Dua anak lelaki duduk berdampingan sembari melihat televisi yang sedang menayangkan film kartun agen rahasia. Hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka setelah pulang sekolah. Tak seperti saat di kampung yang mempunyai ruang gerak yang luas, di tempat baru, mereka baru mempunyai sedikit teman yang tak memungkinkan bisa diajak main di luar. Kalaupun mereka bosan berdiam diri di rumah, atau acara televisi tak lagi menarik, mereka akan turun untuk bermain bola di garasi atau halaman rumah. [Sebentar lagi Bapak pulang, Nak]Ari dengan serius membaca pesan yang baru saja dikirimkan Budi. Ia tersenyum kecut, merasa jika Bapak kandungnya seolah berniat merecoki keluarga barunya. Bagaimana tidak, setelah lama tak pernah memedulikan keluarganya, kini Budi seolah sedang gencar mendekati anak-anaknya.[Tak usah pulang, Pak. Lagian kita enggak akan bertemu. Jika perlu jangan pernah pulang] Dengan cepat Ari membalas pesan lelaki yang menurutnya semakin hari semakin tak tahu diri. Ia bukan anak keci
Rini dan Tanto tengah duduk berdua sambil menonton televisi sembari memperhatikan Ari yang tengah serius membantu Bagus menyusun permainan lego. Biasanya di akhir pekan seperti sekarang ini rumah mereka ramai karena kedatangan kakak juga semua keponakan Tanto, tapi saat ini mereka tak datang karena ada acara masing-masing. Apalagi akhir-akhir ini Ibu sering menginap di rumah Eka yang membuat kumpul keluarga beralih ke rumahnya.“Kamu betah, kan, tinggal di sini?” tanya Tanto yang beralih duduk di sebelah Ari.“Betah, Om.”“Kalo ada apa-apa bilang sama Om, ya!”“Iya, Om.”Hingga saat ini Ari memang belum mau memanggil Tanto dengan sebutan Ayah, seperti janjinya, Ari masih tetap menganggap Tanto sebagai teman hingga ia siap menerimanya sebagai seorang Ayah. Hal itu juga diikuti adiknya yang ikut memanggil ayah sambungnya dengan sebutan ‘om’.Saat Tanto beranjak karena harus menerima telepon kini giliran Rini yang mendekat pada kedua anaknya. “Kamu beneran udah kerasan tinggal di sini?”
“Enggak bisakah kamu melupakan Rini sebentar saja? Aku juga butuh perhatian, Mas,” Ningsih terus berbicara disamping Budi yang akhir-akhir ini terus disibukkan dengan ponselnya.“Enggak usah berlebihan, kita ini udah tua!” jawab Budi yang terus fokus pada ponselnya dan tak memedulikan wanita berperut buncit di sampingnya.Ningsih memberengut kesal kemudian memutuskan pergi. Lagipula percuma saja ua mengemis perhatian sedangkan kepala suaminya hanya digunakan untuk memikirkan mantan istrinya. Sebenarnya Ningsih ingin sedikit diperhatikan, di kehamilan yang sudah memasuki bulan akhir, membuat tubuhnya cepat merasa lelah. Tak meminta hal aneh, ia hanya ingin Budi sering duduk bersama sambil mengelus perutnya. Itu sudah cukup memberinya kekuatan untuk menghadapi persalinan yang mungkin akan terjadi kurang dari sebulan lagi. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, sedangkan Budi selalu terlihat risih saat Ningsih mendekatinya. Alih-alih diperhatikan, tak jarang ia mendapat makian serta kata-k
“Hay nyonya Hartanto, sombong sekarang, ya? Mentang-mentang udah tinggal di kota langsung lupa sama teman yang di desa. Awas aja kalo nanti kamu ada masalah terus kepengin curhat, enggak bakal aku dengerin. Ora sudi!” Rini menjauhkan ponselnya dari telinga. Baru saja mengangkat telepon ia langsung di suguhi pidato orasi dari Wulan. Semenjak Rini pindah mengikuti suaminya, hubungan kedua orang itu bisa di katakan menjadi semakin jauh, walaupun masih sering berbalas pesan, Rini yang disibukkan oleh statusnya sebagai istri membuatnya tak banyak mempunyai waktu untuk ngobrol dengan sahabatnya.“Apa kabar Bu Wulan?” “Ya seperti inilah, semenjak aku ikutan jualan online kayak kamu, aku jadi sering pergi-pergi COD gitu. Mayan hasilnya bisa buat beli make up sama buat nyumpel mulut pedes tetangga,” jawab Wulan asal. Rini terkekeh, sahabatnya satu ini memang tak ada duanya, selalu saja merepet saat berbicara. Kalo saja sekarang Rini berada di depannya, sudah pasti ia sumpal mulutnya itu deng
Terik matahari sudah mulai terasa ditubuh wanita lansia yang sedari tadi asyik berjemur sembari menikmati beberapa potong kentang rebus kesukaannya. Ia meletakkan piring yang sudah kosong itu ke meja yang terletak disampingnya dan beralih mengambil susu hangat yang masih tersisa separuh. Semenjak anak bungsunya menikah dengan Rini, hidupnya benar-benar terurus. Saat sebagian para mertua mengeluh dengan tinggal menantunya yang keterlaluan, Bu Riyati malah bahagia dengan kedatangan Rini dan kedua anaknya ditengah-tengah keluarga mereka. Bagaimana tidak, ia yang biasanya hanya mengandalkan ketiga anaknya yang juga mempunyai kesibukan masing-masing, sekarang bak memiliki perawat khusus yang akan menemaninya dua puluh empat jam.“Bu, masuk dulu, yuk!” ajak Rini sembari mendorong kursi yang Bu Riyati duduki.“Iya, bawa Ibu ke depan televisi ya, Nduk. Ibu mau nonton film india terusan kemarin.”Rini mengangguk sembari tersenyum geli dengan sikap mertuanya yang senang sekali menonton film in
Budi memandang bayi merah yang sedang menggeliat dalam dekapannya. Ia tersenyum sebari mengelus lembut bayi perempuan yang baru berumur sepuluh hari. Budi merasa wajah bayi itu tak asing baginya, bukan mirip ayah atau ibunya, tapi lebih mirip dengan Bagus saat terakhir kali ia tinggalkan.Setelah dirasa sudah tenang, Budi meletakkan bayi itu di atas ranjang kemudian menyelimutinya dan menutupnya dengan kelambu. Pandangan mata Budi beralih pada sosok wanita yang tengah tidur meringkuk disampingnya. Sejak melahirkan, tubuh Ningsih memang sangat lemah. Pendarahan hebat yang dialaminya sebelum persalinan membuatnya harus berjuang lebih keras untuk melahirkan bayi dalam kandungannya. Awalnya Budi sudah pesimis jika keduanya memang bisa bertahan, mengingat Ningsih hanya bersalin di klinik kecil dengan alat sederhana. Tempat tinggal mereka yang berada di tengah hutan, membuatnya sulit membawanya ke rumah sakit. Namun Tuhan berkata lain, dengan perjuangan yang luar biasa akhirnya keduanya bi
Seorang wanita berjalan cepat melewati beberapa deret pintu kamar kos yang ia tempati sembari terus menahan bulir bening yang jatuh dari matanya. Ia membanting pintu kamarnya sangat keras sebelum mengambur ke ranjang untuk melepaskan rasa sesak didadanya. Ia tak peduli dengan suara panggilan dari teman-temannya diluar yang mungkin melihatnya masuk dalam keadaan kacau karena yang diinginkan saat ini hanya menangis hingga puas untuk meluapkan amarahnya.“Aghhh,,, sialan kau janda gatal!” geram Sila sembari terus membenamkan wajahnya ke bantal.Ia benar-benar menyesal pernah bermain-main dan menyia-nyiakan Tanto saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Walaupun berkali-kali ia memohon hingga rela menjadi hanya dekat sebagai teman, nyatanya saat ini Sila telah kalah dengan seorang janda beranak dua yang kini benar-benar menguasai seluruh mantan kekasihnya.Awalnya Sila mengira Tanto hanya menikahi Rini karena terpaksa sebagai pelampiasan atas kandasnya hubungan mereka. Karena pada ken
Budi mendudukkan bayi mungil yang baru saja menginjak hampir tujuh bulan pangkuannya. Badannya sedikit deman karena perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya. Terhitung hampir lebih dari seminggu ia dan Budi habiskan dalam perjalanan pulang baik jalur laut ataupun darat. Setelah lama menunggu Budi akhirnya mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah. Dengan menumpang perahu pembawa kayu milik kenalannya akhirnya ia sampai di kampung halamannya dua hari yang lalu.Memandang hiruk pikuk kampung yang sudah lama ia tinggalkan membuat Budi kembali mengingat kenangan masa lalunya saat ia masih berkeluarga dengan Rini. Sekelebat bayangan betapa menderitanya hidup Rini dan keluarganya terlintas saat ia melihat rumah yang dulu ia tempati yang sekarang dibiarkan tak terurus.“Mas, sini Rio biar aku yang pegang, katanya mau bersihkan rumah. Enggak enak kalo terus menumpang di rumah Mbak Farida,” ucap Ningsih mengambil alih bayinya.Tanpa menjawab Budi segera beranjak berjalan ke rumah lama ya