Share

SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)
SEKAR (Gadis yang Dinodai Kakak Ipar)
Penulis: Li Na

1. Noda dan Fitnah

“Bu, percaya Sekar, Bu ... Sekar nggak sadar-“

Plak!!

Tamparan keras Ibu layangkan ke pipi, membuat pandanganku mengabur.

"Siapa yang bisa percaya omonganmu, Sekar!'

Pipiku panas dan perih. Namun, lebih sakit sayatan luka di hati ini.

Gimana lagi aku bilang kalau aku nggak salah, Bu …? Aku korban ...!

~~*~~

Sejak beberapa bulan lalu aku memang merasa tak aman di rumah sendiri. Dimulai saat sikap kakak ipar terasa berbeda saat memandangku.

“Sekar ...?" Suatu hari Bang Jordi juga pernah tiba-tiba muncul di depan pintu kamar, membuatku yang tengah terbaring letih sepulang sekolah langsung terduduk.

Sontak aku merutuk, betapa bodohnya aku terlupa kunci pintu kamar. Biasanya pasti ku kunci setiap masuk, demi berjaga-jaga, apalagi jika cuma ada aku dan kakak ipar saja di rumah.

“Mau apa Abang?!” Panik aku melihatnya masuk, gerak cepat pasang kembali kerudung sekolah yang tadi sudah lepas.

Dia berjalan mendekat, menarik tanganku.

"Abang mau apa?!" teriakku keras.

“Udah, ayo, sini ke kamar abang!”

“Bang, jangan! Aku gak mau!” Berontak, aku berusaha melepas tangannya.

“Jangan apa, sih, Sekar! Ish, kamu ini, abang cuma mau minta dipijat. Perut kembung ni, masuk angin.”

“Gak mau, Bang! Aku nggak mau!" Kutahan badan di ambang pintu kamarnya, berpegangan kuat pada kusen. Tubuhku gemetar hebat karena takut. Air mata juga mulai jatuh.

Rumah lagi sepi. Ibu, dua kakak, juga satu iparku baru pulang kerja setengah lima nanti.

“Ayo, sini!!” Lengan bajuku ditariknya, hingga badan terseret ke dekat ranjang. Sampai di sini aku makin yakin, kakak ipar satu ini memang bukan manusia baik. Dia berniat jahat padaku!

“Aku gak mau, Bang!” Aku menggeleng, kalimat penolakan bercampur tangisku mulai pecah. Apalagi melihat lelaki itu langsung melepas bajunya.

“Beg*! Kamu pikir aku mau apa, hah?! Aku cuma mau minta tolong!” sentaknya sembari menarikku yang coba berlari keluar.

“Tolong pijat! Tuh, minyaknya ada di meja!” Tangannya mencengkeram lengan seragamku.

Tetap menolak, kugigit tangannya kuat, setelah lepas waktu tak kubuang untuk segera lari keluar rumah.

“Hei! Sekar! Sekar!!” teriaknya.

Tak mau menoleh ke belakang, aku terus lari menuju rumah teman yang tak jauh dari sini.

“Kenapa lari, Sekar? Ada hantu kah?” tanya kak Riri saat aku masuk pagar rumahnya dengan napas ngos-ngosan.

“Uhh ...! Enggak, kok, Kak ....” Kuatur napas. Setelah sedikit tenang aku bertanya, “Yandi ada kah, Kak?”

“Ada. Tuh sana!” Pakai mulut gadis berambut sebahu itu menunjuk halaman samping.

Aku permisi sambil mengusap sisa air mata, mendatangi cowok yang lagi memeluk gitar, tampak sesekali menulis di kertas.

Yandi suka membuat lagu dadakan, katanya hanya buat menghibur diri sendiri, tapi lagu ciptaannya menurutku bagus, mana suaranya juga khas ala-ala Afgan gitu. Yandi diidolakan banyak cewek di sekolah.

“Yan, sibuk gak?" Dia mendongak dengan kedua alis tebalnya terangkat melihatku.

“Eh, Sekar. Napa?”

"Tolong temanin aku, di rumah cuma ada Bang Jordi. Mana belum masak lagi buat sore."

Yandi menatapku sesaat, seakan tahu maksud permintaan tolongku Yandi pun langsung mengiyakan.

“Oh, oke, yuk!” Dia berdiri. Membuat tubuhku langsung terasa menciut. Puncak kepala hanya sebahunya.

Kami pamit pada Kak Riri di halaman depan. Jarak rumah Yandi ke rumahku hanya enam rumah, aku biasa minta tolong padanya begini. Saat aku takut diganggu Bang Jordi.

Aku dan Yandi baru masuk depan pintu sudah ditegur lelaki bertato naga di lengannya itu.

“Ngapain ke sini, Yandi? Mau ribut?" Wajahnya tidak suka melihat Yandi bawa gitar ke rumah.

“Main aja, Bang," sahut Yandi.

Aku langsung ke dapur.

“Awas kalau gojrang gojreng berisik. Aku lagi sakit kepala!” Pintu kamar terdengar dibanting, sedikit membuatku terlonjak. Untung gelas minuman untuk Yandi di tanganku tidak jatuh.

Apaan itu Bang Jordi! Katanya tadi masuk angin, sekarang sakit kepala? Orang aneh emang!

Ke depan, kutaruh gelas minum Yandi di meja.

“Yan. Kamu tetap di sini ya sampai Ibu pulang, aku mau masak dulu.”

“Yoi, santai aja.”

Aku bersegera ganti seragam dengan pakaian rumah sebelum ke dapur. Tentu masih memakai hijab instan lebar, kali ini warna hitam. Aku waspada tingkat tinggi juga efek takut pada suami kak Rana itu.

Ibu bisa marah besar kalau makanan malam belum siap saat pulang nanti. Setiap hari tugasku sepulang sekolah adalah masak.y Tugas yang diatur Ibu sebagai tanggung jawabku.

Makanan dibuat untuk 6 orang penghuni rumah.

Ibu memang melarang kak Rana dan Kak Winda pindah dari rumah ini walaupun sudah menikah. Jadi, kami tinggal bersama dua orang asing yang tak lain adalah kakak iparku. Sesuatu yang tak nyaman, karena aku sebagai gadis baru dewasa merasa risi dan kurang bebas.

Kata Ibu, beliau belum puas hidup sama anak-anaknya. Sementara dua kakakku dan suaminya juga kelihatannya betah sih, mungkin karena Ibu suka kasih tambahan uang buat bantu keperluan mereka.

Kak Winda, kakak pertamaku sudah nikah tiga tahun lalu, sementara kak Rana baru nikah setahun dengan Bang Jordi.

Di saat mereka betah, aku malah mau cepat lulus dan keluar dari rumah ini. Bukan apa-apa. Selain sering dimarahi Ibu, aku juga merasa tak mendapat keadilan. Biasanya anak bungsu disayang-sayang, sedang aku hampir tiap hari mendapat kata kasar kalau memancing Ibu marah.

Bang Jordi itu sejak berhenti dari kantor kerjanya serabutan, lebih banyak waktu tidur-tiduran di rumah malah. Yang bikin bergidik kuduk, matanya sering tercuri aneh melihat beberapa tubuhku. Padahal sudah tertutup hijab panjang, apalagi kalau enggak.

Perbuatan matanya sudah kuadukan pada kak Rana, tapi malah diomeli yang tidak-tidak. Bilang pada Ibu pun sama, beliau malah marah. Mereka bilang aku hanya mengada-ada, dan bikin ribut.

"Pikiranmu aja yang kotor, Sekar. Bang Jordi itu sudah anggap kamu adik!" Begitu sahut Kak Rana sambil mendorong kepalaku, saat kali kedua aku mengadu perbuatan suaminya.

Untung ada tetangga juga teman baik kayak Yandi. Dia yang rela duduk di ruang tamu menjagaku kalau ada Bang Jordi di rumah. Sebab sedikit kuceritakan padanya kalau aku takut pada ipar satu itu.

Yandi seumuran denganku, duduk di kelas duabelas juga, hanya kami beda sekolah. Dia di SMA Negeri, sedang aku di SMK ambil jurusan Tata Busana.

🍁

Waktu berjalan hingga mendekati kelulusan, aku mulai merasa aman karena belakangan Bang Jordi terlihat menghindar, bahkan tak pernah menegur atau memerhatikanku seperti sebelumnya.

Dugaan buruk tentangnya sedikit berkurang. Meski begitu aku tetap berhijab di rumah, dan tak lupa mengunci pintu kamar.

Tak di sangka, di hari ini, hari Jumat saat seperti biasa aku pulang cepat dari sekolah harus mengalami takdir mengerikan ....

Tadi, saat di teras tidak ada motor Bang Jordi terparkir aku merasa aman masuk sendiri di rumah. Mengira rumah dalam keadaan kosong.

Usai berganti pakaian aku langsung ke dapur, seperti biasa tugas menyiapka makan siang. Ibu dan kak Rana kadang pulang makan siang di rumah.

“Duhh, kenapa nggak mau nyala ...?” Kompor gas sedang rewel, meski sudah kucoba nyalakan lima kali belum mau menyala. Saat akan goreng ikan tadi gas habis, ini baru kupasang dengan tabung baru dari stok di gudang.

Aku jongkok lagi di bawah kitchen set. Coba lepas regulator, lalu pasang lagi.

“Ada apa, Sekar?” Tiba-tiba suara lirih ada di dekat telinga, membuatku refleks menoleh.

"Ya Allah!" Aku terperanjat diri melihat ada Bang Jordi sudah jongkok tepat di depan mata. Mukanya hampir bersentuhan dengan mukaku!

Ouggh!!

Tanpa berpikir aku sontak berdiri, lupa kalau sedang di kolong meja tembok. Atas kepalaku pun terantuk keras, langsung berdenyut membuat mata berkunang-kunang.

Duhh, sakitnya ...!

Tertunduk sejenak kuusap kepala yang berdenyut keras.

… sejak kapan Bang Jordi di rumah? Bukannya tadi nggak ada ...?

“Makanya hati-hati, Sekar. Gitu aja kaget. Duduk sini.”

Bang Jordi membantuku duduk di kursi makan.

“Minum dulu, nanti juga hilang. Cuma kejedut dikit kok manja sekali," ujarnya terdengar kesal padaku

Ini terbentur, Bang! Bukan kejedot lagi!

Disodorkan segelas air putih untukku. Aku menolak, tapi tangan ini digenggamkannya pada gelas.

“Minum, Sekar. Nanti ada apa-apa sama kamu aku yang disalahin ibumu. Ayo minum, aku lihat dulu gasnya. Ibu katanya pulang siang lho, kalau lambat masak kamu bisa dipukul lagi.”

Ibu memang begitu, aku salah sedikit tangannya mudah melayang. Ini tinggal goreng ikan yang sudah dibumbui.

Aku meminum air yang diberi Bang Jordi.

“Nah, lihat, sudah bisa dipakai,” ujarnya sambil menyalakan kompor.

Menoleh padanya, aku mengerjapkan mata, merasa aneh melihat lelaki itu seperti berbayang lebih dari satu.

Kenapa api biru itu juga terlihat bergoyang?

Kepala terasa makin ringan, tapi mata ini berat mau menutup, denyut kepala tadi pun terasa lenyap.

“Sekar, kamu kenapa? Sini abang bantu ….” Suara Bang Jordi terdengar aneh.

Aku menggeleng, berusaha membuka mata yang makin terasa lengket.

“Tidur aja, Sekar. Ampuh, 'kan, dikit aja ketelan kamu bakal terbang.”

Apa maksudmu, Bang?!

Tidak!

Aku harus bangun!

Tapi yang terlihat kemudian cuma gelap … mata ini tak mau membuka.

Entah berapa lama aku tertidur. Begitu bangun ada suara ramai di telinga, tubuhku juga terasa jadi rebutan.

“Kurang aj** kamu, Sekar! Kurang aj**!!” teriak seseorang keras sambil memukulku. Itu ... suara Kak Rana?

“Anak tidak tahu diri memang kamu, ya!”

Tubuhku terasa ditarik sana-sini, terasa nyeri menghujani semua bagian tubuh.

Itu suara Ibu juga ….

Ada apa …?

Aku berusaha membuka mata yang terasa lengket.

“Sayang, kamu tau kan aku lagi gak enak badan, dia malah masuk kamar kita. Ya, terjadilah.”

Ucapan Bang Jordi belum kumengerti.

Rasanya aku bermimpi, tapi pukulan ini sakit ….

Sampai aku sadar kemudian, melihat diri dan pakaianku ....

Ya, Allah …!

“Bu, ini kenapa ...?" Aku langsung menangis histeris.

Ibu terus memakai dan memukulku.

"Bu, Sekar nggak salah … Sekar gak tau-” Aku sudah tersadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi.

"Nggak salah apa?! Kamu yang masuk kamar kakakmu?!"

“Bu, percaya Sekar, Bu ... Sekar nggak sadar-“

Plakk!!

Tamparan keras Ibu layangkan ke pipi, membuat pandanganku mengabur. "Siapa yang bisa percaya omonganmu, Sekar!'

Pipiku panas dan perih. Namun, lebih sakit sayatan luka di hati ini.

"Gimana lagi aku bilang kalau aku nggak salah, Bu …? Aku korban Bang Jordi! Dia menjebakku!"

Aku terus membela diri agar Ibu dan Kak Rana percaya. Namun, tetap saja tubuhku didorong, Kak Rana bahkan menyepak keras kakiku yang meringkuk di depan Ibu.

“Sayang, sudah. Kasihan, Sekar.” Lelaki bej*t itu menegur istrinya.

“Kasihan kata Abang?! Apa Abang juga suka ya, sampai mau-mau aja!”

“Kak … ini fitnah, Kak. Sekar-”

“Diam kamu!”

“Sayang, abang ini laki-laki, mana sanggup lah abang tolak.” Lelaki itu lagi-lagi membela diri.

“Abang sama aja! Gatal! Aku benci!” Mengentakkan kaki kakakku itu keluar kamar, sempat lempar hairdryer mengenai lenganku saat dia melewati meja rias.

Ibu masih bergeming dengan tatapan mata berkilat ke sini.

Kuusap mulut yang perih, membuat darah tampak menempel di jari. Rambut panjang yang selama ini kututup sudah terurai berantakan, susah payah kembali kututupi dengan kerudung di dekat kasur.

"Percuma kamu tutupi, Sekar! Percuma! Kamu itu cuma kotoran!"

“Bu ….”

“Jangan panggil aku ibu! Kamu bukan anakku! Bukan anakku!! Perbuatanmu sangat memalukan, Sekar!!”

Tangan yang mau menyentuh kakinya ditendang Ibu keras.

Ibu lalu keluar kamar membawa amarahnya. Tertinggal aku tak berdaya di kamar Kak Rana ini. Tempat manusia durjana itu telah menghancurkan masa depanku.

“Bu … percaya Sekar, Bu … tolong ...." Aku harus bagaimana, Bu ...? Rintih hatiku memohon siapapun bisa membantu.

Diri jatuh dalam titik terendah. Rasanya ingin mati saja daripada ternoda begini ....

Sama sekali tidak ku sangka, setelah gagal berkali-kali menggangguku lelaki itu tega berbuat nista.

Dia bahkan ... menuduhku yang telah menggodanya ....

Dasar manusia tidak punya hati!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dakudaku
nsheudidjjskahsjdhdh...
goodnovel comment avatar
Cahaya Asa
kasihan sekali sekar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status