Share

AKANKAH BERNASIB SAMA

[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]

Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.

[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]

Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.

[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]

Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. 

[Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]

“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.

[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]

Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal Rini terkenal pantang hutang, ia lebih baik hidup apa adanya dari pada terjerat hutang. 

Sudah hampir tengah malam, tapi Rini masih terjaga. Begitu banyak masalah yang bercokol di kepala membuat matanya enggan terpejam. Ia melirik dua bocah yang sudah tertidur pulas di sampingnya, anak yang ia besarkan dengan hidup yang serba kekurangan. Hasil kerjanya sehari-hari hanya cukup untuk makan, sedangkan kebutuhan lainnya semakin bertambah dan suaminya semakin hari semakin tak bisa di andalkan. Rini mulai berpikir mungkin sudah saatnya ia menggunakan uang simpanannya, apa pun risikonya nanti yang terpenting adalah kebahagiaan keluarganya.

**

“Mbak Rini,” sapa seorang wanita yang mengendarai motor matic besar dengan wajah yang tertutup helm.

“Ya, siapa ya?” Rini mengurungkan niatnya melangkah dan berbalik mengamatinya.

“Aku Ina, Mbak. pangling, ya?” Ina membuka helm menampilkan wajah bermake up tebal dengan lipstik berwarna merah menyala. Rambutnya yang di cat pirang membuat penampilannya  semakin paripurna.

“Owalah, Mbak Ina. Ya mesti pangling, lha wong jadi cantik banget sekarang.” Rini mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

Ina adalah wanita yang sering di banding-bandingkan dengannya. Sama-sama memiliki suami yang bekerja di luar negeri tapi bernasib berbeda. Suami Ina yang bekerja di kapal asing sukses mengangkat derajat keluarganya, berbanding terbalik dengan nasib Rini yang semakin terlunta-lunta. 

“Mbak Rini dari mana atau mau ke mana?” tanya Ina ramah.

“Habis dari bank mau pulang, Mbak. Lagi nunggu angkutan.” 

“Wah, aku lupa sekarang tanggal muda, pasti habis ambil uang bulanan ya, Mbak?”

Rini tersenyum sekilas lalu mengangguk. Sebenarnya tujuannya ke bank bukan untuk mengambil uang, tapi menyimpan uang, tepatnya menyimpan uang yang setiap bulan dikirimkan orang misterius padanya.

Semakin bertambahnya uang yang ia terima, Rini berpikir jika rumahnya bukanlah tempat yang aman untuk menyimpannya. Walaupun tak ada yang tahu ia memiliki uang banyak tapi tak menutup kemungkinan jika rumahnya di masuki orang tak bertanggung jawab. Maka dari itu ia memutuskan untuk menyimpannya di bank. Lagi pula jika uang itu tetap di rumah, ia semakin tergoda untuk memakainya.

“Pulang bareng aku aja, yuk!” tawar Ina.

“Tapi apa Mbak Ina sudah mau pulang?” tanya Rini ragu, ia segan jika harus nebeng dengan Ina. Walaupun bertetangga tapi mereka jarang sekali berinteraksi.

“Iya, kebetulan aku mau pulang, yuk! Nanti keburu panas banget.”

Rini bergegas naik ke atas motor dengan bodi besar itu dari pada terus menunggu angkutan yang tak kunjung datang. Jarak bank dari rumah Rini memang terbilang cukup jauh, maka dari itu ia memilih menggunakan angkutan umum dari pada sepeda.

“Kita mampir sebentar, Mbak. Aku lapar.” Motor yang Ina kendarai tiba-tiba berhenti di area pertokoan.

“I-iya,” Seketika Rini menampilkan wajah gusar saat sadar jika ia sedang berdiri di depan warung bakso. 

“Kita makan bakso dulu, Mbak,” ajak Ina.

“Si-silakan, Mbak. Aku tunggu di sini.” Rini bingung karena ia tak cukup membawa uang.

“Jangan khawatir aku yang traktir, kebetulan aku baru dapat rezeki,” ucap Ina seakan tahu isi hati Rini.

“Enggak usah repot-repot, Mbak.”

“Halah, kayak sama siapa.” Ina menyeret Rini masuk ke dalam warung bakso yang katanya terkenal enak.

Walaupun hanya kenal sebatas tetangga, tapi Rini bisa menyimpulkan jika Ina adalah orang yang baik. Dari sikap dan penuturannya Ina juga termasuk orang yang supel dan tidak sombong, nyatanya dia mau duduk bersama dengan Rini yang penampilannya sangat kontras dengannya. 

“Kiriman dan suami lancar, Mbak?” tanya Ina sembari di sela-sela mereka makan.

“Alhamdulillah, Mbak.”

“Udah berapa tahun Budi merantau?” 

“Hampir tujuh tahun, Mbak.”

“Wah, udah lama juga, ya?”

“Lama tapi enggak menghasilkan apa-apa. Beda dengan Mbak yang bisa sukses,” keluh Rini.

“Itu dulu, sekarang udah dua tahun suamiku tak pernah kirim uang.”

Rini mendongak mendengar pengakuan wanita yang duduk di hadapannya. Kalo sudah dua tahun tidak dikirimi suaminya, lalu bagaimana selama ini Ina dan anak-anaknya bisa hidup? Sedangkan setahu Rini, Ina tak bekerja.

“Ah, Mbak suka bercanda, deh!” Rini berusaha mengurai ketegangan di antara mereka.

“Beneran, Mbak, Aku enggak bohong. Bahkan demi anak aku terpaksa hidup nista.”

“Maksudnya?” 

“Jangan pura-pura enggak tahu, Mbak.”

Sudah menjadi rahasia umum, jika Ina adalah gundik juragan Karyo, tepatnya istri keempat yang dinikahi secara siri.

“Tapi mengapa, Mbak?” tanya Rini seolah tak percaya.

“Suamiku nikah lagi, Mbak. Dia sudah sama sekali tak memedulikan aku dan anak-anak. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama, tapi aku memilih diam karena dia tetap rutin mengirimi kami uang bulanan, namun seiring berjalannya waktu uang yang dia kirimkan semakin berkurang. Sejak itu hidupku mulai morat-marit,” ungkap Ina dengan mata berkaca-kaca. Ia menarik nafas dalam kemudian menyeruput sedikit es teh di hadapannya.

Rini memilih diam, tak menanggapi cerita Ina. Ia merasa iba karena ternyata banyak perempuan yang bernasib sama dengannya. 

“Aku enggak tahu lagi harus bagaimana, terlebih anak-anakku sudah terbiasa hidup mewah membuat pikiranku semakin kacau. Hingga suatu saat Mas Karyo datang dan menawarkan begitu banyak uang, akhirnya aku tergoda dan terjebak hingga sekarang.”

Mendengar cerita Ina, Rini seketika mengingat hidupnya. Rasanya kisah Ina sama persis dengan kehidupan yang ia jalani. Bedanya ia tak tahu Budi menikah lagi atau tidak.

Sama dengan Ina yang di tawari banyak uang oleh juragan Karyo, Rini juga rutin di kirimi uang oleh seorang lelaki yang bisa saja mempunyai maksud terselubung seperti juragan Karyo. Walaupun sekarang ia masih berpikiran lurus, tapi tak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti tergoda, bahkan saat ini pun ia sudah mulai tergoda. Akankah Rini bernasib sama dengan Ina? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status