Share

6. Lebam Itu Terlihat

"Besok adalah hari pemakaman, habiskan malammu dengan baik, Rissa," ujar Naren.

"Aku mengerti, jawabnmu tadi sudah cukup membuat aku tahu apa yang harus aku lakukan," balas Marissa dengan senyum tipis.

Naren yang melihat senyum di bibir adik iparnya itu, turut mengulas senyum. Matanya menangkap lebam yang mulai memudar di sudut mata Marissa. Hatinya sedikit lega karena luka itu sudah hampir menghilang. Walau Naren yakin jika luka hati Marissa tak akan pernah hilang.

"Jangan pikirkan apa pun malam ini selain nenekmu. Aku pulang sekarang," pamit Naren setelah menyelesaikan makan malam.

"Hm," jawab Marissa disertai anggukkan kepala.

Mereka berdua keluar dari ruang makan dan segera berpisah. Marissa menuju tempat dimana jasad neneknya di semayamkan, sedangkan Naren bergerak menuju tempat parkir mobilnya. Hari ini terasa berbeda karena jarak yang keduanya ciptakan selama ini mulai mendekat. Marissa juga nampak jauh lebih baik dibanding hari pertama dan kedua. Naren pergi tanpa rasa khawatir.

"Suamimu tak datang sejak hari pertama," lirih Tuan Ayres.

"Dia sedang di luar negeri, Pa. Pekerjaannya belum selesai dan masih butuh beberapa hari lagi," dusta Marissa menutupi keberadaan suaminya.

Ayah mertua Tristan itu mulai menyadari jika menantu satu-satunya yang dia miliki sama sekali tak menampakkan barang hidungnya di rumah duka itu. Kedukaan yang mendalam sedari kemarin lusa, tak membuatnya begitu menyadari absennya Tristan. Pria itu memilih untuk tutup mulut setelah mendengar penjelasan sang putri walau merasa ada yang tidak beres. Sementara Marissa bergerak menuju sisi peti mati sang nenek. Dia menghabiskan malam panjang di sisi tubuh kaki tanpa nyawa anggota keluarga tertua dalam silsilah keluarga Marissa itu.

"Nenek tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Sekalipun ada lebam di wajahku, aku berjanji jika aku akan baik-baik saja." Marissa bicara dalam hati.

Mengetahui jika neneknya adalah orang paling peduli pada keadaannya dari dulu hingga sekarang, tentu saja Marissa khawatir. Akal sehatnya sedikit ia kesampingkan dan seperti orang yang sedang meyakinkan seseorang yang masih hidup, dia berkali-kali mengatakan jika dia baik-baik saja. Sesekali dia terisak, dia menghapus air matanya dan mengusap air yang mengalir dari hidungnya. Malam terakhirnya bersama sang nenek, menjadi sebuah moment yang tak akan pernah Marissa lupakan. Termasuk hadirnya Naren dan juga segala ketenangan hati yang dia tularkan.

Hingga tiba saatnya peti jenazah nenek Marissa harus dibawa ke pemakaman. Wanita yang sudah mempersiapkan diri dari semalam itu mendadak menjadi gelisah. Hatinya merasa takut dan matanya tak berhenti mencari seseorang ke segala arah.

"Naren, di mana dia?" tanya Marissa dalam hatinya.

Wanita itu seperti sedang menagih janji kakak iparnya yang mengatakan jika dia akan datang ke pemakaman. Hanya saja sejak upacara pelepasan dilakukan sampai semua rombongan keluar dari rumah duka, Naren tak nampak.

"Dia tak datang? Kalau tidak ingin datang kenapa semalam dia berjanji akan datang?" batin Marissa semakin sedih.

Wanita itu berjalan tanpa alas kaki menuju mobil keluarganya, dia memupus harapan jika Naren akan menemaninya. Entah apa yang membuat Marissa terus mencari pria itu, Marissa sendiri tak tahu alasannya.

"Ayo, Rissa." Suara seorang pria tiba-tiba terdengar dari belakang.

Langkah kaki Marissa terhenti dan seperti ada tetesan air segar di hatinya yang sedang tandus. "Naren," peliknya lega.

Naren yang memang datang terlambat karena pekerjaannya segera menarik tangan wanita itu. Dia dengan sangat jantan mengenggam erat tangan Marissa dan menuntunnya menuju mobil. Seiring langkah kaki keduanya, hati Marissa yang sedari tadi tak tenang menjadi lebih baik. Dia bisa mengikuti segala prosesi pemakaman sang nenek dengan lancar. Kakinya bagai terisi energi baru dan air matanya berubah menjadi senyum tipis.

"Kamu hebat, Rissa. Selesaikan dukamu di sini dan kita pulang kemudian buka lembaran baru. Biarkan nenekmu beristirahat dengan tenang," ujar Naren.

Mendengar kalimat yang menentramkan itu, hati Marissa semakin mantap untuk melanjutkan hidupnya. Dunianya yang hancur empat hari lalu itu seperti ditata kembali oleh takdir. Walau bukan suaminya yang membuat energinya terisi kembali, walau bukan Tristan yang membuat hatinya terhibur, tapi Marissa bertekad menghadapi takdirnya sekarang.

"Pa, aku pulang bersama Naren. Aku harus istirahat dan meneruskan hidup walau nenek sudah pergi," pamit Marissa pada Tuan Ayres.

Pria yang juga sangat kehilangan ibunya itu mengusap lembut rambut sang putri. Dia juga mendekap erat tanpa cela layaknya ingin menguatkan. Setelah beberapa saat, pria itu menciumi puncak kepala Marissa dengan sangat hangat.

"Kembalilah, Sayang. Jalani hidupmu dengan baik," pesan Tuan Ayres pada putrinya. Marissa menahan air matanya dan hanya menganggukkan kepala. "Jaga dia, Naren. Beritahu adikmu juga jika dialah yang seharusnya menjaga Marissa," katanya sambil menatap lekat ke arah kakak ipar Marissa itu.

"Pasti, Tuan. Saya akan jaga Marissa dan sampaikan pada Tristan juga." Naren menyanggupi mandat dari Tuan Ayres.

Keduanya berjalan menuju mobil Naren dan segera meninggalkan area pemakaman. Rasa canggung kembali menyergap sekalipun mereka sudah tak menjaga jarak. Berada berdua saja di dalam mobil, membuat Marissa diam tak bicara.

"Obati lukamu, kamu pasti tak mengobatinya." Naren mulai membahas lebam yang ada di sudut mata Marissa.

Wanita itu kaget bukan kepalang, dia pikir tak ada yang mengetahui tentang luka itu sehingga dia bersikap biasa saja selama berhari-hari.

"A-apa maksudmu?" tanya Marissa setengah mengelak.

"Orang-orang membicarakan luka itu, mereka melihat sejak hari pertama kepergian nenekmu." Naren menjelaskan.

Mata Marissa membulat sempurna, dia terkejut untuk yang kedua kalinya. Dia yang sudah berusaha keras menutupi lebamnya dengan make-up ternyata tak berhasil.

"Se-sebenarnya, a-aku," balas Marissa terbata.

"Oke, obati setelah sampai dan istirahatlah. Setelah lebih baik kamu harus makan yang banyak. Pasti jam makan dan jam istirahatmu berantakan selama empat hari ini," kata Naren mengakhiri pembicaraan tentang luka itu.

Marissa memandang sisi wajah Naren dengan seksama. Dia seperti bicara dengan orang yang bisa menghargainya. Ada rasa tenang di lubuk hati terdalamnya, ada perasaan yang dijaga sepenuhnya oleh pria itu.

"Maafkan aku, aku pikir kamu melakukan ini karena sebuah kewajiban mewakili Keluarga Baruna. Aku salah sangka, Naren." Marissa mengakui.

"Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, semua karena Tristan sama sekali tak datang. Dia juga tak pulang sejak kamu ke rumah duka, apa dia menghubungimu?" jelas Naren diteruskan dengan sebuah pertanyaan.

Marissa mengulas senyum kecut. Dia sama sekali tak dihubungi oleh Tristan sejak hari itu. Bagi Marissa tidak penting lagi memikirkan di mana pria itu berada.

"Temui dia setelah lebih tenang, jangan paksakan dirimu," ujar Naren.

"Entahlah, aku tak tahu, apakah aku masih sanggup bertemu dengannya atau tidak," balas Marissa putus asa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status