Share

2. Kaos Kaki

Penulis: Pena Ryndu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-10 19:51:42

"Buka pintunya, Marissa!" panggil Tristan lagi sembari meraih gagang pintu. Dengan sikap tak sabar, Tristan mengedor dan menggerakkan gagang pintu itu dengan sangat kasar. 

Melihat daun pintu yang sama sekali tak bergeser, Marissa tahu jika itu terkunci. "Akh, terkunci." Marissa sedikit lega. 

Kepanikan yang terjadi di dalam kamar perlahan mulai memudar. Marissa dan Naren yang mengetahui jika pintu kamar itu terkunci merasa aman. Mereka menarik napas lega walau masih dalam keadaan terhimpit. Kebiasaan Naren mengunci pintu kamar menyelamatkan mereka berdua dari situasi sulit. 

Marissa mendorong Naren untuk bersembunyi di dalam lemari besar miliknya tanpa pikir panjang. "Diam di sini dan penuhi sumpahmu untuk merahasiakan ini semua dari Tristan," ancam Marissa. Naren tak bisa menolak dan hanya menuruti apa yang Marissa inginkan. 

"Buka, Marissa! Apa kamu sudah tuli? Teriakan sekeras ini tak kamu pedulikan," sentak Tristan geram. 

Wanita itu segera menutup kembali pintu lemarinya setelah kalimat kasar suaminya keluar. Dia mengunci rapat dan segera mengganti selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubuh telanjangnya dengan jubah mandi. Dengan sangat cepat Marissa mengkondisikan wajahnya dan berjalan menuju pintu kamarnya sembari menggulung rambutnya yang berantakan agar terlihat lebih alami. 

Secepat kilat Marissa berdiri di balik pintu kamar itu dan menarik napas panjangn agar tak terlihat kepanikan yang sedang melanda wanita itu. Pintu segera terbuka dan Marissa langsung disuguhi dengan wajah sang suami yang terlihat sangat marah. 

"Sejak kapan kamu punya kebiasaan mengunci pintu saat aku di luar? Apa kamu sengaja melakukan itu supaya aku kesulitan?" omel Tristan. 

"Ma ... maaf, aku ... aku ...." Marissa terbata. 

"Maaf, maaf," sentak Tristan sembari mendorong tubuh istrinya itu. 

Marissa hampir saja tergelincir karena tenaga Tristan yang sangat kuat. Namun ternyata dia sudah terlatih sehingga Marissa bisa segera menyeimbangkan tubuhnya sehingga dia tak sampai terjatuh. 

"Kamu mabuk semalam?" cecar Tristan setelah mendapati botol dan gelas wine di meja kamar.

"Bukannya kamu juga mabuk, kemejamu saja masih bau alkohol," balas Marissa. 

"Berani kamu, ya!" Tristan tersinggung dan dia segera menarik jubah mandi Marissa secara kasar. Pria itu mencaci maki Marissa dengan kalimat-kalimat tak pantas dan seperti biasa, Marissa hanya pasrah.

Tabiat buruk Tristan memang sudah terlihat sedari awal pernikahan, hanya saja semua semakin parah saat Marissa mendulang sukses atas karirnya sebagai pimpinan perusahaan keluarganya. Tristan merasa Marissa lebih kuat dan lebih diakui keberadaannya daripada dirinya. Walau pada dasarnya Marissa tak pernah lalai akan kewajibannya sebagai istri, tapi Tristan sudah terlanjur iri hati dan dengki pada istrinya sendiri. 

"Kenapa, Tan? Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu membuat masalah kecil menjadi besar?" Marissa mempertanyakan. 

"Pentingkah untuk dijawab? Bukankah sudah jelas apa alasannya?" sahut Tristan. 

"Tapi, Tan, itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Kesuksesan yang aku dapatkan bukan sebuah kesalahan, Tan." Marissa membantah. 

"Tentu saja masalah, Marissa. Aku tidak suka dengan apa yang kamu dapatkan," kata Tristan dengan nada yang begitu sadis. 

Marissa tahu jika melawan Tristan sama saja dengan bunuh diri, hanya saja Marissa tetap pada merasa harus melawan sang suami yang sikapnya sudah sangat berlebihan. Bagi Marissa, permintaan Tristan sangatlah tak beralasan. Memintanya berhenti mengurus perusahaan tak bisa dia lakukan karena tanggung jawab itu terlalu besar untuk dipindah alihkan. 

"Oke, Tan. Mandilah, jangan membuat suasana pagi ini menjadi buruk," ujar Marissa yang sudah kalah. 

Tristan tertawa jahat, dia menertawakan istrinya yang tak punya kekuatan apa pun saat berhadapan dengannya. "Kamu harus berada di bawahku, Marissa. Kamu tidak boleh lebih dariku." Tristan bicara dalam hati sembari melihat istrinya yang nampak kecewa dan lemah. 

Tak ingin merasa iba dengan apa yang dia lihat, Tristan segera masuk ke kamar mandi. Dia menyalakan kran air dan membasuh wajahnya. Semburat kekhawatiran nampak padanya, karena memang hatinya masih ada cinta untuk Marissa. Hanya saja cinta itu sudah diselimuti tabir iri dan dengki sehingga acap kali membuat Tristan gelap mata. 

"Kenapa aku ini? Kenapa aku harus merasa bersalah? Marissa bukan apa-apa. Dia hanya istri yang sok berkuasa dan sok lebih baik dari aku." Tristan menguatkan dirinya sendiri lagi. 

Sementara Marissa memantau dari luar kamar mandi, memastikan jika Tristan sudah sibuk membersihkan tubuhnya. Dia mencari kesempatan untuk mengeluarkan Naren dari lemarinya saat itu. 

"Krannya sudah menyala, dia pasti sudah mandi." Marissa menyimpulkan. 

Wanita itu buru-buru membuka pintu lemarinya dan mendapati Naren tepat di depan matanya. Jelas sekali wajah pria itu sedikit pucat, pandangan matanya kosong dan napasnya terlihat terengah-engah. 

"Kamu hampir saja membungkam mulutku untuk selamanya." Naren mengomel. 

"Jangan banyak bicara, kita tidak punya banyak waktu. Cepat keluar sebelum semua semakin kacau," balas Marissa yang balik menyalahkan Naren. 

Naren keluar dari persembunyiannya dan segera berjalan ke arah pintu. Sekelebat dia melihat pipi Marissa yang memar dan sudut bibir yang pecah. 

"Kamu baik-baik saja? Pipimu memar, bibirmu berdarah. Apa sakit?" tanya Naren sesempat mungkin sebelum dia keluar. 

"Cepat pergi," balas Marissa dan mendorong pria itu keluar dari kamarnya. 

Naren keluar tanpa ketahuan dan segera berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu. Sementara Marissa kembali menutup pintu dan segera menyiapkan pakaian yang akan Tristan kenalan. 

Tristan keluar tepat setelah Marissa selesai menyiapkan pakaiannya. Pria itu menggosok rambut basahnya dengan cukup kuat dan setelah merasa cukup melempar handuk basah itu ke wajah Marissa. Wanita itu hanya diam, sekalipun lemparan handuk itu mengenai wajahnya dan menyulut kekesalan. Dia berjalan menuju kamar mandi sekaligus untuk menghindari suaminya itu. 

"Kenapa berjalan seperti itu? Apa 'itumu' sakit?" tanya Tristan sronok. 

Marissa merasakan jantungnya berdenyut lebih cepat. Benar memang ada rasa nyeri di area intinya karena aktivitas panasnya dengan Naren semalam, hanya saja tak mungkin dia membongkar semua itu sendiri. 

"Biasa saja, lagi pula sakit kenapa, kamu tidak pulang semalam. Bukankah, biasanya kamu yang membuatnya sakit," jawab Marissa dengan nada santai. 

Naren membuang muka dan menyudahi obrolan tak penting itu. Dia meraih pakaian yang memang sudah tersedia untuk dia kenalan, sedang Marissa melenggang ke kamar mandi. 

"Kaos kaki siapa ini?" tanya Tristan yang menemukan sebuah kaos kaki di bawah ranjang kamar itu. 

Jelas sekali itu adalah kaos kaki seorang pria. Tristan cukup tahu dan hafal dengan kaos kaki yang dia miliki selama ini. 

"Ini bukan milikku," katanya dalam hati setelah dia memungut dan mengamati benda itu dengan seksama. 

Tristan memicingkan matanya, kemudian dia mengarahkan pandangan ke pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat karena Marissa sudah masuk. 

"Apa ada yang masuk?" Tristan bertanya-tanya dan memandangi ke sekitar kamar itu. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   60. Dahi Marissa Bocor

    Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   59. Ketahuan Tuan Baruna

    "Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   58. Sarapan Penuh Keluhan

    "Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   57. Tak Pulang Semalam

    Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   56. Kesepakatan Dengan Naren

    Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   55. Kencan Dengan Kakak Ipar

    "Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status