Share

2. Sumpah Ibu

Mereka tinggalkan aku dalam keadaan tak karuan di kamar Kak Rana ….

Tak taukah keluargaku, melihat ranjang itu saja hati terasa disayat.

Susah payah kutarik diri bangun, merapikan pakaian yang sudah tak berbentuk karena sebagian robek.

Langkah tertatih merasakan perih dan nyeri di sekujur badan. 

Sampai di ambang pintu makin jelas terdengar suara mereka ribut di dapur. Suara Kak Rana, lelaki itu juga Ibu. Keributan oleh kejadian di siang bolong ini seperti badai menerpa keluargaku. Kak Rana menangis, Ibu apalagi, terdengar sangat menyakitkan.

Mereka saling lempar kata kasar, ada namaku disebut, juga lelaki Jahan** itu. Namun dia terdengar mati-matian membela diri.

“Maafkan abang … harusnya abang nolak, Sayang. Abang ….”

Aghh! Air mataku makin deras mengalir. Mau perlihatkan kebohongan Bang Jordi, tapi aku tak punya bukti. Ibu dan Kak Rana juga tidak percaya padaku.

 Meski gemetar, kaki terus melangkah ke kamarku. 

 Allah … akan seperti apa masa depanku nanti …?

 Ketakutan mendera, memenuhi rongga kepala, tapi aku harus menghadapinya. Tapi kupaksakan diri bergerak, berganti pakaian layak. Aku tekadkan harus berbuat sesuatu sekarang juga. 

Kerudung sudah terpasang, gemetar jari jemari merapikannya. Tujuanku akan ke Polsek yang tak sampai setengah jam dari sini. Aku masih bisa naik motor sampai ke sana. 

“Heh! Mau ke mana kamu?!” Langkahku yang diam-diam akan keluar rumah terhenti mendengar bentakan kak Rana.

Terasa kerudungku ditarik dari belakang sampai hampir terlepas.

“Kak?!”

Aku berbalik akan melawan, tapi rambutku terus ditarik kak Rana. Sakit sekali ya Allah, itu bekas terbentur kitchen set tadi.

“Sa-kitt, Kak!”

“Aku bukan kakakmu! Mau ke mana kamu, hah?!”

Kulihat manusia Jahan** itu mendekat bersama Ibu, mukanya terlihat tegang.

Plak!!

"Ditanya malah balas melotot tidak sopan!"

Bekas pukulan tadi masih amat perih, sekarang ditambah pukulan kak Rana lagi. Aku mundur, berpegangan pada sisi lemari hias berisi barang-barang koleksi Ibu.

“Kamu mau keluar dengan muka begitu? Sengaja mau bikin malu keluarga!” Kata-kata Kak Rana terasa menusukku. Beralih pandang kulihat Ibu juga memberiku tatapan tajam.

“Kak, aku-“

Dorongan kak Rana membuat tubuhku tersungkur ke belakang. Aku terduduk menyandari dinding.

“Kak-“

“Jangan macam-macam, ya. Pasti kamu mau bilang orang-orang! Heh, Sekar! Kamu yang godain Bang Jordi! Kamu sendiri yang beg*! Gatal! Semua orang bakal tau, kalau memang suamiku yang duluan dia yang datang ke tempat tidurmu, bukan malah kamu yang di tempat tidur kami! Kamu menikmati sampai ketiduran, ya kan?! Keenakan, kamu?! Dasar sok polos!”

Hatiku remuk mendengar tuduhannya. Kenapa Kak Rana menilaiku begitu …?

“Kakak salah! Aku korban, Kak. Bang Jordi pasti kasih aku obat-”

“Obat apa?! Mau ngarang cerita kamu!” sambar lelaki itu dengan suara keras.

“Ayo masuk!” Kak Rana menarikku kembali ke kamar.

“Kak, Bang Jordi itu jahat. Dia pembohong!!”

"Masuk! Sekar!!" Tak peduli apa yang kukatakan, Kak Rana mendorongku ke dalam kamar. Dengan cepat dia dibantu Bang Jordi menutup pintu dan menguncinya dari luar.

“Buu, tolong keluarkan aku, Bu! Dengarkan aku, Bu …!”

Kupukul-pukul pintu memohon pertolongan Ibu.

“Bu, tolong! Orang itu jahat! Dia yang harusnya dikurung, Bu!!”

Aku terhenti mendengar suara anak kunci. Mundur, saat Kak Rana mendorongnya kuat.

Brak!!

Pintu menganga lebar. Aku sempat lega, mengira Kak Rana berubah pikiran.

“Jangan harap kamu bisa keluar. Kamu mau Ibu mati berdiri karena malu? Dasar bod*h!!”

Hapeku di tempat tidur disambar kakak keduaku itu.

“Kak, hapeku!”

Pintu kembali ditutupnya tanpa sempat aku lari ke luar.

“Kaak! Buu!”

 “Kurung saja daripada mulutnya cerita sana-sini!”

Ya Allah … itu kalimat ibuku ….

Kenapa …?

Kenapa dia tega membiarkanku dihancurkan begini …?

Pukulanku pada pintu akan percuma, biar berjam-jam kulakukan, hanya akan lelah sendiri. Aku tahu Ibu sosok yang keras, Bapak saja dulu sujud di kakinya tidak pernah dimaafkan sampai sekarang, apalagi aku ….

Luruh badan terduduk, menyandari daun pintu tanpa daya. Air mata ini terus luruh, terasa sempurna bercampur dengan semua sakit di raga. Aku sudah hancur. Benar-benar hancur.

*

Entah berapa lama waktu terlewat, kesadaranku kembali. Mata ini membuka perlahan, mengerjap-ngerjap saat pandangan terlihat kabur.

Tak lama baru terasa pipi menempel pada sesuatu yang dingin. Ah, ternyata aku terbaring di lantai.

Mata melirik jam, jarum pendek menunjuk angka 5.

Ini sore ataukah pagi?

Enggan bergerak, ku biarkan air mata kembali mengalir mengingat buruknya nasibku. 

“Kenapa juga harus dikurung gitu, Bu. Kalau Sekar benar, dia berhak melapor. Pemerkos**n itu kejahatan besar.”

Suara Kak Winda …?! Segera kuusap air mata. Berusaha untuk duduk.

“Winda! Kamu mau ibu malu?! Muka ini mau taruh di mana kalau semua orang tau?!”

“Iya, tapi kita nggak adil, Bu. Jordi itu pasti yang salah!”

“Apa kakak bicara ada bukti?! Jelas-jelas Sekar ada di kamar kami, kalau itu di kamarnya aku bisa aja percaya," sahut kak Rana.

Rumah ini gaduh lagi dengan keributan Ibu dan dua kakakku.

Beranjak, aku memaksakan tulang kaki menopang badan berdiri, memukul-mukul pintu.

“Buka, bukaa!”

Langsung hening di sana.

Terus kupukul pintu. “Bukaa, Buu … Kak Windaa …!”

“Mana kuncinya, Ran?" Suara kak Winda. Aku mengusap muka penuh harap, Alhamdulillah ada yang akan memihakku.

“Kak Winda mau apa?” Nada ketus masih terdengar. Kak Rana benar-benar mau melindungi lelaki itu.

Menunggu mereka buka pintu kupaksa diri mendekati lemari, menarik kerudung yang segera kupasang.

“Apa kamu mau Sekar mati di dalam?”

Suara kunci, aku berdiri meremas jemari. Merasa gugup bercampur harap pada Kak Winda.

Pintu terbuka.

Wajah-wajah tegang melihat tepat ke sini. Aku terpaku sambil mengatur napas, melihat Ibu buang muka rasanya hati ini bertambah perih.

Lekas aku menyela tubuh mereka.

“Mau ke mana kamu?!”

Kak Rana menarikku, seperti dejavu aku kembali tersungkur dengan punggung menubruk tembok.

“Rana, jangan kasar! Lihat apa yang kamu lakukan sampai gini!”

Kak Winda membantuku bangun, melihat lebam di wajahku.

“Dia ini pasti mau keluar nyebarin aib, Kak!”

Kak Winda menatapku. “Bisa kita bicara di kamar kakak, Sekar?”

Kupandangi matanya sayu, lalu mengangguk.

“Sekar, Sekaar! Assalamualaikum.” Suara Yandi terdengar dari depan rumah. Aku refleks mau ke depan, tapi tertahan lenganku ditarik Ibu mundur.

Tergopoh Ibu ke depan, setelah beri pelototan tajam padaku. 

Yandi? 

Andai bisa aku lari ke depan, ceritakan semua yang terjadi padanya, tapi sekarang aku hanya pasrah mengikuti langkah Kak Winda yang merangkulku ke kamarnya.

“Maaf, Mas bisa keluar dulu?” Sebelum kami masuk dia meminta izin pada suaminya.

 Bang Evan langsung mengambil pakaian kotor di lantai, membawanya keluar kamar, aku tertunduk saat kakak ipar pertama itu melewati kami dalam diam. Dia beda dibanding Bang Jordi yang cegengesan.

Kusadari ini masih sore, mereka baru pulang, Kak Winda tampak belum berganti pakaian kerja.

“Duduk!”

Aku perlahan duduk di bibir ranjang, meremas jari yang terasa dingin.

“Kaka mau tanya, kamu jawab jujur!” Daguku dipegangnya, memaksa mata kami bertemu.

“Apa … kamu yang masuk kamar Kak Rana?”

Langsung panas bola mata ini, bersama sesak menyumbat di dada.

“… kak Windaa, aku benar-benar nggak sadar, Kak ….”

“Maksudnya kamu pingsan?”

Aku mengangguk. “Habis minum air yang dikasih Bang Jordi aku langsung ngantuk, Kak …,” isakku sudah tumpah. Kupakai lengan baju mengusap air mata.

“Harusnya kamu bilang dari awal, Sekar."

"Pasti gelasnya masih ada di dapur, Kak ...."

"Dapur sudah bersih kakak pulang tadi."

Tangisku jadi sesenggukan. “Gimana lagi aku bilang ... aku malah dipukul Kak Rana, dipukul Ibu … aku gimana sekarang, Kaaak?”

Kak Winda menarik tubuhku ke dalam dekapan, mengusap-usap punggungku. Terasa bahunya turut berguncang.

“Kak … aku mau laporin ini. Kita harus laporkan Bang Jordi ke polisi, Kak.”

Memegang pundakku Kak Winda melepas peluk, matanya basah menatapku sejenak. “Sekolahmu gimana kalo kamu lapor, De ...? Sebentar lagi kamu selesai. Kalau kejadian ini tersebar semua akan tau, dan-“

Napasku langsung memburu. “Kak Winda sama aja kayak Ibu!” Kudorong dadanya menjauh.

“Aku pikir Kakak akan bantu aku!”

Berdiri, gegas kubuka pintu kamar, ternyata sudah ada Kak Rana di depan pintu mengawasiku.

“Apa kubilang, Sekar ini memang nekat! Awas kamu bilang-bilang masalah ini! Semua akan hancur, Sekar! Hancur kita semua!!”

Kak Rana menangis seolah dialah yang jadi korban. “Nggak cuma kamu, tau, gak!” Mukaku ditunjuknya. 

“Aku! Rumah tanggaku! Ibu! Sekolahmu! Semua teman-temanmu, tetangga, orang sekota ini akan tahu! Keluarga kita bisa-bisa diusir! Dibenci orang!” Kak Rana terus luapkan amarahnya, kalimatnya terputus-putus sambil menangis, mulutnya menganga penuh sambil menepuk-nepuk dadanya.

Aku terpaku di tempat. Apalagi melihat Ibu dan Kak Winda tampak mendukung ucapan Kak Rana.

“Toko kain Ibu, gimana? Coba pikir! Gunjingan orang? Apa kamu nggak mikir itu juga, hah?!” ucap kak Rana berapi-api.

 Kenapa tidak ada yang memihak padaku …?

Mereka lebih memilih malu. Lalu membiarkan penjahat itu bebas tertawa.

Mana dia? Lihat, dia mungkin sudah keluyuran bersenang-senang, sementara kami semua hancur karenanya.

Dia pasti masih bisa tidur nyenyak. Sedang aku? Aib ini akan jadi masalahku seumur hidup!

“Dia itu penjahat, Kak. Harus dipenjara!!” teriakku. Entah kekuatan ini masih banyak ataukah terpancing kecewa pada keluarga sendiri. Mereka semua terlihat lemah.

Tubuh Kak Rana melorot, turun memegang betisku.

“Sudahi Sekar, sudah! Aku minta maaf atas nama Bang Jordi,” tangisnya meraung mencium lututku.

“Kak-“

“Cukup Sekar! Lakukan apa yang kamu mau, tapi kamu keluar dari rumah ini! Keluar dan kuanggap bukan anakku!!” Ibu menarik kak Rana menjauhiku. Lantas gegas melangkah ke dapur.

"Bu!" Aku mengejarnya. “Ibu kenapa, Bu ...? Sekar cuma mau buktikan Sekar nggak salah. Sekar gak kayak yang Ibu dan semua tuduhkan," suaraku menggigil, bicara sambil menahan luka fisik dan hati. 

Ibu berbalik, dengan tatapan tajam menusuk. Dadanya naik turun, dengan rona wajah merah padam.

“Ya kamu benar. Silakan, silakan pergi sana. Lakukan apa yang kamu mau. Memang kamu bukan anakku, Sekar Dewi. Jadi, aku bersumpah tidak akan peduli!!” Sambil berkata begitu Ibu menunduk, menepuk lantai keras dengan telapak tangan sampai tiga kali.

Kalimatnya laksana petir menyambar atas kepala, tubuhku langsung jatuh. Tulang-tulang terasa tak berfungsi.

Sebegitu marah kah Ibu sampai berucap sumpah …?

Apa aku jadi anak durhaka, yang akan sial karena sudah disumpahi Ibu? 

 

Bersambung....

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status