Oke, Mayang. Kalem. Tenang. Ini bukan soal besar, bersikap sewajarnya, jangan lupa senyum!
Aku pikir aku pasti sudah gila karena sejak tadi terus bicara dalam hati dengan diriku sendiri. Mendatangi acara keluarga Theo bukan perkara mudah. Sungguh, tidak segampang itu. Keluarga besar Theo adalah keluarga terpandang, mereka termasuk keluarga paling kaya di kota dengan gurita bisnis yang tersebar di mana-mana. Kakeknya pemilik rumah produksi film ternama yang kini dikelola ayahnya, sedang ibunya? Dia punya butik pakaian, dan merek perhiasan yang terdaftar atas namanya sendiri. Mereka juga mengelola restoran dan hotel bintang lima, resort, mal, dan entah apa lagi.
Jangan lupa sepupu-sepupunya yang selalu pamer di I*******m, mereka juga sering diliput TV, masuk berita nasional, tak kurang seperti keluarga pebisnis selebriti yang selalu disorot wartawan, selalu membuat orang-orang penasaran dengan gaya hidup mereka yang jetset, namun juga bikin iri. Seperti keluarga Kardashian-Jener, disukai tapi dibenci. Bukankah gila orang seperti aku bisa mendatangi acara keluarga seperti ini? Bahkan gajiku setahun pun belum tentu bisa menebus apa yang akan aku makan dalam satu malam di acara itu.
Sekali lagi aku mengecek penampilan. Theo memberikan sebuah gaun merah marun yang lumayan bikin tidak nyaman. Belahan dadanya terlalu rendah, dan aku benci menunjukkan setengah pahaku. Namun, sudah tak ada waktu untuk berganti pakaian. Tadinya make-up artist yang disewa Theo ingin memberiku riasan tebal, tapi aku tolak mentah-mentah. Jadi beginilah tampangku sekarang, dengan riasan ringan yang lembut, dan rambut ikal alami yang dibiarkan terurai. Aku pikir ini cukup, toh hanya satu kali ini saja, aku tak perlu repot membuat kesan pertama, nanti juga mereka akan melupakanku.
***
Lagi-lagi Theo terlambat menjemput, namun karnea cuma tiga menit, aku tak seberapa merasa marah. Dia datang dengan sedan mewahnya yang mengkilap, mengenakan tuxedo hitam, rambutnya ditata rapi. Terakhir kali aku melihat dia berpenampilan seciamik ini adalah saat menghadiri pesta seusai wisuda di kampus.
"Maaf aku telat lagi, jalannya macet tadi!" kata Theo tanpa turun dari mobilnya.
Tak ada waktu untuk mengomel sekarang, segera aku masuk ke dalam mobilnya. Theo terdiam, mematung memandangi penampilanku.
"Woi! Malah diam! kayak ngeliat hantu aja!" kataku sambil menggoyangkan tangan di depan mukanya.
"Kamu ... kamu keliatan ... fantastis, May!" serunya memuji.
"Basi! Kamu bilang gitu cuma biar aku senang ikut kamu, kan? Jujur aja, Theo. Aku nggak pingin! Aku mau balik ke kost-an aku, dan tidur!" kataku terus terang.
"Tenang aja, May. Ini cuma sebentar, kok. Paling kita makan malam doang, kalau mereka banyak tanya-tanya, jawab ngarang aja."
Theo lanjut menyetir. Makin dekat jarak kami dengan tempat acara berlangsung, makin terpompa pula jantungku. "Apa aku harus jujur soal pekerjaan orang tua aku? Kamu tau, mama aku penjahit, papa aku supir taksi. Apa itu perlu aku bilang?"
"Bohong aja. Bilang aja mama kamu desainer, papa kamu pemilik jasa taksi, gitu."
"Kenapa? Kamu malu?" tanyaku pelan.
"Ya Tuhan, May! Aku bukannya malu, aku cuma nggak mau kamu kena masalah. Kalau kamu jujur, mereka mungkin bakal ..., ya kamu tau keluarga aku May, mereka itu sampah!"
"Ampun, Theo. Mereka itu keluarga kamu!"
"Ya aku tau, tapi tetap aja, mereka itu emang kumpulan orang brengsek. Aku juga nggak pingin datang sebenarnya, tapi aku nggak mau dihapus dari KK, aku juga mau dapat warisan. He he." Theo nyengir kuda.
Sial! Ingin sekali kupukul mukanya yang menyebalkan itu!
"Oya, May. Orang yang paling harus kamu hindari ..., abang aku, Nicholas. Sebaiknya kamu menjauh dari dia." Tiba-tiba Theo membahas soal kakak laki-lakinya.
"Loh kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kita udah sampe. Di dalam aja dibahas."
Tapi tunggu sebentar, itu belum akhirnya, masih ada yang harus aku sampaikan perihal hubunganku dengan Nicholas.Setelah orang tua Nicholas menerima kondisi kami, termasuk janin yang ada di kandunganku, kami melangsungkan kembali acara resepsi pernikahan yang lebih megah dan besar, di mana seluruh keluarga, kerabat maupun rekan bisnis keluarga Nicholas datang dan mendoakan kami.Kadang hatiku masih kecut, sebab samar-samar aku masih bisa mendengar suara cibiran dari keluarga Nicholas yang belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Meski demikian, sosok Theo cukup sebagai pencair suasana.“Kenapa, Bumil? Kok mukanya cemberut?” tanya Theo sambil berdiri manis di sampingku, sementara Nicholas sibuk meladeni rekan-rekan bisnisnya yang berdatangan silih berganti sejak tadi siang.Aku pura-pura tersenyum, menutupi hati yang gelisah dan agak kecewa. “Nggak kenapa-napa kok, Theo ... giman
Sedetik dunia di sekitarku serasa berhenti berputar. Mataku terarah hanya memandang batu cincin berlian yang dipegang Nicholas. "Kamu ..., yakin?" tanyaku lirih. "Yakin banget! Aku udah fiks mau ninggalin semuanya, demi kamu, demi anak kita, masa depan kita. Kamu mau kan?" Nicholas menatapku penuh harap. Mana mungkin bisa aku menolaknya bila sudah begini. Air mataku jatuh sampai ke dagu, langsung kuanggukkan kepalaku berulang kali. "Ya! Iya ..., aku mau! Aku mau!" isakku terharu. Dalam sedetik Nicholas langsung berdiri memelukku erat-erat, lalu dia pegang daguku kemudian bibir kami bertemu kuat. Selesai dia cium aku merilis segala perasaan, dia sematkan cincin itu di jari manisku. *** Kami kembali ke rumah Papa dan Mama dengan tangan bergandengan. Mama berlari ke arahku saat dia sadari jari manisku dilingkari sebuah cincin dengan batu nan indah. "Kamu ..." Suara Mama menggantung. Di depan kedua orang tuaku yang agak kebingungan, Nichol
Mungkin benar apa kata orang, cinta ibu itu sepanjang masa. Walau ayah dan ibuku kecewa atas kebodohan yang kuperbuat, mereka masih menerima kondisiku. Aku tak diusir atau bahkan dibuang seperti yang aku sangka.Malahan, dengan penuh perhatian, ibuku menyiapkan ramuan jamu untuk menguatkan janin di rahimku. Dia pun meminta agar aku tak berpikir untuk menggugurkan kandunganku, dia mengecam pikiran itu meski hanya sekilas terbersit. Aku pun berjanji, bahwasanya aku tak akan pernah membunuh anakku sendiri. Aku akan mempertahankannya dengan apa pun.Semua berjalan baik selama seminggu aku berada di rumah Mama dan Papa. Sampai satu sore, Papa menerima seorang tamu yang katanya mencariku. Aku yang saat itu sedang memasak di dapur beranjak ke ruang tamu untuk melihat sendiri siapa yang datang."Mayang!"Betapa kaget aku saat yang kujumpai sedang berdiri di depan pintu ternyata Nicholas. Wajahnya semringah sekaligus kaget. "Aku nyari kamu ke mana-mana!" serunya.
Dengan menumpang becak dari Bandara, aku sampai juga di rumah kecil milik orang tuaku. Hampir tak ada yang berubah. Di teras rumah kecil itu masih ada mesin jahit tua tempat ibuku biasanya menerima jasa menjahit.Dulu dia aktif membuatkan kebaya sampai gaun pengantin, tapi seiring dia menua, pesanan yang dia kerjakan hanya menjahit celana jins atau memperkecil baju saja. Lagipula, dia tak perlu pula bekerja terlalu keras sebab anaknya satu-satunya yaitu aku sudah bisa mandiri sendiri, dia cukup memikirkan masa tuanya saja.Kota tempat orang tuaku tinggal bukan kota metropolitan, cuma kota kecil. Dibilang desa atau kampung jelas bukan, tapi disebut kota besar juga bukan. Tidak banyak gedung tinggi, tapi mal ada, plaza ada. Kebanyakan adalah perumahan atau kawasan penduduk yang tak seberapa padat. Rumah mereka pun, sekalipun kecil dan sederhana, namun gampang diakses karena tepat berada di pinggir jalan besar. Di seberang rumah mereka, berdiri sebuah pabrik rokok yang su
Belum ada kepastian dari Nicholas selanjutnya kami harus bagaimana. Dokter hanya memberiku vitamin untuk memperkuat janin. Usai pemeriksaan, aku dipersilakan pulang. Theo tak berkata apa-apa, barangkali takut juga salah memberi komentar dan malah membuat Nicholas tambah berang.Tak ada basa-basi dari Nicholas, dia pun langsung pulang. Dia kembali lagi menjelang malam, aku tak tahu untuk apa. Sekelebat, aku kira dia akan melamarku, memintaku untuk menjadi istrinya, atau mungkin membicarakan rencana untuk pernikahan atau setidaknya ingin bertemu orang tuaku.Namun, aku salah. Dia justru berkata tanpa ragu, dengan mata begitu lurus dan tajam, "Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan itu. Jangan diteruskan."Mulutku terbuka setengah, kepalaku pening seketika seolah ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan, Nich?" tanyaku pelan, syok.Matanya agak memerah. "Aku belum siap untuk jadi ayah," jelasnya pendek.Singkat. Tapi
"Mayang! Aku mau ngomong bentar, May!"Satu bulan ini aku terus "diteror" oleh Theo. Aku menolak bicara, aku bahkan ogah walau sekadar bertemu. Wajar kalau aku marah besar, apa yang dia lakukan begitu egois sekalipun berdalih untuk melindungiku dari Nicholas.Sejak Om Baskoro mengumumkan pergantian ahli waris, Nicholas memang gundah gulana. Itu manusiawi, seumur hidupnya dia menjalani hidup sebagai calon penerus tahta lalu tiba-tiba saja mahkotanya akan direbut oleh adiknya sendiri. Dan semua itu hanya karena satu orang perempuan, yaitu aku. Menurutku dia gila kalau dia tidak panik saat ini.Untungnya Nicholas belum ada tanda-tanda meninggalkan aku meskipun dia tampak sangat cemas belakangan ini."Mayang,please!"Kepalaku mau meledak juga lama-lama, Theo seolah tak akan menyerah sekalipun petir menyambar kepalanya. Akhirnya aku keluar, kulihat dia sudah pucat, kelelahan, terlalu lama menunggu."Apaan sih?!" hardikku jengkel.