bosan saja, sudah beberapa minggu aku hanya makan siang di cafetaria perusahaan." Marissa menjelaskan. 

"Seburuk itu?" desak Naren. 

"Buruk?" tiru Marissa. "Tidak sampai buruk, kok. Hanya bosan saja," lanjutnya. 

Mata Marissa menyimpan sejuta misteri yang sama sekali tak bisa ditafsirkan oleh Naren. Bagaimana juga sikap dan nada bicara Marissa membuat suasana terasa berbeda. Sesekali Marissa nampak canggung saat pandangan matanya bertemu dengan Naren. Ada keraguan dan juga ada usaha untuk menyembunyikan sesuatu nampaknya. 

"Apa ini bisa membuat kebosananmu itu berkurang?" tanya Naren. 

"Hm, walau sedikit aku bisa merasakan suasana baru siang ini," balas Marissa. 

"Bagus, hubungi aku jika ini bisa membantumu," ujar Naren. 

"Sungguh? Bukankah kamu tadi mengatakan ini sangat merepotkan karena jarak kantor kita berjauhan?" tanya Marissa memastikan. 

"Apa pun untukmu, apa pun yang bisa membuatmu lebih baik akan aku lakukan," balas Naren ditutup dengan senyum. 

Nada bicaranya seperti menggoda, hanya saja bukan itu tujuan utama Naren. Dia yang sebenarnya mengetahui sesuatu tentang Naren hanya sedang berusaha membuat Marissa tak merasakan apa yang terjadi. 

"Alah, mulut pria selalu seperti itu," timpal Marissa mengejek Naren. 

Canda tawa pecah di sela obrolan keduanya. Naren yang memang memiliki selera humor yang tinggi membuat suasana hati Marissa membaik. Mereka bicara omong kosong, tapi sangat menghibur. Hingga tak terasa jam makan siang sudah habis. Tak seberapa makanan yang masuk ke perut Marissa, tapi agaknya Naren bisa membuat Marissa sedikit mengesampingkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya. 

"Mengapa pria lain saja bisa melakukan ini untukku, sementara suamiku sendiri tak pernah melakukannya?" batin Marissa saat melihat mobil Naren meninggalkan parkiran restoran. 

Pikirannya terpecah belah, tanpa Marissa sadari kehadiran Naren membuat dirinya merasa jauh lebih baik. Padahal yang Naren lakukan hanya hal-hal kecil yang mungkin tidak terpikirkan jika itu penting.

Hari berlalu hingga Marissa dan Naren tanpa sengaja pulang bersamaan. Mobil mereka berdua masuk gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna serempak. Dari balkon kamar Marissa sepasang mata mengawasi keduanya. 

"Ah, jadi mereka melakukan ini?" ujar Tristan yang sudah pulang lebih awal. 

Tak lama berselang, pintu kamar terbuka. Marissa mengetahui jika suaminya sudah di dalam setelah melihat mobil Tristan sudah terparkir di garasi dengan rapi malam itu. 

"Baru pulang?" tanya Tristan ketus. 

"Hm, aku tidak biasa membawa pekerjaan ke rumah, sehingga aku menyelesaikannya sebelum pulang," jawab Marissa dengan sungguh. 

"Kamu yakin?" Tristan mendesak. 

"Yakin seyakin-yakinnya," balas Marissa tegas. 

"Bukankah kamu terlambat pulang karena ke suatu tempat dahulu dengan kakak iparmu itu?" tuduh Tristan. 

Marissa membulatkan matanya, dia merasa dipojokkan dengan kalimat tuduhan suaminya. 

"Apa yang kamu katakan?" bantah Marissa. 

"Semua sudah cukup jelas, kalian berdua makan siang bersama dan malamnya pulang bersama. Apa lagi, Rissa?" Tristan melengkapi tuduhannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status