Tengah malam … Moreno baru terbangun ketika jam dinding yang ada di ruang tamu berdentang dua kali, “Oooh, shit! Sudah jam dua pagi rupanya, kenapa aku bisa ketiduran, sih? Seharusnya dari tadi aku mulai mencari informasi tentang Bitha! Bodohnya aku ini!” rutuknya dalam hati sambil turun dari ranjang dan bergegas mengecek ponsel. “Tapi lapar juga perutku ini, si Sharini bikin masakan apa, ya?” batinnya sambil berjalan ke luar kamar dan membawa ponsel.“Haii, sudah bangun? Sepertinya kamu capek banget, ya hari ini?” tanya Havika yang saat itu masih terjaga dengan sketsa desain-desain model baju buatannya yang berserakan di meja makan.“Kenapa nggak bangunin dari tadi sih, Vik?” sahut Moreno sambil melangkahkan kakinya ke dapur lalu mengecek isi lemari pendingin.“Sorry, aku tadi sebenarnya mau bangunin kamu, tapi sepertinya kamu capek banget, jadi aku biarin aja kamu t
Tiga hari kemudian … “Kak, kenapa kita ke pemakaman sih?” tanya Evan bingung. Saat itu, Evan memang sengaja datang ke Paris untuk menemani sang kakak menemui Tsabitha. “Aku juga nggak tahu, Van! Informasi yang aku dapat dari Tante Rossa kemarin, dia bilang kalau aku bisa menemui Bitha di pemakaman ini,” sahut Moreno sambil menyapu tatapannya ke seluruh area pemakaman. Di sana terhampar padang rumput yang luas dan datar dengan ribuan batu nisan yang tertancap dan berbaris rapi. Sementara mereka berdua berdiri di tepi jalan yang merupakan jalan pemisah antara area pemakaman yang satu dengan yang lainnya. Jalan itu sendiri berupa jalan beraspal yang halus, yang membentang di tengah-tengah area pemakaman, yang menghubungkan antara gerbang utama depan dan belakang. “Kak! Sepertinya itu mereka datang!” ujar Evan lantang sambil menunjuk ke sebuah mobil besar hitam yang berjalan ke arah mereka lalu berhenti di tepi jalan, di sebrang jalan, agak di belakang mobil yang di parkir Moreno tadi
“Mas Reno, ada sesuatu yang harus aku bilang ke kamu,” ujar Tsabitha dengan kedua bola matanya yang berkabut. “Kamu mau bilang apa, Sayang? Aaah, aku tahu … kamu pasti mau bilang ‘kan di mana anak kita. Iya, ‘kan?” sela Moreno dengan senyumnya yang mengembang, hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi dan putih. Laki-laki itu terlihat sangat bersemangat, karena sebentar lagi dia merasa akan segera bertemu dengan putranya. “Mas Reno, dengarkan dulu! Jangan sela perkataanku ….” Tsabitha mulai merajuk. “Oooh, oke, oke. Baiklah, aku akan diam dan menjadi pendengar yang baik, kamu mau bilang apa? Hmm …?” tanyanya sambil menatap kedua bola mata perempuan itu yang bulat, lekat. Tsabitha jadi salah tingkah dan cemas, Dia takut kabar buruk yang akan disampaikannya ini akan membuat Moreno murka, karena laki-laki ini sangat menginginkan anak mereka. “Begini ….” Tsabitha menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, dikuatkan hatinya untuk mengatakan berita bohong ini ke sang suami. Dia t
Di Paris … Sejak hari itu Tsabitha hanya fokus memikirkan kesehatan bayi kecilnya. Dari hari ke hari dia selalu memantau perkembangan Fabian yang dirawat dalam sebuah tabung incubator. Jari-jari mungilnya selalu menggenggam jari telunjuk sang ibu erat, saat Tsabitha memberikan ASI melalui pipet plastic yang diteteskan perlahan-lahan ke mulutnya, seolah-olah dia tahu kalau ibunya lah yang menyuapinya. Perempuan itu hanya bisa menangis haru setiap kali merawat bayi mungil itu, tubuhnya yang begitu kecil dan lemah dengan kabel-kabel yang menempel di sana sini, membuatnya selalu bertekad agar selalu kuat, kuat untuk putranya, agar si anak juga kuat dan bisa melampui semua rintangan ini. *** Sementara itu di Jakarta … Moreno lebih suka menyibukkan diri di kantor, pulang selalu larut malam. Sikapnya pun banyak berubah, tidak ceria atau jahil seperti dulu, laki-laki itu lebih banyak merenung dan tidak banyak bicara. Perubahan sikapnya ini mulai dirasakan oleh Mabella, apalagi sang suami
Beberapa hari kemudian ... "Dewi, jadi mulai hari ini. Ini adalah ruang kerjamu dan kunci mobil ini juga untuk kamu, karena saat ini kamu menjabat sebagai manajer operasional di kantor ini!" ujar Mabella sambil menyerahkan sebuah kunci mobil ke tangan Dewi—salah satu staff kantor yang naik promosi jabatan menjadi manajer operasional. "Ini bener, Bu Bella?" Mabella mengangguk sambil tersenyum manis. "Terima kasih, Bu! Sekali lagi terima kasih untuk promosi jabatan ini!" kedua bolamata Dewi berkilat terang. "Dari kemarin, saya kira ini semua cuma mimpi!" sahutnya sambil menyapu tatapannya ke seluruh ruangan yang dulu ditempati oleh Mabella. "Kamu nggak mimpi, Wie! Ini beneran, kamu berhak mendapatkan promosi ini, karena kamu telah loyal dan membuktikan kinerjamu selama bekerja di sini selama kurang lebih 6 tahun. Aku yakin, perusahaan keluarga kami jadi akan semakin maju dengan kiprah kamu di dalamnya!" "Bu Bella terlalu memuji, say--…" "Selamat siang!" Suara Dewi pun terhenti begit
Tiga bulan kemudian … “Pak Reno, selamat malam. Pak Reno belum pergi?” tanya Dewi dari balik pintu ruang kerja laki-laki itu, ketika dilihatnya ruang kerja pimpinannya itu masih menyala terang. “Yah, sebentar lagi aku pulang, kamu sendiri kenapa belum pergi? Kamu juga diundang, ‘kan?” Moreno balik bertanya sambil menyandarkan kepalanya di kursi kerja. “Saya sengaja berangkat dari sini, Pak! Karena lebih dekat, kalau saya harus balik ke rumah saya dulu, harus bolak-balik jauh banget! Makanya saya pas-in jam-nya berangkat dari sini,” ujar Dewi sambil masuk ke ruang kerja itu dan duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Boss-nya. “Saya boleh ‘kan duduk di sini?” tanyanya sambil menghempaskan pantatnya di kursi itu. “Silahkan!” jawab Moreno datar. Sejak pagi tadi sebenarnya Mabella sudah mewanti-wanti Moreno untuk pulang lebih cepat, karena malam ini mereka akan merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 2 tahun. Mabella senga
Lima tahun kemudian … “Waah, Bitha, terima kasih, ya, Sayang. Kita ini selalu puas sama hasil desainmu. Kamu itu emang selalu ngerti banget apa yang kita mau. Makasih banget, ya, Bith!” ujar salah satu perwakilan dari ibu-ibu KBRI yang tugas di Perancis. Siang itu mereka berkunjung ke rumah mode di mana Tsabitha bekerja.“Sama-sama, Bu! Senang bisa melayani ibu-ibu semua!”“Kita bener-bener puas lho, Bith! Awalnya kita nggak nyangka, lho. Kalau ada desainer asal Indonesia yang kerja di rumah mode Constantine ini! Memangnya sudah berapa lama kerja di rumah mode Constantine?” tanya ibu yang lain.“Sudah dua tahun, Bu!” tukas Tsabitha sambil mengulas senyum manisnya. Siang itu gadis itu sedang melayani pelanggan setia rumah mode Constantine yang merupakan ibu-ibu staff KBRI untuk Perancis, baik karyawan maupun para istri karyawan.“Saya juga suka sama desainnya Mbak Bitha, kelihata
“Tantee Bithaaa …!”Sesaat Tsabitha terpaku dan tubuhnya terasa membeku, ketika Fabian berteriak lantang memanggil namanya sambil berlari ke arahnya yang baru turun dari mobil bareng Lidya dan Surya di tengah halaman depan. Secara naluri, perempuan itu segera merendahkan tubuhnya, hingga berlutut agar tingginya sama persis seperti buah hatinya yang telah lama berpisah darinya. Tsabitha pun memeluk bocah kecil itu erat, ketika tangan-tangan mungil sang anak memeluknya pertama kali. Lama dia merapatkan tubuhnya ke tubuh Fabian, seakan-akan dia tidak ingin melepaskan pelukkan itu. Pelukkan yang selalu dirindukannya selama kurang lebih beberapa tahun ini.“Apa kabar, Sayang. Sudah besar kamu sekarang, ya. Semakin tinggi aja!” ujar Tsabitha sambil semakin merapatkan pelukkannya di tubuh mungil Fabian, saat itu Dedeh, babysitter yang merawat bocah kecil itu berdiri di belakang sang anak, sedangkan Lidya dan Surya berdiri di belakang Tsabi