"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren.
"Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis.Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang."Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam."Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala.Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding hari pertama dan kedua. Naren pergi tanpa rasa khawatir."Suamimu tak datang sejak hari pertama," lirih Tuan Ayres."Dia sedang di luar negeri, Pa. Pekerjaannya belum selesai dan masih butuh beberapa hari lagi," dusta Marissa menutupi keberadaan suaminya.Ayah mertua Tristan itu mulai menyadari jika menantu satu-satunya yang dia miliki sama sekali tak menampakkan barang hidungnya di rumah duka itu. Kedukaan yang mendalam sedari kemarin lusa, tak membuatnya begitu menyadari absennya Tristan. Pria itu memilih untuk tutup mulut setelah mendengar penjelasan sang putri walau merasa ada yang tidak beres. Sementara Marissa bergerak menuju sisi peti mati sang nenek. Dia menghabiskan malam panjang di sisi tubuh kaki tanpa nyawa anggota keluarga tertua dalam silsilah keluarga Marissa itu."Nenek tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Sekalipun ada lebam di wajahku, aku berjanji jika aku akan baik-baik saja." Marissa bicara dalam hati.Mengetahui jika neneknya adalah orang paling peduli pada keadaannya dari dulu hingga sekarang, tentu saja Marissa khawatir. Akal sehatnya sedikit ia kesampingkan dan seperti orang yang sedang meyakinkan seseorang yang masih hidup, dia berkali-kali mengatakan jika dia baik-baik saja. Sesekali dia terisak, dia menghapus air matanya dan mengusap air yang mengalir dari hidungnya. Malam terakhirnya bersama sang nenek, menjadi sebuah moment yang tak akan pernah Marissa lupakan. Termasuk hadirnya Naren dan juga segala ketenangan hati yang dia tularkan.Hingga tiba saatnya peti jenazah nenek Marissa harus dibawa ke pemakaman. Wanita yang sudah mempersiapkan diri dari semalam itu mendadak menjadi gelisah. Hatinya merasa takut dan matanya tak berhenti mencari seseorang ke segala arah."Naren, di mana dia?" tanya Marissa dalam hatinya.Wanita itu seperti sedang menagih janji kakak iparnya yang mengatakan jika dia akan datang ke pemakaman. Hanya saja sejak upacara pelepasan dilakukan sampai semua rombongan keluar dari rumah duka, Naren tak nampak."Dia tak datang? Kalau tidak ingin datang kenapa semalam dia berjanji akan datang?" batin Marissa semakin sedih.Wanita itu berjalan tanpa alas kaki menuju mobil keluarganya, dia memupus harapan jika Naren akan menemaninya. Entah apa yang membuat Marissa terus mencari pria itu, Marissa sendiri tak tahu alasannya."Ayo, Rissa." Suara seorang pria tiba-tiba terdengar dari belakang.Langkah kaki Marissa terhenti dan seperti ada tetesan air segar di hatinya yang sedang tandus. "Naren," peliknya lega.Naren yang memang datang terlambat karena pekerjaannya segera menarik tangan wanita itu. Dia dengan sangat jantan mengenggam erat tangan Marissa dan menuntunnya menuju mobil. Seiring langkah kaki keduanya, hati Marissa yang sedari tadi tak tenang menjadi lebih baik. Dia bisa mengikuti segala prosesi pemakaman sang nenek dengan lancar. Kakinya bagai terisi energi baru dan air matanya berubah menjadi senyum tipis."Kamu hebat, Rissa. Selesaikan dukamu di sini dan kita pulang kemudian buka lembaran baru. Biarkan nenekmu beristirahat dengan tenang," ujar Naren.Mendengar kalimat yang menentramkan itu, hati Marissa semakin mantap untuk melanjutkan hidupnya. Dunianya yang hancur empat hari lalu itu seperti ditata kembali oleh takdir. Walau bukan suaminya yang membuat energinya terisi kembali, walau bukan Tristan yang membuat hatinya terhibur, tapi Marissa bertekad menghadapi takdirnya sekarang."Pa, aku pulang bersama Naren. Aku harus istirahat dan meneruskan hidup walau nenek sudah pergi," pamit Marissa pada Tuan Ayres.Pria yang juga sangat kehilangan ibunya itu mengusap lembut rambut sang putri. Dia juga mendekap erat tanpa cela layaknya ingin menguatkan. Setelah beberapa saat, pria itu menciumi puncak kepala Marissa dengan sangat hangat."Kembalilah, Sayang. Jalani hidupmu dengan baik," pesan Tuan Ayres pada putrinya. Marissa menahan air matanya dan hanya menganggukkan kepala. "Jaga dia, Naren. Beritahu adikmu juga jika dialah yang seharusnya menjaga Marissa," katanya sambil menatap lekat ke arah kakak ipar Marissa itu."Pasti, Tuan. Saya akan jaga Marissa dan sampaikan pada Tristan juga." Naren menyanggupi mandat dari Tuan Ayres.Keduanya berjalan menuju mobil Naren dan segera meninggalkan area pemakaman. Rasa canggung kembali menyergap sekalipun mereka sudah tak menjaga jarak. Berada berdua saja di dalam mobil, membuat Marissa diam tak bicara."Obati lukamu, kamu pasti tak mengobatinya." Naren mulai membahas lebam yang ada di sudut mata Marissa.Wanita itu kaget bukan kepalang, dia pikir tak ada yang mengetahui tentang luka itu sehingga dia bersikap biasa saja selama berhari-hari."A-apa maksudmu?" tanya Marissa setengah mengelak."Orang-orang membicarakan luka itu, mereka melihat sejak hari pertama kepergian nenekmu." Naren menjelaskan.Mata Marissa membulat sempurna, dia terkejut untuk yang kedua kalinya. Dia yang sudah berusaha keras menutupi lebamnya dengan make-up ternyata tak berhasil."Se-sebenarnya, a-aku," balas Marissa terbata."Oke, obati setelah sampai dan istirahatlah. Setelah lebih baik kamu harus makan yang banyak. Pasti jam makan dan jam istirahatmu berantakan selama empat hari ini," kata Naren mengakhiri pembicaraan tentang luka itu.Marissa memandang sisi wajah Naren dengan seksama. Dia seperti bicara dengan orang yang bisa menghargainya. Ada rasa tenang di lubuk hati terdalamnya, ada perasaan yang dijaga sepenuhnya oleh pria itu."Maafkan aku, aku pikir kamu melakukan ini karena sebuah kewajiban mewakili Keluarga Baruna. Aku salah sangka, Naren." Marissa mengakui."Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, semua karena Tristan sama sekali tak datang. Dia juga tak pulang sejak kamu ke rumah duka, apa dia menghubungimu?" jelas Naren diteruskan dengan sebuah pertanyaan.Marissa mengulas senyum kecut. Dia sama sekali tak dihubungi oleh Tristan sejak hari itu. Bagi Marissa tidak penting lagi memikirkan di mana pria itu berada."Temui dia setelah lebih tenang, jangan paksakan dirimu," ujar Naren."Entahlah, aku tak tahu, apakah aku masih sanggup bertemu dengannya atau tidak," balas Marissa putus asa.Mobil memasuki gerbang rumah kediaman Keluarga Baruna. Setelah memarkirkan mobil dengan rapi, keduanya segera turun. Baru saja mereka hendak masuk rumah, sebuah mobil nampak masuk juga. "Tristan," batin Marissa yang mengetahui jika itu adalah mobil suaminya. Naren berjalan masuk meninggalkan Marissa yang berdiri di koridor antara pintu rumah dan juga garasi. Kaki wanita itu tiba-tiba saja begitu berat, dia merasa tak bisa bergerak hingga akhirnya Tristan berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" tanya Tristan. "Nenek baru saja selesai dimakamkan," jawab Marissa. "Aku turut berduka, Rissa. Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan," ujar suaminya dengan tak masuk akal. "Sesibuk apa dirimu? Sampai-sampai nenek dari istrimu meninggal tidak bisa meluangkan waktu semenitpun untuk melihatnya." Marissa mulai tersulut. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Tristan justru berlalu meninggalkan Marissa tanpa peduli. Dia tak
"Bagaimana kabar sekretarismu itu?" tanya Marissa tiba-tiba. Tristan sedikit terkejut, dia langsung berpikir ada yang menelpon dirinya. "Apa ada yang telepon? Kenapa tiba-tiba menanyakan dia?" sahut Tristan. "Enggak, aku hanya bertanya saja. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya," balas Marissa. "Dia baik-baik saja," jawab Tristan singkat. Marissa menarik sudut bibirnya, sikap linglung Tristan membuatnya semakin curiga. Hanya saja dia tak memegang bukti apa pun, sehingga tak ada alasan bagi Marissa untuk menyampaikan apa yang tengah dia curigai."Ah, aku lupa namanya, siapa ya?" Marissa berlagak mengingat-ingat. "Siapa, ya, kenapa aku bisa lupa?" pancing Marissa. Tristan semakin panik, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba istrinya itu membahas perihal sekretaris. Dia tak percaya jika hanya karena lama tak bertemu, Marissa menanyakan tentang sekretarisnya itu. Kemudian mata Tristan tertuju pada ponselnya yang tergeletak di nak
Jawaban Naren membuat hati Marissa menjadi berdebar. Ada perasaan takut luar biasa yang ada di hatinya saat ini. Entah dari mana datangnya, tapi cukup membuatnya ingin menyudahi pembicaraan tentang suaminya. "Kita ke taman kota saja, Naren. Di sana pasti banyak makanan tepi jalan yang mengugah selera," ujar Marissa mengalihkan topik pembicaraan. Naren merasa ada yang aneh dengan adik iparnya itu, sehingga saat kalimat Marissa selesai pria itu segera memandang ke arah Marissa. Istri adiknya itu mengalihkan pandangannya ke luar mobil dan tak bereaksi apa pun. "Oke, aku akan putar arah. Kita sudah melewati taman kota sejak tadi," jawab Naren dan dia segera mencari tempat yang tepat untuk berbalik arah. Sepertinya pria itu sangat mengerti jika tak perlu membahas apa pun lagi saat ini. Dia tak ingin merusak suasana hati Marissa yang masih diselimuti awan mendung setelah kepergian sang nenek. Mobil melaju dengan arah yang sudah ditentukan sekarang s
"Tak perlu memikirkannya, setidaknya aku tidak perlu repot-repot curiga," lirih Marissa sembari turun dari mobil Naren. Niat hati keluar untuk menghibur diri, kenyataan berkata lain. Marissa justru dibuat pusing dengan apa yang dia lihat. Hanya saja mengetahui hal itu tak lantas membuat Marissa merasa harus membahasnya saat Tristan pulang nanti. Dia masih ingin menganggap jika semua yang terjadi bukan sesuatu yang seperti dia pikirkan. Marissa hanya berlalu tanpa kata sedang Naren membiarkan adik iparnya itu untuk memiliki waktunya sendiri. Hingga setelah pagi menjelang dan mata wanita itu terbuka, Tristan sudah berada di sisinya. Pria itu masih tidur lelap dan tak merasakan apa pun saat Marissa berusaha bangkit dari ranjangnya. Pagi itu Marissa beranjak dari ranjang dan menuju tas kerja Tristan. Setelah memikirkan segalanya semalam, dia memutuskan untuk mencari bukti kuat terlebih dahulu dibanding langsung mengamuk pada pria itu. Marissa berpikir, sala
Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri.
Tak ada kesempatan apa pun antara Marissa dan Tristan. Wanita itu merelakan karirnya dan membiarkan jabatan tertingginya di perusahaan dialihkan pada yang lain. Marissa mencoba menuruti keinginan suaminya dan berharap rumah tangganya membaik setelah berbagai keadaan yang membuat mereka berdua selalu berkonflik. "Kamu pulang?" tanya Marissa pada kakak iparnya. Setelah beberapa hari lengser dari jabatan itu, Marissa masih setia berada di rumah. Dia berusaha memberikan waktu sepenuhnya untuk Tristan. Walau belum memperlihatkan sikap yang mengarah lebih baik, tapi setidaknya tak ada lagi cekcok yang diakibatkan oleh keinginan Tristan agar Marissa berhenti dari pekerjaannya itu. "Makan siang denganku, apa kamu tidak bosan? Sejak berhenti bekerja sama sekali tak keluar rumah," sahut Naren."Sedikit, tapi bukan masalah, kok." Marissa memberi alasan. Naren mengajak adik iparnya itu makan siang di luar. Tanpa banyak berpikir, Marissa mengikuti
Marissa sudah cukup yakin atas hubungan Tristan dengan wanita lain yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu. Tuhan menunjukkan semuanya dengan jelas hari itu, kemudian menambahkan bukti pada hari ini. Hati Marissa yang memang sudah rapuh, menjadi semakin sakit. Hanya saja kali ini dia tak ingin menyerah. "Aku sudah di rumah sesuai keinginanmu, Tan. Tidakkah kamu ingin membawaku makan malam di luar?" tanya Marissa. "Apa ini? Mengapa kamu terus menuntut balasan atas apa yang kamu korbankan?" desak Tristan. "Bukan menuntut, Tan. Bukankah kamu ingin aku di rumah dan memberikan seluruh waktuku untukmu?" ujarnya keras. Tristan menatap sinis ke arah istrinya, dia mendalami kalimat yang Marissa ucapkan. Tak ada yang bisa membuat pria itu mengerti tentang apa yang dia lakukan selama ini. Nyatanya meminta Marissa berhenti dari perusahaan tak membuatnya puas juga. Tekanan di perusahaan masih saja terus membuat Tristan merasa dirinya kalah.