Share

5. Tersentuh Jawaban Naren

Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya.

"Di mana Marissa?" tanyanya.

"Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.

Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami.

"Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terdengar ada sesuatu yang penting, tapi Marissa tak mengindahkan dan berlalu begitu saja. Hingga akhirnya wanita itu masuk kamar dan menutup pintunya.

"Untuk apa dia berada di sekitarku? Apa dia masih belum puas menyiksaku?" tanya Marissa dalam hati.

Semula, Tristan menahan diri untuk tidak masuk kamar itu. Mungkin lebih dari dua menit pria itu berdiri di ambang pintu kamar tamu. Dia masih menimbang dan memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan. Hingga pada akhirnya, keputusan dia buat. Tristan meraih gagang pintu dan menerobos pintu kamar tamu untuk menemui istrinya. Nampak Marissa tengah duduk di depan cermin sembari mengompres tepi matanya yang membiru. Sontak Marissa mengarahkan pandangan kepada Tristan.

"Pembantu rumahmu menelpon, nenekmu meninggal dua jam yang lalu," ujar Tristan memberi kabar.

Seketika Marissa bangkit dari duduknya, dia sangat kaget dan terpukul. Namun apa daya, air matanya bahkan tak bersisa. Wanita itu hanya segera bangkit dan menerobos badan besar Tristan yang menghalangi jalan. Dalam hitungan detik tubuh lemahnya menjadi sekuat kuda dan dia segera bersiap untuk pulang ke rumah orang tuanya.

"Mau kemana, Rissa?" tanya Naren yang kebetulan berpapasan dengan wanita itu di depan pintu utama.

Marissa tak menjawab dan dia hanya segera keluar menuju garasi. Wajahnya nampak datar dan pandanga matanya kosong. Tak lama berselang, mobil wanita itu terpantau keluar dari pintu gerbang rumah itu.

"Kenapa dia buru-buru?" Naren merasa ada yang tidak beres. Pria itu melanjutkan langkahnya untuk masuk rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Bi, ada apa? Kenapa Marissa keluar buru-buru seperti itu?" tanya Naren pada bibi pembantu yang kebetulan berjalan turun tangga dari lantai dua.

"Neneknya meninggal, mungkin dia ingin melihat wanita tua itu untuk yang terakhir kalinya," sahut Tristan dengan nada suara yang tak sopan.

Berita itu cukup membuat Naren terkejut, apalagi Tristan mengatakan semua tanpa rasa prihatin sama sekali. Bahkan terkesan tidak peduli dan tidak manusiawi.

"Bukankah neneknya Marissa juga menjadi nenekmu? Kenapa dia pergi sendiri?" desak Naren.

Tristan tak menjawab pertanyaan kakaknya itu, dia justru tersenyum dan langsung buang muka. Hal itu membuat Naren menjadi kesal.

"Tan, susul istrimu!" Naren memberi perintah.

"Tidak, aku tidak akan melakukan itu," balas Tristan.

"Tan!" sentak Naren kesal.

"Kamu saja yang pergi. Pergilah, Naren. Wakili keluarga Papa untuk melayat, jangan sampai ada pembicaraan buruk tentang Keluarga Baruna," jawab Tristan dengan sangat ketus.

"Brengsek," umpat Naren pada adiknya. Pria itu hampir melayangkan pukulan ke wajah Tristan, hanya saja dengan cepat Naren sadar jika itu hanya akan sia-sia. Tak ingin buang waktu, Naren buru-buru menyusul Marissa karena merasa tidak tega membiarkan wanita yang sedang berkabung itu pergi sendiri sementara suaminya sama sekali tak peduli.

Naren menjadi satu-satunya orang dari keluarga Baruna yang hadir dalam rangkaian kepergian nenek Marissa. Tristan sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, sementara Tuan Baruna sudah harus terbang ke luar negeri untuk mengurus sebuah pekerjaan. Naren berada diantara para pelayat dan menyaksikan betapa Marissa begitu menyedihkan. Terlihat sekali matanya yang bengkak dan hidungnya yang terus berair.

"Kasihan dia, sedari kecil neneknya yang merawat. Bahkan Marissa baru benar-benar jauh dari neneknya setelah menikah dengan Tristan," kata seorang kerabat dekat Marissa dan Naren tak sengaja mendengarnya.

"Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini." Kerabat lainnya menimpali.

"Di mana suaminya? Bukankah seharusnya dia di sini?" Pertanyaan yang begitu sensitif itu akhirnya membuat Naren tak tahan dan dia memutuskan meninggalkan rumah duka. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang yang baru saja memberikan ucapan duka cita pada Marissa membicarakan sesuatu yang cukup serius.

Naren mendengar desas-desus tentang sudut mata Marissa yang nampak lebam. "Apa dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga? Terlihat sekali lebamnya kalau diperhatikan dari dekat," ujar seseorang dengan nada serius.

Hari pertama kepergian nenek Marissa sudah cukup membuat mata Naren terbuka. Dia melihat bagaimana Marissa hancur sehancur-hancurnya, ditambah desas-desus tentang apa yang para pelayat bicarakan. Hal itu membuat putra sulung Keluarga Baruna itu akhirnya datang hampir setiap hari ke rumah duka.

Selama tiga hari Naren melihat bagaimana Marissa mulai bangkit perlahan. Dari yang semula sama sekali tak mampu bertemu dengan para pelayat, hingga kini sudah bisa menjamu dan bercengkrama akrab dengan mereka yang datang. Hingga pada hari ketiga, Naren terlihat kelelahan dan tertidur di sebuah kursi paling belakang para pelayat. Marissa yang mengetahui hal itu datang mendekat.

"Kamu tidak perlu melakukan ini. Tidak ada kewajiban untukmu melakukan semua ini." Marissa bicara setelah Naren membuka matanya. "Lagi pula keluarga ini bukan siapa-siapa untukmu, kamu tidak perlu memberikan perhatian ini kepada kami," lanjut Marissa yang curiga Naren langsung datang ke rumah duka selepas bekerja, mengingat pakaiannya masih pakaian rapi khas kantoran.

Naren tak berkutik, dia hanya terpaku menatap wanita yang berada tepat di hadapannya itu. "Aku tidak sedang memberi perhatian apa pun kepada siapa pun. Aku hanya merasa mendapatkan moment untuk mengingat mamaku. Aku melupakannya dalam beberapa waktu terakhir karena kesibukanku dan saat ini, di tempat ini, aku merasakan kembali moment itu. Bukan untuk bersedih, tapi lebih untuk mengenang saat-saat terakhirku bersamanya saat itu," jelas Naren.

Marissa tak habis pikir dengan apa yang Naren katakan. Dalam tiga hari terakhir Marissa berperang dengan kesedihan yang mengelayutinya dan ingin segera mengakhiri semuanya, tapi Naren justru dengan sadar menganggap moment itu sebagai waktu yang harus dihargai. Pikirannya kosong selama beberapa saat, hingga akhirnya Marissa menemukan sebuah kebenaran dalam kalimat yang Naren jelaskan. Dia menyadari jika setelah hari ini, dia tak akan pernah lagi bisa melihat wajah sang nenek, menyentuh kulitnya apalagi mendekap tubuhnya.

"Rissa."

Panggilan Naren membuat Marissa mengerjap. Rupanya Marissa tenggelam dalam penjelasan yang kakak iparnya sampaikan, hingga tanpa disadari suasana hening diantara mereka berdua terjadi selama puluhan detik.

"Kamu tidak enak badan?" tanya Naren sembari berusaha keras untuk tak melihat sudut mata Marissa yang masih terlihat lebam.

Marissa menggelengkan kepalanya. Jika saja pertanyaan itu Naren ajukan sebelum terjadinya percakapan beberapa saat lalu itu, pasti dia akan mengabaikannya karena menganggap Naren datang sebagai perwakilan Keluarga Baruna untuk sebuah pencitraan. Namun semua menjadi berbeda setelah kalimat yang Naren ucapkan dimaknai Marissa sebagai sebuah simpati yang begitu tulus.

"Apa kamu sudah mau pulang?" tanyanya dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Naren.

"Mungkin sebentar lagi," jawab Naren. 

"Kalau begitu ayo makan bersama sebelum kamu pulang," ajak Marissa. Kali ini suaranya terdengar lebih ramah dan bersahabat. Jarak yang Marissa ciptakan setelah peristiwa malam panas perlahan mulai mengecil. Kemudian Marissa berjalan di sisi pria itu menuju ruang makan tanpa rasa waspada lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status