"Buka pintunya, Marissa!" panggil Tristan lagi sembari meraih gagang pintu. Dengan sikap tak sabar, Tristan mengedor dan menggerakkan gagang pintu itu dengan sangat kasar.
Melihat daun pintu yang sama sekali tak bergeser, Marissa tahu jika itu terkunci. "Akh, terkunci." Marissa sedikit lega. Kepanikan yang terjadi di dalam kamar perlahan mulai memudar. Marissa dan Naren yang mengetahui jika pintu kamar itu terkunci merasa aman. Mereka menarik napas lega walau masih dalam keadaan terhimpit. Kebiasaan Naren mengunci pintu kamar menyelamatkan mereka berdua dari situasi sulit. Marissa mendorong Naren untuk bersembunyi di dalam lemari besar miliknya tanpa pikir panjang. "Diam di sini dan penuhi sumpahmu untuk merahasiakan ini semua dari Tristan," ancam Marissa. Naren tak bisa menolak dan hanya menuruti apa yang Marissa inginkan. "Buka, Marissa! Apa kamu sudah tuli? Teriakan sekeras ini tak kamu pedulikan," sentak Tristan geram. Wanita itu segera menutup kembali pintu lemarinya setelah kalimat kasar suaminya keluar. Dia mengunci rapat dan segera mengganti selimut yang dia gunakan untuk menutupi tubuh telanjangnya dengan jubah mandi. Dengan sangat cepat Marissa mengkondisikan wajahnya dan berjalan menuju pintu kamarnya sembari menggulung rambutnya yang berantakan agar terlihat lebih alami. Secepat kilat Marissa berdiri di balik pintu kamar itu dan menarik napas panjangn agar tak terlihat kepanikan yang sedang melanda wanita itu. Pintu segera terbuka dan Marissa langsung disuguhi dengan wajah sang suami yang terlihat sangat marah. "Sejak kapan kamu punya kebiasaan mengunci pintu saat aku di luar? Apa kamu sengaja melakukan itu supaya aku kesulitan?" omel Tristan. "Ma ... maaf, aku ... aku ...." Marissa terbata. "Maaf, maaf," sentak Tristan sembari mendorong tubuh istrinya itu. Marissa hampir saja tergelincir karena tenaga Tristan yang sangat kuat. Namun ternyata dia sudah terlatih sehingga Marissa bisa segera menyeimbangkan tubuhnya sehingga dia tak sampai terjatuh. "Kamu mabuk semalam?" cecar Tristan setelah mendapati botol dan gelas wine di meja kamar."Bukannya kamu juga mabuk, kemejamu saja masih bau alkohol," balas Marissa. "Berani kamu, ya!" Tristan tersinggung dan dia segera menarik jubah mandi Marissa secara kasar. Pria itu mencaci maki Marissa dengan kalimat-kalimat tak pantas dan seperti biasa, Marissa hanya pasrah.Tabiat buruk Tristan memang sudah terlihat sedari awal pernikahan, hanya saja semua semakin parah saat Marissa mendulang sukses atas karirnya sebagai pimpinan perusahaan keluarganya. Tristan merasa Marissa lebih kuat dan lebih diakui keberadaannya daripada dirinya. Walau pada dasarnya Marissa tak pernah lalai akan kewajibannya sebagai istri, tapi Tristan sudah terlanjur iri hati dan dengki pada istrinya sendiri. "Kenapa, Tan? Kenapa kamu akhir-akhir ini selalu membuat masalah kecil menjadi besar?" Marissa mempertanyakan. "Pentingkah untuk dijawab? Bukankah sudah jelas apa alasannya?" sahut Tristan. "Tapi, Tan, itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Kesuksesan yang aku dapatkan bukan sebuah kesalahan, Tan." Marissa membantah. "Tentu saja masalah, Marissa. Aku tidak suka dengan apa yang kamu dapatkan," kata Tristan dengan nada yang begitu sadis. Marissa tahu jika melawan Tristan sama saja dengan bunuh diri, hanya saja Marissa tetap pada merasa harus melawan sang suami yang sikapnya sudah sangat berlebihan. Bagi Marissa, permintaan Tristan sangatlah tak beralasan. Memintanya berhenti mengurus perusahaan tak bisa dia lakukan karena tanggung jawab itu terlalu besar untuk dipindah alihkan. "Oke, Tan. Mandilah, jangan membuat suasana pagi ini menjadi buruk," ujar Marissa yang sudah kalah. Tristan tertawa jahat, dia menertawakan istrinya yang tak punya kekuatan apa pun saat berhadapan dengannya. "Kamu harus berada di bawahku, Marissa. Kamu tidak boleh lebih dariku." Tristan bicara dalam hati sembari melihat istrinya yang nampak kecewa dan lemah. Tak ingin merasa iba dengan apa yang dia lihat, Tristan segera masuk ke kamar mandi. Dia menyalakan kran air dan membasuh wajahnya. Semburat kekhawatiran nampak padanya, karena memang hatinya masih ada cinta untuk Marissa. Hanya saja cinta itu sudah diselimuti tabir iri dan dengki sehingga acap kali membuat Tristan gelap mata. "Kenapa aku ini? Kenapa aku harus merasa bersalah? Marissa bukan apa-apa. Dia hanya istri yang sok berkuasa dan sok lebih baik dari aku." Tristan menguatkan dirinya sendiri lagi. Sementara Marissa memantau dari luar kamar mandi, memastikan jika Tristan sudah sibuk membersihkan tubuhnya. Dia mencari kesempatan untuk mengeluarkan Naren dari lemarinya saat itu. "Krannya sudah menyala, dia pasti sudah mandi." Marissa menyimpulkan. Wanita itu buru-buru membuka pintu lemarinya dan mendapati Naren tepat di depan matanya. Jelas sekali wajah pria itu sedikit pucat, pandangan matanya kosong dan napasnya terlihat terengah-engah. "Kamu hampir saja membungkam mulutku untuk selamanya." Naren mengomel. "Jangan banyak bicara, kita tidak punya banyak waktu. Cepat keluar sebelum semua semakin kacau," balas Marissa yang balik menyalahkan Naren. Naren keluar dari persembunyiannya dan segera berjalan ke arah pintu. Sekelebat dia melihat pipi Marissa yang memar dan sudut bibir yang pecah. "Kamu baik-baik saja? Pipimu memar, bibirmu berdarah. Apa sakit?" tanya Naren sesempat mungkin sebelum dia keluar. "Cepat pergi," balas Marissa dan mendorong pria itu keluar dari kamarnya. Naren keluar tanpa ketahuan dan segera berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu. Sementara Marissa kembali menutup pintu dan segera menyiapkan pakaian yang akan Tristan kenalan. Tristan keluar tepat setelah Marissa selesai menyiapkan pakaiannya. Pria itu menggosok rambut basahnya dengan cukup kuat dan setelah merasa cukup melempar handuk basah itu ke wajah Marissa. Wanita itu hanya diam, sekalipun lemparan handuk itu mengenai wajahnya dan menyulut kekesalan. Dia berjalan menuju kamar mandi sekaligus untuk menghindari suaminya itu. "Kenapa berjalan seperti itu? Apa 'itumu' sakit?" tanya Tristan sronok. Marissa merasakan jantungnya berdenyut lebih cepat. Benar memang ada rasa nyeri di area intinya karena aktivitas panasnya dengan Naren semalam, hanya saja tak mungkin dia membongkar semua itu sendiri. "Biasa saja, lagi pula sakit kenapa, kamu tidak pulang semalam. Bukankah, biasanya kamu yang membuatnya sakit," jawab Marissa dengan nada santai. Naren membuang muka dan menyudahi obrolan tak penting itu. Dia meraih pakaian yang memang sudah tersedia untuk dia kenalan, sedang Marissa melenggang ke kamar mandi. "Kaos kaki siapa ini?" tanya Tristan yang menemukan sebuah kaos kaki di bawah ranjang kamar itu. Jelas sekali itu adalah kaos kaki seorang pria. Tristan cukup tahu dan hafal dengan kaos kaki yang dia miliki selama ini. "Ini bukan milikku," katanya dalam hati setelah dia memungut dan mengamati benda itu dengan seksama. Tristan memicingkan matanya, kemudian dia mengarahkan pandangan ke pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat karena Marissa sudah masuk. "Apa ada yang masuk?" Tristan bertanya-tanya dan memandangi ke sekitar kamar itu."Tuan Muda." Pembantu rumah itu mendapati Naren pingsan di bawah tangga. Rupanya Naren tak bisa sampai kamarnya karena kehabisan tenaga. Berada di dalam lemari Marissa untuk beberapa saat, membuat pria itu kekurangan oksigen sehingga tubuhnya terasa sangat lemah. "Apa yang terjadi, Tuan? Tuan Muda dari mana?" tanya pembantu itu panik sembari cepat-cepat turun dari lantai atas. Dia baru saja selesai membereskan kamar Naren dan tangannya masih membawa kain sprei ranjang putra sulung Keluarga Baruna. Mendengar suara gaduh yang pembantu timbulkan, Tuan Baruna ikut menghampiri. Pria yang sudah menyelesaikan sarapannya itu segera melihat sangat putra yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu. "Ada apa, Bi? Kenapa dia?" tanya Tuan Baruna. "Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya hendak turun, Tuan Muda sudah tergeletak di sini," balas sang pembantu. "Minta bantuan ke penjaga, biar mereka yang bawa Naren naik," perintah Tuan Baruna dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Bibi pembantu men
"Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya. Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek."Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. "Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri
Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya."Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terden
"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala