Share

4. Iri Pada Istri Sendiri

"Sepertinya aku terlambat," kata Marissa sembari mempercepat langkah kakinya. 

Selang beberapa saat, pintu lift terbuka dan Marissa bergegas menuju ruang meeting perusahaan milik mertuanya itu. Tuan Baruna mengundang Marissa untuk mengikuti sebuah pertemuan pemilahan proposal proyek.

"Selamat datang, Marissa." Tuan Baruna menyambut menantunya dengan hangat.

Diantara semua orang, Tristan adalah orang yang paling terkejut. Setengah tak percaya, pria itu hanya mematung dan fokus pada pandangan matanya kepada Marissa. "Apa ini? Kenapa dia di sini?" Tristan bertanya dalam hati. 

"Hari ini, Marissa akan menjadi salah satu dari tim ini. Kalian semua tentu tidak asing dengannya, wanita muda yang sukses membawa perusahaannya menjadi perusahaan yang besar dan memiliki keuntungan yang terus meningkat setiap bulannya." Kalimat penuh sanjungan itu diutarakan Tuan Baruna dengan sangat bangga. 

Tepuk tangan mengema mengiringi rasa bangga Tuan Baruna. Tanpa disadari, hal itu sangat melukai harga diri Tristan. Pria itu secara tidak langsung ditenggelamkan oleh keistimewaan istrinya sendiri. Jelas Tristan marah dan merasa akan direndahkan, tapi karena situasi saat itu sangat penting, Tristan menahan semuanya sendiri. 

Pertemuan yang dihadiri oleh petinggi perusahaan itu digelar karena adanya rencana besar perusahaan. Tuan Baruna berniat menentukan besaran saham yang akan dia wariskan kepada dua putranya. Sehingga dia memberikan kesempatan untuk Tristan dan Naren menyusun proposal proyek. Mereka berdua akan memaparkan rencana proyek berskala besar dan Tuan Baruna meminta para petinggi dan juga Marissa untuk menilai, proposal siapakah yang lebih baik.

"Kita mulai sekarang," kata Tuan Baruna dan rapat petinggi perusahaan itu dimulai. Satu persatu Tristan dan Naren memaparkan proposal masing-masing. Diawali dengan Naren, pria itu mendapat banyak sekali kritik dan masukan dari para petinggi termasuk Marissa setelah menyelesaikan paparan proyeknya. Namun berkat keseriusan dan pengalaman kerjanya, Naren bisa segera berbenah dan memuaskan para petinggi dengan jawaban-jawaban cerdasnya. 

"Bukanlah proyek ini hanya seperti permainan?" Seorang petinggi menganggap Tristan tak serius. Menurut perhitungannya, apa yang Tristan sampaikan sama sekali tidak berbobot. 

"Banyak sekali hal yang belum kamu perhitungan. Sebuah proyek besar, tak boleh meninggalkan langkah-langkah pentingnya." Marissa mengutarakan kritiknya. 

Pukulan telak Tristan terima, bukan hanya dari para petinggi, tapi juga dari sang istri. Tangannya mengepal penuh dengan emosi. Harga diri pria itu tercabik-cabik dan merasa Marissa semakin kuat dari pada dirinya. 

"Kamu bisa susun ulang, Tan. Setelah itu kita akan pertimbangkan," ujar Tuan Baruna. 

"Tidak perlu, lagipula bukankah ini yang Papa inginkan?" Tristan dipenuhi dengan amarah. "Papa ingin mempermalukan aku di depan para petinggi," lanjutnya dan segera menutup perangkat komputer yang dia gunakan untuk memaparkan proposalnya. 

Tristan meninggalkan ruangan dan membuat Marissa menjadi bingung. Dia dalam posisi yang serba salah, keinginannya datang benar-benar murni untuk membantu sang ayah mertua. Namun semua menjadi petaka dan Marissa meyakini jika ini akan menjadi masalah besar dalam hubungannya dengan Tristan. Wanita itu hanya bisa melihat suaminya berjalan keluar dengan wajah kesal dan marahnya tanpa bisa melakukan apa pun. 

Wanita itu bertahan sampai rapat penting itu selesai. Dia tetap profesional dan menyampaikan segala yang dia ketahui untuk mematangkan proyek yang akan digarap oleh perusahaan itu.

* * *

"Wanita paling sukses sudah kembali?" sambut Tristan saat istrinya masuk kamar. 

Tepuk tangan pria itu mengiringi langkahnya mendekat pada Marissa. Tristan berjalan mengelilingi wanita yang baru saja pulang itu. Wajah penuh dengan amarah nampak jelas di penglihatan Marissa. Seperti yang sudah dia pikirkan sebelumnya, semua benar-benar dimulai sekarang. 

"Tan," lirih Marissa. 

"Apa, Rissa? Kamu mau pamer?" celetuk Tristan. 

"Enggak, Tan. Sungguh, bukan tentang itu," balas Marissa. 

Tristan menganggap Marissa bertele-tele, sedangkan emosinya sudah tak bisa dia tahan lagi. Sakit hatinya kali ini benar-benar membuat Tristan lupa akan segalanya. Dengan sangat kasar pria itu melumpuhkan Marissa dengan menendang kaki istrinya hingga terkulai di lantai. Untuk pertama kalinya pria itu sampai hati melukai fisik istrinya. 

"Ka ... kamu lakukan ini padaku, Tan?" Marissa bertanya dengan suara yang begitu memelas. 

Tak lama setelah Marissa terduduk, Tristan merendahkan tubuhnya sejajar dengan sang istri dan tak segan menarik rambut Marissa. Pria itu menjambak dengan bengis dan membuat Marissa menengadahkan wajahnya. 

"Iya, Rissa. Aku lakukan ini padamu." Tristan menanggapi. "Aku melakukan ini karena kamu sok hebat, Rissa. Kamu sengkongkol dengan Papa untuk membuatku dipermalukan, bukan?" tuduh Tristan tanpa kendali. 

Marissa hanya bisa menangis, membantah pun rasanya sudah tak mungkin. Dia masih terlalu terkejut saat suaminya berani menyakiti fisiknya seperti sekarang ini. 

"Apalagi, Rissa? Apa belum cukup apa yang kamu miliki sekarang?" Tristan bicara dengan penuh penekanan. "Predikat apalagi yang kamu inginkan? Tega sekali kamu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku?" cecarnya lagi. 

Marissa membalas dengan menggelengkan kepalanya, wanita itu ingin menyampaikan jika bukan itu yang menjadi tujuannya datang. 

"Jangan membantah, aku sudah hancur, Rissa. Kamu menghancurkan aku dan menginjak harga diriku tanpa sisa." Kemarahan itu memuncak dan kalimat-kalimat kotor mulai memenuhi telinga Marissa. Ditambah dengan siksaan fisik yang Tristan lakukan membuat Marissa semakin kesakitan. 

Tak sepatah katapun keluar dari mulut Marissa. Rasanya sudah tak ada kesempatan bagi wanita itu untuk membela diri. Dari sekian banyak perlakuan kasar Tristan, kali ini adalah yang paling parah. Setelah beberapa bagian tubuh Marissa lebam dan beberapa juga mengeluarkan darah, Tristan memaksa wanita itu keluar dari kamar. Dengan tertatih Marissa menuju kamar mandi dapur untuk membersihkan dirinya. 

"Nyonya Muda," rintih Bibi melihat keadaan Marissa. 

Istri Tristan itu mengangkat tangan dan meminta pembantu itu untuk tak menyentuhnya. Marissa sedang sangat hancur, bukan hanya fisiknya, tapi juga hati dan jiwanya. Dia tertekan dan merasa serba salah. 

"Siapkan kamar tamu untukku, Bi. Aku ingin berbaring setelah membersihkan tubuhku," ujar Marissa. 

Bibi buru-buru menganggukkan kepalanya, dia bergegas tanpa buang waktu. Kondisi yang dia lihat cukup membuatnya khawatir. Bahkan sekilas terbesit pikiran untuk menghubungi Naren atau Tuan Baruna, tapi lagi-lagi Bibi tak ingin gegabah. 

"Tan, benarkah ini kesalahanku?" tanya Marissa sembari menatap wajahnya di cermin. 

Kali ini lebam parah di wajahnya ada dibagian mata kanan. Tristan memukul Marissa dengan tangan kirinya dan membuat warna kulit wanita itu menghitam di area mata. Bagian yang lain tak seburuk bagian matanya walau ada rasa nyeri di beberapa bagian tubuh lainnya. 

"Bukan aku yang menghancurkanmu, Tan. Kamu yang menghancurkan aku," lirih wanita itu diiringi derai air mata. 

Luka-luka yang ada di tubuhnya tak sebanding dengan kalimat-kalimat kotor yang Tristan katakan. Pria itu mengoyak habis hati Marissa dengan mulut pedasnya. Sakit hati Marissa bukan karena perannya dalam rapat petinggi itu lagi, tapi tentang keberadaannya sebagai istri seorang Tristan Baruna selama ini. Tristan mengatakan jika Marissa tak berarti apa pun selain sebagai pemuas napsunya di ranjang dan juga sebagai anjing yang bisa dia permainkan. 

"Bunuh aku, Tan. Kenapa kamu tidak membunuhku saja jika selama ini aku tak berarti apa pun untukmu?" teriak Marissa di bawah guyuran air. Dia menangis sejadinya dan meratapi nasib buruk yang datang terlalu cepat dari yang dia perkirakan. "Aku pikir, hari terburuk yang akan terjadi dalam hidupku adalah saat di mana kamu mengetahui Naren tidur denganku, tapi ternyata bukan, Tan," lirih Marissa frustasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status