Share

3. Terpaksa Melanggar Janji

Pagi ini, saat masih jam lima lewat Kak Winda menegurku saat keluar kamar, aku sudah gendong tas dan mengenakan seragam.

“Sekar ke sekolah, Kak," sahutku saat ditanya.

 “Nggak libur aja dulu? Mata kamu sembab gitu.” Kacamata netral yang dipegang tadi kupasang.

“Gini nggak kelihatan, ‘kan, Kak Win?” Ku urai senyum, sedikit bergaya seperti biasa, seolah tak ada yang berat terjadi padaku sebelumnya.

 Wajah Kak Winda sesaat melongo melihatku.

“Hari ini ada ulangan, Kak, sayang kalau ketinggalan,” ujarku lagi sambil jalan menuju rak sepatu.

“Tapi, kok pagi-pagi sekali?”

Sepatu sudah terpasang, mendongak sebentar kulihat pemilik mata sipit itu masih menelisik gerak-gerikku. Di belakangnya ada Ibu baru keluar kamar, rambut ikal tebal Ibu yang berantakan menandakan Ibu baru saja bangun.

“Sekali kamu keluar rumah, jangan pulang sekalian, Sekar!” ancam Ibu dengan suara berat.

Ah, lagi-lagi wajah Ibu menampakan amarah, sama seperti kemarin sore. Diusapnya muka dengan kasar, seperti membuang sisa kantuk, lalu berkacak pinggang memandangiku.

“Bu … aku sudah janji nggak akan bilang siapa-siapa.”

Lebih dari janji, aku sudah bersumpah semalam tidak akan membuka aib ini, demi memohon Ibu menarik amarahnya. Perih hati terasa bertambah melihat amarah Ibu. Pilu dengan hancurnya masa depanku ini jadi berlipat-lipat.

Aku semalam sengaja mengalah, demi bisa tetap sekolah, demi maaf Ibu. Toh ini sementara, jika sampai saatnya aku pun pergi setelah lulus nanti.

“Biar bersumpah, kamu bisa saja bohong. Ibu sudah minta Jordi ceraikan Rana. Setelah dia pergi rumah ini akan kembali seperti semula. Kita akan anggap tidak pernah terjadi apa-apa. Masuk kamarmu sekarang, Sekar! Selesai urusan ini kamu baru boleh sekolah.”

“Bu … nilai Sekar-“

“Kamu peduli nilai apa keluarga ini?!”

Aku beranjak berdiri, tampak dari sini Kak Rana sedang duduk di kursi makan, menyeka air mata.

Tadi malam, saat Ibu mengusap kepalaku--setelah aku bersumpah akan menutupi aib ini--Kak Winda menyuruhku makan malam lalu masuk kamar. Karena kelelahan aku tertidur, sempat terbangun tengah malam terdengar suara ribut, tapi dengan nada ditahan, mungkin takut didengar tetangga.  

Apa suara ribut tadi malam Ibu menghadang Bang Jordi pulang, lalu minta ceraikan Kak Rana?

Kulihat kembali wajah Ibu yang tampak lebih tua, kantung matanya menggantung tebal.

Akan menurutinya, kembali aku duduk melepaskan sepatu.

“Sekar!” Yandi tiba-tiba muncul di selasar. Dia sudah memakai seragam juga.

“Yan-“

Ibu mendahuluiku, maju, bicara ketus pada Yandi. “Gara-gara gaul sama kamu Sekar ini banyak berubah. Pulang! Jangan dekat-dekat Sekar lagi!”

Astagfirullah, Ibu …?

Napasku seketika jadi berpacu cepat. Aku tak bisa terima Ibu bersikap semaunya.

Gegas kembali kupasang sepatu, lalu menyela tubuh Ibu, lari ke luar halaman.

“Sekar! Sekar!!”

Semua memanggil. Tak mau peduli kakiku terus lari kencang, menepis nyeri yang terasa di beberapa bagian tubuh.

Aku mau bebas! Ya, aku tak mau jadi boneka di rumah itu. Hidup diatur-atur semau Ibu!

Aku bukan Kak Rana dan Kak Winda yang sampai sudah menikah saja masih berlindung di ketiak Ibu!

Setelah melewati tanah kosong aku sudah masuk jalan besar HM Arsyad. Kuteruskan langkah, lumayan jauh lari sampai tenaga terasa hampir habis.

Aku ada tenaga karena sebelum Subuh tadi diam-diam aku keluar kamar, mencuri makanan sisa di dapur. Nasi dingin dan goreng ikan Saluang kulahap sepiring. Sekarang energi dari makanan itu terasa sudah habis.

Kuperlambat langkah sambil memegang perut yang terasa kram, napas megap-megap.

“Sekar! Naik!”

Ada motor berhenti tepat di sebelahku.

“Yan?!”

“Ayo!”

Aku lekas naik ke boncengan motor bebek Yandi.

“Kenapa kamu nyusul?” tanyaku terputus-putus.

Dari spion terlihat Yandi cuma melirikku sebentar, lalu fokus ke jalan. Dia mengarahkan motor lewat jalan pinggir sungai Mentaya, melalui pasar, lalu berhenti di parkiran Patung Ikan Jelawat, ikon kota kecil ini.

Pagar besi sedikit terbuka, kami menaiki tangga, jalan sampai pagar pembatas, melihat air sungai Mentaya sambil memegangi pagar besi bulat yang dingin dan sedikit basah.

“Pantas ibumu usir aku semalam, kamu pasti habis dipukuli lagi 'kan?” Dilihatnya pelipisku merah, padahal aku sudah sedikit menurunkan kerudung biar tak kelihatan, kacamata sudah kulepas saat lari tadi.

“Memangnya salah apa lagi? Kok kayaknya ibumu semarah itu,” tanyanya lagi.

Kulayangkan pandang jauh ke seberang, di kampung seberang sana dulu aku sempat tinggal sebentar bersama Bapak.

“Nggak papa, Yan ....”

“Apa kamu mecahin piring lagi?”

Bola mata ini perih. Panas. Tapi bibirku menarik senyum. Aku mengangguk lemah. Berbohong lebih baik daripada aku keceplosan cerita padanya.

“Bod*h! Makanya angkat piring itu sedikit-sedikit, jangan langsung.” Diambilnya tanganku yang terlihat jauh lebih kecil dibanding telapak tangan Yandi yang lebar.

“Tangan ini lembek. Payah. Mau pura-pura kuat, heh?”

 Ia mengejekku. Meluruhkan titik air mata ini saat aku mau tertawa.

Kutarik tangan, melipatkan di dada. “Aku nanti nggak akan pulang, Yan. Aku mau tinggal sendiri.”

“Bod*h, bod*h! Orang tua mana ada yang benar-benar marah sama anaknya, Sekar? Kamu liat mamaku hari ini marah besoknya sudah ketawa-ketawa bareng lagi. Itu mah keciil,” ujarnya sembari menyatukan ujung jempol dan telunjuk.

Ini beda, Yan … kamu aja yang nggak tau. Masa depanku sudah-

“Kalian mau bolos, hah?!” Seorang lelaki berseragam biru tua mendekati kami, di tangannya memegang pentungan.

“Bukan Pak. Ini mau ke sekolah, kok, tapi ke sini dulu mau lihat matahari terbit,” dusta Yandi sambil menarik ujung lengan seragamku. 

Kuikuti langkahnya turun tangga lebar ke parkiran di bawah.

“Yan, antar aku ke jalan Kembali, ya?”

“Mau ngapain?”

“Antar aja.” Aku naik ke boncengan, duduk menyamping.

Yandi menoleh ke sini sebelum menyalakan motor.

“Kamu mau bolos, Sekar?”

Kujawab hanya dengan gelengan dan senyum.

Motor kemudian melaju. Aku menutup mulut rapat biar pun Yandi bertanya banyak. Sampai di gerbang berwarna hijau aku minta berhenti.

“Sekar mau ngapain?” Yandi melihat ke atas, pada tulisan nama pekuburan umum.

“Sana ah! Kamu duluan aja. Makasih sudah anterin.” Kudorong lengan Yandi saat dia mau turun, setelah mematikan mesin dan pasang standar motornya.

“Aku ikut. Tega banget bolos nggak ajak-ajak.”

“Yee, siapa mau bolos.”

“Trus mau apa ke sini?” Cowok cungkring ini berpura-pura kaget sendiri. “Sekar, jangan, Sekar! Pliss, kamu masih muda. Jangan bundir di sini!”

“Ish! Mulai nge-drama! Lebay!" Kupukul tangannya yang menahan pundak saat aku melangkah maju.

“Jadi beneran mau bun*h diri di sini?”

Berbalik, kusepak tulang keringnya sampai Yandi mengaduh dengan kaki ditekuk.

“Aku mau ziarah bukan bunuh diri! Enak aja!”

“Ohh, kirain.” Dia malah meringis dengan senyum super lebar.

“Ziarah pagi-pagi?" Dia mengumam sendiri sambil melihat sekeliling yang masih sepi dan berkabut.

"Udah, sana, Yan. Nanti aku ke sekolah sendiri.”

“Enggak, aku tunggu di sini.”

Dasar ngeyel, dibilangi juga nggak bakal mempan, kutinggalkan Yandi yang masih berdiri di depan gerbang.

Menyusuri sisi beberapa makam tak terurus, sisa tanahnya sudah sempit dan penuh. Aku mengarah dekat tembok, tepat di bawah pohon Kamboja. Mataku fokus tertuju pada satu nisan.

Nuriyah binti Ahmad. Langsung berkaca-kaca mata begitu melihat namanya. Sesaat aku terisak sambil memegang nisan kayu bercat putih.

Ummi, begitu beliau kupanggil. Orang yang merawatku sejak bayi hingga kelas 6 SD. Perangai lemah lembut dan kuat ibadah, menempaku sejak kecil mencintai Allah dan rasul-Nya. Perempuan sederhana yang mendidikku melebihi anak sendiri, sampai jiwanya kembali ke pangkuan Rabb.

Aku pernah menjadi anak angkat Ummi yang dikenal sebagai ustadzah, guru ngaji cukup terkenal di sebuah masjid besar kota ini. Beliau menolong, merawat dan mendidikku saat kondisi jiwa Ibu labil. Itu terjadi saat Ibu hamil hingga melahirkanku.

Cerita itu aku tahu dari orang lain, kalau Ibu pernah berusaha menenggelamkanku dalam bak mandi sebelum diangkat anak oleh Ummi.

Aku tak percaya kata orang-orang itu, Ummi juga tak pernah mengiyakan kebenarannya saat kutanya, yang beliau bilang Ibu hanya sedang sakit.

Ummi pernah mau kembalikan aku pada Ibu saat kelas 4 SD, katanya Ibu sudah sembuh, tapi kutolak, karena tak mau pisah dari Ummi Nur.

Kurasa saat itu Ibu galak, setiap menatap matanya selalu terlihat berkilat. Aku pun pernah ketakutan dibentaknya. Namun, Ummi meyakinkanku kalau Ibu itu sebenarnya baik, asal aku juga baik padanya.

“Surga itu ada di telapak kaki ibumu, Sekar. Bagaimanapun kekurangannya. Ingat selalu untuk patuh dan mendoakan ibumu,” pesan yang selalu diulang Ummi tiap ada kesempatan, agar aku tidak melupakan Ibu.  

Kini rasa kehilangan kembali mendalam, bagai Ummi baru saja pergi, padahal ini sudah hampir 6 tahun lewat.

Di saat begini aku merasa kembali kehilangan tempat berpijak. Siapa yang bisa membantuku selain keluarga? Nyatanya keluargaku sendiri  tidak mau memihak padaku.

Mereka memintaku menyimpan aib yang katanya bisa menghancurkan kami. Tapi gimana denganku? Aku korban ... dan pelakunya melenggang bebas tanpa dituntut rasa bersalah.

“Ummi … Sekar rindu, Ummi ….”

*

“Hei, Sekar, dahimu kenapa?”

“Nggak papa, cuma kejedot." Aku sekarang sudah di kelas, tadi diantar Yandi tepat saat bel masuk. Dia pasti terlambat, karena untuk ke sekolahnya sekitar lima menitan dari sini.

Teman sebangku juga beberapa teman lain menanyakan sebab memar di dahiku, dan sudut mataku.

Diam, caraku mengelak dari pertanyaan mereka. Memar itu hanya secuil luka yang terlihat, sementara luka lain harus kusembunyikan, dan ... itu terasa amat pedih. Aku merasa mengasihani diri sendiri.

Beruntunglah teman-temanku, kesucian mereka masih terjaga. Tidak sepertiku ….

 “Sekar ke kantin, kah?” Teman di sebelahku bertanya lagi waktu lihat aku langsung berdiri begitu bell istirahat bunyi.

Aku menggeleng sambil melangkah keluar.

“Aneh banget, Sekar kenapa ya hari ini?”

“Au ah gelap!”

“Lagi PMS kali, biarin aja.”

Kasak kusuk mereka lihat aku banyak menutup mulut. 

Di luar, aku berpapasan dengan teman-teman dari kelas lain. Ramai. Ceria. Begitulah wajah-wajah mereka, tawa teman-teman terlihat lepas. Aku sangat iri melihat mereka baik-baik saja, masa depan mereka akan gemilang, mereka akan bahagia. Sedangkan aku ...?

Senyum kaku kusunggingkan saat disapa. Ah, tidak ada yang tahu jiwa ini sudah terserak berantakan. Hancur. Tidak ada yang bisa mengembalikan bentuknya utuh lagi.

Menuju ruang BK, langkahku awalnya yakin, tapi begitu sudah di depan mata langkahku jadi melambat.

Benarkah aku berani jujur?

Bagaimana kalau mereka menudingku sama seperti Kak Rana dan Ibu ...?

Aku juga akan melanggar sumpahku pada Ibu ….

Haruskah aku mengubur ini menjadi rahasia seumur hidup?

Isi kepalaku campur aduk. Menimbang-nimbang mana baik dan buruknya. Satu sisi ingin penjahat itu dihukum berat, jera, lalu tidak ada korban lain, karena luka ini ... akibatnya akan kutanggung sampai mati.

Ingin kuteriakkan. Biarkan orang tahu kalau aku adalah korban.

Tapi … gimana dengan Ibu?

Keluargaku …?

“Sekar, kenapa berdiri saja di situ? Ayo masuk.” Suara lemah lembut khas Bu Friskelly mengejutkanku. Ternyata kaki sudah membawaku sampai di ambang pintu.

“I-iya, Bu.”

“Duduklah.” Wanita berkulit kuning langsat, dengan tahi lalat di atas bibir ini mengarahkanku duduk tepat menghadapnya. Sepertinya beliau tahu aku ada masalah. Aku jadi makin gugup.

“Apa kabarmu, Sekar?” Ditatapnya mataku lekat, tak lupa senyum ramah sambil sekilas tercuri melihat bagian pelipisku.

Tatapannya membuatku segera menunduk. Jari saling meremas di pangkuan.

“Al-alhamdulillah, Bu …”

Kusungging senyum yang terasa kaku.

“Ada yang mau kamu ceritakan sama ibu?”

Kutahan napas, mata ini seketika panas. Kelembutan Bu Fris mirip Ummi ... pada sosok orang begini aku sangat sulit berbohong.

Ruangan khusus, ukuran 4x8 tempat murid menumpahkan beban hati ini kemudian menjadi senyap, hanya terdengar suaraku sesekali tertahan, lalu terputus-putus karena isak langsung tumpah.

Akhirnya, kulepaskan semua perasaan luka dalam dekapan hangat Bu Fris, yang tadi segera memelukku saat mulai terisak.

Mulut ini masih berucap, menyatakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.

Di rumah aku bisa berpura ceria, sebab melihat wajah Ibu, sebab berharap dia membelaku, tapi sama sekali tidak kudapatkan. Ibu seakan mau memasung kemedekaanku.

Pelukan Bu Fris ini memaksaku jujur.

Semua sudah terkatakan, hati ini terasa lega, dan kunantikan pertolongan Bu Fris selanjutnya.

Maaf, Bu ... terpaksa ku langgar janji. Aku sayang diriku, juga teman lain yang mungkin saja bisa menjadi korban sepertiku.

Jujur. Luka ini ... sangat butuh orang yang peduli. Peduli kalau aku adalah korban, dan ada pelaku yang tak boleh begitu saja melenggang pergi.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status