Pagi yang cerah mengawali hari libur kali ini. Tanggal merah yang tercetak jelas di kalender membuat siapa saja pasti melanjutkan untuk tertidur kembali. Namun, tidak bagi Anggi, semilir hawa dingin dari AC yang ada di kamar itu nampak membuat Anggi mengerjapkan mata perlahan. Dirasakan kepalanya yang masih terasa pusing dengan memejamkan kembali matanya. Tubuhnya pun ikut bereaksi menuntut sang tuannya untuk berisitirahat sejenak. Ia pun menyipitkan pandangan dan mulai mengamati suasana kamar itu, kamar yang tidak asing, tetapi jelas ini bukan kamar di kosannya.
Ia pun mulai mengarahkan posisi tidurnya ke arah kiri dan langsung terkejut bukan main saat netranya yang baru setengah terbuka mendapati sosok pria tertidur di sampingnya. Detak jantungnya seakan mendadak berhenti berdenyut dan suasana mencekam seolah menghantui. Ia menelan saliva sampai ia lihat Aditya mulai mengerjapkan mata dan mendapati dirinya yang ada di sisinya. Namun, buka
~~~~~~~~~~Serly Anandita, perempuan berusia 24 tahun itu berjalan menuju ke arah Anggi dan Aditya dengan percaya diri. Ia harus benar-benar terlihat natural dan harus membantu sahabatnya kali ini. Beruntung, ia pernah mengikuti kelas akting saat casting untuk beberapa iklan produk dan FTV."Aditya, bener Aditya, 'kan? Akhirnya setelah ke mana-mana aku bisa bertemu denganmu lagi." Serly langsung memeluk Aditya walau pria itu sontak saja melepaskannya. "Nomermu sudah tidak aktif, aku mencarimu selama sebulan ini. Kamu ke mana saja, Dit? Aku menunggumu selama ini di Galatix Club," ujarnya dengan wajah memelas yang dibuat-buat.Pria itu mengernyitkan alisnya dan berkali-kali mencari nama Sherly dalam ingatannya. Namun, beberapa kali Aditya mencari memang nama itu tidak ia temukan. Itu artinya, ia tidak kenal dengan perempuan di depannya ini. Bahkan ia sudah lama tidak pergi lagi ke kelab, cukup lama juga ia tidak pernah berhubungan de
~~~~~~~~~Dua hari berlalu, Aditya masih terbaring di ruangan berukuran 35 meter persegi dengan dominasi warna putih serta aroma obat yang khas. Selang infus masih terpasang di pergelangan tangannya. Mata itu juga masih terpejam rapat dan seolah belum puas tertidur sedari tadi.Ia memang sudah dipindahkan di ruang perawatan, hanya saja kondisinya masih sangat lemah beberapa kali. Sedangkan Anggi masih setia menunggu Aditya walaupun bergantian dengan Reno. Kini, ia duduk di kursi sebelah ranjang pasien Aditya, menatap wajah lemah didepannya dengan sedih. Wajahnya pucat tidak seperti yang biasa ia lihat sehari-hari. Ia juga masih tidak percaya bahwa Aditya memiliki penyakit tersebut."Kamu, siapanya? Namamu siapa?" tegur seseorang.Suara bariton itu sontak saja mengagetkan Anggi. Ia menoleh ke sumber suara dan didapati Reno tengah berada di ambang pintu ruangan VIP itu. Namun sosok Reno mata Anggi adalah sosok pria yang lembut dan mu
~~~~~~~~~Satu minggu berlalu, Aditya telah kembali menjalankan kewajibannya sebagai owner sekaligus CEO di Artha Group. Kesibukan yang tidak mampu tertunda lama membuatnya harus kembali berkutat dengan pekerjaan walaupun kesehatannya belum benar-benar pulih. Perusahaan telah melakukkan ekspansi besar-besaran, itulah yang membuat Aditya harus mengawasi seluruh kegiatan kantor. Ia tidak ingin kecolongan lagi dan tidak akan membiarkan siapa pun termasuk karyawannya melakukan hal yang paling ia benci, yaitu penghianatan.Kini, pria itu tengah duduk di kursi kebesarannya dengan nyaman. Menatap layar laptopnya dan fokus ke beberapa file pekerjaan. Hingga, di tengah-tengah ia memeriksa dokumen, sebuah ketukan pintu terdengar di telinga."Masuk," titahnya.Dan nampak Marco di ambang pintu ruangannya. Ia pun segera masuk sembari membawa seorang perempuan yang tidak asing di mata Aditya. Pria itu menatanya tajam bahkan langsung
~~~~~~~~~Senja telah menunjukkan atensinya sore ini. Langit nampak sangat indah dengan sentuhan warna jingga bercampur biru mengagumkan. Aditya tengah merenggangkan badannya setelah cukup lama berdiam menatap laptop berlogo apel itu demi memeriksa beberapa deret angka dan huruf yang setiap hari menyambutnya. Namun, nampaknya kegiatan bersantai itu tak mampu bertahan lama ketika sosok perempuan masuk ke ruangannya dengan membawa sebuah dokumen di pelukannya."Pak, ini data terakhir yang perlu Pak Adit tanda tangani," ucap Anggi sembari meletakkan satu buah dokumen di map bening pada Aditya.Aditya mengembuskan napas panjangnya. Ia benar-benar sudah muak dengan dokumen-dokumen pekerjaan itu. "Kamu bisa bawa ke rumah saja 'kan? Biar nanti di rumah saja saya periksa semuanya," ujar Aditya."Oh baik, Pak," timpal Anggi menarik kembali dokumen itu ke dalam pelukannya."Oke, ayo pulang. Sudah waktunya pulang."Ang
~~~~~~~~~~Beberapa hari berlalu, kedekatan Aditya dengan Anggi tampak semakin erat. Walau di area kantor mereka bisa bersikap profesional seolah hanya sebatas atasan dan bawahan. Namun, jika sudah terlepas dari beban pekerjaan semua mengalir apa adanya. Banyak canda tawa yang muncul, banyak momen yang mungkin tidak akan pernah dilupakan. Semua berjalan dengan semestinya tanpa halangan berarti.Ruangan meeting pagi itu sudah cukup melewati beberapa perdebatan atas segala aktifitas untuk kemajuan perusahaan. Setelah akhirnya rapat pun selesai dengan keputusan dari Aditya, pria itu segera pergi dari ruang meeting tersebut menuju ruang kerjanya yang tetap terus di dampingi oleh Anggi. Namun, tiba-tiba pergelangan tangan Anggi dicekal oleh seseorang. Ia menoleh ke arahnya, dan di dapati Sandra di belakangnya. Sontak saja Anggi terkejut dan tidak mengerti apa tujuan perempuan itu menariknya agak kasar. Sandra segera mengajak Anggi menjauh dari Adit
~~~~~~~~Anggi masih menangis di ruang kerja Aditya. Dadanya terasa sesak berikut oksigen yang seolah hilang begitu saja membuat jalur pernapasannya sedikit terganggu. Ia mengutuk diri sendiri berkali-kali. Mengutuk kebodohannya yang terlambat jujur pada Aditya.'Kenapa jadi begini? Aku baru saja merasakan kebahagiaan itu. Kenapa semudah ini hancur berantakan? Kenapa?' Gerutu Anggi sedari tadi."Puas kamu, Nggi!" Suara Sandra nampak menggelegar membuat Anggi semakin tertohok.Sandra melangkahkan kaki kembali ke arah Anggi yang sedari tadi bahkan belum keluar dari ruangan milik Aditya. Ia tarik tubuh itu hingga berdiri sejajar dengannya dan memaksa perempuan itu menatapnya."Puas kamu sudah menyakiti hati Aditya? Puas sudah membuatnya seperti ini? Kamu memang nggak pantas dikasihani! Aditya bahkan sampai menganggapku tidak ada, hanya untuk kamu! Tapi lihat bahkan rasa terima kasih saja nggak pernah bisa kamu ucapka
~~~~~~~~~Langkah kaki yang gontai dengan perasaan kacau membawa Anggi tepat di depan perusahaan Metropolitant Post. Ia menghapus air matanya yang sedari tadi tak bisa dihentikan. Namun, percuma saja karena mata sembabnya tidak bisa tertutupi dengan sempurna. Ia berjalan cepat menuju kantor itu dan tujuannya adalah menemui Dimas. Ia tepiskan segala suara para pegawai lain yang memanggilnya, fokusnya hanya satu, ruangan manajer direksi.Brak!Suara pintu terbuka tanpa sopan itu mampu membuat Dimas dan satu orang di dalam ruangannya seketika menatap ke ambang pintu."Pak Dimas!" Suara Anggi yang meninggi sudah ia lontarkan dan tampaknya mampu membuat beberapa karyawan menelisik penasaran. Beruntung ruangan Dimas memiliki bilik tertutup. Bahkan aktifitas di dalam tidak akan diketahui siapa pun jika pintu itu tertutup.Dimas justru menatap perempuan itu dengan santai bahkan ia masih mampu menarik bibirnya untuk
~~~~~~~~~Malam semakin larut, tepat pukul sepuluh malam Aditya masih tertidur di sofa panjang miliknya. Sejenak ia melupakan bahwa Anggi masih ada di apartemen miliknya. Pusing di kepala terasa lebih berat karena kebanyakan menenggak alkohol sedari tadi. Hingga, suara lirih perempuan nampak terdengar di telinga. Namun, karena suara itu sangat lirih Aditya kembali menepiskannya dan melanjutkan tidurnya. "Mas Adit ... Mass Adit," panggil Anggi.Merasa tidak ada jawaban dari sosok Aditya, perlahan kakinya turun dari ranjang. Ia menahan diri dengan berpangku pada dinding kamar itu. Perlahan ia berjalan dengan menahan rasa ngilu di kakinya menuju ke arah Aditya. Namun, sial, ia terjatuh saat salah prediksi untuk melangkah."Aduuhh!" keluh Anggi dengan suara yang cukup tinggi karena memang kaki itu terasa lebih ngilu.Aditya langsung terlonjak saat mendengar pekikan itu. Ia pun terduduk di sofanya dan mengedarkan pand