Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya.
"Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang sehingga Naren hanya perlu mencari tempat parkir dan segera turun untuk memenuhi apa yang Marissa inginkan. "Jalan saja dulu, siapa tahu ada yang kamu inginkan," pinta Naren. Mereka berdua berjalan berdampingan menyusuri setapak taman kota yang dikelilingi pepohonan dan juga bunga-bunga yang indah. Suasana mulai meredup karena matahari yang sudah tenggelam dan digantikan dengan sinar bulan yang belum seberapa. Lampu-lampu juga sudah mulai dinyalakan karena menyongsong hari yang semakin gelap. Tak heran jika semakin jauh keduanya berjalan, suasana menjadi semakin ramai. "Naren, tak ada yang aku inginkan," kata Marissa setelah berjalan dari ujung ke ujung taman itu. Naren membalas dengan senyuman tipis. Sepertinya pria itu paham benar apa yang terjadi pada Marissa. Keadaan hatinya saat ini tentu saja tak akan membuatnya memiliki nafsu makan. "Kamu tunggu di sini, aku segera kembali," pinta Naren dan meminta Marissa duduk di bangku taman kota. Wanita itu menuruti permintaan kakak iparnya dan bersedia duduk menunggu. Naren nampak berjalan ke sebuah outlet es krim yang berada di seberang jalan saat itu. Mata Marissa tak lepas dari pria itu dan hatinya merasa begitu dijaga. "Dia bukan siapa-siapa, bahkan aku pernah melakukan sebuah kesalahan besar dengannya. Naren, kenapa kamu bisa membuatku nyaman seperti sekarang?" batin Marissa. Di tengah waktu menunggunya, Marissa seperti melihat mobil suaminya melintas. Dia mengikuti gerakan mobil itu hingga tiba-tiba mobilnya berbelok ke sebuah gang yang tak jauh dari taman kota."Seperti mobil Tristan?" tanya Marissa dalam hati. Wanita itu cukup yakin setelah melihat nomor polisi di plat mobil itu. "Untuk apa dia di sekitar sini?" lanjutnya penasaran. Dia berdiri dan berjalan menuju sisi kanan taman dan memastikan benar mobil suaminya yang masuk area itu. Marissa lupa jika Naren memintanya menunggu dan terus saja mengikuti langkah kakinya. Mulutnya tak berhenti mengulang kalimat, 'aku yakin itu Tristan'. Hingga saat tak terduga, benar dia melihat mobil Tristan keluar lagi dari sebuah perumahan. Marissa segera menenggelamkan tubuhnya menghadap tembok agar Tristan tak melihatnya. Setelah mobil Tristan pergi, baru wanita itu melanjutkan langkah kakinya menuju tempat mobil Tristan berasal. Dia memperhatikan rumah itu dengan seksama, sebuah rumah yang berada di kompleks perumahan mewah. Tentu bisa dibilang yang punya bukan orang biasa. Gerbangnya yang tinggi menjulang juga menjadi pertanda jika mereka memiliki privasi yang cukup serius. "Cari siapa, Nyonya?" tanya seorang satpam. "Ah, bukan siapa-siapa. Saya tersesat, ini daerah apa ya, Pak?" kata Marissa. "Ini perumahan Belleza Town, Nyonya." Satpam menjawab secara umum. "Sudah lama bekerja di sini?" tanya Marissa. "Saya baru, Nyonya. Majikan saya baru saja pindah, rumah ini belum lama di tempati," balas satpam. "Oh, aku pikir ini adalah komplek mewah yang pernah saya temui," ujar Marissa. "Benar, Nyonya. Hanya orang-orang yang memiliki banyak uang yang bisa tinggal di rumah ini," jawabnya lagi. "Pasti majikanmu orang kaya, dia pasti seorang pengusaha sukses yang memiliki perusahaan penting," pancing Marissa. Satpam rumah itu tiba-tiba diam, dia tak melihat majikannya pergi bekerja selama ini. Sehingga dia tak yakin jika majikannya itu memiliki perusahaan. "Tapi, Nyonya, sepertinya tidak seperti itu. Nyonya pemilik rumah ini ...," ujarnya terpotong. "Marissa!" teriak Naren dari kejauhan. Pria yang kebingungan mencari adik iparnya itu akhirnya menemukan Marissa bersama seorang satpam di sebuah gang perumahan. Naren segera berlari mendekati Marissa dan menarik tangan wanita itu. "Maaf, kami pergi sekarang," ujar Naren dan membawa Marissa pergi dari tempat itu. Keduanya kembali ke taman, sepanjang perjalanan Naren mengoceh tentang kekhawatiran yang dia rasakan. Ada banyak hal yang terbayang di otaknya saat tak melihat Marissa di bangku awal dia menunggu. Namun tak ada jawaban apa pun dari Marissa, wanita itu sama sekali tak menanggapi omelan Naren dan keluh kesah pria itu. Dia cenderung memandang kosong ke segala arah tanpa peduli pada ocehan Naren. "Rissa," panggil Naren. Seketika Marissa menghadap pria itu. Hatinya merasa gundah, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Hatinya terkoyak oleh ketidakpastian akan apa yang sedang terjadi. "Riss," panggil Naren lagi sembari menggoyangkan baju wanita itu. "Ada yang salah?" tanyanya. "Ah, tidak," balas Marissa yang memilih untuk berdusta. Wanita itu memikirkan bagaimana urusan itu akan panjang jika dia terpancing untuk mengikuti prasangka buruknya. Hubungannya dengan Tristan sedang tak baik-baik saja. Sehingga masalah kecil saja bisa membuat keadaan menjadi tak baik dan tak nyaman. "Kamu aneh, Riss," balas Naren. "Enggak, tidak ada yang aneh. Seharusnya aku tidak keluar, aku merasa hatiku belum tenang sehingga aku seperti orang linglung. Maafkan aku," jelas Marissa menutupi apa yang terjadi. "Oke, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Naren. Marissa mengulas senyum manis, dia merasa bersalah pada Naren karena sudah membuat pria itu menjadi bingung. "Bukankah kamu membeli es krim?" tanya Marissa yang kemudian ingat jika Naren pergi membeli es krim sebelum dia pergi tadi. "Aku membuangnya, kamu pergi terlalu lama hingga meleleh dan mengotori tanganku," balas Naren. "Ah, sayang sekali." Marissa menimpali. "Tunggu di sini biar aku yang membelinya untukmu," pinta Marissa. Naren menganggukkan kepalanya dan membiarkan wanita itu pergi. Dia hanya memandang ke arah Marissa tanpa lepas, ada sesuatu yang muncul di benaknya saat ini. Tentang apa yang dia lihat saat hampir menemukan Marissa di kompleks perumahan mewah tadi. "Kamu melihatnya, bukan? Pasti kamu melihatnya, Rissa." Naren bicara sendiri. "Dia bersama wanita lain, ada seorang wanita di samping Tristan tadi," lanjutnya. Rupanya, Naren melihat semuanya. Dia melihat Tristan datang ke perumahan itu untuk menjemput seseorang."Tapi, siapa dia?" tanya Naren yang juga dalam posisi tak mengerti."Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri.
Tak ada kesempatan apa pun antara Marissa dan Tristan. Wanita itu merelakan karirnya dan membiarkan jabatan tertingginya di perusahaan dialihkan pada yang lain. Marissa mencoba menuruti keinginan suaminya dan berharap rumah tangganya membaik setelah berbagai keadaan yang membuat mereka berdua selalu berkonflik. "Kamu pulang?" tanya Marissa pada kakak iparnya. Setelah beberapa hari lengser dari jabatan itu, Marissa masih setia berada di rumah. Dia berusaha memberikan waktu sepenuhnya untuk Tristan. Walau belum memperlihatkan sikap yang mengarah lebih baik, tapi setidaknya tak ada lagi cekcok yang diakibatkan oleh keinginan Tristan agar Marissa berhenti dari pekerjaannya itu. "Makan siang denganku, apa kamu tidak bosan? Sejak berhenti bekerja sama sekali tak keluar rumah," sahut Naren."Sedikit, tapi bukan masalah, kok." Marissa memberi alasan. Naren mengajak adik iparnya itu makan siang di luar. Tanpa banyak berpikir, Marissa mengikuti
Marissa sudah cukup yakin atas hubungan Tristan dengan wanita lain yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu. Tuhan menunjukkan semuanya dengan jelas hari itu, kemudian menambahkan bukti pada hari ini. Hati Marissa yang memang sudah rapuh, menjadi semakin sakit. Hanya saja kali ini dia tak ingin menyerah. "Aku sudah di rumah sesuai keinginanmu, Tan. Tidakkah kamu ingin membawaku makan malam di luar?" tanya Marissa. "Apa ini? Mengapa kamu terus menuntut balasan atas apa yang kamu korbankan?" desak Tristan. "Bukan menuntut, Tan. Bukankah kamu ingin aku di rumah dan memberikan seluruh waktuku untukmu?" ujarnya keras. Tristan menatap sinis ke arah istrinya, dia mendalami kalimat yang Marissa ucapkan. Tak ada yang bisa membuat pria itu mengerti tentang apa yang dia lakukan selama ini. Nyatanya meminta Marissa berhenti dari perusahaan tak membuatnya puas juga. Tekanan di perusahaan masih saja terus membuat Tristan merasa dirinya kalah.
Malam itu dihabiskan Marissa dengan membayangkan apa yang terjadi antara Tristan dan Naomi. Bayangan keduanya sedang beradu kemesaraan tak henti-hentinya membuat hatinya terkoyak. Tak bisa dipungkiri jika semua terjadi begitu saja tanpa diminta. "Tuhan terlalu cepat menunjukkan ini semua. Aku sampai tak memiliki kesempatan untuk sekedar bernapas." Marissa meratapi kepedihan kisah hidupnya. Belum juga segala duka dan kepedihannya beranjak, sudah ditambah lagi dengan kesedihan yang datang bertubi-tubi. Keputusan yang dia harapkan bisa memperbaiki segalanya justru berbalik menghancurkan semua yang dia miliki. Hingga tengah malam menjelang, tak ada tanda-tanda kepulangan Tristan. Suasana masih nampak sunyi sepi tanpa ada yang berlalu lalang. Para pegawai dan pembantu rumah itu juga nampaknya sudah menuju peraduan masing-masing untuk beristirahat. Hingga saat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, suara gerbang dibuka membuat mata Marissa tiba-tiba te
"Apa sopan pergi ke perusahaan dengan pakaian seperti itu?" tanya Marissa."Ini bukan apa-apa, kenapa mengoceh?" balas Tristan ketus."Bukankah hari ini kamu berjanji untuk menyelesaikan pekerjaanmu? Mengapa tak berpakaian seperti biasa?" Marissa masih belum puas dengan jawaban suaminya."Cukup, Rissa. Kenapa cara berpakaian menjadi masalah untukmu?" protes Tristan.Marissa diam sesaat, dia membuat suaminya marah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Toh, itu juga hanya sekedar gaya berpakaian. Tak layak untuk menjadikan itu sebagai alasan untuk berdebat. Hanya saja, Marissa merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Tristan darinya."Sungguh kamu sangat aneh, pakai kaos saja kamu permasalahkan," umpat Tristan dan meraih tas kerjanya.Saat pria itu mengambil pegangan tas itu, Tiba-tiba seisi tas tumpah ke lantai. Rupanya Tristan lupa menutupnya saat mencari ponselnya semalam. Pria itu membiarkan tas kerjanya ter
Naren berjalan ke arah Tristan yang sedang menikmati kopi dan kudapan khas coffee shop itu. Keduanya nampak sangat mesra dan hangat. Sangat berbeda dengan apa yang biasa Naren lihat di rumah. "Kamu sengaja?" tanya Naren. Tristan kelabakan, dia kelihatan sekali panik dan bingung. Coffee shop itu dia pilih karena letaknya yang cukup jauh dari rumah atau perusahaan, tapi ternyata justru Naren menangkap basah dirinya yang sedang bermesraan dengan Naomi. "Ada istrimu di depan," ujar Naren dengan nada yang sangat dingin dan mata yang mengarah pada seorang wanita yang duduk di bangku depan coffee shop itu. Seketika Tristan mengikuti arah pandang kakaknya dan juga menangkap dari balik kaca sosok istrinya itu. "Marissa," lirih Tristan. "Siapa kamu? Apa kamu tidak tahu jika Tristan sudah beristri?" tanya Naren pada Naomi. Tak ada jawaban apa pun dari wanita simpanan Tristan itu, dia nampak gelagapan juga. Kemudian meringsek ke tubuh