Share

2. Kaos Kaki

"Buka pintunya, Marissa!" panggil Tristan lagi sembari meraih gagang pintu. Dengan sikap tak sabar, Tristan mengedor dan menggerakkan gagang pintu itu dengan sangat kasar. 

Melihat daun pintu yang sama sekali tak bergeser, Marissa tahu jika itu terkunci. "Akh, terkunci." Marissa sedikit lega. 

Kepanikan yang terjadi di dalam kamar perlahan mulai memudar. Marissa dan Naren yang mengetahui jika pintu kamar itu terkunci merasa aman. Mereka menarik napas lega walau masih dalam keadaan terhimpit. Kebiasaan Naren mengunci pintu kamar menyelamatkan mereka berdua dari situasi sulit. 

Marissa mendorong Naren untuk bersembunyi di dalam lemari besar miliknya tanpa pikir panjang. "Diam di sini dan penuhi sumpahmu untuk merahasiakan ini semua dari Tristan," ancam Marissa. Naren tak bisa menolak dan hanya menuruti apa yang Marissa inginkan. 

"Buka, Marissa! Apa kamu sudah tuli? Teriakan sekeras ini tak kamu pedulikan," sentak Tristan geram. 

Wanita itu segera menutup kembali pintu lemarinya setelah kalimat kasar suaminya keluar. Dia mengunci rapat dan segera mengganti selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubuh telanjangnya dengan jubah mandi. Dengan sangat cepat Marissa mengkondisikan wajahnya dan berjalan menuju pintu kamarnya sembari menggulung rambutnya yang berantakan agar terlihat lebih alami. 

Secepat kilat Marissa berdiri di balik pintu kamar itu dan menarik napas panjangn agar tak terlihat kepanikan yang sedang melanda wanita itu. Pintu segera terbuka dan Marissa langsung disuguhi dengan wajah sang suami yang terlihat sangat marah. 

"Sejak kapan kamu punya kebiasaan mengunci pintu saat aku di luar? Apa kamu sengaja melakukan itu supaya aku kesulitan?" omel Tristan. 

"Ma ... maaf, aku ... aku ...." Marissa terbata. 

"Maaf, maaf," sentak Tristan sembari mendorong tubuh istrinya itu. 

Marissa hampir saja tergelincir karena tenaga Tristan yang sangat kuat. Namun ternyata dia sudah terlatih sehingga Marissa bisa segera menyeimbangkan tubuhnya sehingga dia tak sampai terjatuh. 

"Kamu mabuk semalam?" cecar Tristan setelah mendapati botol dan gelas wine di meja kamar.

"Bukannya kamu juga mabuk, kemejamu saja masih bau alkohol," balas Marissa. 

"Berani kamu, ya!" Tristan tersinggung dan dia segera menarik jubah mandi Marissa secara kasar. Pria itu mencaci maki Marissa dengan kalimat-kalimat tak pantas dan seperti biasa, Marissa hanya pasrah.

Tabiat buruk Tristan memang sudah terlihat sedari awal pernikahan, hanya saja semua semakin parah saat Marissa mendulang sukses atas karirnya sebagai pimpinan perusahaan keluarganya. Tristan merasa Marissa lebih kuat dan lebih diakui keberadaannya daripada dirinya. Walau pada dasarnya Marissa tak pernah lalai akan kewajibannya sebagai istri, tapi Tristan sudah terlanjur iri hati dan dengki pada istrinya sendiri. 

"Kenapa, Tan? Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu membuat masalah kecil menjadi besar?" Marissa mempertanyakan. 

"Pentingkah untuk dijawab? Bukankah sudah jelas apa alasannya?" sahut Tristan. 

"Tapi, Tan, itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Kesuksesan yang aku dapatkan bukan sebuah kesalahan, Tan." Marissa membantah. 

"Tentu saja masalah, Marissa. Aku tidak suka dengan apa yang kamu dapatkan," kata Tristan dengan nada yang begitu sadis. 

Marissa tahu jika melawan Tristan sama saja dengan bunuh diri, hanya saja Marissa tetap pada merasa harus melawan sang suami yang sikapnya sudah sangat berlebihan. Bagi Marissa, permintaan Tristan sangatlah tak beralasan. Memintanya berhenti mengurus perusahaan tak bisa dia lakukan karena tanggung jawab itu terlalu besar untuk dipindah alihkan. 

"Oke, Tan. Mandilah, jangan membuat suasana pagi ini menjadi buruk," ujar Marissa yang sudah kalah. 

Tristan tertawa jahat, dia menertawakan istrinya yang tak punya kekuatan apa pun saat berhadapan dengannya. "Kamu harus berada di bawahku, Marissa. Kamu tidak boleh lebih dariku." Tristan bicara dalam hati sembari melihat istrinya yang nampak kecewa dan lemah. 

Tak ingin merasa iba dengan apa yang dia lihat, Tristan segera masuk ke kamar mandi. Dia menyalakan kran air dan membasuh wajahnya. Semburat kekhawatiran nampak padanya, karena memang hatinya masih ada cinta untuk Marissa. Hanya saja cinta itu sudah diselimuti tabir iri dan dengki sehingga acap kali membuat Tristan gelap mata. 

"Kenapa aku ini? Kenapa aku harus merasa bersalah? Marissa bukan apa-apa. Dia hanya istri yang sok berkuasa dan sok lebih baik dari aku." Tristan menguatkan dirinya sendiri lagi. 

Sementara Marissa memantau dari luar kamar mandi, memastikan jika Tristan sudah sibuk membersihkan tubuhnya. Dia mencari kesempatan untuk mengeluarkan Naren dari lemarinya saat itu. 

"Krannya sudah menyala, dia pasti sudah mandi." Marissa menyimpulkan. 

Wanita itu buru-buru membuka pintu lemarinya dan mendapati Naren tepat di depan matanya. Jelas sekali wajah pria itu sedikit pucat, pandangan matanya kosong dan napasnya terlihat terengah-engah. 

"Kamu hampir saja membungkam mulutku untuk selamanya." Naren mengomel. 

"Jangan banyak bicara, kita tidak punya banyak waktu. Cepat keluar sebelum semua semakin kacau," balas Marissa yang balik menyalahkan Naren. 

Naren keluar dari persembunyiannya dan segera berjalan ke arah pintu. Sekelebat dia melihat pipi Marissa yang memar dan sudut bibir yang pecah. 

"Kamu baik-baik saja? Pipimu memar, bibirmu berdarah. Apa sakit?" tanya Naren sesempat mungkin sebelum dia keluar. 

"Cepat pergi," balas Marissa dan mendorong pria itu keluar dari kamarnya. 

Naren keluar tanpa ketahuan dan segera berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu. Sementara Marissa kembali menutup pintu dan segera menyiapkan pakaian yang akan Tristan kenalan. 

Tristan keluar tepat setelah Marissa selesai menyiapkan pakaiannya. Pria itu menggosok rambut basahnya dengan cukup kuat dan setelah merasa cukup melempar handuk basah itu ke wajah Marissa. Wanita itu hanya diam, sekalipun lemparan handuk itu mengenai wajahnya dan menyulut kekesalan. Dia berjalan menuju kamar mandi sekaligus untuk menghindari suaminya itu. 

"Kenapa berjalan seperti itu? Apa 'itumu' sakit?" tanya Tristan sronok. 

Marissa merasakan jantungnya berdenyut lebih cepat. Benar memang ada rasa nyeri di area intinya karena aktivitas panasnya dengan Naren semalam, hanya saja tak mungkin dia membongkar semua itu sendiri. 

"Biasa saja, lagi pula sakit kenapa, kamu tidak pulang semalam. Bukankah, biasanya kamu yang membuatnya sakit," jawab Marissa dengan nada santai. 

Naren membuang muka dan menyudahi obrolan tak penting itu. Dia meraih pakaian yang memang sudah tersedia untuk dia kenalan, sedang Marissa melenggang ke kamar mandi. 

"Kaos kaki siapa ini?" tanya Tristan yang menemukan sebuah kaos kaki di bawah ranjang kamar itu. 

Jelas sekali itu adalah kaos kaki seorang pria. Tristan cukup tahu dan hafal dengan kaos kaki yang dia miliki selama ini. 

"Ini bukan milikku," katanya dalam hati setelah dia memungut dan mengamati benda itu dengan seksama. 

Tristan memicingkan matanya, kemudian dia mengarahkan pandangan ke pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat karena Marissa sudah masuk. 

"Apa ada yang masuk?" Tristan bertanya-tanya dan memandangi ke sekitar kamar itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status