Share

9. Siapa Dia?

Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. 

"Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. 

Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. 

"Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. 

Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang sehingga Naren hanya perlu mencari tempat parkir dan segera turun untuk memenuhi apa yang Marissa inginkan. 

"Jalan saja dulu, siapa tahu ada yang kamu inginkan," pinta Naren. 

Mereka berdua berjalan berdampingan menyusuri setapak taman kota yang dikelilingi pepohonan dan juga bunga-bunga yang indah. Suasana mulai meredup karena matahari yang sudah tenggelam dan digantikan dengan sinar bulan yang belum seberapa. Lampu-lampu juga sudah mulai dinyalakan karena menyongsong hari yang semakin gelap. Tak heran jika semakin jauh keduanya berjalan, suasana menjadi semakin ramai. 

"Naren, tak ada yang aku inginkan," kata Marissa setelah berjalan dari ujung ke ujung taman itu. 

Naren membalas dengan senyuman tipis. Sepertinya pria itu paham benar apa yang terjadi pada Marissa. Keadaan hatinya saat ini tentu saja tak akan membuatnya memiliki nafsu makan. 

"Kamu tunggu di sini, aku segera kembali," pinta Naren dan meminta Marissa duduk di bangku taman kota. 

Wanita itu menuruti permintaan kakak iparnya dan bersedia duduk menunggu. Naren nampak berjalan ke sebuah outlet es krim yang berada di seberang jalan saat itu. Mata Marissa tak lepas dari pria itu dan hatinya merasa begitu dijaga. "Dia bukan siapa-siapa, bahkan aku pernah melakukan sebuah kesalahan besar dengannya. Naren, kenapa kamu bisa membuatku nyaman seperti sekarang?" batin Marissa. 

Di tengah waktu menunggunya, Marissa seperti melihat mobil suaminya melintas. Dia mengikuti gerakan mobil itu hingga tiba-tiba mobilnya berbelok ke sebuah gang yang tak jauh dari taman kota.

"Seperti mobil Tristan?" tanya Marissa dalam hati. Wanita itu cukup yakin setelah melihat nomor polisi di plat mobil itu. "Untuk apa dia di sekitar sini?" lanjutnya penasaran. 

Dia berdiri dan berjalan menuju sisi kanan taman dan memastikan benar mobil suaminya yang masuk area itu. Marissa lupa jika Naren memintanya menunggu dan terus saja mengikuti langkah kakinya. Mulutnya tak berhenti mengulang kalimat, 'aku yakin itu Tristan'. Hingga saat tak terduga, benar dia melihat mobil Tristan keluar lagi dari sebuah perumahan. Marissa segera menenggelamkan tubuhnya menghadap tembok agar Tristan tak melihatnya. Setelah mobil Tristan pergi, baru wanita itu melanjutkan langkah kakinya menuju tempat mobil Tristan berasal. 

Dia memperhatikan rumah itu dengan seksama, sebuah rumah yang berada di kompleks perumahan mewah. Tentu bisa dibilang yang punya bukan orang biasa. Gerbangnya yang tinggi menjulang juga menjadi pertanda jika mereka memiliki privasi yang cukup serius. 

"Cari siapa, Nyonya?" tanya seorang satpam. 

"Ah, bukan siapa-siapa. Saya tersesat, ini daerah apa ya, Pak?" kata Marissa. 

"Ini perumahan Belleza Town, Nyonya." Satpam menjawab secara umum. 

"Sudah lama bekerja di sini?" tanya Marissa. 

"Saya baru, Nyonya. Majikan saya baru saja pindah, rumah ini belum lama di tempati," balas satpam. 

"Oh, aku pikir ini adalah komplek mewah yang pernah saya temui," ujar Marissa. 

"Benar, Nyonya. Hanya orang-orang yang memiliki banyak uang yang bisa tinggal di rumah ini," jawabnya lagi. 

"Pasti majikanmu orang kaya, dia pasti seorang pengusaha sukses yang memiliki perusahaan penting," pancing Marissa. 

Satpam rumah itu tiba-tiba diam, dia tak melihat majikannya pergi bekerja selama ini. Sehingga dia tak yakin jika majikannya itu memiliki perusahaan. 

"Tapi, Nyonya, sepertinya tidak seperti itu. Nyonya pemilik rumah ini ...," ujarnya terpotong. 

"Marissa!" teriak Naren dari kejauhan. 

Pria yang kebingungan mencari adik iparnya itu akhirnya menemukan Marissa bersama seorang satpam di sebuah gang perumahan. Naren segera berlari mendekati Marissa dan menarik tangan wanita itu. 

"Maaf, kami pergi sekarang," ujar Naren dan membawa Marissa pergi dari tempat itu. 

Keduanya kembali ke taman, sepanjang perjalanan Naren mengoceh tentang kekhawatiran yang dia rasakan. Ada banyak hal yang terbayang di otaknya saat tak melihat Marissa di bangku awal dia menunggu. Namun tak ada jawaban apa pun dari Marissa, wanita itu sama sekali tak menanggapi omelan Naren dan keluh kesah pria itu. Dia cenderung memandang kosong ke segala arah tanpa peduli pada ocehan Naren. 

"Rissa," panggil Naren. 

Seketika Marissa menghadap pria itu. Hatinya merasa gundah, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Hatinya terkoyak oleh ketidakpastian akan apa yang sedang terjadi. 

"Riss," panggil Naren lagi sembari menggoyangkan baju wanita itu. "Ada yang salah?" tanyanya. 

"Ah, tidak," balas Marissa yang memilih untuk berdusta. 

Wanita itu memikirkan bagaimana urusan itu akan panjang jika dia terpancing untuk mengikuti prasangka buruknya. Hubungannya dengan Tristan sedang tak baik-baik saja. Sehingga masalah kecil saja bisa membuat keadaan menjadi tak baik dan tak nyaman. 

"Kamu aneh, Riss," balas Naren. 

"Enggak, tidak ada yang aneh. Seharusnya aku tidak keluar, aku merasa hatiku belum tenang sehingga aku seperti orang linglung. Maafkan aku," jelas Marissa menutupi apa yang terjadi. 

"Oke, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Naren. 

Marissa mengulas senyum manis, dia merasa bersalah pada Naren karena sudah membuat pria itu menjadi bingung. "Bukankah kamu membeli es krim?" tanya Marissa yang kemudian ingat jika Naren pergi membeli es krim sebelum dia pergi tadi. 

"Aku membuangnya, kamu pergi terlalu lama hingga meleleh dan mengotori tanganku," balas Naren. 

"Ah, sayang sekali." Marissa menimpali. "Tunggu di sini biar aku yang membelinya untukmu," pinta Marissa. 

Naren menganggukkan kepalanya dan membiarkan wanita itu pergi. Dia hanya memandang ke arah Marissa tanpa lepas, ada sesuatu yang muncul di benaknya saat ini. Tentang apa yang dia lihat saat hampir menemukan Marissa di kompleks perumahan mewah tadi. 

"Kamu melihatnya, bukan? Pasti kamu melihatnya, Rissa." Naren bicara sendiri. "Dia bersama wanita lain, ada seorang wanita di samping Tristan tadi," lanjutnya. 

Rupanya, Naren melihat semuanya. Dia melihat Tristan datang ke perumahan itu untuk menjemput seseorang.

"Tapi, siapa dia?" tanya Naren yang juga dalam posisi tak mengerti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status