Share

8-MAKAM

last update Last Updated: 2022-11-07 12:11:56

Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.

Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.

Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.

Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.

Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.

Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini sudah benar-benar diluar nalar, dan tidak mungkin ada orang yang percaya atas apa yang aku alami sekarang.

“SATRIAAAA!”

Aku kembali berteriak di tengah hutan, langkahku semakin lama semakin cepat. Nafasku yang berat tidak menghalangiku untuk berlari untuk mengambil Ayu kembali, karena aku tidak mau Ayu menjadi korban atas ulah dari ayahnya sendiri yang sudah meninggal.

Pohon-pohon tinggi yang berada sisi kiri dan kananku aku lewati sebisaku, pohon yang umurnya sudah ratusan tahun yang dipenuhi oleh lumut dan tumbuhan liar yang muncul di sekitarnya, menciptakan sebuah aura mistis yang kental terasa olehku ketika aku berlari mengejar Satria yang ada di depanku pada saat itu.

Aku yang kelelahan, dengan rasa perih yang terus-menerus aku tahan sekuat tenaga terlihat terburu-buru, meloncati batu, menundukan tubuhku di antara batang-batang pohon tumbang yang menghalangi jalanku.

Bahkan, terkadang aku harus melewati lumpur yang membuat kakiku perih karena banyak sekali kerikil dan lumpur yang menyentuh kulitku yang masih terluka setelah aku menginjak potongan kaca bingkai sewaktu dirumah tadi.

Aku terus berlari dan berlari, mencoba mendekati Ayu dengan teriakan-teriakan yang menggema di seluruh hutan, sebuah teriakan yang keras agar Satria tidak membawa Ayu dan menerornya lebih dari ini.

Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku seperti tidak bisa mendekati Satria meskipun aku sudah mengeluarkan sebagian besar tenagaku untuk mendekati mereka.

Satria masih terus melayang di antara pepohonan hutan yang lebat itu, menyeret Ayu dengan paksa dan tanpa ampun. Bahkan beberapa kali kakinya tersandung batu, tubuhnya yang terbentur batang pohon, bahkan rambutnya yang tersangkut semak-semak berduri yang ada di hutan.

Aku dengan jelas melihat tubuh Ayu seperti barang yang sudah tidak dia butuhkan lagi, dia sudah benar-benar tidak peduli dengan kondisi Ayu pada saat itu. Tangan dan kaki yang memar dan penuh luka, bahkan kini kulitnya robek dengan darah yang mengucur di kakinya.

‘kenapa?’

‘kenapa?’

‘kenapa aku tidak bisa mendekati Satria?’

Nafasku benar-benar terengah-engah sekarang, entah mau dibawa kemana Ayu sekarang. Dia terus-menerus melayang di antara pepohonan hutan yang gelap itu. Melewati semak-semak hutan, menembus rimbunnya hutan rimba yang menjadi pembatas desa, tanpa peduli bahwa anak yang dia cekik sekarang sudah tidak berdaya lagi.

Hingga akhirnya, aku benar-benar sudah mencapai batasku sekarang. Aku benar-benar lelah, aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk mengejar Satria yang sedang membawa Ayu entah kemana.

Aku bahkan menundukan tubuhku, mencoba menahan kakiku sendiri dengan kedua tanganku agar aku tidak ambruk di tengah hutan yang gelap ini.

Aku benar-benar kecapean, nafasku semakin berat. Keringat dingin yang awalnya muncul karena ketakutan ku kini mulai berganti dengan keringat disertai oleh tubuhku yang panas karena kecapean.

Hah, hah, hah,

‘Kamu benar-benar keterlaluan Satria, benar-benar keterlaluan!’

‘Mau dibawa kemana anakmu i......’

Aku bergumam sambil menundukan wajahku, anu benar-benar mengutuk tindakan Satria sekarang, sesosok wujud tanpa tubuh yang meneror kita berdua dengan sangat mengerikan. Membawa Ayu yang merupakan anak satu-satunya untuk dia bunuh dan mati bersamanya.

Namun, ketika aku mengucapkan kalimat selanjutnya, aku kembali kehilangan Satria. Aku kembali lengah, sehingga aku kehilangan jejaknya lagi sekarang.

Argggghhh!

Aku mengeram dan mengepalkan kedua tanganku dengan emosi yang memuncak. Sebenarnya, ada apa dengan mereka berdua, kenapa Satria bisa berbuat seperti ini dengan anaknya sendiri.

Aku menghirup nafas panjang, mencoba melangkahkan kakiku kembali melewati hutan yang lebat itu. Aku berusaha mengira-ngira kemana Satria membawa Ayu pergi sekarang. Aku mengamati jejak kaki Ayu yang terseret ke tanah, juga posisi bulan yang bisa membantuku berjalan dengan sinarnya yang masih terlihat redup.

Hutan dari tanah gambut yang penuh akar itu tidak menyurutkan ku untuk berhenti kembali. Aku terus menyusuri hutan di kegelapan malam.

Hingga akhirnya, sebuah cahaya terang terlihat. Sebuah cahaya dari sinar bulan yang menyala dan tidak tertutup pepohonan hutan kini berada tidak jauh dari tempatku berjalan.

Aku semakin mempercepat langkahku, aku tahu bahwa itu adalah jalan keluar dari hutan ini, hutan yang sangat gelap, rapat dan rimbun juga menyeramkan apabila kita masuki pada malam tiba.

Krosak, krosak, krosak

Semakin cepat, aku melangkahkan kaki, maka semakin cepat pula aku akan keluar dari hutan ini.

Namun,

Tepat aku menginjakan kakiku di dekat hutan, aku mendadak berhenti. Tatapanku kini menatap lurus ke sebuah makam yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri.

Sebuah makam yang baru saja ada disana dalam beberapa hari ini.

Makam dari Satria, makan suamiku yang kini menerorku pada malam ini.

Juga…

Tepat di atas makan tersebut, Ayu tampak sedang berjongkok di bawah sinar bulan yang tepat menyinari dirinya. Rambutnya yang panjang kini terurai menutupi sebagian wajahnya.

Darah merah yang segar masih terlihat dengan jelas, darah yang muncul dari luka-luka yang dia terima ketika dia dibawa oleh Satria sewaktu berada di dalam hutan.

Bahkan kini, aku bisa dengan jelas melihat ada darah segar yang mengucur dari kepalanya, juga mulutnya yang terlihat berdarah seperti habis memakan hewan yang berada di dalam hutan.

Dia sadar, bahwa tak jauh darinya ada aku yang sedang berdiri menatapnya. Bahkan, dia tiba-tiba memiringkan kepalanya dan menyeringai kepadaku pada saat itu.

Mulut Ayu tiba-tiba terbuka, dia berbicara kepadaku dengan nada suara yang berbeda.

“Minah!”

Posisi yang awalnya berjongkok di tengah makam tiba-tiba berubah menjadi merangkak di atas makam, kedua tangannya kini dia letakan ke tanah dengan posisi kepala yang dia condongkan ke arahku.

“Kau tahu kan, bahwa kamu tidak boleh mencampuri urusanku dengan anak ini?”

“Karena, kalau tidak…”

“AKU AKAN MEMBUNUHMU JUGA!” katanya sambil melompat ke arahku yang sedang berdiri disana dengan tatapan matanya yang melotot tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   EXTRA BAB-AKU (PENULIS)

    Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   110-WANITA TUA

    Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   109-PENJELASAN

    Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   108-PAGI TIBA

    Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   107-USAHA TERAKHIR

    Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   106-TENAGA YANG TERSISA

    ‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status