Posisi dudukku kubenarkan beberapa kali, karena makin gelisah. Bokong mulai terasa panas. Gara-gara apa lagi kalau bukan Theo yang tak kunjung datang? Lagi dan lagi, terlambat! Padahal dia sendiri yang mengajak untuk bertemu hari ini. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan. Aku cukup skeptis soal itu, apa hal menarik yang bisa disampaikan seorang anak orang kaya seperti dia? Dapat hadiah mobil baru? Perjodohan? Liburan ke luar negeri? Semua itu sudah usang. Tidak. Aku tahu Theo bukan orang yang suka pamer.
Bisa kubilang, Theo itu unik dan berbeda untuk ukuran anak orang kaya. Hal itu terbukti benar, nyatanya, dia mau berteman denganku, seorang cewek dari kelas menengah ke bawah yang sekarang bekerja di Toko Buku. Tidak ada yang istimewa dariku.
Biar aku cerita sedikit bagaimana aku bisa bertemu dengan Theo. Kami bertemu saat kuliah, dan masuk komunitas yang sama, komunitas teater! Terdengar membosankan ya, aku tahu. Theo dan aku punya segudang kesamaan dan kesukaan. Kami sama-sama suka mendekam di rumah, suka menonton film drama romantis, suka membaca novel picisan seperti Twilight dan 50 Shades of Grey, dan tidak punya banyak teman. Kalau aku jadi laki-laki, aku pasti persis seperti Theo, begitu juga sebaliknya, semisal Theo itu perempuan, dia pasti persis seperti aku, hanya saja dia lebih cakep tentunya.
Aku dan Theo sudah bersahabat selama lima tahun, pokoknya cuma sebagai sahabat ....,
"Sorry aku telat!!!"
Hampir saja aku terkena serangan jantung. "Jangan ngagetin bisa nggak sih?!" hardikku sebal.
Theo nyengir. Antara merasa bersalah atau memang sengaja ingin jahil.
"Udah sana, pesan kopi! Punya aku udah habis, sekalian aja pesan dua!" pintaku.
"Nanti dulu soal kopinya, May ..., aku mau langsung ke poin utama, ini soal penting!" Theo menatapku lurus.
Jujur saja, tiap kali aku dipandangi setajam ini oleh Theo, dadaku lumayan bergemuruh. Tidak, bukan karena aku jatuh cinta kepadanya. Namun karena dia memang tampan! Harus aku akui. Lihat saja garis wajahnya yang tegas, dengan hidung yang tinggi dan ujung yang runcing, matanya cekung, bulat tapi kecil, bercahaya, dengan bulu mata yang panjang dan lebat. O liat, bibirnya yang merah jambu itu ...,
"May! Kamu dengar aku ngomong nggak sih?! Malah bengong!" Sekali lagi Theo berteriak.
"O ... iya iya ..., aku dengar, kok. Terusin aja. Ngomong apa tadi? Eh, belum ya? Jadi apa?" Aku gelagapan.
Theo memutar bola matanya kesal. "Aku butuh cewek buat diajak ke acara keluarga!"
Alisku mengerut. "Hm ... terus?"
"Ya, aku butuh bantuan kamu, May. Kamu mau kan jadi pacar pura-pura aku? Buat acara yang satu ini aja, ini acara besar. Om aku, tante, sepupu, semua keluarga besar akan datang. Aku bisa mati gila kalau aku doang yang datang tanpa pasangan!"
"Kamu gila ya? Ogah, ah! Keluarga kamu kan ... kelas atas, bisa-bisa aku yang mati berdiri di sana!" tolakku cepat.
"May, aku mohon ..., please, aku yang akan belikan kamu gaun, sepatu, bayar make up, semua dari aku, May! Ini acara family gathering yang diadakan sekali sepuluh tahun. Sepuluh tahun sih nggak apa-apa aku nggak bawa pasangan, tapi sekarang ..., umur aku udah dua lima! Aku mesti bawa pasangan, May." Theo memasang tampang memelas yang memang cukup membuatku luluh.
"Kamu itu ganteng banget Theo, kaya raya lagi, masa iya kamu nggak bisa cari pacar?"
Ya. Aku paham kok, Theo sama sepertiku, sulit berkomunikasi dengan orang baru. Kalau orang sepertiku saja belum pernah berpacaran, bagaimana dengan Theo?
Theo memasang muka 'anak anjing'. "Sekali ini, May ... sekali ini aja ..., cuma kamu sahabat yang aku punya."
Kuhela napas panjang. Kalau sudah seperti ini caranya memohon, bagaimana bisa aku menolak? "Oke. Sekali ini aja!"
Oke, Mayang. Kalem. Tenang. Ini bukan soal besar, bersikap sewajarnya, jangan lupa senyum!Aku pikir aku pasti sudah gila karena sejak tadi terus bicara dalam hati dengan diriku sendiri. Mendatangi acara keluarga Theo bukan perkara mudah. Sungguh, tidak segampang itu. Keluarga besar Theo adalah keluarga terpandang, mereka termasuk keluarga paling kaya di kota dengan gurita bisnis yang tersebar di mana-mana. Kakeknya pemilik rumah produksi film ternama yang kini dikelola ayahnya, sedang ibunya? Dia punya butik pakaian, dan merek perhiasan yang terdaftar atas namanya sendiri. Mereka juga mengelola restoran dan hotel bintang lima, resort, mal, dan entah apa lagi.Jangan lupa sepupu-sepupunya yang selalu pamer di Instagram, mereka juga sering diliput TV, masuk berita nasional, tak kurang seperti keluarga pebisnis selebriti yang selalu disorot wartawan, selalu membuat orang-orang penasaran dengan gaya hidup mereka yangjetset,namun juga bikin iri. Sepert
Tunggu dulu. Otakku belum siap untuk memproses semua yang kini terpampang di depan mataku. Apa aku sedang berada di film 50 Shades of Grey atau semacamnya? Atau ini mimpi siang bolong?Theo bilang, acara ini adalah acara yang paling penting bagi keluarganya. Mereka boleh absen di acara tahun baru atau ulang tahun, tapi tidak di acara ini. Karena itu hanya dirayakan sekali sepuluh tahun, untuk memastikan seluruh anggota keluarga bisa berkumpul, dari seluruh generasi, yang masih hidup tentunya. Diadakan di sebuah hotel bintang lima, yang notebene milik mereka sendiri, dengan diiringi musik klasik. Pelayan-pelayan sibuk mondar-mandir membawa minuman dan camilan. Mulutku tanpa sadar menganga otomatis saat melihat betapa besarnya lampu yang ada di tengah ballroom.Tirai-tirai tinggi berwarna merah tua yang berada di setiap sisi dinding menciptakan kesanballroomini adalah sebuah kotak penuh kemewahan yang tertutup dengan kain merah. Ornamen emas ada di s
Pandangan mataku mulai berkunang-kunang setelah lebih dari lima belas menit duduk bersama kakek dan nenek Theo dan juga buyut-buyutnya. Mereka tidak menyebalkan, tapi jujur aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Syukurnya, mereka lebih fokus bertanya soal kehidupan dan hobi Theo ketimbang mengorek tentang aku. Satu hal yang pasti, Theo adalah cucu kesayangan kakek dan neneknya, dari kedua pihak orang tuanya. Dia menang banyak, tak ada alasan untuk takut tidak kebagian warisan."Eum, aku ke kamar mandi dulu ya," kataku pada Theo yang sedang asyik bercanda dengan kakek dan neneknya. Theo mengangguk sekenanya.Saat aku melewati para sepupunya untuk ke toilet, aku bisa mendengar mereka berbisik sinis tentang Theo,"Liat deh si tukang jilat, selalu nempel sama Opa Oma.""Biasa lah, nggak heran kalau dia, sih.""Dia kan pecundang, cuma jadi bayangan Nicholas."O Shutup, bullies!!Kalau saja aku berani menghajar mereka saat
"Kamu habis dari mana aja sih, May? Aku cari dari tadi!" protes Theo.Aku tidak mungkin jujur kepadanya soal kejadian absurd yang tadi terjadi di toilet perempuan. "Nggak ada. He he.""Ayo, udah waktunya makan." Untung Theo tidak bertanya lebih jauh.Semua orang sudah duduk, makanan disajikan dengan meja troli yang dibawa oleh para pelayan. Masalah selanjutnya adalah aku tidak mengerti soal etika makan! Pisau yang mana untuk makanan yang mana, sendok yang mana untuk makanan yang mana. Ada banyak tipe dan ukuran sendok-garpu dan pisau. Demi Tuhan, ternyata makan bersama orang kelas atas itu tidak semudah bayanganku.Siku Theo menyenggolku pelan, aku menoleh. "Ikuti aja cara makan aku," bisiknya. Syukurlah Theo selalu pengertian. Kami makan diiringi penampilan penyanyi opera, kurang mewah bagaimana lagi. Habis menyantapdessert, anggota keluarga Theo kembali bercakap-cakap, katanya sebentar lagi mereka akan mendengar pidato dari kakek Theo lal
Keluarga Theo sudah berlalu, aku tak semestinya memikirkan mereka lagi. Tapi tidak, mereka masih menggentayangi kepalaku bahkan setelah seminggu berlalu sejak acarafamily gatheringsialan itu. Apa lagi kakak laki-laki Theo, Nicholas. Mukanya seringkali tiba-tiba muncul di benakku, aku tidak tahu kenapa. Mungkin aku butuh liburan, mungkin aku butuh rehat sejenak dari toko buku ...,"Mayang!"Aku yang sedang menyusun buku terperanjat bukan main. Berbalik dengan muka mutung. Kulihat manajer toko, Ryan, berkacak pinggang sambil memegang beberapa buku di tangan kanannya. Dia membenarkan kacamatanya sembari berjalan ke arahku. Dia cuma dua tahun lebih tua tapi perawakannya tampak seperti pria hampir berkepala empat, jangan tanya kenapa."Belakangan saya liat kamu suka bengong, nggak heran buku-buku disusun nggak sesuai abjad! Ini buku juga nggak sesuai genre!"Yup, dia lebih cerewet dari nenekku, tapi aku paham, itu adalah pekerjaannya.
Harusnya sejak lima menit yang lalu aku sudah bisa pulang, berhubung jam ganti shift tepat pukul 5, dan sekarang telah pukul 5 lewat 5 menit. Tapi gara-gara si Ryan sibuk mengomeli anak baru yang bekerja di shift malam, aku terpaksa harus menunggu.Langkahku gontai keluar dari toko buku, akhirnya aku bisa pulang. Kepalaku pening. Kuseret langkah malas, saking tak berkonsentrasi hingga tersandung teras toko buku yang tak rata. Untung sebuah tangan dengan sigap menarik tanganku sebelum mukaku mencium teras batu!"Maka-- Kamu lagi?!"Kalimatku terputus, berganti muka jengkel sekaligus kaget. Lagi-lagi Nicholas! Mau apa dia di depan toko buku?! Jangan bilang ..., sejak kuusir tadi siang sampai sekarang, dia menunggu aku?!"Kamu nggak punya kerjaan, ya?! Hah?! Ngapain masih di sini?! Tadi udah kusuruh pergi, kan?!""Kenapa kamu galak banget, sih? Kamu lupa ..., posisi aku ini apa? Sebaiknya, kalau kamu butuh restu dari aku, kamu harus tau jaga sikap, ca
Dari ekor mataku, bisa kulihat ekspresi muka Nicholas sekarang. Bibirnya sedikit terangkat, sedang alisnya mengerut. Singkat kata, dia jijik melihat indekos tempat aku tinggal. Menurutku pribadi tidak buruk. Ada jendela kayu dengan warna favoritku, biru langit. Di halaman yang sempit, beberapa pot bunga mawar pemberian Ibu mekar. Memang kecil, berada tepat di tengah rumah bedeng, diapit dua indekos lainnya, tapi manis dan cantik. Sesuai seleraku."Ayo masuk." Kubuka pintu kayu yang juga dicat biru langit.Nicholas masuk. Matanya langsung menyisir ke kiri dan kanan, dari dapur yang cuma ada satu kompor kecil dan kulkas satu pintu, ke pintu kamar mandi yang juga dicat biru langit, lemari pakaian, TV, lalu berakhir di tempat tidur berseprai putih. Sisanya, hanya lantai kosong di tengah ruangan untuk duduk atau makan."Nggak ada sofa untuk duduk?" tanya Nicholas."Kalau pun ada sofa mungkin cuma muat di atap," balasku sinis. "Duduk aja di lantai. Kamu mau mak
"Kamu kira nyari kerjaan itu mudah? Ya ..., untuk orang sekaya kamu, pastinya mudah. Itu bukan masalah, tapi beda sama aku," ucapku agak tersinggung.Nicholas terdiam lagi, sepertinya sedang berpikir akan menyahut apa selanjutnya. Sedang masakanku sudah siap. Sembari aku menyajikan makanan, dia berkata lagi, "Kalau kamu mau, aku bisa carikan kamu kerja yang lebih layak dan bagus."Apa maksudnya, sih? Apa yang ada di pikiran manusia ini? Tadi dia seolah ingin menyingkirkan aku dari kehidupan Theo, namun sekarang dia malah bersikap manis. Mungkin ini jebakan, pikirku. Kalau aku langsung setuju, barangkali dia akan langsung mengira aku memang sengaja ingin memanfaatkan Theo dan keluarganya."Kerja apa maksudnya? Maaf ya, aku tau aku ini bukan orang kaya, tapi aku bukan pengemis. Aku juga nggak mau ngerepotin keluarga Theo.""Kenapa langsung ke arah sana ngomongnya? Aku kan nggak bilang kamu pengemis. Cuma ..., kalau kamu mau jadi bagian keluarga kami, seengg