Share

4. Syok!

“Bagaimana, Sekar? Sudah lebih baik?” Pundakku diusap lembut Bu Fris, setelah aku meneguk segelas teh hangat dan sebungkus klepon. Makanan itu bagian Bu Fris dari dapur sekolah_khusus untuk guru setiap pagi, tapi malah diberikannya padaku.

Aku tersenyum merasakan hangat perhatiannya. Benar-benar senyum. Bagai merasa akan mendapat jalan keluar terbaik setelah ini.

Tisu Bu Friskelly berikan untukku menghapus sisa jejak air mata. Hampir 15 menit menangis kuat, cukup membuat mataku terasa menyipit.

Begitu tenang, kupasang lagi kacamata agar tak begitu terlihat mata sembab.

“Ibu akan bersama kamu, Sekar. Kamu harus semangat, ya.” Selain memegang tanganku, pelukan beliau berikan lagi sebelum aku kembali ke kelas. Pelukan erat yang bisa membuatku merasa lega.

“Saya ada ulangan, Bu. Mau balik ke kelas dulu.”

“Iya.”

Aku menyalim punggung tangannya.

“Sekar, ibu bangga dengan ketegaranmu. Kamu sangat kuat, melebihi apa yang ibu bayangkan. Ibu doakan terbaik buat kamu, Nak.” Diusapkan puncak kepalaku.

Sekali mengedip setitik air mata menetes lagi. Terharu atas tulusnya kasih sayang guruku ini.

“Sana, sudah lambat.” Bel masuk sudah berbunyi.

 “Terima kasih banyak, Bu.”

“Ibu juga terima kasih kamu percaya sama ibu ….”

Langkahku terasa pasti terayun menuju kelas.

Dunia, aku akan tegakkan wajah menghadapi betapa pun kerasnya hidupku di depan.

Di kelas teman-teman menatapku heran. Kembali terlambat masuk saat kertas HVS sudah dibagikan. Untung tidak dihukum, aku dipersilakan duduk oleh guru yang juga merangkap wali kelas. Ternyata ulangan yang dimaksud adalah membuat disain sebuah gaun pesta, atau bisa juga gaun pengantin, lengkap dengan perkiraan bahan yang diperlukan.

Katanya ini untuk latihan ujian kompetensi di semester akhir penentuan kelulusan. Di mana kami wajib merancangnya dan akan diperagakan oleh model profesional di atas pentas.

Aku pilih gaun pengantin muslim. Alhamdulillah, tak ada kesulitan mungkin ini efek lega setelah curhat dengan Bu Fris tadi, sampai jariku terasa ringan menari dan membayangkan mode yang kumaksud.

Semoga mimpiku ingin seperti Dian Pelangi suatu saat bisa tercapai, aamiin.

*

Setelah sebelumnya konsultasi, lalu sepakat untuk mengadukan kasus ini diam-diam, tetap tak membuat keadaan baik-baik saja. Tetangga Ibu begitu cepat tahu, entah dari mana dan membuat geger sekota. Berita penangkapan itu sampai masuk koran.

Sementara, aku bersembunyi di rumah Bu Fris. Ada hal lain yang awalnya mereka tutupi takut membuatku down, sampai aku benar-benar syok saat mengetahuinya. Foto setengah polos ternyata diambil baj****n itu, dan disebar oleh temannya saat dia mabuk.

Penjahat kelam** itu sudah ditahan, barang bukti pakaian yang kupakai pas kejadian. Barang itu memang masih teronggok di dalam lemari.

Aku bisa lega, tapi juga jadi resah. Begitu tahu aku di rumah Bu Fris, Ibu datang marah-marah di halaman, ditonton para tetangga guruku ini.

“Ini urusan keluarga, tidak ada hubungannya dengan orang lain!”

Ibu berteriak saat Bu Fris dan tetangga coba menenangkannya.

“Saya tahu ini urusan keluarga, tapi ini sudah sampai hukum dan saya berhak menjaga keamanan Sekar, Bu.” Aku sudah ceritakan semua pada Bu Friskelly, bagaimana keluarga memandang kasus ini sebagai aib.

Ibu terus saja mara seperti orang kesurupan, aku tadi sempat ditariknya keluar segera melepaskan diri dibantu warga. Setelah terlepas aku lari segera mengurung diri di kamar.

Air mata luruh kian deras saat teriakan sumpah serapah Ibu masih masuk ke telingaku. Kututup dua telinga dengan bantal, masih saja tidak mempan. Sambil terisak, aku meringkuk dengan dua telunjuk menyumpal lubang telinga.

Betapa sakit hati saat kata kasar itu keluar dari wanita yang melahirkan kita.

“Kamu akan lihat ibu mati, Sekar! Ibu mati kalau kamu melawan ibu! Dengar itu!!” Suara menggema itu terasa di dekat telinga tapi kemudian menjauh. Semakin jauh.

Langit terasa runtuh saat Ibu terus menyumpahi dirinya sendiri akan mati karenaku. Tidak ada pilihan. Aku lari keluar dalam pijakan terasa mengambang.

Ibu … maaf kan Sekar sudah melanggar janji pada Ibu. Maaf …!

“Bu … Sekar akan pulang.”

Wanita berkemeja motif garis vertikal itu terhenti berteriak. Mata tajamnya berubah redup menatapku.

Kasihan sekali Ibu, wajahnya memerah tersorot matahari yang masih terik di sore ini. Aku dan Bu Fris kemudian saling berpandangan.

Jujur aku takut pulang, tapi Ibu terasa mengintimidasiku.

“Sa-saya pulang, Bu ….” Ragu, aku kembali ke dalam mengambil tas, satu-satunya barang yang kupunya.

“Sekar, apa sebaiknya kamu di sini dulu?”

Bu Fris mengikutiku di belakang.

“Saya nggak tega lihat ibu saya, Bu ….”

Dipegang Bu Friskelly bahuku. “Baiklah, kalau nanti petugas butuh lagi keteranganmu Ibu pasti akan dampingi,” janjinya.

 Aku mengangguk patuh.

Mungkin beginilah seorang anak. Apa yang diperintahkan ibunya wajib menuruti, meski itu bertentangan dengan hati. Apalagi jika disertai ancaman, rasanya tak punya pilihan.

Aku pamit, meraih punggung tangan Bu Fris sebelum pergi. “Tetaplah sekolah. Semangat ya, Sekar.”

“Insya Allah, Bu. Sekar masih mau berjuang sampai lulus,” ujarku.

Pada Ibu, guru konseling itu juga mengingatkan agar tak menghalangiku sekolah.

“Aku ibunya. Aku yang lebih tahu anakku!” ketus Ibu menjawab.

Aku pergi dengan ditonton puluhan pasang mata. Ibu menarik tanganku supaya berjalan cepat, sedikit mendorongku masuk ke mobil hitam yang terparkir di sisi jalan. Ada dua lelaki asing duduk di depan.

Siapa mereka …?

“Bu-“

“Kamu itu, mau malu-maluin ibu! Dasar anak durhaka!” Belum sempat aku bertanya kepala ini didorongnya sampai terantuk kaca pintu.

Mobil melaju, dihiasi omelan Ibu tentang kebodohanku. Tanpa henti, tanpa titik koma. Telinga ini terasa penuh dibuatnya.

“Bu, kita ke mana?!” Aku mengarah pandang keluar, samping, belakang. Bukan jalan ke rumah, tapi ini arah luar kota!

“Kita ke mana, Bu?!” Kubalik badan penuh, melihat ke belakangn arah kami makin jauh meninggalkan Kota Mentaya.

Hening, tidak ada yang menjawab. Ibu mematung menatap jalan di depan.

“Bu, Sekar masih mau sekolah!” Kuguncang pundaknya

Lagi kepalaku didorong. “Ini semua gara-gara otakmu itu. Sudah ibu bilang jangan bilang-bilang orang, eh, kamu malah cerita. Rumah kita jadi geger didatangi polisi! Bod*h!”

Suara ibu kembali merepet kasar. Sampai mobil ini terasa masuk ke jalan setapak.

Makin ke dalam tampak deretan pohon kelapa, dari sedikit sampai makin luas.

Ini … perkebunan?

Aku merasa masuk ke wilayah asing.

Mobil berhenti di depan satu-satunya rumah kecil dari papan bersusun sirih, tepat di sisi jalan setapak.

“Bu …!” Aku menolak saat disuruh turun.

Ibu tega mendorong badanku, dibantu lelaki kekar berbaju hitam menarikku keluar mobil.

“Bu, jangan tinggalkan Sekar, Bu. Sekar mau sekolah!”

Seperti tak mendengar kata-kataku Ibu bergeming, langsung menutup pintu mobil. Tangisku lepas, teriak sampai parau sambil mengejar kendaraan yang kemudian melaju kencang.

Sia-sia, sampai tenaga habis kendaraan itu tampak makin kecil dan menghilang di belokan.

Aku terduduk tengah jalan tanah lembab, mengatur napas yang terasa akan habis.

Kenapa Ibu tega tinggalkan aku sendiri di hutan kelapa ini …?

Menoleh ke belakang, dari rumah papan tempat mobil berhenti tadi terlihat seorang wanita keluar. Ia menepuk tangan sekali, lalu melambai padaku.

Oh, ternyata ada orang!

Gegas aku berusaha bangun, berjalan ke sana. Semakin dekat tampak wanita itu mirip Ibu, mengenakan daster kumal tanpa warna.

Kakiku terus bergerak mendekat. Semakin lama makin jelas wajah perempuan yang melambaiku tadi.

Ibu …?!

Rupanya persis Ibu, tapi tampak lebih tua, maksudku, sangat tua. Dia kemudian tertawa dengan gigi yang habis di bagian atasnya.

Tenggorokanku tercekat mau bicara.

“Sekar ….” Dilambai tangan pelan sambil memanggilku, dengan suara seperti nenek-nenek. Dan, gerakannya seperti tayangan melambat. Aneh. Kukucek mata memastikan apa yang terlihat.

Bukankah dengan mata kepala sendiri tadi kulihat ibu pergi? Lalu … siapa orang tua ini?

“Sekar, Sekar!” Pundakku ditepuk.

Terlonjak, aku membeliakkan mata melihat wajah siapa di depan muka.

“B-Bu Fris?!”

Lekas aku terduduk. Langsung melihat sekitar.

“Kok tidur sampai senja begini? Ayo mandi, sebentar lagi kamu salat magrib.”

Tercengang sesaat, aku merasa apa yang terjadi barusan benar-benar nyata, ah, ternyata hanya mimpi. Kuusap dada yang terasa lega.

“Kamu sampai mimpiin ibumu, ya?”

“I-iya, Bu. Apa Ibu sudah pulang?”

 “Sudah. Ibumu ke sini tadi mau ajak kamu pindah, Sekar. Rumah dan toko ibumu akan dilelangkan. Tadi cuma titip pesan, kamu bisa pilih ikut pindah atau tetap di sini?

Kutatap wajah sendu Bu Fris.

“Izinkan Sekar tetap sekolah di sini, Bu. Sekar mau lulus SMK,” pintaku penuh harap.

“Alhamdulillah. Itu yang ibu harapkan. Kamu kelas XII juga sudah tidak bisa pindah.”

*

Keputusan Ibu pergi sangat cepat, entah ke mana aku bahkan belum sempat bertemu. Karena berita tentangku sudah menyebar sampai ke teman-teman sekolah, aku memilih terkurung di rumah saja. Dua kakakku juga dari keluarga belum ada yang menjenguk ke sini.

Hanya Bu Friskelly dan orang-orang asing dari KPAI yang mendampingiku.

Foto yang pernah tersebar itu membuat diri merasa tak punya wajah untuk bisa ditampakkan ke orang lain.

Aku merasa jatuh dari ketinggian, lalu tertimpa tangga berat. Ingin memenjarakan penjahat itu tapi justru diri sendiri menerima hukuman.

Mata-mata terasa menelanjangiku bulat-bulat … aku hanya bisa tertunduk tanpa berani mengangkat muka.

Mungkin ini yang Ibu khawatirkan waktu itu. Penjahatnya memang sudah ditangkap, tapi aku dan keluarga menanggung beban mental sangat mengerikan setelahnya.

Menjalani pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menjerat pasal pada pelaku, aku merasa sangat tertekan. Pertanyaan yang tak kupahami bagaimana menjelaskan, karena aku saat itu memang tak sadar. Jangankan untuk cerita, membayangkan saja aku sangat ingin menangis tanpa henti.

Kenapa ini terasa makin menakutkan …?!

Pun saat wajib melakukan visum … bagian yang sempat membuatku terpikir untuk menyusul Ummi saja ....

Mentalku sempat drop.

Takut.

Lelah.

Aku malas keluarkan kata, walau hanya sepatah.

Andai bisa, aku mau hapus ingatan tentang ini.

Sidang tertutup, aku diperiksa di ruang berbeda tanpa harus bertemu penjahat itu. Meski begitu, tetap saja hidupku bagai mimpi buruk.

Sebulan hidup terasa ratusan tahun harus kulewati. Andai kurang dukungan dari Bu Fris, guru-guru, dan orang-orang asing itu, bisa dipastikan aku sudah gil*.

Tatapan orang-orang di luar sana terasa menghakimi, seolah aku penyebab awalnya.

Bahkan ada yang terang-terangan katakan aku penggoda, sok ‘alim, copot aja kerudungnya, atau jadi orang yang mengundang kejadian itu_kerudungan di sekolah, pakaian pendek di rumah.

Aku merasa makin menciut mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa. Meski kata Bu Fris itu teriakan dari keluarga lelaki bej** yang menyalahkanku, tetap saja batin ini hancur dibuatnya.

“Maafkan ibu, Sekar, ini sulit dikendalikan karena foto itu sempat terlanjur tersebar. Kamu harus kuat. Sekolah membolehkan kamu belajar dan praktek di rumah saja. Namamu tetap akan jadi alumni SMK3 nantinya.”

“Alhamdulillah ….” Kupeluk Bu Friskelly erat. Beliau mau mengusahakan yang terbaik untuk kelanjutan pendidikanku. Biaya juga digratiskan, untuk bahan uji kompetensi aku diberi bantuan. Kuanggap ini hikmah, meski tanpa dukungan Ibu dan keluarga aku diberi kesempatan tetap sekolah.

Kasus cepat selesai, bej*t itu sudah dijatuhi vonis, juga teman yang pertama menyebarkan fotoku. Walaupun begitu, tetap masih saja ada yang mengungkitnya saat aku mulai keluar rumah.

“Jangan dipedulikan. Tegakkan wajahmu, kita tau kamu tidak salah, Sekar.” Semangat dari Bu Fris coba kulakukan, meski masih memakai masker saat ke tempat keramaian. Cara itu cukup membuatku tak dikenali. Walau kadang gagal, karena teman terdekat tetap masih bisa mengenalku.

“Sekar!”

Langkah kupercepat, tanpa mengindahkan pemilik suara yang kukenal di belakang itu. Terdengar motor dimatikan.

Pundakku ditahan. “Jangan ganggu aku, Yan!”

“Sekar?!” Diputarnya badanku sampai menghadap ke arahnya.

Kami bertatapan dalam dua detik, aku langsung membuang pandang. Malas lihat Yandi menyimpan banyak tanya dari sorot matanya.

“Kenapa sih nggak cerita sama aku, Sekar? Kenapa?! Kamu juga menghindar tiap lihat aku.”

Ini yang aku benci. Semua orang sangat ingin penjelasan!

Kulepas tangannya dengan kasar, setengah berlari masuk gang menuju rumah Bu Fris. Tadi bosan di rumah aku keluar belanja bahan jahit di depan jalan raya.

“Sekar! Aku temanmu. Kenapa kamu nggak bilang masalah sebesar ini?!”

Bola mata ini kembali perih. Bertambah panas dan berair saat lihat di situ tetangga Bu Fris langsung berbisik-bisik melihatku dikejar Yandi.

“Tolong, Yan. Jangan ganggu aku!”

Lekas membuka kunci rumah aku langsung menutup dan mengunci dari dalam. Ke kamar kujatuhkan badan di tempat tidur.

Aku merasa kembali sendiri … Bu Fris masih di sekolah sampai menjelang sore, hanya beliau teman juga pengganti orang tuaku sekarang. Tanpanya mungkin aku memilih menghilang saja.

Cukup. Tolong. Siapa pun … jangan ingatkan aku pada masalah itu lagi.

Sungguh, aku mau melupakan peristiwa ini!

"Sekar!"

Panggilan Yandi di luar terasa mengobrak-abrik hati yang memang sudah hancur. Meski suaranya sudah merendah, tetap saja aku tak mau menjelaskan apa-apa padanya. Mengertilah.

Lupakan ini ....

Atau … beri aku waktu, sampai siap berdamai dengan diriku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status