Share

3. Awas Jangan Macam-Macam

"Tuan Muda." Pembantu rumah itu mendapati Naren pingsan di bawah tangga. 

Rupanya Naren tak bisa sampai kamarnya karena kehabisan tenaga. Berada di dalam lemari Marissa untuk beberapa saat, membuat pria itu kekurangan oksigen sehingga tubuhnya terasa sangat lemah. 

"Apa yang terjadi, Tuan? Tuan Muda dari mana?" tanya pembantu itu panik sembari cepat-cepat turun dari lantai atas. Dia baru saja selesai membereskan kamar Naren dan tangannya masih membawa kain sprei ranjang putra sulung Keluarga Baruna. 

Mendengar suara gaduh yang pembantu timbulkan, Tuan Baruna ikut menghampiri. Pria yang sudah menyelesaikan sarapannya itu segera melihat sangat putra yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu. 

"Ada apa, Bi? Kenapa dia?" tanya Tuan Baruna. 

"Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya hendak turun, Tuan Muda sudah tergeletak di sini," balas sang pembantu. 

"Minta bantuan ke penjaga, biar mereka yang bawa Naren naik," perintah Tuan Baruna dengan wajah yang penuh kekhawatiran. 

Bibi pembantu menghampiri beberapa penjaga rumah dan memberikan komando seperti yang Tuan Baruna titahkan. Dengan segera mereka membawa Naren ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Tak lama setelah itu, Naren nampak membuka kedua matanya. Dia mulai sadarkan diri dan segera menyadari jika ada ayah dan beberapa orang rumah yang berkerumun di sekitar rajangnya. 

Mata pria itu segera mengamati seisi ruangan, dia seperti seseorang yang sedang memastikan sesuatu. Baru selang beberapa saat setelah Naren yakin dia berada di kamarnya sendiri, pria itu menghembuskan napas lega. Rupanya Naren takut salah masuk kamar seperti semalam lagi. 

"Naren, apa yang terjadi?" tanya Tuan Baruna sembari melepaskan kancing kemeja putranya agar tak menghalangi jalan napasnya. 

"Haruskah kita periksa semua kamera pengawas di rumah ini, Tuan?" tawar penjaga rumah. 

Usulan itu nampaknya adalah satu-satunya hal yang bisa menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi pada Naren. Tubuh lemas Naren, tiba-tiba saja menjadi segar tatkala dia mendengar usulan sang penjaga. Tentunya jika itu dilakukan semua akan terbongkar. 

"Ah, tidak perlu." Naren buru-buru mencegah. "Aku baik-baik aja, Pa. Aku mabuk berat semalam, ini cuma efek dari mabuk saja," dusta Naren menutupi semuanya. 

"Kamu mabuk semalam?" tanya Tuan Baruna. 

Naren menganggukkan kepala mengiyakan apa yang ayahnya pertanyakan.

"Kamu mabuk dan baru kembali pagi ini?" desak sang ayah. 

"Bukankah Tuan Muda sudah pulang sejak semalam? Saya yang membukakan pintu gerbangnya," sela si penjaga. 

Fakta-fakta yang terkuak semakin janggal. Belum lagi si pembantu yang baru saja selesai membereskan ranjang Naren, wanita baya itu berpikir jika semalam tuannya itu pulang, kenapa ranjangnya masih rapi. "Tuan Muda ti ... tidak tidur di ka ...," tanya si pembantu terpotong oleh Naren. 

"Aku mabuk dan tertidur di perpustakaan, iya, aku tertidur di perpustakaan," dusta pria itu lagi. 

"Kebiasaan sekali kamu, Naren. Untung saja perpustakaan, bukan kamar Marissa." Tuan Baruna mengomel. 

Seketika Naren tak berkutik, dia diam mematung setelah mendengar apa yang ayahnya ucapkan. Sepertinya kalimat candaan yang Tuan Baruna katakan mengenai tepat pada fakta yang terjadi. 

"Tidak, Tuan. Perpustakaan kosong pagi ini," batin pembantu yang tahu persis saat pagi-pagi tadi dia membersihkan ruang itu, tak ada siapapun di sana. 

"Kenapa, Naren? Kok bengong begitu? Benar, kan?" ledek Tuan Baruna lagi. "Kamar Marissa dan perpustakaan bersebelahan, beruntung kamu tidak sampai salah masuk kamar." Lagi-lagi Tuan Baruna mengulang kalimat itu. 

"Ah, Papa. Sudah." Naren memutus pembicaraan. "Tinggalkan aku untuk istirahat, jangan ganggu aku dulu," pesannya dan segera menarik selimutnya. 

Naren tenggelam dalam selimut dan menenangkan diri di sana untuk beberapa saat. Dia tak benar-benar ingin istirahat saat itu. Dia hanya ingin mengakhiri pandangan-pandangan aneh semua orang padanya. Entah apa yang membuat Naren merasa seperti orang yang ketahuan berbuat dosa saat mereka membicarakan fakta-fakta kecil yang sebenarnya mengarah ke fakta besar yang sebenarnya terjadi. 

* * *

"Kaos kaki siapa ini, Riss?" tanya Tristan sembari melempar kaos kaki yang dia temukan ke ranjang.

Marissa sedikit terkejut, dia yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendapat pertanyaan yang membuatnya ketakutan. 

"Naren." Nama itu adalah satu-satunya yang terbesit di hati Marissa. "Apa itu miliknya?" batin Marissa. 

"Aku tahu benar kalau itu bukan milikku," jelas Tristan. "Tak mungkin juga itu milikmu, jelas ini kaos kaki pria," lanjut Tristan. 

"Mungkin ini milik salah satu penghuni rumah ini," balas Marissa mencoba menjelaskan tapi sudah dipotong oleh Tristan. 

"Apa maksudmu? Artinya ada yang masuk ke kamar ini selain aku?" desak Tristan. 

Tristan terlihat kesal, bagaimana juga ada rasa cemburu di dalam hatinya. Cinta itu tak benar-benar mati oleh rasa iri dan dengkinya pada Marissa. Hanya saja cara Tristan mencoba menunjukkan selalu saja salah dan tercampur aduk dengan rasa yang salah itu.

Lagi-lagi Tristan menarik lengan Marissa dengan kasar. Pria itu mencengkeram lengan istrinya cukup kuat, sampai terlihat wajah meringis kesakitan Marissa saat itu. Tristan mendekatkan wajahnya pada Marissa dan menatap dalam-dalam mata sang istri dengan sinis. 

"Awas kalau sampai kamu macam-macam," ancam Tristan. 

Marissa tak gentar, dia melawan tatapan itu dengan sinar mata penuh keberanian. Dia memang tertindas, tapi bukan berarti dia terus menerus lemah. Saat ada kesempatan, Marissa akan melawan dan menunjukkan kekuatannya walau pada akhirnya dialah yang harus mengalah untuk menghindari konflik yang semakin panjang. 

"Bagaimana jika kamu yang macam-macam? Aku berada di rumah saja kamu curigai macam-macam, apalagi kamu yang bahkan sering keluar rumah saat hubungan kita buruk. Bukankah kamu lebih berpeluang?" ujar Marissa menghardik suaminya. 

"Rissa," bentak Tristan. 

"Apa, Tan? Kenapa kamu terus saja memojokkan aku? Tidak bisakah kamu berpikir jika bisa saja Bibi menjatuhkan kaos kaki itu saat dia mengambil pakaian kotor ke kamar?" jelas Marissa. 

Tristan melepaskan cengkeraman tangannya dan memundurkan wajahnya, Tristan menyadari jika semua yang Marissa katakan sangat masuk akal. 

"Kenapa diam? Kenapa tidak memukulku saja jika marah? Atau tampar aku kalau kamu tidak suka dengan apa yang aku katakan!" Marissa seperti orang yang menyerahkan diri. "Pipi sebelah sini masih belum bengkak kok kalau mau dipukul, sudut bibirku juga baru sebelah yang sobek, sebelahnya lagi masih utuh," tantang Marissa. 

"Arghhhh, tak tahu diuntung," umpat Tristan.

Usaha Marissa begitu keras untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi semalam. Dia mengerahkan segala kemampuannya untuk selamat. "Naren, kamu ceroboh sekali. Kaos kaki itu hampir saja membongkar semuanya," batin Marissa kesal. 

Tristan keluar kamar dengan membawa segala kemarahan yang ada di hatinya. Namun dia sangat terkejut saat tiba-tiba Tuan Baruna muncul di hadapannya. 

"Minta Marissa menemuiku di perpustakaan," kata Tuan Baruna pada Tristan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status