"Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya.
Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek."Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. "Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri Tristan. Pria itu secara tidak langsung ditenggelamkan oleh keistimewaan istrinya sendiri. Jelas Tristan marah dan merasa akan direndahkan, tapi karena situasi saat itu sangat penting, Tristan menahan semuanya sendiri. Pertemuan yang dihadiri oleh petinggi perusahaan itu digelar karena adanya rencana besar perusahaan. Tuan Baruna berniat menentukan besaran saham yang akan dia wariskan kepada dua putranya. Sehingga dia memberikan kesempatan untuk Tristan dan Naren menyusun proposal proyek. Mereka berdua akan memaparkan rencana proyek berskala besar dan Tuan Baruna meminta para petinggi dan juga Marissa untuk menilai, proposal siapakah yang lebih baik."Kita mulai sekarang," kata Tuan Baruna dan rapat petinggi perusahaan itu dimulai. Satu persatu Tristan dan Naren memaparkan proposal masing-masing. Diawali dengan Naren, pria itu mendapat banyak sekali kritik dan masukan dari para petinggi termasuk Marissa setelah menyelesaikan paparan proyeknya. Namun berkat keseriusan dan pengalaman kerjanya, Naren bisa segera berbenah dan memuaskan para petinggi dengan jawaban-jawaban cerdasnya. "Bukanlah proyek ini hanya seperti permainan?" Seorang petinggi menganggap Tristan tak serius. Menurut perhitungannya, apa yang Tristan sampaikan sama sekali tidak berbobot. "Banyak sekali hal yang belum kamu perhitungan. Sebuah proyek besar, tak boleh meninggalkan langkah-langkah pentingnya." Marissa mengutarakan kritiknya. Pukulan telak Tristan terima, bukan hanya dari para petinggi, tapi juga dari sang istri. Tangannya mengepal penuh dengan emosi. Harga diri pria itu tercabik-cabik dan merasa Marissa semakin kuat dari pada dirinya. "Kamu bisa susun ulang, Tan. Setelah itu kita akan pertimbangkan," ujar Tuan Baruna. "Tidak perlu, lagipula bukankah ini yang Papa inginkan?" Tristan dipenuhi dengan amarah. "Papa ingin mempermalukan aku di depan para petinggi," lanjutnya dan segera menutup perangkat komputer yang dia gunakan untuk memaparkan proposalnya. Tristan meninggalkan ruangan dan membuat Marissa menjadi bingung. Dia dalam posisi yang serba salah, keinginannya datang benar-benar murni untuk membantu sang ayah mertua. Namun semua menjadi petaka dan Marissa meyakini jika ini akan menjadi masalah besar dalam hubungannya dengan Tristan. Wanita itu hanya bisa melihat suaminya berjalan keluar dengan wajah kesal dan marahnya tanpa bisa melakukan apa pun. Wanita itu bertahan sampai rapat penting itu selesai. Dia tetap profesional dan menyampaikan segala yang dia ketahui untuk mematangkan proyek yang akan digarap oleh perusahaan itu.* * *"Wanita paling sukses sudah kembali?" sambut Tristan saat istrinya masuk kamar. Tepuk tangan pria itu mengiringi langkahnya mendekat pada Marissa. Tristan berjalan mengelilingi wanita yang baru saja pulang itu. Wajah penuh dengan amarah nampak jelas di penglihatan Marissa. Seperti yang sudah dia pikirkan sebelumnya, semua benar-benar dimulai sekarang. "Tan," lirih Marissa. "Apa, Rissa? Kamu mau pamer?" celetuk Tristan. "Enggak, Tan. Sungguh, bukan tentang itu," balas Marissa. Tristan menganggap Marissa bertele-tele, sedangkan emosinya sudah tak bisa dia tahan lagi. Sakit hatinya kali ini benar-benar membuat Tristan lupa akan segalanya. Dengan sangat kasar pria itu melumpuhkan Marissa dengan menendang kaki istrinya hingga terkulai di lantai. Untuk pertama kalinya pria itu sampai hati melukai fisik istrinya. "Ka ... kamu lakukan ini padaku, Tan?" Marissa bertanya dengan suara yang begitu memelas. Tak lama setelah Marissa terduduk, Tristan merendahkan tubuhnya sejajar dengan sang istri dan tak segan menarik rambut Marissa. Pria itu menjambak dengan bengis dan membuat Marissa menengadahkan wajahnya. "Iya, Rissa. Aku lakukan ini padamu." Tristan menanggapi. "Aku melakukan ini karena kamu sok hebat, Rissa. Kamu sengkongkol dengan Papa untuk membuatku dipermalukan, bukan?" tuduh Tristan tanpa kendali. Marissa hanya bisa menangis, membantah pun rasanya sudah tak mungkin. Dia masih terlalu terkejut saat suaminya berani menyakiti fisiknya seperti sekarang ini. "Apalagi, Rissa? Apa belum cukup apa yang kamu miliki sekarang?" Tristan bicara dengan penuh penekanan. "Predikat apalagi yang kamu inginkan? Tega sekali kamu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku?" cecarnya lagi. Marissa membalas dengan menggelengkan kepalanya, wanita itu ingin menyampaikan jika bukan itu yang menjadi tujuannya datang. "Jangan membantah, aku sudah hancur, Rissa. Kamu menghancurkan aku dan menginjak harga diriku tanpa sisa." Kemarahan itu memuncak dan kalimat-kalimat kotor mulai memenuhi telinga Marissa. Ditambah dengan siksaan fisik yang Tristan lakukan membuat Marissa semakin kesakitan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Marissa. Rasanya sudah tak ada kesempatan bagi wanita itu untuk membela diri. Dari sekian banyak perlakuan kasar Tristan, kali ini adalah yang paling parah. Setelah beberapa bagian tubuh Marissa lebam dan beberapa juga mengeluarkan darah, Tristan memaksa wanita itu keluar dari kamar. Dengan tertatih Marissa menuju kamar mandi dapur untuk membersihkan dirinya. "Nyonya Muda," rintih Bibi melihat keadaan Marissa. Istri Tristan itu mengangkat tangan dan meminta pembantu itu untuk tak menyentuhnya. Marissa sedang sangat hancur, bukan hanya fisiknya, tapi juga hati dan jiwanya. Dia tertekan dan merasa serba salah. "Siapkan kamar tamu untukku, Bi. Aku ingin berbaring setelah membersihkan tubuhku," ujar Marissa. Bibi buru-buru menganggukkan kepalanya, dia bergegas tanpa buang waktu. Kondisi yang dia lihat cukup membuatnya khawatir. Bahkan sekilas terbesit pikiran untuk menghubungi Naren atau Tuan Baruna, tapi lagi-lagi Bibi tak ingin gegabah. "Tan, benarkah ini kesalahanku?" tanya Marissa sembari menatap wajahnya di cermin. Kali ini lebam parah di wajahnya ada dibagian mata kanan. Tristan memukul Marissa dengan tangan kirinya dan membuat warna kulit wanita itu menghitam di area mata. Bagian yang lain tak seburuk bagian matanya walau ada rasa nyeri di beberapa bagian tubuh lainnya. "Bukan aku yang menghancurkanmu, Tan. Kamu yang menghancurkan aku," lirih wanita itu diiringi derai air mata. Luka-luka yang ada di tubuhnya tak sebanding dengan kalimat-kalimat kotor yang Tristan katakan. Pria itu mengoyak habis hati Marissa dengan mulut pedasnya. Sakit hati Marissa bukan karena perannya dalam rapat petinggi itu lagi, tapi tentang keberadaannya sebagai istri seorang Tristan Baruna selama ini. Tristan mengatakan jika Marissa tak berarti apa pun selain sebagai pemuas napsunya di ranjang dan juga sebagai anjing yang bisa dia permainkan. "Bunuh aku, Tan. Kenapa kamu tidak membunuhku saja jika selama ini aku tak berarti apa pun untukmu?" teriak Marissa di bawah guyuran air. Dia menangis sejadinya dan meratapi nasib buruk yang datang terlalu cepat dari yang dia perkirakan. "Aku pikir, hari terburuk yang akan terjadi dalam hidupku adalah saat di mana kamu mengetahui Naren tidur denganku, tapi ternyata bukan, Tan," lirih Marissa frustasi.Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya."Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terden
"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri.