Home / Rumah Tangga / SATU MALAM BERSAMA IPARKU / 5. Tersentuh Jawaban Naren

Share

5. Tersentuh Jawaban Naren

Author: Pena Ryndu
last update Last Updated: 2023-10-10 19:54:43

Dari sela pintu kamar mandi yang tak tertutup sempurna, bibi pembantu melihat Marissa membersihkan luka di tepi matanya dengan kesakitan. Dia juga melihat wanita itu menangis sedu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, bibi pembantu ingin sekali melakukan sesuatu. Namun niatnya kembali menciut tatkala melihat Tristan keluar dari kamarnya dan menuju ke arahnya.

"Di mana Marissa?" tanyanya.

"Nyo ... Nyonya Mu ... Muda di kamar mandi, Tuan," balas bibi terbata. Terlihat sekali wanita paruh baya itu ketakutan. Tristan tak lagi menanggapi dan menunggu Marissa keluar dari kamar mandi, sementara bibi pembantu melipir pergi dengan alasan akan ke kamar tamu menyiapkan kotak obat untuk Marissa.

Setelah beberapa saat, Marissa keluar dan tanpa mengindahkan Tristan yang berdiri diambang pintu. Wanita itu melangkah ke arah kamar tamu berasa tanpa kata dan tanpa melihat wajah Tristan. Marissa terlalu hancur bahkan untuk sekedar melihat wajah sang suami.

"Tunggu," kata Tristan. Nada suaranya terdengar ada sesuatu yang penting, tapi Marissa tak mengindahkan dan berlalu begitu saja. Hingga akhirnya wanita itu masuk kamar dan menutup pintunya.

"Untuk apa dia berada di sekitarku? Apa dia masih belum puas menyiksaku?" tanya Marissa dalam hati.

Semula, Tristan menahan diri untuk tidak masuk kamar itu. Mungkin lebih dari dua menit pria itu berdiri di ambang pintu kamar tamu. Dia masih menimbang dan memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan. Hingga pada akhirnya, keputusan dia buat. Tristan meraih gagang pintu dan menerobos pintu kamar tamu untuk menemui istrinya. Nampak Marissa tengah duduk di depan cermin sembari mengompres tepi matanya yang membiru. Sontak Marissa mengarahkan pandangan kepada Tristan.

"Pembantu rumahmu menelpon, nenekmu meninggal dua jam yang lalu," ujar Tristan memberi kabar.

Seketika Marissa bangkit dari duduknya, dia sangat kaget dan terpukul. Namun apa daya, air matanya bahkan tak bersisa. Wanita itu hanya segera bangkit dan menerobos badan besar Tristan yang menghalangi jalan. Dalam hitungan detik tubuh lemahnya menjadi sekuat kuda dan dia segera bersiap untuk pulang ke rumah orang tuanya.

"Mau kemana, Rissa?" tanya Naren yang kebetulan berpapasan dengan wanita itu di depan pintu utama.

Marissa tak menjawab dan dia hanya segera keluar menuju garasi. Wajahnya nampak datar dan pandanga matanya kosong. Tak lama berselang, mobil wanita itu terpantau keluar dari pintu gerbang rumah itu.

"Kenapa dia buru-buru?" Naren merasa ada yang tidak beres. Pria itu melanjutkan langkahnya untuk masuk rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Bi, ada apa? Kenapa Marissa keluar buru-buru seperti itu?" tanya Naren pada bibi pembantu yang kebetulan berjalan turun tangga dari lantai dua.

"Neneknya meninggal, mungkin dia ingin melihat wanita tua itu untuk yang terakhir kalinya," sahut Tristan dengan nada suara yang tak sopan.

Berita itu cukup membuat Naren terkejut, apalagi Tristan mengatakan semua tanpa rasa prihatin sama sekali. Bahkan terkesan tidak peduli dan tidak manusiawi.

"Bukankah neneknya Marissa juga menjadi nenekmu? Kenapa dia pergi sendiri?" desak Naren.

Tristan tak menjawab pertanyaan kakaknya itu, dia justru tersenyum dan langsung buang muka. Hal itu membuat Naren menjadi kesal.

"Tan, susul istrimu!" Naren memberi perintah.

"Tidak, aku tidak akan melakukan itu," balas Tristan.

"Tan!" sentak Naren kesal.

"Kamu saja yang pergi. Pergilah, Naren. Wakili keluarga Papa untuk melayat, jangan sampai ada pembicaraan buruk tentang Keluarga Baruna," jawab Tristan dengan sangat ketus.

"Brengsek," umpat Naren pada adiknya. Pria itu hampir melayangkan pukulan ke wajah Tristan, hanya saja dengan cepat Naren sadar jika itu hanya akan sia-sia. Tak ingin buang waktu, Naren buru-buru menyusul Marissa karena merasa tidak tega membiarkan wanita yang sedang berkabung itu pergi sendiri sementara suaminya sama sekali tak peduli.

Naren menjadi satu-satunya orang dari keluarga Baruna yang hadir dalam rangkaian kepergian nenek Marissa. Tristan sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, sementara Tuan Baruna sudah harus terbang ke luar negeri untuk mengurus sebuah pekerjaan. Naren berada diantara para pelayat dan menyaksikan betapa Marissa begitu menyedihkan. Terlihat sekali matanya yang bengkak dan hidungnya yang terus berair.

"Kasihan dia, sedari kecil neneknya yang merawat. Bahkan Marissa baru benar-benar jauh dari neneknya setelah menikah dengan Tristan," kata seorang kerabat dekat Marissa dan Naren tak sengaja mendengarnya.

"Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini." Kerabat lainnya menimpali.

"Di mana suaminya? Bukankah seharusnya dia di sini?" Pertanyaan yang begitu sensitif itu akhirnya membuat Naren tak tahan dan dia memutuskan meninggalkan rumah duka. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang yang baru saja memberikan ucapan duka cita pada Marissa membicarakan sesuatu yang cukup serius.

Naren mendengar desas-desus tentang sudut mata Marissa yang nampak lebam. "Apa dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga? Terlihat sekali lebamnya kalau diperhatikan dari dekat," ujar seseorang dengan nada serius.

Hari pertama kepergian nenek Marissa sudah cukup membuat mata Naren terbuka. Dia melihat bagaimana Marissa hancur sehancur-hancurnya, ditambah desas-desus tentang apa yang para pelayat bicarakan. Hal itu membuat putra sulung Keluarga Baruna itu akhirnya datang hampir setiap hari ke rumah duka.

Selama tiga hari Naren melihat bagaimana Marissa mulai bangkit perlahan. Dari yang semula sama sekali tak mampu bertemu dengan para pelayat, hingga kini sudah bisa menjamu dan bercengkrama akrab dengan mereka yang datang. Hingga pada hari ketiga, Naren terlihat kelelahan dan tertidur di sebuah kursi paling belakang para pelayat. Marissa yang mengetahui hal itu datang mendekat.

"Kamu tidak perlu melakukan ini. Tidak ada kewajiban untukmu melakukan semua ini." Marissa bicara setelah Naren membuka matanya. "Lagi pula keluarga ini bukan siapa-siapa untukmu, kamu tidak perlu memberikan perhatian ini kepada kami," lanjut Marissa yang curiga Naren langsung datang ke rumah duka selepas bekerja, mengingat pakaiannya masih pakaian rapi khas kantoran.

Naren tak berkutik, dia hanya terpaku menatap wanita yang berada tepat di hadapannya itu. "Aku tidak sedang memberi perhatian apa pun kepada siapa pun. Aku hanya merasa mendapatkan moment untuk mengingat mamaku. Aku melupakannya dalam beberapa waktu terakhir karena kesibukanku dan saat ini, di tempat ini, aku merasakan kembali moment itu. Bukan untuk bersedih, tapi lebih untuk mengenang saat-saat terakhirku bersamanya saat itu," jelas Naren.

Marissa tak habis pikir dengan apa yang Naren katakan. Dalam tiga hari terakhir Marissa berperang dengan kesedihan yang mengelayutinya dan ingin segera mengakhiri semuanya, tapi Naren justru dengan sadar menganggap moment itu sebagai waktu yang harus dihargai. Pikirannya kosong selama beberapa saat, hingga akhirnya Marissa menemukan sebuah kebenaran dalam kalimat yang Naren jelaskan. Dia menyadari jika setelah hari ini, dia tak akan pernah lagi bisa melihat wajah sang nenek, menyentuh kulitnya apalagi mendekap tubuhnya.

"Rissa."

Panggilan Naren membuat Marissa mengerjap. Rupanya Marissa tenggelam dalam penjelasan yang kakak iparnya sampaikan, hingga tanpa disadari suasana hening diantara mereka berdua terjadi selama puluhan detik.

"Kamu tidak enak badan?" tanya Naren sembari berusaha keras untuk tak melihat sudut mata Marissa yang masih terlihat lebam.

Marissa menggelengkan kepalanya. Jika saja pertanyaan itu Naren ajukan sebelum terjadinya percakapan beberapa saat lalu itu, pasti dia akan mengabaikannya karena menganggap Naren datang sebagai perwakilan Keluarga Baruna untuk sebuah pencitraan. Namun semua menjadi berbeda setelah kalimat yang Naren ucapkan dimaknai Marissa sebagai sebuah simpati yang begitu tulus.

"Apa kamu sudah mau pulang?" tanyanya dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Naren.

"Mungkin sebentar lagi," jawab Naren. 

"Kalau begitu ayo makan bersama sebelum kamu pulang," ajak Marissa. Kali ini suaranya terdengar lebih ramah dan bersahabat. Jarak yang Marissa ciptakan setelah peristiwa malam panas perlahan mulai mengecil. Kemudian Marissa berjalan di sisi pria itu menuju ruang makan tanpa rasa waspada lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   60. Dahi Marissa Bocor

    Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   59. Ketahuan Tuan Baruna

    "Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   58. Sarapan Penuh Keluhan

    "Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   57. Tak Pulang Semalam

    Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   56. Kesepakatan Dengan Naren

    Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   55. Kencan Dengan Kakak Ipar

    "Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   54. Belanja Bersama

    Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   53. Marissa Milik Naren

    Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir

  • SATU MALAM BERSAMA IPARKU   52. Sulit Dilepaskan

    Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status