Share

BAB 4 - ikhlas

“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu.

“Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih.

“Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...”

“Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha mencium pipinya. Namun, gadis itu segera mengelak, menghindari ciuman Moreno. 

Laki-laki itu jadi semakin penasaran. Apa permasalahan mereka begitu berat? Sampai-sampai Tsabitha menolak ciumannya yang selalu didambakan gadis itu selama ini? Bahkan kalau boleh jujur, Tsabitha suka sekali berlama-lama saling memagut bibirnya dengan bibir Moreno yang berwana merah muda. Dia bilang kalau bibirnya manis, seperti permen, makanya dia suka berlama-lama bermain dengan bibir sang kekasih.

“Kedua orang tua kita sebenarnya sudah merencanakan perjodohanmu ....” Moreno kaget ketika Tsabitha kembali bersuara, gadis itu lalu kembali terdiam.

“Per–jo–do–han? Perjodohanku sama siapa?”

“Samaaa--...”

Sesaat Tsabitha kembali terdiam, bibir mungilnya terasa berat untuk mengungkap semua. Dadanya pun terasa sesak, ditatapnya lautan biru yang membentang luas di depan, sementara Moreno masih menunggu apa yang akan diucapkan oleh gadis yang duduk di sebelahnya ini. Digenggamnya lagi tangan gadis itu lembut, dengan harapan dia tidak mengibaskannya lagi. Tsabitha pun menoleh dan menatap pemuda itu dengan kedua bolamatanya yang berkabut, riak kecil itu mulai menggantung di sana, ditarik napasnya cukup dalam, membuat Moreno jadi semakin penasaran.

Tsabitha menghela napas lagi seraya berkata, “Kamu akan dijodohkan sama ... Mabella Viviana Halim, putri pertama keluarga Pak Halim, rekan bisnismu!” sahutnya lirih, lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil, setelah menatap wajah tampan itu sesaat sambil menahan tangis di dada. Namun, tak dilepaskan tangan Moreno yang masih menggenggamnya lembut.

Suasana jadi hening, lidah Moreno terasa seperti tersekat, sementara gadis itu hanya bisa membisu dan menahan tangisnya yang hampir meledak. Disekanya kedua matanya yang mulai basah, dihela napasnya cukup dalam, kemudian keluar dari mobil dan beralih ke bumper depan mobil untuk menikmati sunset yang mulai turun sambil meluapkan tangisnya di sana.

Gradasi warna orange, kuning, biru dan hitam, menjadi sebuah gradasi yang sangat apik di atas sana. Sebuah mahakarya yang sangat agung yang selalu mampu membuat siapa saja yang melihatnya, menjadi merasa sangat kecil. Tsabitha mencoba menghentikan tangisnya yang sempat membuncah dan berusaha menikmati suasana petang seperti ini di tepi pantai. Meskipun banyak yang bilang kalau suasana petang seperti ini merupakan suasana peralihan dunia ghaib. Namun, hal itu tidak membuat nyalinya ciut.

Tiba-tiba tanpa diduga dari arah belakang ada tangan yang memeluk pinggangnya erat, rupanya Moreno yang saat itu sudah keluar dari mobil, memeluk gadis itu begitu erat dari arah belakang lalu membenamkan kepalanya di bahu kanan Tsabitha. Dibiarkan pemuda itu berbuat demikian, mungkin ini adalah kali terakhir Moreno memeluknya. Lama mereka terdiam, merasakan kehangatan yang menjalar di tubuh keduanya.

“Bitha, bilang ke aku, semua yang kamu bilang tadi itu, nggak benar, 'kan?”

“Kamu sendiri tahu 'kan kalau aku nggak pernah bohong sama kamu, semua yang aku katakan tadi benar. Oleh sebab itu--...”

“Tidak!”

Suara Moreno terdengar begitu keras di telinga Tsabitha, hingga rasanya gendang telinganya hampir pecah saat itu juga. Namun, gadis itu berusaha mengabaikan, karena pikirannya saat ini hanya berfokus pada perasaannya yang sangat terluka, hatinya terasa teriris ribuan pisau yang menghujam ke arahnya.

“Aku nggak mungkin melakukan semua itu, Bitha! Aku nggak pernah cinta sama kakakmu, Bella! Aku hanya cinta sama kamu, Bith! Tsabitha Humaira Halim!” ujar Moreno tegas lalu menciumi telinga dan leher gadis itu dan mempererat pelukkanya di tubuh sang kekasih yang padat dan berisi, membuat gadis itu jadi kesulitan bernafas dan menahan gelora di dada.

Ingin rasanya Tsabitha berbalik, merespon aksi kekasihnya itu dan memagut kembali bibir Moreno yang manis yang selalu menjadi candu baginya. Namun, simpul abu-abu di dalam otaknya masih berjalan normal, dengan cepat gadis itu melepaskan kedua tangan Moreno dan berbalik menjauh dari darinya.

“Jangan lakukan itu, Mas Reno! Jangan buat semuanya jadi semakin sulit! Aku nggak berhak atas dirimu lagi, aku nggak bisa memilikimu!”

Tsabitha mencoba menahan lagi tangis di dada yang hampir saja kembali meledak, sambil terus berjalan mundur menjauhi laki-laki itu. Namun, Moreno tidak peduli, Dia terus saja mengejar Tsabitha yang mencoba menjauhi dirinya.

“Tapi aku juga berhak untuk memilih siapa perempuan yang nanti akan aku nikahi, Bith! Begini saja, aku akan coba bicarakan soal ini sama Ayah dan Ibuku, aku akan pulang ke Jerman untuk membicarakan semua ini dengan mereka berdua, aku yakin mereka akan mengerti.”

Tsabitha menggeleng seraya berkata, “Jangan, Sayang! Tolong please, jangan lakukan itu. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, aku mohon dengan amat sangat jangan lakukan itu. Aku sudah ikhlas! Aku rela kalian berdua menikah,” sahutnya sambil mengusap matanya yang kembali sembab.

“Tapi aku nggak ikhlas, Bith! Bagaimana bisa aku membina rumah tangga dengan perempuan yang bahkan sama sekali nggak aku cintai? Aku hanya mencintai kamu, Bitha! Kenapa kamu maksa aku untuk menikah sama kakakmu?”

“Karena kakakku mencintaimu! Dia sangat mengagumimu! Kak Bella sudah tahu kalau dia akan jodohkan sama kamu!”

“Lalu ... kamu nyerah begitu saja, begitu mendengar kabar itu? Kamu nggak berusaha mempertahankan cinta kita? Mana Tsabitha-ku yang dulu? Yang selalu berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan miliknya? Mana, Bith?”

“Tsabitha-mu yang dulu sudah pergi, Mas. Dan kamu nggak akan menemukannya lagi,” sahutnya sambil menangis, tangisnya sudah tidak terbendung lagi.

“Apa kamu nggak bilang ke mereka kalau sebenarnya kita sudah pacaran? Hubungan kita serius! Hubungan kita ini sudah setahun lebih! Aku bahkan berniat untuk menikahimu! Aku serius! Lalu ... kamu ingin melupakan semuanya? Semua yang terjadi di antara kita, begitu?”

Teriakan Moreno terdengar begitu nyaring sambil terus berjalan ke arah Tsabitha yang berjalan mundur ke belakang. Gadis itu berusaha mempertegas hubungan mereka yang mulai ada jarak, karena rasanya tidak mungkin bisa mempertahankan hubungan ini, meskipun berat baginya untuk melepaskan laki-laki yang sangat dicintainya itu, yang selalu menjadi kembang tidurnya setiap malam.

“Nggak ada lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan kita ini, Mas! Jujur, sampai saat ini aku masih sangat mencintaimu, aku nggak mungkin bisa melupakan begitu saja atas apa yang terjadi di antara kita, tapi aku juga harus memikirkan kakakku yang lebih berhak akan dirimu.”

“Lalu ... kamu mengabaikan perasaanku, Bith?”

“Kamu kira, hal ini mudah bagiku? Hatiku juga sakit, Sayang! Sebenarnya aku juga berat melepaskanmu begitu saja untuk kakakku, tapi itu harus aku lakukan. Aku harus bisa ikhlas dan menerima semuanya, tolong mengertilah,” pinta Tsabitha mengiba sambil menyeka kedua matanya yang sembab.

Kedua bola mata gadis itu kembali berkaca-kaca dan pecahlah tangisnya yang tidak bisa lagi ditahan. Moreno berusaha mendekat dan ingin merengkuh Tsabitha dalam pelukannya. Namun, gadis itu menolak dan mencegah niat laki-laki itu dengan mengacungkan tangannya ke depan, agar dia jangan mendekat. Moreno pun hanya bisa mematung memandang kekasihnya ini dengan perasaan sedih.

“Asal kamu tahu, aku ini ibarat makan buah simalakama, kalau aku melepaskanmu, hatiku yang sakit, tapi kalau aku tetap mempertahankanmu, maka banyak hati yang akan sakit. Terutama kakakku yang kondisinya sangat lemah sejak dia masih kecil.”

“Apa kamu bilang? Kondisi kakakmu lemah?” Tsabitha hanya mengangguk kecil. “Apa maksudmu, Bith? Apa dia mengidap suatu penyakit yang mematikan?”

“Entahlah, aku sendiri nggak begitu ngerti," sahut Tsabitha sambil mengendikkan bahunya ke atas, "menurut Ibu, sejak lahir Kak Bella sudah mengidap kelainan jantung. Sejak kecil badannya ringkih, sering sakit-sakitan dan mudah sekali lelah. Oleh karena itu sejak kecil pula kami, maksudku ... aku dan kedua adikku sudah dibiasakan oleh Ibu dan Bapak untuk mengalah dan nggak mengganggu Kak Bella. Dalam keluarga kami, Kak Bella-lah yang nomer satu!”

“Jadi, kamu minta aku untuk menikahi kakakmu yang penyakitan itu?”

“Mas Reno!” Tanpa sadar Tsabitha berteriak cukup lantang, hingga membuat Moreno kaget.

“Oooh, maaf ! Tapi aku harus menyebutnya apa, Sayang? Kamu minta aku untuk menikah sama ... maaf, dengan perempuan yang mungkin nggak bisa memberiku keturunan, lalu masa depan seperti apa yang akan aku dapatkan? Dan sampai berapa lama aku harus bertahan dengan pernikahan seperti ini?”

“Kenapa kamu begitu pesimis dan kenapa kamu begitu yakin kalau kakakku nggak bisa memberikan keturunan? Bagaimana kalau ada mukjizat atau keajaiban yang terjadi pada keluarga kalian? Aku, aku akan selalu mendoakan kalian berdua,” sahut Tsabitha tulus.

“Tapi aku tetap nggak bisa melakukan ini semua, Bitha.”

“Aku mohon, Sayang. Please ….”

Tsabitha lalu bersimpuh di bawah kaki Moreno, diabaikannya ribuan pasir pantai yang menyentuh celana jeans dan sepatu sneaker kesayangannya. Dipegangnya kaki laki-laki itu, dia memohon dengan amat sangat agar Moreno bisa mengerti keadaannya. Diperlakukan seperti itu oleh gadis yang dicintainya, laki-laki itu jadi merasa sungkan. Bergegas Moreno meminta Tsabitha untuk berdiri dan menatap wajahnya lekat-lekat.

“Aku mohon, Sayang. Demi aku, demi cinta kita, menikahlah dengannya. Aku hanya nggak ingin melihat Kak Bella terluka dan sakit jantungnya kambuh. Kasihan dia, Sayang. Saat ini dia menaruh harapan yang cukup besar ke kamu,” pintanya penuh harap. “Kalau kamu jeli, kamu bisa melihat perubahan fisiknya, saat ini wajah Kak Bella terlihat semakin berseri-seri, nggak kuyu dan pucat seperti dulu. Makannya juga sudah mulai banyak, aku yakin, setelah dia menikah denganmu, kondisi fisiknya pasti akan berangsur-angsur membaik, mungkin saja, dia bisa sembuh.”

“Kenapa harus aku, Sayang? Kenapa dia nggak milih laki-laki lain?”

“Sejak kecil sampai sekarang, Kak Bella orangnya tertutup, introvert dan jarang bergaul. Maka nggak heran kalau dia jarang punya teman, sekalinya punya teman dekat, ternyata laki-laki itu malah selingkuh. Aku yang memergokinya, aku juga yang menghajar laki-laki itu seketika itu juga. Sejak saat itu Kak Bella jadi semakin tertutup dan enggan bersosialisasi dengan laki-laki manapun. Ibu dan Bapak benar-benar khawatir dan merasa cemas dengan kondisinya.”

“Jadi itu yang menjadi alasan kedua orang tua kita menjodohkan aku dengannya? Kenapa mereka nggak bilang dari awal?”

“Mereka ingin hubungan kalian berdua berjalan secara natural, sehingga nggak terkesan seperti dijodohkan, tapi ternyata ... kenyataan berkata lain, kamu malah jatuh cinta sama aku. Itulah mengapa Ibu sempat syok begitu memergoki kita berdua lagi jalan bareng kemarin di Mall.”

“Ya, Tuhan! Aarrhhggg! Kenapa semua ini terjadi padaku?!”

Jallal berteriak lepas, seolah-olah ingin melepaskan semua beban yang menghimpit tubuhnya. Sementara malam semakin gelap, hanya lampu depan mobil yang menerangi keadaan di sekitar mereka, dan tak satupun orang yang masih terlihat berkeliaran di sana, yang ada hanya suara gempuran ombak yang memecah di dinding batu dermaga yang semakin terdengar dengan jelas oleh mereka berdua.

“Mas, sudah malam, lebih baik kita pulang,” ujar Tsabitha sambil berjalan ke mobil.

“Bagaimana aku bisa pulang, Bith? Permasalahan kita belum selesai!

“Masih banyak hari, Sayang. Kita masih bisa membicarakan hal ini lagi besok atau lusa. Sekarang, aku ingin pulang, aku mohon antarkan aku pulang, aku hanya nggak ingin membuat Ibu dan Bapak lebih cemas lagi, hari sudah semakin malam.”

“Kamu benar, baiklah, ayo, kita pulang!”

Moreno segera menggeret tangan Tsbitha dan mengajaknya masuk ke dalam mobil, tak berapa lama kemudian mobil yang mereka tumpangi telah menghilang di telan keramaian jalanan ibukota. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, tak banyak kata yang keluar dari bibir keduanya, mereka hanya terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status