“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen.
“Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?”
“Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai.
“Apanya?”
“Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha.
Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?”
“Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsabitha, gadis itu jadi tidak nyaman. “Kakak juga mau sandwich?” Mabella mengangguk sambil menuangkan orange juice ke tiga gelas kosong yang disediakannya, lalu menyodorkan salah satunya ke Moreno.
“Hari ini kita awali pergi ke Menara Eiffel dulu ya, Bith!” ujar Mabella sambil menyesap orange juice-nya lalu memakan sandwich buatan sang adik, Moreno juga tampak lahap menikmati sandwich itu.
“Terserah Kakak aja, kemana aja, aku ikut! Aku ‘kan sudah minta ijin tiga hari nggak kerja,” sindir Tsabitha sambil menikmati sandwich buatannya sendiri.
“Kenapa nggak yang deket-deket sini aja dulu, sih? Kenapa harus yang jauh?” sela Moreno heran.
“Sayang, banyak orang yang bilang, kalau ke Paris dan nggak ngunjungi bangunan paling ikonik di kota romantis ini, yaitu Menara Eiffel. Sama aja belum ke Paris!”
“Iyaa … pendapat itu memang tepat! Tapi saranku, kalau mau ke Menara Eiffel itu, enakan malam hari! Nggak pagi-pagi gini!”
“Kenapa emangnya?” sela Mabella penasaran.
“Kamu nggak pengin ngabadiin momen keindahan suasananya? Itu Menara kelihatan bagus banget karena lampu-lampunya, ‘kan?” Mabella mengangguk, membenarkan ucapan sang suami. “Lampu menara itu biasanya, hanya nyala setiap satu jam sekali, dan hanya lima menit! Itu momen langka banget, ‘kan?”
“Iyaa … juga yaa, kalau gitu ganti jadwalnya deh!” sahut Mabella kesal.
“Tapi katanya ngantrinya juga lama lho, Kak!” Tsabitha menimpali ucapan Moreno.
“Ngantri sampai berapa lama?”
“Katanya sih kurang lebih hampir tiga jam, soalnya banyak turis yang datang ke sana, kan!”
“Yang bener?” Tsabitha mengangguk, meyakinkan sang kakak. “Kalau gitu kita butuh tenaga ekstra nih kalau mau ke sana!” ucap Mabella antusias.
“Ya, nggak papa lah! Seumur sehidup sekali, ‘kan?” sela Moreno. “Sebenarnya yang paling asyik, kalau mau menikmati Menara Eiffel, kita bisa ngelihatnya di Champ de Mars!”
“Apa itu, Sayang?” Mabella jadi semakin penasaran dengan cerita suaminya.
“Area itu macem ruang terbuka hijau, jadi kita bisa nyante di taman itu sambil lihat keindahan Menara Eiffel dari jauh atau bisa selfie dengan background Menara Eiffel. Seru, ‘kan?”
“Bener juga ya! Kalau gitu, abis naik ke Menara Eiffel, terus kita nongkrong di Champ de Mars, gimana? Hmm … kalau gitu pas malam Senin aja ke sananya. Bukan begitu, Bith?” ucap Mabella lagi.
“Terserah, Kakak aja! Aku ikut aja,” sahut Tsabitha sambil memberesi piring dan gelas kotor lalu mencucinya di bak cuci piring.
“Kalau gitu, gimana kalau pagi ini kita ke Arc de Triomphe de l’Etoile!” sela Moreno.
“Apa …? Susah amat namanya, kamu tahu itu, Bith?”
“Itu macem monument, Kak. Yang bentuknya kayak gapura gede itu lho, Kak!” jelas Tsabitha sambil membersihkan meja dapur dengan cairan disinfektan. “Itu monument penghargaan orang-orang yang berjuang untuk Perancis, khususnya, yang berperang selama Perang Napoleon dulu.”
“Oh, gitu! Ya udah, yuk sekarang kita berangkat! Udah beres semua, ‘kan?”
Pagi itu Moreno, Mabella dan Tsabitha memulai tour keliling Parisnya dari Arc de Triomphe de l’Etoile, lalu berlanjut ke Louvre, salah satu museum terbesar dan paling terkenal di dunia. Berbagai karya seni dipajang di sini, mulai dari seni antik hingga seni renaissance. Bangunannya pun punya daya tarik tersendiri, seperti piramida gelas di area lapangannya dan pernah menjadi objek utama dalam film fenomenal 'The Da Vinci Code' yang dibintagi Tom Hanks. Banyak orang yang bilang, tidak cukup waktu satu hari saja untuk mengelilingi tempat yang dibuka sebagai museum pada tahun 1793 ini. Ada lebih dari 30.000 objek dari zaman pra-sejarah sampai abad 19 yang harus dilihat dan dikagumi di sini, termasuk melihat lukisan asli Mona Lisa yang legendaris.
“Waaah gila! Baru dua tempat kita kunjungin, tau-tau udah sore gini!” ujar Mabella sambil berjalan di sepanjang pasar loak St. Oen yang mereka kunjungi, bersisian bareng Tsabitha, sementara Moreno mengekor di belakang kakak beradik ini.
“Yaa … gini, deh. Kalau jalan-jalan di Paris itu emang nggak bisa sehari dua hari. Kalau mau melihat semua keindahan di kota Paris ini, kita harus liburan sebulan atau dua bulan, baru puas, Kak!” sahut Tsabitha.
“Iyaa bener banget kamu, Bith! Aku mungkin memang harus liburan berapa bulan di Eropa kali yaa. Biar bisa mengunjungi semua penjuru kota Paris! Iyaa, nggak, Sayang?” Moreno tidak menggubris ucapan Mabella, karena sedang asyik-asyik melihat-lihat benda-benda antik yang ditawarkan di sana.
Pasar St. Ouen memang disebut sebagai pasar loak, tapi banyak ratusan dealer yang menjual barang-barang antik dengan kondisi masih bagus. Salah satu yang menarik adalah koleksi baju-bajunya. Paris memang terkenal sebagai kota dengan selera fashion yang mengagumkan, dan penataan etalase toko di sini membuktikan pernyataan tersebut. Setiap display ditata begitu apik dan mengagumkan. Mulai dari butik fashion sampai toko kue, semuanya memiliki display yang ditata dengan citarasa seni yang tinggi untuk menampilkan produk-produk mereka secara maksimal. Sebuah cara yang murah bahkan gratis, untuk menikmati keindahan Paris.
“Bith, gimana kalau malam nanti kita dugem?” tanya Mabella sambil melihat-lihat barang-barang antik yang ada di depan mereka. “Mau ya, Bith! Soalnya Moreno nggak pernah mau kalau diajak dugem!” ujarnya lirih setengah berbisik. Tsabitha hanya tersenyum datar.
“Lagi ngobrol apa kalian berdua? Kok bisik-bisik gitu?” sela Moreno sambil memeluk istrinya dari belakang, membuat Tsabitha mulai tak nyaman.
“Ini lho, Sayang. Tsabitha pengin dugem, pengin clubbing nanti malam. Iya kan, Bith!” sahut Mabella sambil menyandarkan tubuhnya di dada Moreno dan memeluk tangan laki-laki itu yang melingkar di perut sambil memberikan kode ke Tsabitha dengan matanya.
“Bener begitu, Bith?” tanya Moreno yang matanya tak lepas menatap gadis itu lekat. Tsabitha jadi salah tingkah ketika mata mereka saling beradu pandang.
“Iyaaa, bener! Tsabitha pengin clubbing, Sayang. Tadi dia bilang ke aku. Kebetulan juga aku ‘kan belum pernah clubbing kalau ke luar negeri. Kemarin waktu di Abu Dhabi sama Jerman, kamu nggak mau ‘kan aku ajak clubbing!” Mabella pura-pura merajuk.
“Ooh, jadi ceritanya ini cari pasukan buat nyerang aku? Hmm …?” ujar Moreno sambil mencium pipi sang istri dari belakang, Tsabitha jadi semakin tidak nyaman melihat kemesraan mereka berdua.
“Iih, siapa yang nyari pasukan? Bitha itu juga suka clubbing! Dulu kami berdua suka clubbing bareng di Jakarta. Iya ‘kan, Bith!” Gadis itu mengangguk resah dengan senyum yang dipaksakan. Moreno bisa membaca gestur tubuh mantan pacarnya ini yang mulai tidak nyaman melihat kemesraannya dan Bella.
“Wah, ternyata kalian suka dunia malam juga!”
“Nggak setiap hari kok, Sayang! Paling sebulan sekali. Tapi itu dulu, dulu banget! Sekarang kita nggak pernah dugem kok! Kita udah lama yaa, Bith. Nggak pernah dugem!”
Tsabitha mengangguk membenarkan ucapan sang kakak. “Iya, udah lama banget,” selanya. “Iya, udah lama banget, Kak. Karena waktu itu aku lebih suka berduaan sama suami kamu, ketimbang sama kamu,” bathinnya resah.
“Oke, kalau gitu, nanti malam kita clubbing!”
“Serius …? Makasih, Sayang!” ujar Bella sambil membalikkan tubuhnya, mencium kedua pipi laki-laki itu dan memeluknya erat, Moreno hanya tersenyum tipis. Namun, matanya tetap melekat menatap Tsabitha. Gadis itu melengos, membuang tatapannya ke arah lain. Lagi-lagi dadanya sakit, desiran itu kembali terasa. “Yaa udah kalau gitu, aku jemput kamu jam 8 malam. Kita makan malam dulu, trus clubbing, gimana?” Tsabitha mengangguk kecil sambil tersenyum manis yang dipaksakan, saat Bella berbalik dan memegang tangannya.
***
Malam itu, Tsabitha bingung. Baju apa yang harus dipakainya untuk clubbing nanti malam? Dipilihnya satu per satu baju yang mungkin akan dipakainya, lalu dikeluarkannya semua baju-baju itu dari lemari kayu geser. Dicobanya baju-baju itu satu per satu dengan menempelkan ditubuhnya sendiri sambil bercermin di depan kaca riasnya yang besar. Namun, tidak ada satu pun yang cocok. Tsabitha sadar dengan bentuk tubuhnya yang seperti jam pasir, dengan ukuran pinggang kecil, tapi bagian dada dan pinggulnya yang cenderung besar dan berisi, dia memang bisa memakai berbagai model rok, terutama rok span yang mempertegas bentuk pinggang, tapi sedari tadi dia tidak menemukan model yang pas di hati.
“Tapi aku nggak mau pake rok span!” ujarnya sambil mematutkan diri di depan cermin. “Kesannya gimana gitu! Aku nggak mau mencari perhatian Mas Reno! Nanti dikiranya aku coba-coba cari perhatian dia! Ciiih, nggak sudi!” rutuknya kesal.
“Kalau gitu aku pake yang casual aja! Yang nggak gitu mencolok! Gimana kalau aku pake Spaghetti Strap Tank Top yang putih ini saja, ditutup sama blazer hitam yang pendek ini dan roknya A - line skirt abu-abu. Nah pas! Plus sepatu sneaker!” ujarnya sambil mengambil Spaghetti Strap Tank Top-nya dari dalam lemari. Sebuah tanktop yang menggunakan tali pengikat berukuran sangat tipis seperti ukuran spaghetti atau ukuran mie yang melewati pundak yang terbuat dari bahan spandex, sehingga membalut tepat di tubuhnya. Juga rok A – line skirt-nya yang mengembang di bagian bawah, sehingga memberikan kesan volume pada tubuh.
Berulang kali dia mematutkan diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya malam ini tidak norak dan tidak mencuri perhatian Moreno. “Kenapa aku harus mikirin apa yang bakal dipikirin Mas Reno tentang diriku? Emangnya dia itu apanya aku! Kok aku jadi bego gini sih!” rutuknya di depan cermin. “Sebodo! Apa yang dibilang Mas Reno, aku nggak peduli!”
Gadis itu segera turun ke lantai bawah dan menyiapkan sepatu sneaker kesayangan, setelah mengenakan blazer hitam yang menggantung di atas pinggang. Diliriknya jam tangannya sendiri, sudah hampir jam 8 malam. “Mereka pasti sudah menuju ke sini, Mas Reno ‘kan on time banget!” bathinnya sambil mengenakan sepatu sneaker. Tak berapa lama kemudian bel di pintu berdentang. Moreno dan Mabella sudah berdiri di depan pintu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen.
“Ayooo, kita pergi!” Tsabitha mengangguk dan segera berlari ke dalam mengambil tas selempang kecil yang tergeletak di atas meja.
“Tunggu!” Tiba-tiba Moreno berteriak keras sambil berjalan menghampirinya. “Apa kamu nggak punya baju yang lain?”
“Maksudmu …?” tanyanya bingung.
Laki-laki itu menelan ludah saat melihat area dada gadis itu yang sedikit terbuka di balik blazer hitamnya. Rupanya kerah Spaghetti Strap Tank Top yang dikenakan Tsabitha yang membentuk huruf U lebar, sedikit menampilkan gumpalan dadanya yang besar di bagian atas. Moreno tidak suka kalau gadisnya jadi perhatian banyak pria hidung belang yang nongkrong di club malam ini, laki-laki ini ingin Tsabitha menyadari hal itu.
“Ada apa sih, Sayang? Aku rasa bajunya baik-baik saja.” Mabella mencoba menetralkan suasana yang sedikit tegang.
“Apa kamu nggak lihat atasan yang dipakainya? Dadanya itu terlalu terbuka!” sahut Moreno kesal.
“Tapi aku ‘kan pakai blazer! Nggak kelihatan, kok!” Tsabitha juga ikut kesal, saat pria ini mulai mengkritik penampilannya.
“Udah lah, Sayang. Namanya juga mau clubbing. Lagian bagian dadanya ini nggak terekspose banget, kok! Kan udah ditutupi pake blazer. Roknya juga selutut, adikku ini memang sexy body-nya, tapi dia masih sopan kok dandanannya, nggak norak-norak amat, seperti yang lain kalau clubbing. Udah nggak papa, yuk!” Mabella segera menggandeng tangan Tsabitha dan mengajaknya keluar.
“Tapi Bell--…” Suara Moreno tercekat ketika kedua kakak beradik itu berjalan beriringan melintas di depannya sambil tersenyum manis.
“Mau ikut nggak?” goda Mabella sambil memegang handle pintu apartemen, hendak menutup pintu. Laki-laki itu hanya bisa mendengkus kesal, lalu beralih keluar dari apartemen.
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te
"Mister Moreno ada di kamar 1001, Nona bisa langsung ke kamarnya, Mister Reno sudah menunggu di atas. Nanti biar kopernya saya antar ke atas," ujar sopir Moreno yang asli dari Jerman, tapi faseh berbahasa Indonesia dengan logatnya yang cadel. Malam itu, Tsabitha dijemput oleh sopir suruhan Moreno, yang bernama Oscar dan mengantarkannya ke hotel Crowne Plaza, tempat laki-laki itu berada."Terima kasih, Oscar. Aku ke atas, ya!" sahut Tsabitha sambil membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.Malam itu hotel Crowne Plaza terlihat cukup ramai, rupanya rombongan turis asal China baru saja datang dan menginap di hotel tersebut. Sepertinya mereka ini rombongan piknik sebuah perusahaan, karena mereka tampak ramai-ramai foto bersama dengan sebuah spanduk yang dibentangkan di depan mereka. Tsabitha hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu-lucu, sambil melangkah gontai ke arah lift."Tsabitha, how are you?"
Turun dari pesawat, mereka bertiga segera meluncur ke hotel President Wilson yang terletak di jantung kota Jenewa, saat itu sudah hampir jam 2 pagi. Sebagai kota terpadat kedua di Swiss setelah Zurich, Jenewa merupakan kota metropolis kecil. Namun, terpadat di Romandy, bagian dari Swiss yang berbahasa Prancis, maka tak heran kalau tampilan dan suasana kota Jenewa sangat berbau Prancis. Baik dari bahasa, budaya, gastronomi, sampai rangkaian gedung yang berada di kota ini."Waah, kotanya indah banget ya!" ujar Tsabitha kagum, ketika mobil jemputan dari hotel membawa mereka menyusuri jalanan di kota kecil Jenewa."Iya, ya! Keren euu!" Havika ikut menimpali sambil melihat ke sisi kanan kiri jalan."Swiss memang negeri yang sangat cantik!" sela Moreno sambil menoleh ke belakang, menimpali kekaguman kedua perempuan yang berada di belakang kursinya, "bahkan kalau