Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya.
"Di mana Marissa?" tanyanya."Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami."Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terdengar ada sesuatu yang penting, tapi Marissa tak mengindahkan dan berlalu begitu saja. Hingga akhirnya wanita itu masuk kamar dan menutup pintunya."Untuk apa dia berada di sekitarku? Apa dia masih belum puas menyiksaku?" tanya Marissa dalam hati.Semula, Tristan menahan diri untuk tidak masuk kamar itu. Mungkin lebih dari dua menit pria itu berdiri di ambang pintu kamar tamu. Dia masih menimbang dan memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan. Hingga pada akhirnya, keputusan dia buat. Tristan meraih gagang pintu dan menerobos pintu kamar tamu untuk menemui istrinya. Nampak Marissa tengah duduk di depan cermin sembari mengompres tepi matanya yang membiru. Sontak Marissa mengarahkan pandangan kepada Tristan."Pembantu rumahmu menelpon, nenekmu meninggal dua jam yang lalu," ujar Tristan memberi kabar.Seketika Marissa bangkit dari duduknya, dia sangat kaget dan terpukul. Namun apa daya, air matanya bahkan tak bersisa. Wanita itu hanya segera bangkit dan menerobos badan besar Tristan yang menghalangi jalan. Dalam hitungan detik tubuh lemahnya menjadi sekuat kuda dan dia segera bersiap untuk pulang ke rumah orang tuanya."Mau kemana, Rissa?" tanya Naren yang kebetulan berpapasan dengan wanita itu di depan pintu utama.Marissa tak menjawab dan dia hanya segera keluar menuju garasi. Wajahnya nampak datar dan pandanga matanya kosong. Tak lama berselang, mobil wanita itu terpantau keluar dari pintu gerbang rumah itu."Kenapa dia buru-buru?" Naren merasa ada yang tidak beres. Pria itu melanjutkan langkahnya untuk masuk rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Bi, ada apa? Kenapa Marissa keluar buru-buru seperti itu?" tanya Naren pada bibi pembantu yang kebetulan berjalan turun tangga dari lantai dua."Neneknya meninggal, mungkin dia ingin melihat wanita tua itu untuk yang terakhir kalinya," sahut Tristan dengan nada suara yang tak sopan.Berita itu cukup membuat Naren terkejut, apalagi Tristan mengatakan semua tanpa rasa prihatin sama sekali. Bahkan terkesan tidak peduli dan tidak manusiawi."Bukankah neneknya Marissa juga menjadi nenekmu? Kenapa dia pergi sendiri?" desak Naren.Tristan tak menjawab pertanyaan kakaknya itu, dia justru tersenyum dan langsung buang muka. Hal itu membuat Naren menjadi kesal."Tan, susul istrimu!" Naren memberi perintah."Tidak, aku tidak akan melakukan itu," balas Tristan."Tan!" sentak Naren kesal."Kamu saja yang pergi. Pergilah, Naren. Wakili keluarga Papa untuk melayat, jangan sampai ada pembicaraan buruk tentang Keluarga Baruna," jawab Tristan dengan sangat ketus."Brengsek," umpat Naren pada adiknya. Pria itu hampir melayangkan pukulan ke wajah Tristan, hanya saja dengan cepat Naren sadar jika itu hanya akan sia-sia. Tak ingin buang waktu, Naren buru-buru menyusul Marissa karena merasa tidak tega membiarkan wanita yang sedang berkabung itu pergi sendiri sementara suaminya sama sekali tak peduli.Naren menjadi satu-satunya orang dari keluarga Baruna yang hadir dalam rangkaian kepergian nenek Marissa. Tristan sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, sementara Tuan Baruna sudah harus terbang ke luar negeri untuk mengurus sebuah pekerjaan. Naren berada diantara para pelayat dan menyaksikan betapa Marissa begitu menyedihkan. Terlihat sekali matanya yang bengkak dan hidungnya yang terus berair."Kasihan dia, sedari kecil neneknya yang merawat. Bahkan Marissa baru benar-benar jauh dari neneknya setelah menikah dengan Tristan," kata seorang kerabat dekat Marissa dan Naren tak sengaja mendengarnya."Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini." Kerabat lainnya menimpali."Di mana suaminya? Bukankah seharusnya dia di sini?" Pertanyaan yang begitu sensitif itu akhirnya membuat Naren tak tahan dan dia memutuskan meninggalkan rumah duka. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang yang baru saja memberikan ucapan duka cita pada Marissa membicarakan sesuatu yang cukup serius.Naren mendengar desas-desus tentang sudut mata Marissa yang nampak lebam. "Apa dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga? Terlihat sekali lebamnya kalau diperhatikan dari dekat," ujar seseorang dengan nada serius.Hari pertama kepergian nenek Marissa sudah cukup membuat mata Naren terbuka. Dia melihat bagaimana Marissa hancur sehancur-hancurnya, ditambah desas-desus tentang apa yang para pelayat bicarakan. Hal itu membuat putra sulung Keluarga Baruna itu akhirnya datang hampir setiap hari ke rumah duka.Selama tiga hari Naren melihat bagaimana Marissa mulai bangkit perlahan. Dari yang semula sama sekali tak mampu bertemu dengan para pelayat, hingga kini sudah bisa menjamu dan bercengkrama akrab dengan mereka yang datang. Hingga pada hari ketiga, Naren terlihat kelelahan dan tertidur di sebuah kursi paling belakang para pelayat. Marissa yang mengetahui hal itu datang mendekat."Kamu tidak perlu melakukan ini. Tidak ada kewajiban untukmu melakukan semua ini." Marissa bicara setelah Naren membuka matanya. "Lagi pula keluarga ini bukan siapa-siapa untukmu, kamu tidak perlu memberikan perhatian ini kepada kami," lanjut Marissa yang curiga Naren langsung datang ke rumah duka selepas bekerja, mengingat pakaiannya masih pakaian rapi khas kantoran.Naren tak berkutik, dia hanya terpaku menatap wanita yang berada tepat di hadapannya itu. "Aku tidak sedang memberi perhatian apa pun kepada siapa pun. Aku hanya merasa mendapatkan moment untuk mengingat mamaku. Aku melupakannya dalam beberapa waktu terakhir karena kesibukanku dan saat ini, di tempat ini, aku merasakan kembali moment itu. Bukan untuk bersedih, tapi lebih untuk mengenang saat-saat terakhirku bersamanya saat itu," jelas Naren.Marissa tak habis pikir dengan apa yang Naren katakan. Dalam tiga hari terakhir Marissa berperang dengan kesedihan yang mengelayutinya dan ingin segera mengakhiri semuanya, tapi Naren justru dengan sadar menganggap moment itu sebagai waktu yang harus dihargai. Pikirannya kosong selama beberapa saat, hingga akhirnya Marissa menemukan sebuah kebenaran dalam kalimat yang Naren jelaskan. Dia menyadari jika setelah hari ini, dia tak akan pernah lagi bisa melihat wajah sang nenek, menyentuh kulitnya apalagi mendekap tubuhnya."Rissa."Panggilan Naren membuat Marissa mengerjap. Rupanya Marissa tenggelam dalam penjelasan yang kakak iparnya sampaikan, hingga tanpa disadari suasana hening diantara mereka berdua terjadi selama puluhan detik."Kamu tidak enak badan?" tanya Naren sembari berusaha keras untuk tak melihat sudut mata Marissa yang masih terlihat lebam.Marissa menggelengkan kepalanya. Jika saja pertanyaan itu Naren ajukan sebelum terjadinya percakapan beberapa saat lalu itu, pasti dia akan mengabaikannya karena menganggap Naren datang sebagai perwakilan Keluarga Baruna untuk sebuah pencitraan. Namun semua menjadi berbeda setelah kalimat yang Naren ucapkan dimaknai Marissa sebagai sebuah simpati yang begitu tulus."Apa kamu sudah mau pulang?" tanyanya dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Naren."Mungkin sebentar lagi," jawab Naren. "Kalau begitu ayo makan bersama sebelum kamu pulang," ajak Marissa. Kali ini suaranya terdengar lebih ramah dan bersahabat. Jarak yang Marissa ciptakan setelah peristiwa malam panas perlahan mulai mengecil. Kemudian Marissa berjalan di sisi pria itu menuju ruang makan tanpa rasa waspada lagi."Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren. "Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis. Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang. "Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam. "Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala. Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding ha
Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri.
Tak ada kesempatan apa pun antara Marissa dan Tristan. Wanita itu merelakan karirnya dan membiarkan jabatan tertingginya di perusahaan dialihkan pada yang lain. Marissa mencoba menuruti keinginan suaminya dan berharap rumah tangganya membaik setelah berbagai keadaan yang membuat mereka berdua selalu berkonflik. "Kamu pulang?" tanya Marissa pada kakak iparnya. Setelah beberapa hari lengser dari jabatan itu, Marissa masih setia berada di rumah. Dia berusaha memberikan waktu sepenuhnya untuk Tristan. Walau belum memperlihatkan sikap yang mengarah lebih baik, tapi setidaknya tak ada lagi cekcok yang diakibatkan oleh keinginan Tristan agar Marissa berhenti dari pekerjaannya itu. "Makan siang denganku, apa kamu tidak bosan? Sejak berhenti bekerja sama sekali tak keluar rumah," sahut Naren."Sedikit, tapi bukan masalah, kok." Marissa memberi alasan. Naren mengajak adik iparnya itu makan siang di luar. Tanpa banyak berpikir, Marissa mengikuti